“Kau sudah menyelesaikan S3 juga disini, apalagi alasan yang akan kau buat agar kau tidak pulang kali ini?”
Rama menghela nafas jengah. Selalu saja seperti ini. Kakaknya, Rangga, akan datang mengunjunginya di London dan memintanya pulang.
“Jangan memberiku alasan lagi, Rama. Aku sudah cukup menolerir alasan pendidikanmu selama ini. Tapi sekarang kau sudah lulus. Sudah waktunya kau kembali dan membantuku mengurus perusahaan. Bukankah itu impianmu sejak dulu? Meneruskan perusahaan yang Papa bangun?”
Rama memilih tidak menjawab. Memang benar itu mimpinya sejak dulu. Tapi itu dulu dan bukan sekarang. Apa ia tidak bisa memiliki mimpi yang berbeda sekarang?
“Kau tidak akan menjawabku?”
“Astaga, Kak. Kau selalu saja membicarakan hal yang sama setiap kali kita bertemu. Kau tidak bosan?” tanya Rama muak. “Lagipula harus berapa kali kukatakan padamu kalau aku sudah tidak ingin mengurus perusahaan itu lagi? Yap, kuakui meneruskan perusahaan Papa adalah mimpiku. Tapi itu dulu. Dan lagi kulihat kau sudah sangat baik mengurus perusahaan Papa saat ini. Kau tidak perlu bantuanku.”
Rangga menatap tajam adiknya yang mengalihkan pandangannya. Matanya menyipit curiga. Ia sudah seringkali berusaha membujuk Rama agar mau kembali ke negara kelahiran mereka. Tapi adiknya yang sangat keras kepala ini selalu saja memiliki alasan untuk menghindar. Entah bagaimana mulanya, tapi Rangga memiliki firasat kalau adiknya ini sedang melarikan diri.
“Sebenarnya apa sih yang sedang kau hindari, Rama? Kau seperti orang yang sedang melarikan diri dan tidak berani pulang ke rumah.”
Rama melirik Rangga tapi kemudian melanjutkan tatapannya yang menatap jalanan di luar jendela. “Aku tidak sedang melarikan diri dari apapun.”
“Tapi sikapmu menunjukkan kau sedang melarikan diri.”
“Aku tidak sedang menghindari apapun,” kata Rama dengan penuh penekanan pada kata tidak. Ia melemparkan pandangan pada kakaknya dengan ganas. “Kenapa kau selalu bersikukuh pada hal ini? Bukannya bagus kalau kau tidak memiliki saingan dalam mewarisi perusahaan?”
Rangga terdiam mendengar kata-kata adiknya. Mewarisi perusahaan dia bilang? Hal itu bahkan tidak pernah terlintas di kepalanya. Ia malah berencana untuk angkat tangan dari perusahaan saat adiknya sudah menyelesaikan studinya. Tapi lihat anak ini sekarang? Masih keras kepala tidak ingin pulang bagaimanapun caranya.
“Kalau begitu, buktikan! Pulang dan bantu aku mengurus perusahaan Papa.”
Rama dan Rangga saling melempar tatapan tajam. Sama-sama bertekad dengan jawaban masing-masing. Tak ada yang mau mengalah.
“Sebenarnya kau mengerti atau tidak perkataanku? Sudah kubilang aku tidak ingin mengurus perusahaan. Jangan memaksaku!” kata Rama ketus.
Rangga menghela nafas lelah. Dua orang yang keras kepala seperti mereka tidak akan menyelesaikan apapun tanpa salah satunya mengalah. Dan melihat Rama sekarang yang sepertinya bahkan lebih siap baku hantam dengannya daripada mengalah, ia tahu ia harus punya cara lain yang bisa membuat Rama pulang. Ia berpikir cepat.
“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Aku juga akan berhenti mengganggumu.”
“Bagus kalau begitu,” respon Rama.
“Tapi hanya jika kau membantuku dalam satu hal.”
Rama mendengus keras. Ia tahu bagaimana kakaknya bisa selicik apa hanya untuk membawanya pulang. Tapi apapun yang akan dikatakan kakaknya, ia hanya tahu satu hal. Ia tidak akan pernah pulang.
*****
Raya memakan makan siangnya sendirian. Ia memandang jendela besar kantin yang tengah menyajikan pemandangan rinai hujan yang turun lumayan deras. Melihat itu, ia tersenyum senang. Ia selalu menyukai hujan kapanpun dan dimanapun. Suara hujan yang turun selalu mampu membuatnya merasa lebih tenang dan damai. Baunya yang memenuhi sekitar sekaligus bercampur tanah basah selalu bisa membuat suasana hatinya menjadi lebih baik. Dan hujan yang mengenai kepalanya rasanya seperti mampu meluruhkan setiap masalah yang menggenang di pikirannya.
Ia selalu menyukai hujan. Entah sejak kapan.
Seseorang meletakkan nampan makanannya dan duduk di depan Raya ketika Raya tengah asyik menikmati hujan yang turun. Raya mengalihkan pandangannya. Mata hitam, hidung mancung, bibir tipis dan rambut hitam yang dipotong pendek nan rapi. Tahi lalat kecil terlihat di tepi cupang telinganya. Memakai kemeja tosca dengan dasi bergaris yang terlihat sangat pas dipakai. Sebuah name tag karyawan dengan foto formal tergantung di lehernya.
Raya tersenyum. Ia mengenali orang itu.
“Sepertinya kau baru memotong rambutmu,” kata Raya seraya menyuapkan makanan kedalam mulutnya.
Nino Aditya. Seorang karyawan juga yang bekerja di satu divisi dengannya. Ia tersenyum dan menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya yang besar.
“Saya sudah yakin sejak awal bahwa Anda adalah satu-satunya orang yang pasti akan menyadari perubahan rambut saya,” kata Nino. “Bukankah Anda terlalu teliti, Bu Raya? Tidak ada orang lain yang menyadari saya memotong rambut. Saya hanya memutuskan untuk merapikannya sedikit.”
“Berhenti memanggilku Ibu, Nino,” kata Raya penuh peringatan. “Harus berapa kali kubilang? Dan aku tidak hanya memintamu tapi juga seluruh orang di tim kita. Lagipula kau kan yang lebih tua dariku.”
Nino terkekeh. Ia senang sekali menggoda Raya.
“Oke, oke...” Nino mengangkat tangannya, menyerah. “ Tidak perlu marah.”
Raya mendengus pelan.
“Tapi omong-omong, aku tadi mendengar rumor akan ada anggota baru di tim kita. Apa itu benar?” tanya Nino.
Raya adalah ketua tim di tim mereka. Satu-satunya orang yang bisa ia tanya untuk memastikan rumor tentang tim mereka tentu saja hanya Raya. Karena jika itu benar, Raya adalah orang pertama yang akan tahu diantara mereka semua yang berada di tim yang sama.
Raya mengangkat satu alisnya bingung. “Anggota baru? Aku bahkan tidak tahu ada lowongan pekerjaan di tim kita.” Raya berusaha mengingat-ingat apakah atasannya pernah mengatakan ini padanya. Tapi sejau ia bisa mengingat, tidak ada satu pembahasan pun yang mengatakan akan ada karyawan baru sebagai anggota timnya. “Aku juga tidak mendengar apapun dari atasan kita.Lagipula kurasa saat ini kita tidak membutuhkan tambahan orang. Kau mendengar hal itu dari mana?”
“Aku tidak sengaja mendengarnya sekilas saat kemari. Karena itu aku langsung bertanya padamu. Hanya untuk memastikan,” jawab Nino.
“Tapi jika itu benar, harusnya aku sudah diberitahu lebih dulu.”
Nino mengangguk setuju. Ia mulai memakan makan siangnya.
Ting!
Raya mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang menyala memunculkan notifikasi pesan masuk. Ia membaca pesan dalam bahasa inggris yang baru saja masuk.
Dr. Alex
Kau tidak lupa bukan kalau hari ini aku akan kembali ke London, bukan? Kau sendiri yang bilang akan mengantarkan kepergianku.
Raya ternganga. Ah, bagaimana bisa ia lupa hal sepenting ini?
Raya mengetikkan balasan.
Ah, maafkan aku, dok. Aku hampir saja melewatkannya. Apa anda sudah di bandara sekarang?
Tak butuh waktu lama, balasan pesannya datang.
Dr. Alex
Aku sedang dalam perjalanan kesana sekarang. Jadi cepatlah menyusul sebelum aku benar-benar melupakanmu.
Raya tersenyum membaca balasan dokter yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu.
Otewe dok.
Raya segera bangkit dari tempat duduknya dan balas menatap Nino yang mendongak menatapnya keheranan dengan pandangan bertanya-tanya.
“Ada apa?” tanya Nino.
“Aku harus keluar sebentar. Ini darurat. Tolong handle semuanya menggantikanku semantara ini ya! Aku akan kembali dalam 2 jam,” kata Raya sembari buru-buru pergi tanpa menunggu jawaban Nino.
*****
Raya berjalan dengan cepat setelah turun dari taksi menuju keberangkatan luar negeri. Ia membaca papan informasi digital yang menunjukkan waktu keberangkatan pesawat. Ia menyipit. Pesawat yang akan ditumpangi orang yang sedang ia cari belum waktunya boarding. Itu berarti ia masih memiliki kesempatan untuk sedikit berbicara dengannya.
Raya menatap sekeliling. Ia berjalan, memutar tubuhnya mencari di antara puluhan orang yang lalu lalang. Tapi setelah 10 menit, ia menyerah. Ia benar-benar sangat benci berada diantara keramaian orang.
Ting!
Raya meraih ponselnya. Ia menggerutu pelan. Bodoh! Bagaimana ia bisa lupa ada teknologi canggih bernama ponsel. Ia harusnya sejak awal bertanya dimana posisi dokter itu daripada pusing-pusing mencarinya.
Dr. Alex
Kau tidak bisa menemukanku?
Raya tertegun. Apa ini artinya dokter sudah melihatnya sejak tadi? Apa ia tak sengaja melewatinya saat berjalan mencarinya?
Ia mulai mencari lagi di sekitarnya. Berusaha menemukan dokter itu dengan ciri-ciri yang diingat kepalanya.
Ting!
Sebuah pesan masuk baru menyusul tak lama kemudian. Raya memeriksa segera.
Dr. Alex
Aku tepat di cafe di depanmu. Memakai baju biru laut. Duduk sendirian. Dan melambai ke arahmu.
Raya mengalihkan pandangannya menuju ke arah cafe di depannya. Seorang pria asing berkulit putih khas Eropa dan berbaju biru melambai ke arahnya.
Raya tertawa miris. Laki-laki yang harusnya ia kenali dengan mudah, ternyata tidak bisa ia temukan sendiri. Ia sangat menyedihkan, bukan?
*****
“Apa dokter sudah menunggu lama?” tanya Raya dalam bahasa Inggris yang fasih sembari duduk di kursi di depan laki-laki tampan yang tengah tersenyum menatapnya.“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar 30 menit sebelum kau datang dan berjalan mondar-mandir di depanku dengan kepala yang berputar sibuk,” jawab Alex sarkas bermaksud bercanda.Raya tersenyum kecut. “Maafkan aku. Aku harusnya langsung menelpon anda begitu sampai di bandara.”Alx tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sebenarnya juga bisa langsung menelponmu begitu melihatmu, tapi tidak kulakukan. Ternyata menyenangkan juga melihatmu agak panik seperti itu.”Raya menyipitkan matanya. Jadi, dokter ini sengaja mengerjainya rupanya.
Raya menegakkan tubuhnya kembali setelah diam-diam membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya yang besar pada Alex. Saat Alex sudah menghilang dari pandangannya, Raya bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke kantornya. Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi seperti yang ia janjikan pada Nino. Itu waktu yang cukup untuk perjalanan kembali ke kantor jika ia menemukan taksi sekarang. Ia mengecek ponsel yang sedari tadi ia bisukan, berniat menghubungi Nino untuk memberitahunya. Tapi ternyata ada sebuah pesan masuk dari laki-laki itu sedari tadi. Nino Ray, Recruiting Director ingin bertemu denganmu. Katanya ia bahkan mencarimu sebelum makan siang selesai. Ia bilang kau harus langsung menemuinya begitu urusanmu selesai dan kembali ke kantor. Dahi Raya menge
Rama menyeret kopernya dari pintu kedatangan luar negeri. Ia mengaktifkan ponselnya yang ia matikan sejak berangkat dari London. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi bersamaan dengan beberapa pesan masuk dari kakaknya. Rangga Kapan kau pulang? Rangga Kau mulai masuk kerja minggu depan. Cepat kembali! Rangga Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengingkari yang satu ini. Rangga Aku memasukkanmu di tim yang dibawahi langsung olehku. Rangga Oi adik durhaka! Kau menghilang kemana? Balas pesanku!
Hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Tapi kali ini Rama sama sekali tidak mengeluh. Ia bahkan terlihat senang karena itu. Sejak kejadian ia melihat seorang gadis meninggalkan payungnya demi kucing-kucing yang tengah kehujanan kala itu–meskipun keesokan harinya kucing-kucing itu sudah menghilang bersama payung si gadis–ia dengan anehnya selalu melihat gadis itu hanya saat hujan turun. Dan entah bagaimana, ia tidak pernah sekalipun melihat gadis itu lewat di depan sekolahnya ketika cuaca terlihat bagus dengan matahari bersinar hangat. Karena itu tanpa sadar Rama selalu menanti kemunculan gadis itu saat hujan turun. Dari lantai 2 depan kelasnya, Rama bisa melihat beberapa temannya pulang menerobos hujan seperti biasanya. Tapi ia sama sekali belum ingin beranjak. Roy, sahabatnya, melihat Rama dengan heran. Ia tidak pernah sekalipun melihat laki-laki itu tersenyum saat hujan turun. Rama bahkan
Rama menghentikan laju sepedanya. Hari ini sekolahnya pulang lebih awal. Sejak Roy mengatakan dimana si gadis hujan–itu julukan yang Rama beri padanya karena sampai sekarang ia belum tahu nama gadis itu ditambah dengan ia yang selalu melihat gadis itu saat hujan–bersekolah, ia sudah sangat ingin datang sendiri untuk melihat apakah informasi yang Roy katakan saat itu benar atau tidak.Tidak. Bukan itu. Sebenarnya ia hanya ingin melihat gadis itu lagi saat ia punya kesempatan.Sekolah SMA K tampak lengang. Sepertinya jam pelajaran masih berlangsung. Rama melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sampai waktunya pulang sekolah. Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya di dekat sekolah di tempat yang tidak terlalu mencolok untuk mengamati gadis itu.Ia hanya akan
Dan sekali lagi, Rama mengunjungi sekolah si gadis hujan. Kali ini dengan memastikan bahwa Roy tidak akan menyusulnya seperti kali terakhir. Ia tidak bisa membiarkan temannya yang playboy itu mengambil kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi sepertinya Roy benar-benar tertarik dengan gadis itu mengingat akhir-akhir ini dia terus-terusan merecoki Rama dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gadis itu. Membuat Rama sempat beberapa kali benar-benar jengkel padanya. Tapi sayang sekali, saat ia sampai disana, halaman sekolah SMA K sudah terlihat kosong. Hanya tinggal beberapa anak yang tinggal dan mondar-mandir di sekitar tempat itu. Rama turun dari sepedanya. Menuntunnya perlahan melewati gerbang sekolah itu dan melihat keadaan sembari berharap ia akan bertemu dengan si gadis hujan. Namun tidak ada tanda-tanda ga
Hai... terima kasih sudah membaca tulisanku. Karena beberapa hal, aku memutuskan merevisi naskah ini agar bisa lebih enak dibaca. Jadi jika kalian sudah pernah membaca bab-bab yang pernah kupublish sebelum di revisi, kuharap kalian tidak keberatan membaca ulang hehe.Jadi untuk menghabiskan waktu selagi aku merevisi naskah ini, kalian bisa membaca tulisanku yang lain yang berjudul "Tantangan untuk Si Pelakor".Ada Vanessa dengan hobi yang suka merusak hubungan orang dan Viktor yang mencoba membuatnya berubah. Cus kunjungi aja... Aku yakin ceritanya tidak kalah menarik dengan yang lain.Jadi sampai ketemu beberapa hari lagi dengan Versi Gadis Setengah Buta yang lebih baik!See you...
Raya mendengarkan musik melalui earphone-nya yang tersambung dengan ponselnya. Masih 10 menit lagi sampai MRT yang biasa ia tumpangi datang. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai membaca.Seseorang duduk disampingnya. Raya menoleh sedikit. Seorang laki-laki berambut panjang sebahu, memakai hoodie hitam dengan tudungnya menutupi kepala dan memakai celana jeans biru. Laki-laki itu juga menoleh padanya. Dengan cepat Raya memalingkan muka dan meneruskan kegiatannya membaca buku.Merasa diperhatikan, Raya menoleh ke arah laki-laki tadi. Laki-laki itu masih menatap ke arahnya.“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Raya.Laki-laki itu tidak menjawab. Raya menunggu. Tapi laki-laki itu hanya menatap Raya dan tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke d