Raya mendengarkan musik melalui earphone-nya yang tersambung dengan ponselnya. Masih 10 menit lagi sampai MRT yang biasa ia tumpangi datang. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai membaca.
Seseorang duduk disampingnya. Raya menoleh sedikit. Seorang laki-laki berambut panjang sebahu, memakai hoodie hitam dengan tudungnya menutupi kepala dan memakai celana jeans biru. Laki-laki itu juga menoleh padanya. Dengan cepat Raya memalingkan muka dan meneruskan kegiatannya membaca buku.
Merasa diperhatikan, Raya menoleh ke arah laki-laki tadi. Laki-laki itu masih menatap ke arahnya.
“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Raya.
Laki-laki itu tidak menjawab. Raya menunggu. Tapi laki-laki itu hanya menatap Raya dan tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke depan. Raya mengerjap bingung. Ia sangat yakin tidak mengenal seseorang dengan gaya potongan rambut sebahu. Sepatu yang laki-laki gunakan itu juga bukan sepatu yang pernah dipakai seseorang yang ia kenal. Sepatu kets putih dengan garis biru serta dibuat brand ternama terlihat baru saja dibeli.
Suara pemberitahuan dari pengeras suara yang terpasang di seluruh bagian stasiun terdengar. MRT yang Raya tunggu sebentar lagi tiba. Raya memutuskan tidak terlalu memikirkan laki-laki di sebelahnya ini. Ia menutup bukunya, berjalan dan berhenti di belakang garis kuning menunggu kereta berhenti dengan sempurna. Raya melirik laki-laki tadi yang mengikutinya berdiri dan kini telah berada disampingnya menunggu kereta.
Entah mengapa Raya merasa bahwa laki-laki itu membuntutinya. Ketika ia masuk ke gerbong kereta dan memilih tempat duduk, laki-laki itu memilih tempat duduk yang langsung berhadapan dengannya. Laki-laki itu tanpa bicara sepatah kata pun tetap memandanginya sepanjang perjalanan. Dan sekarang ketika ia turun dari kereta, laki-laki itu juga turun di tempat yang sama. Ia berjalan pelan dibelakang Raya sambil tetap memberi jarak.
Firasat Raya sepertinya tidak salah. Saat Raya berhenti dan memastikan laki-laki itu benar mengikutinya, laki-laki itu ikut berhenti. Saat ia mencoba mempercepat langkahnya, laki-laki itu juga mempercepat langkahnya. Raya mencengkram tasnya erat. Ini benar-benar situasi yang buruk. Laki-laki yang mengikutinya itu sepertinya punya niat yang tidak baik padanya.
Papan nama minimarket 24 jam yang buka di dekat rumahnya sudah terlihat. Raya memutuskan berlari. Berharap ia akan menemukan beberapa orang yang biasanya terlihat nongkrong di depan minimarket itu dan membuat laki-laki yang mengikutinya itu berhenti. Tapi tidak. Bukannya berhenti seperti yang Raya harapkan, laki-laki itu malah ikut berlari mengejarnya saat melihat Raya berlari.
Sampai di depan minimarket, Raya menghentikan larinya dan secara tiba-tiba berbalik menghadapi pengejarnya. Ia berjalan mendekati laki-laki itu yang saat ini terlihat sedang mengatur pernafasannya. Raya berani melakukan ini setelah ia melihat ada beberapa orang disekitar minimarket yang tengah mengakses wifi ataupun hanya sekedar nongkrong. Paling tidak jika terjadi sesuatu padanya, teriakannya akan mudah didengar dan memicu orang-orang disekitarnya segera datang menolongnya dalam hitungan detik. Ia akan aman. Ia yakin tidak akan terjadi apa-apa padanya.
“Siapa kau? Kenapa kau mengikutiku?” tanya Raya frontal.
Dan seperti tadi, alih-alih menjawab pertanyaannya, laki-laki itu hanya menatapnya. Memandang langsung ke dalam matanya. Lama.
Raya mengerutkan keningnya. Benar-benar situasi yang aneh. Tapi satu pikiran mendadak terlintas di benaknya. Jangan bilang…
“Apa itu kau?” tanya Raya lagi.
Laki-laki itu maju selangkah. Cahaya lampu menyinari sosoknya yang mulai terlihat jelas.
“Kau sudah mengenaliku?”
Mata Raya terbelalak mengenali suara laki-laki di depannya itu. Sialan. Bagaimana bisa dia mengetahui rahasia besarnya dengan begitu mudah seperti ini?
*****
Seorang wanita paruh baya tersenyum mengetahui siapa tamu yang tengah datang berkunjung dan menunggunya di ruang tamu.“Raya!”Raya mendongak, tersenyum melihat orang yang ia tunggu. Ia bergegas berdiri dari tempat duduknya dan memeluk wanita paruh baya itu.“Bagaimana kabar ibu? Ibu sehat?” tanya Raya sembari melepas pelukannya.“Ibu baik dan sehat. Bagaimana kabarmu?” tanya Bu Ranti balik.Bu Ranti adalah pengasuh sekaligus kepala panti asuhan tempat Raya dulu tinggal. Ia juga yang mendirikan panti asuhan itu di tanah yang ia warisi dari orang tuanya. Bagi Raya, Bu Ranti adalah sosok pengganti ibu yang tidak pernah ia miliki. Jadi bahkan setelah ia keluar dari panti dan mendapat pek
Raya menghela nafasnya pelan. Pekerjaannya hari ini benar-benar melelahkan. Jika ia tidak menyelesaikannya sedikit lebih cepat, ia mungkin sudah kehilangan kereta terakhir. Untung saja ia masih sempat menaiki kereta tersebut sebelum benar-benar berangkat. “Si bos tidak berperasaan itu benar-benar keterlaluan. Apa ia sengaja membuatku sangat sibuk hingga membuatku ingin resign setiap hari?” gerutu Raya. Raya menutup matanya sejenak, berusaha mengusir rasa kantuk dan lelahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar tetap terbuka. Tapi sepertinya ia terlalu lelah hari ini. Ia melirik jam tangannya. Masih ada 15 menit sampai kereta berhenti di stasiun yang ia tuju. Mungkin tidur sebentar tidak akan apa-apa. Rasanya baru saja ia memejamkan mata, Raya tersentak bangun. Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya berdiri t
“Kau sudah menyelesaikan S3 juga disini, apalagi alasan yang akan kau buat agar kau tidak pulang kali ini?”Rama menghela nafas jengah. Selalu saja seperti ini. Kakaknya, Rangga, akan datang mengunjunginya di London dan memintanya pulang.“Jangan memberiku alasan lagi, Rama. Aku sudah cukup menolerir alasan pendidikanmu selama ini. Tapi sekarang kau sudah lulus. Sudah waktunya kau kembali dan membantuku mengurus perusahaan. Bukankah itu impianmu sejak dulu? Meneruskan perusahaan yang Papa bangun?”Rama memilih tidak menjawab. Memang benar itu mimpinya sejak dulu. Tapi itu dulu dan bukan sekarang. Apa ia tidak bisa memiliki mimpi yang berbeda sekarang?“Kau tidak akan menjawabku?”“Ast
“Apa dokter sudah menunggu lama?” tanya Raya dalam bahasa Inggris yang fasih sembari duduk di kursi di depan laki-laki tampan yang tengah tersenyum menatapnya.“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar 30 menit sebelum kau datang dan berjalan mondar-mandir di depanku dengan kepala yang berputar sibuk,” jawab Alex sarkas bermaksud bercanda.Raya tersenyum kecut. “Maafkan aku. Aku harusnya langsung menelpon anda begitu sampai di bandara.”Alx tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sebenarnya juga bisa langsung menelponmu begitu melihatmu, tapi tidak kulakukan. Ternyata menyenangkan juga melihatmu agak panik seperti itu.”Raya menyipitkan matanya. Jadi, dokter ini sengaja mengerjainya rupanya.
Raya menegakkan tubuhnya kembali setelah diam-diam membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya yang besar pada Alex. Saat Alex sudah menghilang dari pandangannya, Raya bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke kantornya. Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi seperti yang ia janjikan pada Nino. Itu waktu yang cukup untuk perjalanan kembali ke kantor jika ia menemukan taksi sekarang. Ia mengecek ponsel yang sedari tadi ia bisukan, berniat menghubungi Nino untuk memberitahunya. Tapi ternyata ada sebuah pesan masuk dari laki-laki itu sedari tadi. Nino Ray, Recruiting Director ingin bertemu denganmu. Katanya ia bahkan mencarimu sebelum makan siang selesai. Ia bilang kau harus langsung menemuinya begitu urusanmu selesai dan kembali ke kantor. Dahi Raya menge
Rama menyeret kopernya dari pintu kedatangan luar negeri. Ia mengaktifkan ponselnya yang ia matikan sejak berangkat dari London. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi bersamaan dengan beberapa pesan masuk dari kakaknya. Rangga Kapan kau pulang? Rangga Kau mulai masuk kerja minggu depan. Cepat kembali! Rangga Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengingkari yang satu ini. Rangga Aku memasukkanmu di tim yang dibawahi langsung olehku. Rangga Oi adik durhaka! Kau menghilang kemana? Balas pesanku!
Hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Tapi kali ini Rama sama sekali tidak mengeluh. Ia bahkan terlihat senang karena itu. Sejak kejadian ia melihat seorang gadis meninggalkan payungnya demi kucing-kucing yang tengah kehujanan kala itu–meskipun keesokan harinya kucing-kucing itu sudah menghilang bersama payung si gadis–ia dengan anehnya selalu melihat gadis itu hanya saat hujan turun. Dan entah bagaimana, ia tidak pernah sekalipun melihat gadis itu lewat di depan sekolahnya ketika cuaca terlihat bagus dengan matahari bersinar hangat. Karena itu tanpa sadar Rama selalu menanti kemunculan gadis itu saat hujan turun. Dari lantai 2 depan kelasnya, Rama bisa melihat beberapa temannya pulang menerobos hujan seperti biasanya. Tapi ia sama sekali belum ingin beranjak. Roy, sahabatnya, melihat Rama dengan heran. Ia tidak pernah sekalipun melihat laki-laki itu tersenyum saat hujan turun. Rama bahkan
Rama menghentikan laju sepedanya. Hari ini sekolahnya pulang lebih awal. Sejak Roy mengatakan dimana si gadis hujan–itu julukan yang Rama beri padanya karena sampai sekarang ia belum tahu nama gadis itu ditambah dengan ia yang selalu melihat gadis itu saat hujan–bersekolah, ia sudah sangat ingin datang sendiri untuk melihat apakah informasi yang Roy katakan saat itu benar atau tidak.Tidak. Bukan itu. Sebenarnya ia hanya ingin melihat gadis itu lagi saat ia punya kesempatan.Sekolah SMA K tampak lengang. Sepertinya jam pelajaran masih berlangsung. Rama melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sampai waktunya pulang sekolah. Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya di dekat sekolah di tempat yang tidak terlalu mencolok untuk mengamati gadis itu.Ia hanya akan