Raya menghela nafasnya pelan. Pekerjaannya hari ini benar-benar melelahkan. Jika ia tidak menyelesaikannya sedikit lebih cepat, ia mungkin sudah kehilangan kereta terakhir. Untung saja ia masih sempat menaiki kereta tersebut sebelum benar-benar berangkat.
“Si bos tidak berperasaan itu benar-benar keterlaluan. Apa ia sengaja membuatku sangat sibuk hingga membuatku ingin resign setiap hari?” gerutu Raya.
Raya menutup matanya sejenak, berusaha mengusir rasa kantuk dan lelahnya. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar tetap terbuka. Tapi sepertinya ia terlalu lelah hari ini. Ia melirik jam tangannya. Masih ada 15 menit sampai kereta berhenti di stasiun yang ia tuju. Mungkin tidur sebentar tidak akan apa-apa.
Rasanya baru saja ia memejamkan mata, Raya tersentak bangun. Seorang laki-laki yang duduk di sebelahnya berdiri tiba-tiba. Sepertinya tanpa sengaja kepala Raya bersandar pada laki-laki itu saat ia tertidur yang membuat laki-laki itu merasa tidak nyaman dan berdiri menjauhinya. Raya yang masih merasa sedikit pusing karena bangun dengan tiba-tiba mencoba menyadarkan dirinya. Ia sedikit membungkuk dan minta maaf karena membuat laki-laki itu tidak nyaman.
Tak lama, terdengar pengumuman bahwa kereta yang ia tumpangi akan sampai stasiun dekat tempat tinggalnya.
“Untunglah aku tidak ketiduran dan melewatkan stasiun ini,” kata Raya bersyukur. Meskipun ia bangun dengan cara yang tidak ia pikirkan, Raya bisa bangun tepat waktu. Kalau saja laki-laki itu tidak berdiri tiba-tiba dan membangunkannnya, bisa-bisa ia akan tertidur sampai stasiun terakhir saat tengah malam dan harus naik taksi berputar arah menuju tempat tinggalnya.
Raya berdiri. Bersiap keluar dari kereta. Ia mengecek barang bawaannya agar tidak ada yang tertinggal, menyisir sedikit rambutnya dan menata pakaiannya yang agak kusut dengan bantuan pantulan kaca jendela kereta yang berlatar belakang pemandangan malam.
Ketika kereta berhenti, Raya keluar dengan cepat. Ia berjalan keluar stasiun dengan mudah. Jarak antara stasiun dan tempat tinggalnya hanya berjarak 10 menit jalan kaki. Tempat yang cocok dan strategis untuk dirinya yang menginginkan tempat tinggal murah namun tidak jauh dari transportasi umum. Sedangkan tempat kerjanya yang berada di tengah-tengah kota tidak memungkinkannya mendapat tempat tinggal yang sesuai dengan dana yang ia anggarkan.
Raya berbelok ke minimarket 24 jam dekat tempat tinggalnya. Saat ini ia sangat lelah dan kelaparan. Ia tidak akan sanggup untuk memasak apapun saat sampai nanti. Ia lebih memilih langsung mandi lalu tidur di kasurnya yang empuk. Tapi mengingat tidak ada apapun di kulkasnya untuk dimakan besok pagi, ia membeli 2 potong sandwich, beberapa bungkus mie instan, kopi bubuk dan sekotak besar susu. Cukup untuknya dimakan malam ini dan untuk sarapan besok.
Setelah menyapa satpam yang menjaga tempat tinggalnya, Raya menaiki tangga ke lantai 3. Tempat tinggalnya sekarang semacam apartemen yang tidak terlalu mewah tapi cukup untuknya tinggal sendiri. Sudah dilengkapi dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu sekaligus ruang bersantai kecil. Bahkan terpasang satu AC juga di kamarnya. Cukup untuk mengatasi hawa panas daerah perkotaan, meskipun tidak sepanas tengah kota.
“Aku pulang.”
Sudah kebiasaan bagi Raya untuk mengatakan hal itu saat masuk ke apartemennya meskipun ia tahu tidak akan ada yang menjawabnya. Ia berjalan menuju ke arah dapur, menata barang belanjaan di kulkas dan masuk ke kamarnya. Ia langsung menjatuhkan dirinya diatas kasur. Menghirup aroma familiar yang selalu ia cium. Ia menolehkan kepalanya ke arah nakas. Memandang fotonya bersama Alya.
“Hai, Al. Aku pulang. Melelahkan sekali hari ini. Terlalu banyak laporan yang harus kukerjakan. Bagaimana denganmu? Apa harimu berjalan baik? Ah, kau pasti sedang bersenang-senang disana kan? Apa kau bertemu laki-laki ganteng disana? Pasti begitu! Menyenangkan sekali. Sedangkan aku disini harus berkutat menjadi budak bos perusahaan demi gaji,” Raya tertawa kecil. “Dan tahun ini aku sudah menginjak 27 tahun. Tapi melihatmu sekarang, sepertinya kau tetap tidak bertambah tua ya? Sepertinya wajahmu memang tipe yang awet muda. Atau itu hanya karena baju seragam yang kau pakai?”
Foto yang ia pandangi saat ini adalah fotonya bersama Alya yang tengah memakai baju seragam SMA. Raya mendapatkannya dari Bu Ranti yang berharap itu bisa membantunya mengingat sesuatu. Tapi bagaimana ia bisa mengingat sesuatu ketika ia bahkan tidak bisa mengenali yang mana dirinya sendiri di foto itu jika bukan karena nama yang tertera di seragamnya? Raya menghela nafas. Ia sungguh berharap Bu Ranti tidak banyak berharap pada ingatan masa lalunya yang tak kunjung kembali.
Ia kembali mengobrol dengan foto Alya.
“Hei, Al. Apa kau tidak mau mengirimkan satu laki-laki untukku? Aku sedang kesulitan disini. Sepertinya tidak ada laki-laki yang bisa menerima keadaanku. Mungkin itu kesalahanku sendiri yang tidak mengatakan apapun pada laki-laki manapun,” Raya terkekeh. “Bahkan kalaupun ada yang tahu, aku tidak yakin akan ada yang benar-benar menerimaku. Yah... meskipun hal itu bisa dimengerti. Pasti sangat menyakitkan memiliki kekasih yang tidak bisa mengenalimu bahkan ketika kau berdiri di depannya, bukan?” kata Raya lirih. “Tapi yang lebih menyakitkannya lagi, jika seumpama dia tidak mempercayai rasa sukaku padanya hanya karena aku tidak bisa mengenalinya dimanapun. Tapi itu kan bukan salahku...”
Raya termenung. Ia menghela nafas pelan.
“Aku selalu bertanya-tanya bagaimana rasanya jika kau benar-benar ada disini sekarang, Al. Apa segalanya akan berbeda untukku? Apa kita akan tetap akur layaknya saudara seperti apa yang selalu Bu Ranti ceritakan? Entahlah... Imajinasi terliarku pun tidak bisa mencapai pemikiran itu. Tapi setelah 10 tahun berlalu, aku belum bisa mengingat apapun. Aku tidak bisa mengingat bagaimana diriku dulu, apalagi mengingatmu.”
“Disamping itu, aku juga terlalu takut membaca buku harian yang Bu Ranti temukan. Buku harian itu rasanya seperti kotak pandora bagiku. Aku takut aku mungkin akan menemukan hal-hal yang lebih baik tidak kuingat. Aku takut aku mungkin akan merasa bersalah karena tidak bisa mengingatmu bahkan setelah selesai membaca buku harian itu. Aku takut aku akan menyesal setelah mengetahui semuanya. Tapi disisi lain, Al, aku juga penasaran bagaimana hidupku dulu? Bagaimana kita dulu? Meskipun Bu Ranti sudah sangat sering bercerita tentangmu, aku yakin di buku itu juga banyak hal-hal yang mungkin Bu Ranti tidak tahu dan hanya kita berdua yang tahu.”
Raya kembali menatap bingkai fotonya dan Alya.
“Kalau kau jadi aku, Al, apa yang akan kau lakukan? Melanjutkan hidupmu yang mulai terasa nyaman sekarang atau menggali masa lalu yang mungkin bisa menyakitimu?”
Hening. Tidak ada jawaban. Tidak ada lagi suara. Raya tenggelam dalam pikirannya.
Menolak tenggelam lebih dalam, Raya bangkit. Ia melepaskan semua pakaian kerjanya, memakai bathrobe dan pergi mandi. Ia kemudian pergi ke pantry, mengeluarkan susu dan sandwich yang ia beli tadi dan mulai menikmatinya.
Tak lama, ponselnya yang ia charge di dalam kamar berbunyi.
Nino
Raya mengangkat satu alisnya. Kenapa hampir tengah malam begini Nino menelponnya?
“Halo.”
Suara diseberang sana menjawab, “Bu Raya, barusan saya mengirim laporan pemasaran bulan ini. Karena satu hal, Vice Director meminta laporannya diberikan besok sebelum ia pergi ke London.”
“Apa? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”
“Maafkan saya, bu. Sekretaris Vice Director juga baru memberitahu saya tadi. Karena itu saya langsung menyiapkan bahan-bahannya dan mengirimnya ke e-mail ibu.”
Raya menggerutu dengan jengkel. Laki-laki itu! Untung gaji yang didapatkannya sebanding, karena kalau tidak mungkin ia sudah mengundurkan diri dari perusahaan itu sejak lama.
“Oke. Terimakasih atas kerja kerasnya. Dan tolong, Nino! Jangan memanggilku dengan sebutan “bu” atau menggunakan bahasa yang terlalu formal padaku. Demi Tuhan! Kau itu lebih tua 2 tahun dariku, Nino!”
Nino terkekeh, “Hehe, maaf bu kebiasan. Ups... maksudku Raya.”
Raya menutup telponnya. Ia menggerutu keras, “dasar si bos resek. Apa dia baru akan berhenti memberiku pekerjaan lembur jika aku memutuskan resign?”
Mau tidak mau Raya memaksakan dirinya bergerak. Ia mengambil tempat di atas kasurnya, meraih laptop dan dengan segera memeriksa kotak masuk e-mail kerjanya. Jam diatas nakasnya menunjukkan pukul 11.40 malam.
Ia melirik foto di samping jam tadi.
“Kau mau menemaniku begadang lagi, Al?”
*****
“Kau sudah menyelesaikan S3 juga disini, apalagi alasan yang akan kau buat agar kau tidak pulang kali ini?”Rama menghela nafas jengah. Selalu saja seperti ini. Kakaknya, Rangga, akan datang mengunjunginya di London dan memintanya pulang.“Jangan memberiku alasan lagi, Rama. Aku sudah cukup menolerir alasan pendidikanmu selama ini. Tapi sekarang kau sudah lulus. Sudah waktunya kau kembali dan membantuku mengurus perusahaan. Bukankah itu impianmu sejak dulu? Meneruskan perusahaan yang Papa bangun?”Rama memilih tidak menjawab. Memang benar itu mimpinya sejak dulu. Tapi itu dulu dan bukan sekarang. Apa ia tidak bisa memiliki mimpi yang berbeda sekarang?“Kau tidak akan menjawabku?”“Ast
“Apa dokter sudah menunggu lama?” tanya Raya dalam bahasa Inggris yang fasih sembari duduk di kursi di depan laki-laki tampan yang tengah tersenyum menatapnya.“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar 30 menit sebelum kau datang dan berjalan mondar-mandir di depanku dengan kepala yang berputar sibuk,” jawab Alex sarkas bermaksud bercanda.Raya tersenyum kecut. “Maafkan aku. Aku harusnya langsung menelpon anda begitu sampai di bandara.”Alx tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sebenarnya juga bisa langsung menelponmu begitu melihatmu, tapi tidak kulakukan. Ternyata menyenangkan juga melihatmu agak panik seperti itu.”Raya menyipitkan matanya. Jadi, dokter ini sengaja mengerjainya rupanya.
Raya menegakkan tubuhnya kembali setelah diam-diam membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya yang besar pada Alex. Saat Alex sudah menghilang dari pandangannya, Raya bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke kantornya. Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi seperti yang ia janjikan pada Nino. Itu waktu yang cukup untuk perjalanan kembali ke kantor jika ia menemukan taksi sekarang. Ia mengecek ponsel yang sedari tadi ia bisukan, berniat menghubungi Nino untuk memberitahunya. Tapi ternyata ada sebuah pesan masuk dari laki-laki itu sedari tadi. Nino Ray, Recruiting Director ingin bertemu denganmu. Katanya ia bahkan mencarimu sebelum makan siang selesai. Ia bilang kau harus langsung menemuinya begitu urusanmu selesai dan kembali ke kantor. Dahi Raya menge
Rama menyeret kopernya dari pintu kedatangan luar negeri. Ia mengaktifkan ponselnya yang ia matikan sejak berangkat dari London. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi bersamaan dengan beberapa pesan masuk dari kakaknya. Rangga Kapan kau pulang? Rangga Kau mulai masuk kerja minggu depan. Cepat kembali! Rangga Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengingkari yang satu ini. Rangga Aku memasukkanmu di tim yang dibawahi langsung olehku. Rangga Oi adik durhaka! Kau menghilang kemana? Balas pesanku!
Hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Tapi kali ini Rama sama sekali tidak mengeluh. Ia bahkan terlihat senang karena itu. Sejak kejadian ia melihat seorang gadis meninggalkan payungnya demi kucing-kucing yang tengah kehujanan kala itu–meskipun keesokan harinya kucing-kucing itu sudah menghilang bersama payung si gadis–ia dengan anehnya selalu melihat gadis itu hanya saat hujan turun. Dan entah bagaimana, ia tidak pernah sekalipun melihat gadis itu lewat di depan sekolahnya ketika cuaca terlihat bagus dengan matahari bersinar hangat. Karena itu tanpa sadar Rama selalu menanti kemunculan gadis itu saat hujan turun. Dari lantai 2 depan kelasnya, Rama bisa melihat beberapa temannya pulang menerobos hujan seperti biasanya. Tapi ia sama sekali belum ingin beranjak. Roy, sahabatnya, melihat Rama dengan heran. Ia tidak pernah sekalipun melihat laki-laki itu tersenyum saat hujan turun. Rama bahkan
Rama menghentikan laju sepedanya. Hari ini sekolahnya pulang lebih awal. Sejak Roy mengatakan dimana si gadis hujan–itu julukan yang Rama beri padanya karena sampai sekarang ia belum tahu nama gadis itu ditambah dengan ia yang selalu melihat gadis itu saat hujan–bersekolah, ia sudah sangat ingin datang sendiri untuk melihat apakah informasi yang Roy katakan saat itu benar atau tidak.Tidak. Bukan itu. Sebenarnya ia hanya ingin melihat gadis itu lagi saat ia punya kesempatan.Sekolah SMA K tampak lengang. Sepertinya jam pelajaran masih berlangsung. Rama melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sampai waktunya pulang sekolah. Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya di dekat sekolah di tempat yang tidak terlalu mencolok untuk mengamati gadis itu.Ia hanya akan
Dan sekali lagi, Rama mengunjungi sekolah si gadis hujan. Kali ini dengan memastikan bahwa Roy tidak akan menyusulnya seperti kali terakhir. Ia tidak bisa membiarkan temannya yang playboy itu mengambil kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi sepertinya Roy benar-benar tertarik dengan gadis itu mengingat akhir-akhir ini dia terus-terusan merecoki Rama dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gadis itu. Membuat Rama sempat beberapa kali benar-benar jengkel padanya. Tapi sayang sekali, saat ia sampai disana, halaman sekolah SMA K sudah terlihat kosong. Hanya tinggal beberapa anak yang tinggal dan mondar-mandir di sekitar tempat itu. Rama turun dari sepedanya. Menuntunnya perlahan melewati gerbang sekolah itu dan melihat keadaan sembari berharap ia akan bertemu dengan si gadis hujan. Namun tidak ada tanda-tanda ga
Hai... terima kasih sudah membaca tulisanku. Karena beberapa hal, aku memutuskan merevisi naskah ini agar bisa lebih enak dibaca. Jadi jika kalian sudah pernah membaca bab-bab yang pernah kupublish sebelum di revisi, kuharap kalian tidak keberatan membaca ulang hehe.Jadi untuk menghabiskan waktu selagi aku merevisi naskah ini, kalian bisa membaca tulisanku yang lain yang berjudul "Tantangan untuk Si Pelakor".Ada Vanessa dengan hobi yang suka merusak hubungan orang dan Viktor yang mencoba membuatnya berubah. Cus kunjungi aja... Aku yakin ceritanya tidak kalah menarik dengan yang lain.Jadi sampai ketemu beberapa hari lagi dengan Versi Gadis Setengah Buta yang lebih baik!See you...