Share

[4]. Sampai Jumpa

“Apa dokter sudah menunggu lama?” tanya Raya dalam bahasa Inggris yang fasih sembari duduk di kursi di depan laki-laki tampan yang tengah tersenyum menatapnya.

“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar 30 menit sebelum kau datang dan berjalan mondar-mandir di depanku dengan kepala yang berputar sibuk,” jawab Alex sarkas bermaksud bercanda.

Raya tersenyum kecut. “Maafkan aku. Aku harusnya langsung menelpon anda begitu sampai di bandara.”

Alx tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sebenarnya juga bisa langsung menelponmu begitu melihatmu, tapi tidak kulakukan. Ternyata menyenangkan juga melihatmu agak panik seperti itu.”

Raya menyipitkan matanya. Jadi, dokter ini sengaja mengerjainya rupanya.

“Hobi dokter tidak berubah ya? Senang sekali membuat orang kelimpungan.”

“Tentu saja,” jawab Alex ringan. “Dan bisa jangan memanggilku dokter ketika aku sedang tidak menjalankan perawatan apapun sekarang? Entah bagaimana kau membuatku terdengar lebih tua saat menyebutku dokter,” pinta Alex. “ Oh ya, kau mau kupesankan kopi?” tambahnya menawarkan.

Raya mengucapkan kata maaf mendengar permintaan Alex. Sama sepertinya yang tidak nyaman dipanggil bu oleh Nino, Alex juga tidak suka dipanggil dok saat ia tidak sedang merawat seseorang. Bagi Alex itu hanya sebutan formal yang hanya bisa diucapkan saat ia berada di kantor. Selain itu ia akan menolaknya.

Raya memeriksa jam tangannya. “Bukannya anda sedang terburu-buru? Anda harusnya sudah boarding sekarang, kan?”

Alex menunjuk papan informasi digital. “Sepertinya penerbanganku sedikit tertunda hari ini.”

Oh my. Negaraku,” keluh Raya dengan memutar matanya. Negara tempat tinggalnya memang sedikit memiliki budaya telat dalam urusan apapun. Dan saking terbiasanya dengan hal itu, orang-orang sepertinya memiliki itu dalam darah dagingnya. Kecuali dia, tentu saja. Ia benci terlambat ataupun orang yang terlambat. “Harusnya aku tadi tidak langsung mencegat taksi dengan ganas dan mengejar anda seperti orang bodoh.”

“Apa kau bilang?” Alex mengacak-acak rambut Raya dengan gemas. “Kau mau sengaja terlambat kalau tau penerbanganku akan ditunda begitu?”

“Hei! Anda harus benar-benar menghilangkan kebiasaan buruk ini,” keluh Raya menyingkirkan tangan Alex dan menata rambutnya sebisanya. “Tentu saja. Aku bahkan meninggalkan makan siangku yang hampir utuh karena langsung mengejar anda.”

Alex terkekeh. “Kalau begitu kita harus makan siang dulu. Aku memang dokter tapi aku tidak mau direpotkan dengan seseorang yang jatuh pingsan karena belum makan siang.”

“Berlebihan sekali. Aku tidak akan pingsan hanya karena tidak makan siang sehari, tahu!” balas Raya.

Alex mengabaikan kata-kata Raya dan memesan makan siang untuk mereka berdua.

“Jadi, bagaimana?” tanya Alex langsung.

“Bagaimana apanya?”

“Kau. Dan memorimu.”

Raya menelan minuman di mulutnya dengan cepat lalu mengangkat kepalanya dan menatap Alex yang memandangnya dengan penuh perhatian. Ia kemudian menggeleng pelan.

“Tidak ada yang benar-benar bisa saya ingat,” kata Raya. “Saya sudah mengikuti saran anda. Saya mencoba mencari tahu bagaimana hidup saya yang dulu dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang katanya adalah kebiasaan-kebiasaan yang suka saya lakukan dulu. Saya bahkan sudah mulai terbiasa berbicara dengan sebuah foto sekarang. Berusaha membayangkan orang itu di depan saya dan membalas semua perkataan saya. Tapi sayang sekali, saya masih tidak bisa mengingat apapun sebelum ingatan ketika saya bangun setelah mengalami kecelakaan.”

Alex diam mendengarkan. 

“Sudah hampir 10 tahun sekarang. Dan saya mulai bertanya-tanya apakah kenangan saya selama 17 tahun hidup itu cukup baik atau tidak untuk diingat kembali.” Melihat pandangan Alex yang tertuju padanya, ia khawatir laki-laki itu salah paham dengan kata-katanya. “Ma-maksud saya, bukannya saya menyerah untuk mencari tahu. Saya hanya penasaran bagaimana jika masa lalu saya hanya berisi kenangan yang buruk, makanya otak saya memutuskan menghapusnya. Tapi semua orang di panti asuhan bilang, saya punya kenangan yang baik dengan anak bernama Alya.”

Suara Raya melirih dan akhirnya ia terdiam, sedikit melamun. Alex menatapnya cukup lama tanpa mengatakan apapun.

 “Kau sudah melakukan sebisamu, Raya. Kau harusnya bangga pada dirimu sendiri,” Alex tersenyum. “Tapi kupikir kau bukan orang yang mudah menyerah hanya karena itu kelihatan sulit.”

“Siapa yang bilang saya menyerah?” sela Raya cepat. “Saya bilang bukannya saya menyerah. Saya hanya bertanya-tanya apa kenangan saya cukup baik atau tidak. Itu saja.”

“Tapi kau terdengar seperti itu tadi,” kata Alex sembari menyeruput kopinya. 

Raya terdiam. Menyadari mungkin kata-katanya tadi sungguh terdengar seperti itu. Dan entah bagaimana keadaan menjadi cukup hening diantara mereka.

Dokter Alex adalah psikiater dari luar negeri yang Raya temui setahun belakangan ini. Bukan ia memiliki penyakit jiwa yang membutuhkan penanganan serius, ia hanya membutuhkan seseorang yang menguatkannya, mendengarkannya, dan memotivasinya agar terus berani menjalani kehidupan secara normal seperti semua orang yang menjalaninya. Dan dorongan-dorongan yang dilakukan dokter Alex mempengaruhinya sedemikian rupa sampai ia berani mengambil langkah menjadi ketua tim di divisinya seperti sekarang.

Lalu apa yang harus ia lakukan ketika dokter Alex kembali ke negaranya? Apa yang bisa ia lakukan ketika ia membutuhkan seseorang? Ia harus berlari kemana sekarang saat ia punya masalah? Ia yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan sejak kecil dan tidak memiliki seorangpun yang bisa ia ajak berbagi rahasia. Ia tidak bisa terus-terusan merepotkan Bu Ranti dengan segala hal yang terjadi di hidupnya. Beliau pasti sibuk mengurus masalah anak-anak yang tinggal di panti. Tapi ia juga tidak ingin mendatangi psikiater yang lain. Psikiater-psikiater yang ia datangi sebelumnya tidak memberikan kemajuan sebesar yang dokter Alex berikan padanya. Lalu apa yang bisa ia lakukan sekarang?

“Al…” panggil Raya ragu.

“Hmm?”

“Apa anda akan kembali kesini?”

Alex tertegun sejenak. Pandangan matanya terlihat ia sedang memikirkan apakah ia sebaiknya bicara jujur pada Raya atau tidak. Tidak membutuhkan waktu lama sampai ia memutuskan untuk tidak memberikan Raya harapan apapun. Termasuk harapan kosong sekalipun.

“Aku takut aku memang tidak bisa kembali lagi kemari. Yah… setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Karena sejak awal, kontrak kerja yang kutandatangani mengikatku di London. Lagipula aku datang ke negara ini memang bukan untuk menetap dalam jangka waktu lama, aku harus melakukan riset mendalam untuk kasus tertentu selama setahun. Dan aku harus benar-benar pulang sekarang.”

Melihat keterdiaman Raya, Alex menambahkan dengan ceria, “tenang saja! Kau masih bisa menghubungiku jika kau membutuhkanku kapanpun. Kita hidup di jaman teknologi berkembang pesat, bukan?”

Raya memaksakan senyumnya dan mengangguk pelan, berusaha menepis perasaan suram yang menjalar di hatinya saat ia tahu harus benar-benar melepaskan dokter yang selama ini merawatnya kali ini. Tak lama, panggilan boarding pesawat yang akan ditumpangi Alex terdengar.

“Sebaiknya aku segera masuk ke ruang tunggu sebelum kau dimarahi karena terlambat kembali ke kantor,” kata Alex.

Raya tertawa kecil, “Hati-hati, Al. Terima kasih untuk bantuan anda selama ini.”

Alex menerima uluran tangan Raya dan balas tersenyum. Tidak bisa menahan diri, ia memeluk Raya sejenak.

“Aku tahu seharusnya dokter tidak boleh memiliki perasaan pribadi pada pasiennya. Tapi kau sudah seperti adik yang tidak pernah kumiliki, Ray,” Alex melepaskan pelukannya dan mengacak sedikit rambut Raya lagi. “Aku tulus berharap kau akan menjalani hidup normal dan bahagia terlepas dari kau menemukan memorimu yang hilang atau tidak.”

Raya berdesis dan menggerutu, “Aish… Anda harus benar-benar menghilangkan kebiasaan jelek ini.”

Alex tertawa.

“Dan kuharap aku segera mendapat kabar baik tentang calon kakak iparku disana,” tambah Raya kemudian.

Alex tertawa lagi. Ia sudah terbiasa dengan Raya yang suka sekali menggodanya tentang hal ini meskipun saat ini ia belum memiliki kekasih. Ia punya firasat aneh kalau dia akan merindukan kebiasaan Raya yang satu ini.

“Kau juga harus menemukannya. Calon adik iparku. Aku pribadi menyukai adik ipar yang tampan, kaya dan menerimamu apa adanya.” 

Kali ini Raya yang tertawa. “Aku tidak tahu anda sangat menyukai uang sampai sebegitunya.”

“Tentu saja aku suka dengan uang. Apalagi jika jumlahnya banyak. Jika tidak, aku tidak akan memilih menjadi dokter saat aku muda.”

“Kalau begitu, aku akan saaangat berusaha menemukannya. Laki-laki tampan, kaya dan menerima keadaanku. Kemudian terbang ke London dan mengenalkannya pada anda.”

“Bagus sekali. Itu baru adikku,” kata Alex gemas dan berusaha mengacak rambut Raya tapi dihindari wanita itu dengan gesit. Ia mendengus kecil. “Kalau begitu lebih baik aku masuk sekarang. Sampai jumpa, Raya. Kau bebas menghubungiku kapan saja kecuali saat aku sedang bekerja atau tidur.”

Raya tersenyum dan mengangguk, “Sampai jumpa lagi, kak.”

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status