“Apa dokter sudah menunggu lama?” tanya Raya dalam bahasa Inggris yang fasih sembari duduk di kursi di depan laki-laki tampan yang tengah tersenyum menatapnya.
“Tidak juga. Aku baru sampai sekitar 30 menit sebelum kau datang dan berjalan mondar-mandir di depanku dengan kepala yang berputar sibuk,” jawab Alex sarkas bermaksud bercanda.
Raya tersenyum kecut. “Maafkan aku. Aku harusnya langsung menelpon anda begitu sampai di bandara.”
Alx tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sebenarnya juga bisa langsung menelponmu begitu melihatmu, tapi tidak kulakukan. Ternyata menyenangkan juga melihatmu agak panik seperti itu.”
Raya menyipitkan matanya. Jadi, dokter ini sengaja mengerjainya rupanya.
“Hobi dokter tidak berubah ya? Senang sekali membuat orang kelimpungan.”
“Tentu saja,” jawab Alex ringan. “Dan bisa jangan memanggilku dokter ketika aku sedang tidak menjalankan perawatan apapun sekarang? Entah bagaimana kau membuatku terdengar lebih tua saat menyebutku dokter,” pinta Alex. “ Oh ya, kau mau kupesankan kopi?” tambahnya menawarkan.
Raya mengucapkan kata maaf mendengar permintaan Alex. Sama sepertinya yang tidak nyaman dipanggil bu oleh Nino, Alex juga tidak suka dipanggil dok saat ia tidak sedang merawat seseorang. Bagi Alex itu hanya sebutan formal yang hanya bisa diucapkan saat ia berada di kantor. Selain itu ia akan menolaknya.
Raya memeriksa jam tangannya. “Bukannya anda sedang terburu-buru? Anda harusnya sudah boarding sekarang, kan?”
Alex menunjuk papan informasi digital. “Sepertinya penerbanganku sedikit tertunda hari ini.”
“Oh my. Negaraku,” keluh Raya dengan memutar matanya. Negara tempat tinggalnya memang sedikit memiliki budaya telat dalam urusan apapun. Dan saking terbiasanya dengan hal itu, orang-orang sepertinya memiliki itu dalam darah dagingnya. Kecuali dia, tentu saja. Ia benci terlambat ataupun orang yang terlambat. “Harusnya aku tadi tidak langsung mencegat taksi dengan ganas dan mengejar anda seperti orang bodoh.”
“Apa kau bilang?” Alex mengacak-acak rambut Raya dengan gemas. “Kau mau sengaja terlambat kalau tau penerbanganku akan ditunda begitu?”
“Hei! Anda harus benar-benar menghilangkan kebiasaan buruk ini,” keluh Raya menyingkirkan tangan Alex dan menata rambutnya sebisanya. “Tentu saja. Aku bahkan meninggalkan makan siangku yang hampir utuh karena langsung mengejar anda.”
Alex terkekeh. “Kalau begitu kita harus makan siang dulu. Aku memang dokter tapi aku tidak mau direpotkan dengan seseorang yang jatuh pingsan karena belum makan siang.”
“Berlebihan sekali. Aku tidak akan pingsan hanya karena tidak makan siang sehari, tahu!” balas Raya.
Alex mengabaikan kata-kata Raya dan memesan makan siang untuk mereka berdua.
“Jadi, bagaimana?” tanya Alex langsung.
“Bagaimana apanya?”
“Kau. Dan memorimu.”
Raya menelan minuman di mulutnya dengan cepat lalu mengangkat kepalanya dan menatap Alex yang memandangnya dengan penuh perhatian. Ia kemudian menggeleng pelan.
“Tidak ada yang benar-benar bisa saya ingat,” kata Raya. “Saya sudah mengikuti saran anda. Saya mencoba mencari tahu bagaimana hidup saya yang dulu dan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang katanya adalah kebiasaan-kebiasaan yang suka saya lakukan dulu. Saya bahkan sudah mulai terbiasa berbicara dengan sebuah foto sekarang. Berusaha membayangkan orang itu di depan saya dan membalas semua perkataan saya. Tapi sayang sekali, saya masih tidak bisa mengingat apapun sebelum ingatan ketika saya bangun setelah mengalami kecelakaan.”
Alex diam mendengarkan.
“Sudah hampir 10 tahun sekarang. Dan saya mulai bertanya-tanya apakah kenangan saya selama 17 tahun hidup itu cukup baik atau tidak untuk diingat kembali.” Melihat pandangan Alex yang tertuju padanya, ia khawatir laki-laki itu salah paham dengan kata-katanya. “Ma-maksud saya, bukannya saya menyerah untuk mencari tahu. Saya hanya penasaran bagaimana jika masa lalu saya hanya berisi kenangan yang buruk, makanya otak saya memutuskan menghapusnya. Tapi semua orang di panti asuhan bilang, saya punya kenangan yang baik dengan anak bernama Alya.”
Suara Raya melirih dan akhirnya ia terdiam, sedikit melamun. Alex menatapnya cukup lama tanpa mengatakan apapun.
“Kau sudah melakukan sebisamu, Raya. Kau harusnya bangga pada dirimu sendiri,” Alex tersenyum. “Tapi kupikir kau bukan orang yang mudah menyerah hanya karena itu kelihatan sulit.”
“Siapa yang bilang saya menyerah?” sela Raya cepat. “Saya bilang bukannya saya menyerah. Saya hanya bertanya-tanya apa kenangan saya cukup baik atau tidak. Itu saja.”
“Tapi kau terdengar seperti itu tadi,” kata Alex sembari menyeruput kopinya.
Raya terdiam. Menyadari mungkin kata-katanya tadi sungguh terdengar seperti itu. Dan entah bagaimana keadaan menjadi cukup hening diantara mereka.
Dokter Alex adalah psikiater dari luar negeri yang Raya temui setahun belakangan ini. Bukan ia memiliki penyakit jiwa yang membutuhkan penanganan serius, ia hanya membutuhkan seseorang yang menguatkannya, mendengarkannya, dan memotivasinya agar terus berani menjalani kehidupan secara normal seperti semua orang yang menjalaninya. Dan dorongan-dorongan yang dilakukan dokter Alex mempengaruhinya sedemikian rupa sampai ia berani mengambil langkah menjadi ketua tim di divisinya seperti sekarang.
Lalu apa yang harus ia lakukan ketika dokter Alex kembali ke negaranya? Apa yang bisa ia lakukan ketika ia membutuhkan seseorang? Ia harus berlari kemana sekarang saat ia punya masalah? Ia yatim piatu, dibesarkan di panti asuhan sejak kecil dan tidak memiliki seorangpun yang bisa ia ajak berbagi rahasia. Ia tidak bisa terus-terusan merepotkan Bu Ranti dengan segala hal yang terjadi di hidupnya. Beliau pasti sibuk mengurus masalah anak-anak yang tinggal di panti. Tapi ia juga tidak ingin mendatangi psikiater yang lain. Psikiater-psikiater yang ia datangi sebelumnya tidak memberikan kemajuan sebesar yang dokter Alex berikan padanya. Lalu apa yang bisa ia lakukan sekarang?
“Al…” panggil Raya ragu.
“Hmm?”
“Apa anda akan kembali kesini?”
Alex tertegun sejenak. Pandangan matanya terlihat ia sedang memikirkan apakah ia sebaiknya bicara jujur pada Raya atau tidak. Tidak membutuhkan waktu lama sampai ia memutuskan untuk tidak memberikan Raya harapan apapun. Termasuk harapan kosong sekalipun.
“Aku takut aku memang tidak bisa kembali lagi kemari. Yah… setidaknya tidak dalam waktu dekat ini. Karena sejak awal, kontrak kerja yang kutandatangani mengikatku di London. Lagipula aku datang ke negara ini memang bukan untuk menetap dalam jangka waktu lama, aku harus melakukan riset mendalam untuk kasus tertentu selama setahun. Dan aku harus benar-benar pulang sekarang.”
Melihat keterdiaman Raya, Alex menambahkan dengan ceria, “tenang saja! Kau masih bisa menghubungiku jika kau membutuhkanku kapanpun. Kita hidup di jaman teknologi berkembang pesat, bukan?”
Raya memaksakan senyumnya dan mengangguk pelan, berusaha menepis perasaan suram yang menjalar di hatinya saat ia tahu harus benar-benar melepaskan dokter yang selama ini merawatnya kali ini. Tak lama, panggilan boarding pesawat yang akan ditumpangi Alex terdengar.
“Sebaiknya aku segera masuk ke ruang tunggu sebelum kau dimarahi karena terlambat kembali ke kantor,” kata Alex.
Raya tertawa kecil, “Hati-hati, Al. Terima kasih untuk bantuan anda selama ini.”
Alex menerima uluran tangan Raya dan balas tersenyum. Tidak bisa menahan diri, ia memeluk Raya sejenak.
“Aku tahu seharusnya dokter tidak boleh memiliki perasaan pribadi pada pasiennya. Tapi kau sudah seperti adik yang tidak pernah kumiliki, Ray,” Alex melepaskan pelukannya dan mengacak sedikit rambut Raya lagi. “Aku tulus berharap kau akan menjalani hidup normal dan bahagia terlepas dari kau menemukan memorimu yang hilang atau tidak.”
Raya berdesis dan menggerutu, “Aish… Anda harus benar-benar menghilangkan kebiasaan jelek ini.”
Alex tertawa.
“Dan kuharap aku segera mendapat kabar baik tentang calon kakak iparku disana,” tambah Raya kemudian.
Alex tertawa lagi. Ia sudah terbiasa dengan Raya yang suka sekali menggodanya tentang hal ini meskipun saat ini ia belum memiliki kekasih. Ia punya firasat aneh kalau dia akan merindukan kebiasaan Raya yang satu ini.
“Kau juga harus menemukannya. Calon adik iparku. Aku pribadi menyukai adik ipar yang tampan, kaya dan menerimamu apa adanya.”
Kali ini Raya yang tertawa. “Aku tidak tahu anda sangat menyukai uang sampai sebegitunya.”
“Tentu saja aku suka dengan uang. Apalagi jika jumlahnya banyak. Jika tidak, aku tidak akan memilih menjadi dokter saat aku muda.”
“Kalau begitu, aku akan saaangat berusaha menemukannya. Laki-laki tampan, kaya dan menerima keadaanku. Kemudian terbang ke London dan mengenalkannya pada anda.”
“Bagus sekali. Itu baru adikku,” kata Alex gemas dan berusaha mengacak rambut Raya tapi dihindari wanita itu dengan gesit. Ia mendengus kecil. “Kalau begitu lebih baik aku masuk sekarang. Sampai jumpa, Raya. Kau bebas menghubungiku kapan saja kecuali saat aku sedang bekerja atau tidur.”
Raya tersenyum dan mengangguk, “Sampai jumpa lagi, kak.”
*****
Raya menegakkan tubuhnya kembali setelah diam-diam membungkuk untuk menunjukkan rasa hormatnya yang besar pada Alex. Saat Alex sudah menghilang dari pandangannya, Raya bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke kantornya. Ia mengecek jam tangannya. Masih ada waktu setengah jam lagi seperti yang ia janjikan pada Nino. Itu waktu yang cukup untuk perjalanan kembali ke kantor jika ia menemukan taksi sekarang. Ia mengecek ponsel yang sedari tadi ia bisukan, berniat menghubungi Nino untuk memberitahunya. Tapi ternyata ada sebuah pesan masuk dari laki-laki itu sedari tadi. Nino Ray, Recruiting Director ingin bertemu denganmu. Katanya ia bahkan mencarimu sebelum makan siang selesai. Ia bilang kau harus langsung menemuinya begitu urusanmu selesai dan kembali ke kantor. Dahi Raya menge
Rama menyeret kopernya dari pintu kedatangan luar negeri. Ia mengaktifkan ponselnya yang ia matikan sejak berangkat dari London. Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi bersamaan dengan beberapa pesan masuk dari kakaknya. Rangga Kapan kau pulang? Rangga Kau mulai masuk kerja minggu depan. Cepat kembali! Rangga Aku tidak akan memaafkanmu jika kau mengingkari yang satu ini. Rangga Aku memasukkanmu di tim yang dibawahi langsung olehku. Rangga Oi adik durhaka! Kau menghilang kemana? Balas pesanku!
Hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi. Tapi kali ini Rama sama sekali tidak mengeluh. Ia bahkan terlihat senang karena itu. Sejak kejadian ia melihat seorang gadis meninggalkan payungnya demi kucing-kucing yang tengah kehujanan kala itu–meskipun keesokan harinya kucing-kucing itu sudah menghilang bersama payung si gadis–ia dengan anehnya selalu melihat gadis itu hanya saat hujan turun. Dan entah bagaimana, ia tidak pernah sekalipun melihat gadis itu lewat di depan sekolahnya ketika cuaca terlihat bagus dengan matahari bersinar hangat. Karena itu tanpa sadar Rama selalu menanti kemunculan gadis itu saat hujan turun. Dari lantai 2 depan kelasnya, Rama bisa melihat beberapa temannya pulang menerobos hujan seperti biasanya. Tapi ia sama sekali belum ingin beranjak. Roy, sahabatnya, melihat Rama dengan heran. Ia tidak pernah sekalipun melihat laki-laki itu tersenyum saat hujan turun. Rama bahkan
Rama menghentikan laju sepedanya. Hari ini sekolahnya pulang lebih awal. Sejak Roy mengatakan dimana si gadis hujan–itu julukan yang Rama beri padanya karena sampai sekarang ia belum tahu nama gadis itu ditambah dengan ia yang selalu melihat gadis itu saat hujan–bersekolah, ia sudah sangat ingin datang sendiri untuk melihat apakah informasi yang Roy katakan saat itu benar atau tidak.Tidak. Bukan itu. Sebenarnya ia hanya ingin melihat gadis itu lagi saat ia punya kesempatan.Sekolah SMA K tampak lengang. Sepertinya jam pelajaran masih berlangsung. Rama melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam lagi sampai waktunya pulang sekolah. Ia memutuskan untuk memarkir sepedanya di dekat sekolah di tempat yang tidak terlalu mencolok untuk mengamati gadis itu.Ia hanya akan
Dan sekali lagi, Rama mengunjungi sekolah si gadis hujan. Kali ini dengan memastikan bahwa Roy tidak akan menyusulnya seperti kali terakhir. Ia tidak bisa membiarkan temannya yang playboy itu mengambil kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi sepertinya Roy benar-benar tertarik dengan gadis itu mengingat akhir-akhir ini dia terus-terusan merecoki Rama dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gadis itu. Membuat Rama sempat beberapa kali benar-benar jengkel padanya. Tapi sayang sekali, saat ia sampai disana, halaman sekolah SMA K sudah terlihat kosong. Hanya tinggal beberapa anak yang tinggal dan mondar-mandir di sekitar tempat itu. Rama turun dari sepedanya. Menuntunnya perlahan melewati gerbang sekolah itu dan melihat keadaan sembari berharap ia akan bertemu dengan si gadis hujan. Namun tidak ada tanda-tanda ga
Hai... terima kasih sudah membaca tulisanku. Karena beberapa hal, aku memutuskan merevisi naskah ini agar bisa lebih enak dibaca. Jadi jika kalian sudah pernah membaca bab-bab yang pernah kupublish sebelum di revisi, kuharap kalian tidak keberatan membaca ulang hehe.Jadi untuk menghabiskan waktu selagi aku merevisi naskah ini, kalian bisa membaca tulisanku yang lain yang berjudul "Tantangan untuk Si Pelakor".Ada Vanessa dengan hobi yang suka merusak hubungan orang dan Viktor yang mencoba membuatnya berubah. Cus kunjungi aja... Aku yakin ceritanya tidak kalah menarik dengan yang lain.Jadi sampai ketemu beberapa hari lagi dengan Versi Gadis Setengah Buta yang lebih baik!See you...
Raya mendengarkan musik melalui earphone-nya yang tersambung dengan ponselnya. Masih 10 menit lagi sampai MRT yang biasa ia tumpangi datang. Ia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan mulai membaca.Seseorang duduk disampingnya. Raya menoleh sedikit. Seorang laki-laki berambut panjang sebahu, memakai hoodie hitam dengan tudungnya menutupi kepala dan memakai celana jeans biru. Laki-laki itu juga menoleh padanya. Dengan cepat Raya memalingkan muka dan meneruskan kegiatannya membaca buku.Merasa diperhatikan, Raya menoleh ke arah laki-laki tadi. Laki-laki itu masih menatap ke arahnya.“Maaf, ada yang bisa saya bantu?” tanya Raya.Laki-laki itu tidak menjawab. Raya menunggu. Tapi laki-laki itu hanya menatap Raya dan tak lama kemudian mengalihkan pandangannya ke d
Seorang wanita paruh baya tersenyum mengetahui siapa tamu yang tengah datang berkunjung dan menunggunya di ruang tamu.“Raya!”Raya mendongak, tersenyum melihat orang yang ia tunggu. Ia bergegas berdiri dari tempat duduknya dan memeluk wanita paruh baya itu.“Bagaimana kabar ibu? Ibu sehat?” tanya Raya sembari melepas pelukannya.“Ibu baik dan sehat. Bagaimana kabarmu?” tanya Bu Ranti balik.Bu Ranti adalah pengasuh sekaligus kepala panti asuhan tempat Raya dulu tinggal. Ia juga yang mendirikan panti asuhan itu di tanah yang ia warisi dari orang tuanya. Bagi Raya, Bu Ranti adalah sosok pengganti ibu yang tidak pernah ia miliki. Jadi bahkan setelah ia keluar dari panti dan mendapat pek