Indira sedang dalam masa adaptasi dengan status barunya sebagai seorang istri. Tapi, setidaknya ia mulai terbiasa tidur seranjang bersama sang suami. Tentu saja dengan tumpukan bantal yang menjadi tembok pembatas di antara mereka. Indira selalu bangun lebih awal, bahkan ketika matahari belum sepenuhnya muncul ke permukaan. Gadis itu akan turun dari ranjang sebelum suaminya bangun, lalu berjalan meninggalkan lama sambil mengendap-endap agar tak menimbulkan suara. Langung pergi ke halaman belakang untuk menengok tanaman tomat dan cabainya yang mulai besar, serta membersihkan debu tipis yang menyelimuti daun-daun tanaman hias. Indira suka melihat dedaunan hijau saat pagi hari, apalagi jika ada tetesan embun yang menyelimuti permukaannya. Setidaknya, Indira tetap bisa menghirup udara segar meskipun tinggal di Ibukota yang sibuk dan penuh polusi. Gadis itu tersenyum kala menjumpai bunga pada tanaman tomatnya. Rupanya sudah mulai berbunga, tak lama lagi ia bisa menikmati tomat segar yan
Setelah sarapan, Edgar langsung masuk ke kamar mandi. Pagi ini ada janji bermain golf dengan beberapa kolega bisnis, sehingga tidak bisa menghabiskan waktu bersama sang istri. Bagaimana pun, menjalin relasi adalah hal yang sangat penting bagi seorang pimpinan perusahaan yang bertugas sebagai pengambil keputusan. Selagi Edgar berada di kamar mandi, Indira masuk ke walk-in closet. Membuka lemari, mengambil polo shirt berwarna putih dan celana panjang. Tak lupa, Indira juga menyiapkan jam tangan dan topi yang bisa dipakai oleh suaminya. Gadis itu memang tidak pandai memilih pakaian, tapi ingin tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri (menyiapkan makanan dan pakaian untuk suaminya). Seandainya Edgar tak suka dengan baju yang dipilihkan Indira, silakan mengambil baju lain dari dalam lemari. Toh, koleksi atasan dan celananya ada banyak sekali. Usai memilihkan pakaian, Indira berjalan meninggalkan kamar. Mengantisipasi agar tak melihat Edgar yang telanjang dada. Indira menuruni ta
Ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah, Edgar dikejutkan dengan kehadiran Stella. Edgar membeku di ambang pintu, tak menduga akan kembali bertemu dengan Stella yang menghilang tanpa jejak berbulan-bulan belakangan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa perempuan itu tiba-tiba datang sambil membawa sebuah koper?Stella berdiri, bergegas menghampiri Edgar dan memeluknya erat-erat. Rasa rindunya menggebu-gebu karena cukup lama Stella tak merasakan hangatnya sentuhan Edgar. Edgar terkejut luar bisa, apalagi detik berikutnya Indira datang sambil membawa mangkuk berisi buah-buahan. Tanpa pikir panjang, Edgar langsung mendorong tubuh Stella agar menjauh darinya. Stella tersentak saat pelukannya ditolak mentah-mentah. “Kenapa tiba-tiba datang ke sini?” tanya Edgar. Stella mengembuskan napas, kemudian berkata, “ada sedikit masalah di rumah, jadi aku mau nginep di sini selama beberapa hari. Boleh, kan?”“Pergi dari sini sekarang juga.”“Kenapa kamu jadi ketus begini, Ed? Kamu nggak kang
Stella pergi dengan air mata membasahi pipinya. Terlihat amat kecewa dengan fakta bahwa Edgar diam-diam telah menikah. Segala hal yang telah Stella lakukan bersama Edgar hanya menjadi kenangan-kenangan menyakitkan yang tak mungkin hilang begitu saja dari ingatan. Indira melihat segalanya, bagaimana Stella berteriak frustrasi ketika mendengar pengakuan Edgar soal status pernikahannya. Bahkan, Indira juga melihat tetes demi tetes air mata yang jatuh membasahi pipi kemerahan Stella. Percayalah, semua itu menghantui Indira layaknya bayang-bayang hitam yang merayap di dinding kamar ketika malam datang. Gadis itu hampir terbuai, tinggal selangkah lagi sampai benar-benar jatuh ke dalam pesona suaminya. Harusnya Indira tetap mempertahankan batasan yang jelas, cukup fokus menyusun rencana-rencana masa depannya sendiri. Tak perlu susah payah membuka hati dan melayani suami. Setelah lulus, Indira bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, lalu hidup mandiri dengan status baru sebagai seoran
Semalaman Edgar tak bisa terlelap. Otaknya berpikir keras, mencoba menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya saat ini. Kesalahan yang dilakukan di masa lalu akan tetap melekat, menjadi bagian dari diri Edgar. Tak bisa diubah. Edgar takut seandainya Indira memilih untuk mengajukan gugatan cerai. Berpisah dengan Indira adalah hal yang tak pernah Edgar bayangkan. Ia ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan benar, berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Tapi, di saat Edgar baru saja akan menyusun pondasi, tiba-tiba muncul gangguan hingga segalanya kembali kacau berantakan. Edgar mengembuskan napas, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Kamar terasa jauh lebih dingin dan hampa tanpa kehadiran Indira. Pagi hari terasa jauh lebih menyiksa, sebab Edgar harus menghadapi sikap dingin Indira. Edgar lekas berjalan menuju kamar mandi, menyalakan shower untuk mengguyur tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berharap segala beban yang ada di pundaknya
Sepulang kerja, Indira langsung pergi ke rumah Kiran. Belum ingin pulang, apalagi harus terjebak di dalam mobil yang sama dengan Edgar. Yang saat ini Indira butuhkan adalah sebuah ruang, agar ia bisa memikirkan langkah selanjutnya yang akan diambil. Ojek yang dinaiki Indira melaju di jalanan yang sangat padat, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan ketika langit mulai menggelap. Gadis itu segera turun dari sepeda motor sambil melepas helm, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver. “Indira?” gumam Kiran saat baru saja keluar dari rumah untuk membuang sampah. Agak terkejut dengan kehadiran Indira di depan rumah. Indira menyunggingkan seulas senyum di bibirnya, kemudian melepas alas kaki dan naik ke teras. Kiran terkekeh pelan, lalu bergegas membuang sampah ke dalam tong berwarna biru yang ada di depan rumah. “Ayo masuk, Ndi. Kebetulan rumah kosong, orang tuaku hari ini pergi ke Semarang,” kata Kiran sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Indira untuk masuk.
Edgar langsung pergi meninggalkan kantor setelah bicara dengan Indira melalui telepon. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah, menembus jalanan yang basah akibat hujan deras. Jantung Edgar berdegup kencang. Ia tak tahu kenapa Indira tiba-tiba minta dijemput padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh petang. Tapi, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Setibanya di tempat tujuan, tatapan Edgar tertuju ke arah Indira yang sedang berdiri di depan rumah sambil memegang sebuah payung. Indira segera melangkahkan kakinya, masuk ke dalam mobil dan melipat payungnya yang basah. “Nggak jadi nginep?” tanya Edgar, membuka pembicaraan di antara mereka. Indira merapikan helaian-helaian rambutnya yang sedikit basah, kemudian berkata, “saya lupa bawa baju ganti.” Edgar mengangguk, memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Laki-laki itu lantas kembali menyalakan mesin mobil, melajukannya memasuki jalan raya yang masih padat meskipun hujan kian menderas. Indira tak
Ezra mengerutkan kening ketika melihat Edgar dan Indira pulang bersama. Tiba-tiba kembali akrab, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal, baru tadi pagi Indira menghindari Edgar sampai tak mau diajak berangkat bersama. “Apa ini? Kalian baikan?” tanya Ezra. Indira hanya tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju kamar untuk segera mandi. Tubuhnya sudah terasa lengket akibat keringat, rambutnya juga sedikit basah karena terkena tetesan air hujan. Berendam di dalam bath tub setelah melewati hari yang cukup panjang adalah pilihan yang sangat tepat. Sementara itu, Edgar berjalan menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh.“Indira nggak marah lagi?” tanya Ezra sambil menyandarkan tubuhnya pada kulkas. Edgar tak menjawab, sibuk menuangkan air panas ke dalam cangkir. Dalam hitungan detik, uap beraroma teh mengepul ke udara. Ezra yang diabaikan hanya bisa menghela napas, kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar dan melanjutkan lukisannya. Bicara dengan Edgar hanya membuang-buang waktu.