Ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah, Edgar dikejutkan dengan kehadiran Stella. Edgar membeku di ambang pintu, tak menduga akan kembali bertemu dengan Stella yang menghilang tanpa jejak berbulan-bulan belakangan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa perempuan itu tiba-tiba datang sambil membawa sebuah koper?Stella berdiri, bergegas menghampiri Edgar dan memeluknya erat-erat. Rasa rindunya menggebu-gebu karena cukup lama Stella tak merasakan hangatnya sentuhan Edgar. Edgar terkejut luar bisa, apalagi detik berikutnya Indira datang sambil membawa mangkuk berisi buah-buahan. Tanpa pikir panjang, Edgar langsung mendorong tubuh Stella agar menjauh darinya. Stella tersentak saat pelukannya ditolak mentah-mentah. “Kenapa tiba-tiba datang ke sini?” tanya Edgar. Stella mengembuskan napas, kemudian berkata, “ada sedikit masalah di rumah, jadi aku mau nginep di sini selama beberapa hari. Boleh, kan?”“Pergi dari sini sekarang juga.”“Kenapa kamu jadi ketus begini, Ed? Kamu nggak kang
Stella pergi dengan air mata membasahi pipinya. Terlihat amat kecewa dengan fakta bahwa Edgar diam-diam telah menikah. Segala hal yang telah Stella lakukan bersama Edgar hanya menjadi kenangan-kenangan menyakitkan yang tak mungkin hilang begitu saja dari ingatan. Indira melihat segalanya, bagaimana Stella berteriak frustrasi ketika mendengar pengakuan Edgar soal status pernikahannya. Bahkan, Indira juga melihat tetes demi tetes air mata yang jatuh membasahi pipi kemerahan Stella. Percayalah, semua itu menghantui Indira layaknya bayang-bayang hitam yang merayap di dinding kamar ketika malam datang. Gadis itu hampir terbuai, tinggal selangkah lagi sampai benar-benar jatuh ke dalam pesona suaminya. Harusnya Indira tetap mempertahankan batasan yang jelas, cukup fokus menyusun rencana-rencana masa depannya sendiri. Tak perlu susah payah membuka hati dan melayani suami. Setelah lulus, Indira bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, lalu hidup mandiri dengan status baru sebagai seoran
Semalaman Edgar tak bisa terlelap. Otaknya berpikir keras, mencoba menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya saat ini. Kesalahan yang dilakukan di masa lalu akan tetap melekat, menjadi bagian dari diri Edgar. Tak bisa diubah. Edgar takut seandainya Indira memilih untuk mengajukan gugatan cerai. Berpisah dengan Indira adalah hal yang tak pernah Edgar bayangkan. Ia ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan benar, berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Tapi, di saat Edgar baru saja akan menyusun pondasi, tiba-tiba muncul gangguan hingga segalanya kembali kacau berantakan. Edgar mengembuskan napas, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Kamar terasa jauh lebih dingin dan hampa tanpa kehadiran Indira. Pagi hari terasa jauh lebih menyiksa, sebab Edgar harus menghadapi sikap dingin Indira. Edgar lekas berjalan menuju kamar mandi, menyalakan shower untuk mengguyur tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berharap segala beban yang ada di pundaknya
Sepulang kerja, Indira langsung pergi ke rumah Kiran. Belum ingin pulang, apalagi harus terjebak di dalam mobil yang sama dengan Edgar. Yang saat ini Indira butuhkan adalah sebuah ruang, agar ia bisa memikirkan langkah selanjutnya yang akan diambil. Ojek yang dinaiki Indira melaju di jalanan yang sangat padat, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan ketika langit mulai menggelap. Gadis itu segera turun dari sepeda motor sambil melepas helm, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver. “Indira?” gumam Kiran saat baru saja keluar dari rumah untuk membuang sampah. Agak terkejut dengan kehadiran Indira di depan rumah. Indira menyunggingkan seulas senyum di bibirnya, kemudian melepas alas kaki dan naik ke teras. Kiran terkekeh pelan, lalu bergegas membuang sampah ke dalam tong berwarna biru yang ada di depan rumah. “Ayo masuk, Ndi. Kebetulan rumah kosong, orang tuaku hari ini pergi ke Semarang,” kata Kiran sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Indira untuk masuk.
Edgar langsung pergi meninggalkan kantor setelah bicara dengan Indira melalui telepon. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah, menembus jalanan yang basah akibat hujan deras. Jantung Edgar berdegup kencang. Ia tak tahu kenapa Indira tiba-tiba minta dijemput padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh petang. Tapi, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Setibanya di tempat tujuan, tatapan Edgar tertuju ke arah Indira yang sedang berdiri di depan rumah sambil memegang sebuah payung. Indira segera melangkahkan kakinya, masuk ke dalam mobil dan melipat payungnya yang basah. “Nggak jadi nginep?” tanya Edgar, membuka pembicaraan di antara mereka. Indira merapikan helaian-helaian rambutnya yang sedikit basah, kemudian berkata, “saya lupa bawa baju ganti.” Edgar mengangguk, memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Laki-laki itu lantas kembali menyalakan mesin mobil, melajukannya memasuki jalan raya yang masih padat meskipun hujan kian menderas. Indira tak
Ezra mengerutkan kening ketika melihat Edgar dan Indira pulang bersama. Tiba-tiba kembali akrab, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal, baru tadi pagi Indira menghindari Edgar sampai tak mau diajak berangkat bersama. “Apa ini? Kalian baikan?” tanya Ezra. Indira hanya tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju kamar untuk segera mandi. Tubuhnya sudah terasa lengket akibat keringat, rambutnya juga sedikit basah karena terkena tetesan air hujan. Berendam di dalam bath tub setelah melewati hari yang cukup panjang adalah pilihan yang sangat tepat. Sementara itu, Edgar berjalan menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh.“Indira nggak marah lagi?” tanya Ezra sambil menyandarkan tubuhnya pada kulkas. Edgar tak menjawab, sibuk menuangkan air panas ke dalam cangkir. Dalam hitungan detik, uap beraroma teh mengepul ke udara. Ezra yang diabaikan hanya bisa menghela napas, kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar dan melanjutkan lukisannya. Bicara dengan Edgar hanya membuang-buang waktu.
Pagi ini akhirnya Edgar bisa kembali meminum secangkir kopi buatan sang istri. Laki-laki itu tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya, apalagi saat mengingat kembali apa yang terjadi di balkon tadi malam. Ia memang sudah berciuman dengan banyak perempuan, tapi entah bagaimana rasanya gugup luar biasa saat melakukannya dengan sang istri. Seperti remaja yang baru mendapatkan first kiss dari cinta pertamanya. Mungkin debaran yang hadir di dalam rongga dada adalah efek samping dari cinta, demikian pula dengan rasa gugupnya. Sebelumnya, Edgar tak pernah melibatkan cinta ketika berciuman dengan perempuan, hanya sekadar ingin bersentuhan untuk memuaskan hasratnya. “Kamu hari ini ada jadwal kelas, kan?” tanya Edgar di tengah acara sarapan. Indira mengangguk, “iya, nanti jam sebelas baru berangkat ke kantor.” “Pulangnya jam setengah lima?”“Iya, seperti biasa.” Edgar mengangguk, kemudian memperhatikan Indira yang sedang mengunyah makanan. Tatapannya secara otomatis tertuju pada bibir Ind
“Pak, ada satu gosip yang sedang ramai dibicarakan di sosial media. Nggak nyebut nama asli sih, tapi ini inisial dan deskripsinya merujuk ke Pak Edgar,” ujar Mila sambil menunjukkan tabletnya. Edgar pernah satu kali tersandung rumor kencan dengan seorang aktris papan atas, padahal mereka hanya bertemu di sebuah acara dan kebetulan saling bertukar obrolan ringan. Jujur, Edgar tak peduli soal rumor semacam itu, toh ia hanya diberitakan menjalin hubungan dengan seseorang, bukan tersandung kasus-kasus kriminal. Oleh sebab itu, Edgar hanya tertawa ketika mendengar ucapan Mila. Mengira kalau gosip yang dimaksud adalah tentang kedekatannya dengan seorang selebgram atau influencer. Tapi, Edgar seketika berhenti tertawa saat melihat foto-foto Indira tersebar luas di sosial media. “Pengusaha berinisial EPB diam-diam memiliki sugar baby,” gumam Mila, membaca postingan yang telah mendapat ribuan likes dan komentar. “Diam-diam berselingkuh dari kekasihnya demi seorang mahasiswi miskin yang gila