Stella pergi dengan air mata membasahi pipinya. Terlihat amat kecewa dengan fakta bahwa Edgar diam-diam telah menikah. Segala hal yang telah Stella lakukan bersama Edgar hanya menjadi kenangan-kenangan menyakitkan yang tak mungkin hilang begitu saja dari ingatan. Indira melihat segalanya, bagaimana Stella berteriak frustrasi ketika mendengar pengakuan Edgar soal status pernikahannya. Bahkan, Indira juga melihat tetes demi tetes air mata yang jatuh membasahi pipi kemerahan Stella. Percayalah, semua itu menghantui Indira layaknya bayang-bayang hitam yang merayap di dinding kamar ketika malam datang. Gadis itu hampir terbuai, tinggal selangkah lagi sampai benar-benar jatuh ke dalam pesona suaminya. Harusnya Indira tetap mempertahankan batasan yang jelas, cukup fokus menyusun rencana-rencana masa depannya sendiri. Tak perlu susah payah membuka hati dan melayani suami. Setelah lulus, Indira bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, lalu hidup mandiri dengan status baru sebagai seoran
Semalaman Edgar tak bisa terlelap. Otaknya berpikir keras, mencoba menemukan solusi dari masalah yang sedang dihadapinya saat ini. Kesalahan yang dilakukan di masa lalu akan tetap melekat, menjadi bagian dari diri Edgar. Tak bisa diubah. Edgar takut seandainya Indira memilih untuk mengajukan gugatan cerai. Berpisah dengan Indira adalah hal yang tak pernah Edgar bayangkan. Ia ingin menjalani kehidupan rumah tangga dengan benar, berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. Tapi, di saat Edgar baru saja akan menyusun pondasi, tiba-tiba muncul gangguan hingga segalanya kembali kacau berantakan. Edgar mengembuskan napas, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Kamar terasa jauh lebih dingin dan hampa tanpa kehadiran Indira. Pagi hari terasa jauh lebih menyiksa, sebab Edgar harus menghadapi sikap dingin Indira. Edgar lekas berjalan menuju kamar mandi, menyalakan shower untuk mengguyur tubuhnya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berharap segala beban yang ada di pundaknya
Sepulang kerja, Indira langsung pergi ke rumah Kiran. Belum ingin pulang, apalagi harus terjebak di dalam mobil yang sama dengan Edgar. Yang saat ini Indira butuhkan adalah sebuah ruang, agar ia bisa memikirkan langkah selanjutnya yang akan diambil. Ojek yang dinaiki Indira melaju di jalanan yang sangat padat, hingga akhirnya sampai di tempat tujuan ketika langit mulai menggelap. Gadis itu segera turun dari sepeda motor sambil melepas helm, kemudian menyerahkan sejumlah uang kepada sang driver. “Indira?” gumam Kiran saat baru saja keluar dari rumah untuk membuang sampah. Agak terkejut dengan kehadiran Indira di depan rumah. Indira menyunggingkan seulas senyum di bibirnya, kemudian melepas alas kaki dan naik ke teras. Kiran terkekeh pelan, lalu bergegas membuang sampah ke dalam tong berwarna biru yang ada di depan rumah. “Ayo masuk, Ndi. Kebetulan rumah kosong, orang tuaku hari ini pergi ke Semarang,” kata Kiran sambil membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan Indira untuk masuk.
Edgar langsung pergi meninggalkan kantor setelah bicara dengan Indira melalui telepon. Mengemudikan mobilnya dengan kecepatan rendah, menembus jalanan yang basah akibat hujan deras. Jantung Edgar berdegup kencang. Ia tak tahu kenapa Indira tiba-tiba minta dijemput padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah tujuh petang. Tapi, sepertinya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Setibanya di tempat tujuan, tatapan Edgar tertuju ke arah Indira yang sedang berdiri di depan rumah sambil memegang sebuah payung. Indira segera melangkahkan kakinya, masuk ke dalam mobil dan melipat payungnya yang basah. “Nggak jadi nginep?” tanya Edgar, membuka pembicaraan di antara mereka. Indira merapikan helaian-helaian rambutnya yang sedikit basah, kemudian berkata, “saya lupa bawa baju ganti.” Edgar mengangguk, memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Laki-laki itu lantas kembali menyalakan mesin mobil, melajukannya memasuki jalan raya yang masih padat meskipun hujan kian menderas. Indira tak
Ezra mengerutkan kening ketika melihat Edgar dan Indira pulang bersama. Tiba-tiba kembali akrab, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Padahal, baru tadi pagi Indira menghindari Edgar sampai tak mau diajak berangkat bersama. “Apa ini? Kalian baikan?” tanya Ezra. Indira hanya tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju kamar untuk segera mandi. Tubuhnya sudah terasa lengket akibat keringat, rambutnya juga sedikit basah karena terkena tetesan air hujan. Berendam di dalam bath tub setelah melewati hari yang cukup panjang adalah pilihan yang sangat tepat. Sementara itu, Edgar berjalan menuju dapur untuk menyeduh dua cangkir teh.“Indira nggak marah lagi?” tanya Ezra sambil menyandarkan tubuhnya pada kulkas. Edgar tak menjawab, sibuk menuangkan air panas ke dalam cangkir. Dalam hitungan detik, uap beraroma teh mengepul ke udara. Ezra yang diabaikan hanya bisa menghela napas, kemudian memutuskan untuk pergi ke kamar dan melanjutkan lukisannya. Bicara dengan Edgar hanya membuang-buang waktu.
Pagi ini akhirnya Edgar bisa kembali meminum secangkir kopi buatan sang istri. Laki-laki itu tak dapat menyembunyikan rasa bahagianya, apalagi saat mengingat kembali apa yang terjadi di balkon tadi malam. Ia memang sudah berciuman dengan banyak perempuan, tapi entah bagaimana rasanya gugup luar biasa saat melakukannya dengan sang istri. Seperti remaja yang baru mendapatkan first kiss dari cinta pertamanya. Mungkin debaran yang hadir di dalam rongga dada adalah efek samping dari cinta, demikian pula dengan rasa gugupnya. Sebelumnya, Edgar tak pernah melibatkan cinta ketika berciuman dengan perempuan, hanya sekadar ingin bersentuhan untuk memuaskan hasratnya. “Kamu hari ini ada jadwal kelas, kan?” tanya Edgar di tengah acara sarapan. Indira mengangguk, “iya, nanti jam sebelas baru berangkat ke kantor.” “Pulangnya jam setengah lima?”“Iya, seperti biasa.” Edgar mengangguk, kemudian memperhatikan Indira yang sedang mengunyah makanan. Tatapannya secara otomatis tertuju pada bibir Ind
“Pak, ada satu gosip yang sedang ramai dibicarakan di sosial media. Nggak nyebut nama asli sih, tapi ini inisial dan deskripsinya merujuk ke Pak Edgar,” ujar Mila sambil menunjukkan tabletnya. Edgar pernah satu kali tersandung rumor kencan dengan seorang aktris papan atas, padahal mereka hanya bertemu di sebuah acara dan kebetulan saling bertukar obrolan ringan. Jujur, Edgar tak peduli soal rumor semacam itu, toh ia hanya diberitakan menjalin hubungan dengan seseorang, bukan tersandung kasus-kasus kriminal. Oleh sebab itu, Edgar hanya tertawa ketika mendengar ucapan Mila. Mengira kalau gosip yang dimaksud adalah tentang kedekatannya dengan seorang selebgram atau influencer. Tapi, Edgar seketika berhenti tertawa saat melihat foto-foto Indira tersebar luas di sosial media. “Pengusaha berinisial EPB diam-diam memiliki sugar baby,” gumam Mila, membaca postingan yang telah mendapat ribuan likes dan komentar. “Diam-diam berselingkuh dari kekasihnya demi seorang mahasiswi miskin yang gila
Suasana kampus cukup riuh ketika Edgar baru saja tiba. Beberapa mahasiswa berlari tergopoh-gopoh menuju belakang Gedung C karena tak ingin ketinggalan pertunjukan menarik. “Valentine berantem sama Indira!”Itulah kalimat yang Edgar dengar saat baru saja turun dari mobil. Tanpa pikir panjang, laki-laki itu langsung berlari ke belakang Gedung C. Hatinya berselimut cemas, kepalanya terasa penuh seperti akan meledak. Indira benar-benar berkelahi dengan Valentine, sampai luka di sana-sini. Edgar yang panik langsung menembus kerumunan untuk segera menghentikan perkelahian sebelum menciptakan kerumunan yang lebih besar. “Stop! Jangan berkelahi di sini!” ucap Egdar. Indira langsung berhenti ketika mendengar suara suaminya. Gadis itu menoleh, menatap Edgar yang sudah berdiri di antara kerumunan mahasiswa. Bagaimana perasaan Indira saat ini? Tentu saja sangat malu dan marah, sebab perkelahiannya dengan Valentine ditonton oleh puluhan pasang mata. Setelah ini, gosip akan menyebar dengan leb
Setelah duabelas hari lamanya dirawat di NICU, akhirnya hari ini Kavi diperbolehkan untuk pulang. Duabelas hari belakangan Indira selalu overthinking, tak bisa tidur dengan nyenyak saat malam hari karena mengingat putranya yang masih di rumah sakit. Yang bisa Indira lakukan setiap harinya hanyalah berdoa, seraya memulihkan kondisi fisiknya. Rasanya masih seperti mimpi saat akhirnya Indira bisa memeluk Kavi. Bayi laki-laki itu masih sangat kecil dan rapuh, membuat Indira berselimut rasa takut ketika menggendongnya. Tapi, Indira cukup lega karena bisa menjaga dan merawat Kavi dalam jarak dekat. Kebahagiaan yang hadir di dalam hati Indira tak dapat diterjemahkan ke dalam kata-kata, terlebih saat mendengar suara tangisan Kavi. Meskipun lahir lebih cepat dari perkiraan, tapi Kavi cukup kuat dan mampu bertahan.“Mau pulang sekarang?” tanya Edgar. Indira menganggukkan kepala, “ayo pulang, Mas.” Mereka sama-sama tersenyum, kemudian berjalan meninggalkan NICU. Saling bersisian, sesekali b
Saat pertama kali melihat Kavi di NICU, Indira meneteskan air mata. Sebab bayinya begitu kecil, lemah, bahkan suara tangisannya juga tak terlalu keras. Lahir sebelum waktunya membuat berat badan Kavi hanya satu koma enam kilogram, perlu dirawat di inkubator dan mendapat pemantauan khusus dari dokter. Indira merasa bersalah, apalagi produksi ASI-nya tidak lancar. Hanya bisa memompa sebanyak sepuluh mililiter setiap harinya. Entah karena efek stress atau karena faktor lainnya. Setelah empat hari lamanya dirawat di rumah sakit, akhirnya Indira diperbolehkan untuk pulang. Agar fokus menjalani pemulihan di rumah. Sayangnya, Kavi belum bisa pulang karena masih memerlukan perawatan di NICU. Indira sedih bukan main, seperti ada bagian dari hatinya yang dicabik-cabik. Ia telah melahirkan dan resmi menjadi seorang ibu, tapi belum bisa memeluk dan menjaga putranya selama duapuluh empat jam. Hal-hal negatif mulai bermunculan di dalam kepala Indira, seketika menghadirkan rasa cemas yang sulit d
Indira menatap punggung tangannya yang ditancapi jarum infus. Ia sudah dipindahkan ke kamar rawat, efek anastesi telah hilang sehingga nyeri di luka jahitan mulai terasa. Tubuhnya lemas, tak ada energi yang tersisa untuk sekadar bergerak. Indira tak menyangka kalau melahirkan ternyata sesakit itu. Yang lebih parah, hati Indira masih berselimut cemas lantaran bayinya harus dirawat di NICU. Saat ini waktu menunjukkan pukul setengah enam pagi. Matahari belum sepenuhnya naik, kamar rawat terasa cukup dingin karena AC yang dinyalakan. Kamar berselimut keheningan, hanya terdengar suara jarum jam yang cukup lantang. Indira mengerjapkan mata, menatap ke arah Edgar yang sedang tidur di atas sofa. Laki-laki itu tampaknya kelelahan karena tadi malam begadang, menemani Indira yang overthinking dan kesakitan. Operasi memang sudah selesai, tak ada pendarahan atau komplikasi. Tapi, tetap saja Indira belum bisa bernapas lega karena belum melihat seperti apa kondisi putranya. Indira menghela napa
Indira mulai merasakan celana dalamnya basah ketika berada di dalam mobil, hingga akhirnya ada cairan yang mengalir di pahanya. Jantung Indira berdegup kencang, rasa gugup dan panik memenuhi rongga dadanya. Kandungannya baru memasuki usia tigapuluh dua minggu, HPL-nya masih dua bulan lagi. Edgar juga sama paniknya dengan Indira, terus menambah kecepatan mobilnya agar segera tiba di rumah sakit. Edgar mencoba untuk tetap tenang, menepis semua hal-hal negatif yang mulai bermunculan di dalam kepala. “Tahan, ya. Sebentar lagi kita sampai rumah sakit,” ucap Edgar. Indira meringis sambil menyentuh perutnya sendiri. Saking kalutnya, perempuan itu sampai tak dapat mengucapkan sepatah kata. Setibanya di rumah sakit, Edgar langsung menggendong Indira menuju IGD. Perawat lekas memanggil residen obgyn untuk melakukan pemeriksaan awal, agar selanjutnya bisa diskusi dengan konsulen mengenai tindakan yang harus diambil. Dan, dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya secara perlahan. Momen yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, tapi entah bagaimana Indira malah gugup luar biasa. “Jangan nervous, Ndi. Pasti lancar, kok,” ucap Kiran sambil menyerahkan sebotol air mineral. Indira duduk di atas kursi, menerima sebotol air yang disodorkan oleh Kiran. Saat ini mereka berada di depan ruang sidang, menunggu dosen pembimbing dan penguji datang. Jadwal sidangnya pukul setengah sembilan, tapi Indira sengaja berangkat ke kampus sejak pukul tujuh untuk membaca ulang catatan-catatan penting yang telah dibuat. Perempuan itu mengenakan baju hitam-putih, seperti kandidat karyawan yang akan melakukan tahapan interview. Perutnya tak bisa lagi ditutupi dengan blazer, sehingga siapa pun yang melihat pasti langsung tahu kalau Indira Kalani sedang berbadan dua. Kandungannya sudah berusia tujuh bulan, gerakan si bayi semakin aktif. Bahkan ketika Indira sedang gugup, si bayi menendang-nendang dengan cukup kuat. Se
Saat kandungannya semakin membesar, Indira makin sulit menutupi baby bumpnya. Hari ini ia harus berangkat ke kampus untuk bimbingan, tapi agak ragu kalau harus muncul di kampus dengan perut besarnya. Bagaimana kalau ia kembali menjadi pusat perhatian? Bagaimana kalau ada rumor aneh yang berkembang di antara teman-teman satu angkatan? Indira sudah mencoba untuk menutupi perutnya dengan sweater dan jaket. Tapi, usahanya terbuang sia-sia karena baby bumpnya tetap terlihat dengan jelas. Awalnya Indira berniat untuk membatalkan jadwal bimbingan. Tapi, sedetik kemudian perempuan itu mengingat bahwa menyelesaikan skripsi sebelum melahirkan adalah prioritas yang harus diutamakan. Maka, akhirnya Indira berangkat ke kampus bersama Pak Rahmat. Tiba di pelataran parkir pada pukul sembilan pagi, masih ada sisa waktu satu jam sampai bimbingan dimulai. Yeah, Indira datang lebih awal karena khawatir terjebak macet, tapi ternyata jalanan cukup senggang pagi ini. Indira turun dari mobil dengan tote
Indira berhasil melewati trimester pertama kehamilan yang terasa sangat berat. Saat mulai masuk trimester kedua, morning sicknessnya mulai berkurang. Indira bisa menelan lebih banyak makanan, bahkan bisa mengonsumsi telur dan ayam yang tadinya dapat memancing rasa mual. Sebuah hal yang patut disyukuri, meskipun tubuhnya jadi mudah lelah karena perutnya yang kian membesar. Perkuliahan semester genap telah berakhir. Indira bisa sedikit bersantai karena semester depan tak ada jadwal kelas yang tersisa, hanya perlu fokus mengerjakan skripsinya. Sesekali datang ke kampus untuk bimbingan. Setidaknya, Indira tidak perlu terus berkeliaran di kampus dengan perut besarnya (yang pastinya akan menjadi pusat perhatian). Minggu lalu, Indira sudah melakukan USG. Menurut penjelasan dokter, bayi yang ada di dalam kandungan Indira diprediksi berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja Edgar sangat bahagia, sebab sebentar lagi akan ada versi kecil dari dirinya. Hari ini Edgar mengajak Indira ke baby shop
Indira bahagia menyambut kepulangan Papa Danu dan Ezra. Rumah tak lagi terasa sepi dan kosong. Saat siang hari, Indira bisa mengobrol dengan Papa Danu atau Ezra, sehingga tak perlu termenung seorang diri di dalam kamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang. Saat ini Indira sedang berada di attic room, menemani Ezra yang sedang melukis. Edgar pasti mengomel panjang lebar kalau mengetahuinya, tapi Indira tak peduli. Lebih baik mengobrol dengan Ezra daripada hanya merebahkan tubuh di atas ranjang seperti orang yang sedang sakit parah. “Jujur, aku kaget waktu tahu kamu positif hamil. I mean, dulu kamu pernah bilang soal rencana nunda momongan,” ucap Ezra sambil menggerakkan kuasnya di atas palet. Indira tersenyum tipis, kemudian berkata, “kehamilan yang nggak direncanakan, Mas. Saya juga kaget banget waktu lihat dua garis di atas testpack, sampai nangis. Karena saya merasa belum siap punya anak, masih mau menikmati masa muda dan ngejar impian.” “I see. Pasti berat banget, ya?”“Iya, a
Sebelum positif hamil, Indira sempat berencana untuk mengikuti program paid internship lagi. Untuk mengisi libur semester, sekaligus mencari pengalaman dan ilmu. Tapi, akhirnya rencana itu dibatalkan. Indira memutuskan untuk fokus memanfaatkan waktu luangnya untuk mengerjakan skripsi, plus memperdalam pengetahuannya tentang parenting. Indira berusaha menyingkirkan ambisinya. Toh, liburan semester kemarin ia sudah sempat menjadi intern selama tiga bulan. Meskipun ilmu yang didapatkan belum seberapa, setidaknya Indira sudah paham bagaimana sebuah perusahaan bekerja. Indira berdiri di depan standing mirror sambil mengusap perutnya sendiri. Baby bumpnya semakin terlihat. Apabila jalan-jalan di tempat umum, orang-orang pasti langsung tahu kalau Indira sedang berbadan dua. Perempuan itu mengembuskan napas, kemudian mengusap perutnya dengan lembut. Seolah sedang berkomunikasi dengan janin kecil yang ada di dalam sana. Beberapa saat kemudian, Edgar keluar dari kamar mandi. Langsung membuk