"Bismillah, hari ini aku mulai bekerja, semoga aku mendapat keberkahan rezeki. Aamiin," ucap Naura ketika menginjakan kakinya keluar rumah.
Dia berangkat kampus seperti biasanya, namun yang membuat Natasya heran, dia yang biasanya pulang ke arah kakak, kali ini Naura ke arah kiri. "Mau kemana anak itu?" Dari kemaren dia merasa kalau Naura ini sedikit aneh."Assalamu'alaikum," ucapnya ketika sampai di toko dan di sambut hangat oleh si pemilik toko."Waalaikumsalam, Naura. Aku kira kamu nggak jadi datang hari ini.""Jadi dong, Bu. Masa iya nggak.""Ya sudah, sekarang kamu masuk dan susun bunga-bunga yang di sana menjadi bucket yah.""Baik, Bu."Tentu dengan senang hati Naura melakukannya. Suasana di depan tampak rame banyak pengunjung yang datang untuk membeli.Bu Lisna pemilik toko yang sekaligus merangkap sebagai kasir menerima banyak orderan hari ini.Sementara Naura tampak sibuk dengan beberapa teman"Oh iya, Pak Juna. Ini bunga pesanan ..., eh, maaf. Aku salah lagi.""Astaga, kau ini!" Juna mengusap rambutnya kasar."Maaf, tapi sepertinya aku nggak pantas kalau panggil hanya dengan nama aja." "Kalau begitu panggil aku dengan sebutan, Mas!" perintahnya sambil bersedekap tangan.Matanya kini begitu tajam memandang wanita yang hanya menunduk tanpa berani memandang wajahnya."Hah, Ma_Mas?" Rasanya kaku untuk mengucap panggilan itu, pasalnya baru kali ini Naura memanggil sebutan itu pada seseorang."Iya, Mas Juna. Kenapa? Kamu keberatan?" Naura menggeleng cepat."Ya sudah, masuklah. Berikan bunga itu pada pegawai saya.""Ba_baik. Permisi."Tanpa ragu Naura masuk ke dalam, rumah itu terlihat bersih dan mewah, namun ada yang membuat dirinya tercengang yaitu para pekerja sedang melakukan tugasnya di halaman belakang."Astagfirullah hal adzim! Kalau tau gini, aku tadi lewat pintu belakang aja," gu
"Sudah satu bulan ini aku tidak melihatnya, sedang apa kau di sana," gumam Sean di dalam ruang kerjanya.Pekerjaan hari ini sedikit lenggang, dia memutuskan untuk menemui gadis pujaan hatinya ke rumah. Sean berharap Naura dan bu Ningrum sudah bisa menerimanya.Tok!Tok!"Permisi.""Iya sebentar!" Suara bu Ningrum dari dalam. Dia keluar membukankan pintu dengan pakaian biasanya. Pasalnya dia harus melakukan dinas harian yang itu mencuci baju milik tetangg. Sean mengerutkan alisnya."Nak Sean.""Aunty! Em, aku datang ke sini untuk minta maaf. Mungkin aku banyak salah pada Aunty dan juga Naura.""Aku sudah katakan pada Daddy agar tidak ikut campur dalam urusanku."Tapi bu Ningrum justru mengelaknya. "Untuk apa?" Walau suara itu terdengar lirih tetapi sepertinya dia menyayangkan apa yang telah Sean lakukan."Untuk apa kamu bicara dengan Daddy-nya? Kami sudah cukup tenang sekarang.""Tapi A
"Sudah satu bulan ini aku tidak melihatnya, sedang apa kau di sana," gumam Sean di dalam ruang kerjanya.Pekerjaan hari ini sedikit lenggang, dia memutuskan untuk menemui gadis pujaan hatinya ke rumah. Sean berharap Naura dan bu Ningrum sudah bisa menerimanya.Tok!Tok!"Permisi.""Iya sebentar!" Suara bu Ningrum dari dalam. Dia keluar membukankan pintu dengan pakaian biasanya. Pasalnya dia harus melakukan dinas harian yang itu mencuci baju milik tetangg. Sean mengerutkan alisnya."Nak Sean.""Aunty! Em, aku datang ke sini untuk minta maaf. Mungkin aku banyak salah pada Aunty dan juga Naura.""Aku sudah katakan pada Daddy agar tidak ikut campur dalam urusanku."Tapi bu Ningrum justru mengelaknya. "Untuk apa?" Walau suara itu terdengar lirih tetapi sepertinya dia menyayangkan apa yang telah Sean lakukan."Untuk apa kamu bicara dengan Daddy-nya? Kami sudah cukup tenang sekarang.""Tapi A
"Ma_maaf, aku ..." Naura terlihat salah tingkah setelah dia sadar apa yang baru saja dia lakukan. Sean membelai pipi yang masih tertutup cadar dengan begitu lembut. "Kenapa kau tak pernah mengatakannya padaku?" "Aku ..., aku takut kamu menertawakan aku, Se. Aku takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. Aku nggak mau itu terjadi." Sean kembali memeluk Naura dengan sangat erat seolah enggan untuk melepaskannya. Walau nyawa yang menjadi taruhan, dia tak perduli asal gadis ini tetap bersamanya. "Tidak akan ada yang pernah meninggalkanmu! Percaya padaku. Aku sangat mencintaimu, Naura." "Kita pulang sekarang?" Lagi -lagi Naura mengangguk. Perjalanan mereka lanjutkan kembali sampai di rumah Naura, Sean hanya mengantarkan sampai di depan rumahnya saja. "Masuklah." Gadis itu turun dari mobil dan berjalan menjauh, sesekali di
"Tidak tau, Tuan. Saya tidak tau! Sejak kapan bunga itu ada di sini?" Sean hanya mencebikan bibirnya. Mau diapakan bunga itu. Dibuang, Sean takut kalau itu pemberian Naura. Tapi jika disimpan mungkin bunga itu dari orang lain, itu artinya Sean menyimpan pemberian orang lain."Kau bawa saja bunga itu." Sambil mengangguk Bertha membawanya keluar. "Aduh!""Bertha!"Tangan wanita itu mengeluarkan sedikit darah kala mawar itu ternyata masih berduri."Tidak apa-apa, Tuan. Aku baik-baik saja. Permisi." Sambil meringis Bertha pergi dari hadapan Sean.Sang mafia kini fokus dengan pekerjaan dia kantornya. Lama-lama dia merasa bosan bergelut dengan banyak kertas di depannya. Sean mengambil ponsel dan menghubungi kekasihnya.Dirinya yang tengah menyimak pelajaran kuliah tak menghiraukan panggilan itu saat ponselnya berdering.Kring!Kring!Dosen memicingkan mata padanya. "Eh, iya. Maaf, Pak." Naura justr
Sean tertawa. Baru kali ini Naura mendengar tawanya yang lepas. Seperti hilang semua beban yang membuatnya ikutan tersenyum dibalik cadar yang dikenakan."Aku hanya bercanda! Kau jangan masukan ke hati pertanyaanku itu.""Kenapa kau sampai tersedak? Astaga!"Mungkin bagi Sean itu hanya sebuah candaan karena sudah bisa dipastikan kalau Sean tidak membiarkan istri turun tangan ke dapur."Kamu sudah selesai makan? Kita kembali ke toko sekarang. Aku nggak sama bu Lisna.""Ya sudah, ayok." Sean memanggil pelayan untuk minta bill-nya."Ini, Tuan." Usai melihat minimal total makanan itu, Sean meletakkan kertas bill di atas meja yang membuat Naura membulatkan matanya. Harga makanan tersebut cukup untuk dia dan ibunya makan selama satu minggu."Ya Allah, mahal sekali harga makanan itu." Dia melamun sampai tak sadar kalau Sean kini memanggilnya."Baby!""Baby, are you ok?""Hem?" Naura mendong
"Naura nggak mau ke Dokter. Ibu sudah bilang tadi, tapi dia menolak.""Kenapa bisa seperti itu?" Naura berfikir kalau sakitnya hanya sakit biasa untuk apa menghabiskan uang untuk ke dokter. Uang itu bisa dia gunakan untuk keperluan lainnya."Entahlah, Ibu juga nggak tau. Ya, kita berdoa saja semoga Naura cepat sembuh." Tak jadi bertemu dengan teman baiknya, Natasya hanya mengobrol dengan ibunya. Sedang Lucas masih setia menunggunya di dalam mobil. Cukup lama wanita itu di rumah itu, Natasya memutuskan untuk pulang sekarang."Kalau begitu aku pulang dulu, Bu. Sampaikan salamku untuk Naura." Bu Ningrum mengantarkan Natasya sampai di depan rumah, dia melihat Lucas di mobil tapi pria itu tidak menyapanya sama sekali.Padahal Lucas sempat melihat bu Ningrum tapi dia hanya membenarkan posisi duduknya bersiap menyambut kedatangan istrinya."Kau kenapa?" tanya Natasya di dalam mobil. Wajah Lucas terlihat sebal sepulang dari sana. Lucas hanya meng
"Dokter, bagaimana keadaan istri saya, Dok?" Lucas nampak cemas.Dokter menghela nafas kasar sebelum bicara. "Kami sangat menyayangkan, Tuan. Istri anda mengalami keguguran.""Shit!" Lucas mengusap rambutnya frustasi. Walau dia tau kalau itu bukan darah dagingnya tapi dia berniat untuk menganggap si jabang bayi seperti anak kandungnya sendiri dengan alasan yang dia sembunyikan selama ini.Dia mengusap wajahnya kasar. "Kenapa harus keguguran! Kalau Natasya tau tentang aku, apa dia masih mau denganku?" gumamnya dalam hati.Dokter berlalu pergi. Lucas menemui istrinya yang masih terbaring lemah di atas berankar. Dia duduk di sebuah kursi di samping Natasya terpejam sambil menggenggam tangan berkulit putih itu."Aku minta maaf. Ini semua memang salahku! Andai aku tidak menyalahkan mu, mungkin ini tidak akan terjadi."Samar-samar Natasya mendengar suara suaminya bicara, perlahan dia membuka matanya dan mendapati Lucas dengan wajah sed