Bunyi benturan terdengar jelas, membuat semua yang ada di tempat itu menjerit karena terkejut. Beberapa warga yang kebetulan berada diluar rumah berlari mendekat, sementara Fitri dan Ambar masih terpaku di tempatnya berdiri. Hingga beberapa detik kemudian keduanya menjerit."Ibu!" Ambar berlari menuju tempat Rahayu terkapar penuh darah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Fitri. Semua orang sibuk, mencoba memberi pertolongan pada wanita baya tersebut. Sementara beberapa warga yang mengejar pengendara itu kehilangan jejak. Sepertinya semua telah direncanakan.Seorang tetangga sigap membantu, dia segera bergegas mengeluarkan mobilnya, kemudian segera membawa Rahayu ke rumah sakit. Fitri menangis meraung sambil mendekap Alif, ketika mobil yang membawa Rahayu melaju pergi bersama dengan Ambar.Seolah dejavu, Ambar kembali mengantar Rahayu ke ruang UGD, tak henti-hentinya bibir ibu satu anak itu mengucapkan sholawat dan zikir. Ingatannya melayang pada kejadian beberapa tahun yang lalu, di m
"Terserah apa katamu yang jelas sebentar lagi kamu akan menjadi mantan. Mantan." Santi menekan kata-katanya. "Dan aku yang akan menjadi istri sahnya Mas Rudi," imbuhnya."Andai kamu tahu sesayang apa ibu padaku, pasti kamu akan memilih pergi dari pada mendapatkan malu lagi," balas Ambar."Kamu memang tidak tahu malu, padahal sudah jelas kalau Mas Rudi lebih memilih aku, tapi masih saja bertahan di rumah itu."Ambar enggan menanggapi, dia hanya menatap Santi sekilas, kemudian memilih duduk di bangku yang berada di tempat itu.**Sudah tujuh hari pasca operasi kaki, keadaan Rahayu sudah mulai membaik, bahkan kata dokter yang merawatnya, nanti dia sudah bisa pulang. Namun, harus tetap kontrol setiap seminggu sekali untuk memeriksa keadaan lukanya. Rahayu terlihat senang mendengar penuturan dokter muda itu, wanita senja itu memang sudah mengeluh bosan tinggal di rumah sakit. Selama itu pula Rudi tak pernah datang menjenguk ibunya.Alif datang bersama Fitri untuk menjemput Rahayu. Ambar sa
Sidang perceraian sudah selesai sesuai jadwal yang ditentukan pihak pengadilan. Semua terlihat damai selama sidang berlangsung, walaupun yang sebenarnya terjadi jauh kata baik-baik saja. Apalagi ketika menyangkut harta milik bersama, rupanya yang disebut harta gono-gini oleh Rudi itu hanya rumah yang ditempati mereka sebelumnya dan hanya laku 500 juta, sementara mobil dan motor raib ntah ke mana. Ambar yang ingin segera terbebas dari Rudi, malas memperdebatkannya.Ambar menatap rumah yang penuh kenangan itu sebelum benar-benar meninggalkannya. Menyimpan setiap kenangan manis yang pernah tercipta di dalam sana. Sepuluh tahun itu telah usai, dia sudah siap menutup lalu menyimpannya. Untuk sementara waktu, mereka berempat tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana yang berada di pinggir kota. Uang 250 juta hasil pembagian rumah sementara ditabung dulu, uang itu harus dibelikan rumah lagi agar kelak Alif mempunyai tempat tujuan untuk pulang. Ambar mengutarakan keinginannya untuk mengan
"Aku berangkat dulu, Sayang," pamit Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi yang sudah resmi menjadi istrinya. "Iya, hati-hati, Mas," sahut Santi dengan mesra. Santi sudah tidak bekerja lagi, dia sekarang sudah menjadi nyonya besar, istri seorang manajer. Untuk saat ini, kehidupannya sangatlah indah, harta berlimpah serta suami yang mapan lagi tampan. Membuat dia semakin sombong di depan keluarga besarnya.Santi memboyong semua anggota keluarganya, ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Semua tinggal di rumah besarnya yang dibeli dari hasil menjual harta Rahayu. Seolah terkena sindrom OKB, mereka selalu pamer harta setiap kali ada acara kumpul-kumpul dengan keluarga besar. Ketiga adik Santi menjadi pemalas, mereka semua berhenti bekerja dan lebih senang berjalan-jalan dan belanja. Bahkan mereka tidak mau lagi menyapa teman kerjanya dulu.Begitu juga dengan Marno—bapaknya Santi. Lelaki berumur 55 tahun itu kembali melakukan hobinya, bermain judi. Sementara Samina—ibunya Santi. Dia menjadi pen
"Ngaku! Siapa yang telah mengambil perhiasanku!" bentak Santi pada para pembantunya. "Pasti salah satu diantara kalian yang mengambilnya! Ayo ngaku!" Amarahnya tak terbendung lagi.Ketiga pembantunya itu menunduk takut, mereka semua tak ada yang berani mengangkat wajah apalagi angkat bicara dan hal itu semakin membuat Santi murka."Geledah saja kamarnya, Mbak," usul Siti, yang sekarang tidak mau dipanggil Siti, maunya dipanggil dengan sebutan Titi, ah padahal sama saja kan, pakai Ti. Dia adik pertama Santi."Saji, Sumi! Lekas kalian geledah kamar mereka!" titah Santi pada adik kadua dan ketiganya."Ingat, Mbak. Panggil aku Mimi," protes gadis paling kecil di keluarganya. Sementara Saji, adik laki-laki satu-satunya itu cuek saja, terserah mau dipanggil apa.Setelah menunggu beberapa saat, kedua kakak beradik itu keluar dari kamar pembantu dengan tangan kosong. Melihat hal itu semakin membuat Santi geram."Pasti kalian sudah menjualnya! Iya kan? Jawab! Kalau tidak, aku akan membawa kali
"Mbak Ambar itu ternyata janda loh, Bu," ujar Vina pada kedua orang tuanya, sementara Iyan hanya diam memperhatikan."Dan ternyata ibu Rahayu itu mertuanya. Tadinya aku pikir suami Mbak Ambar itu meninggal, ternyata tidak, mereka bercerai. Bayangankan, betapa baiknya Mbak Ambar itu, dia mau menemani ibu dari orang yang sudah menyakitinya." Cerita Vina menggebu-gebu."Nggak baik membicarakan orang, Vin," sahut Farida-ibunya dengan suara lembutnya."Aku nggak membicarakannya, Bu. Justru aku tuh kagum sama Mbak Ambar. Kok dia mau hidup membersamai ibu dari mantan suaminya. Menurutku itu luar biasa sekali loh, Bu. Ya kan, Bang? Dan, kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya Mbak Ambar itu wanita berwawasan luas. Ada lagi satu wanita yang kukira pelayannya, ternyata bukan dia—" Vina menghentikan kalimatnya setelah Iyan bangkit dari duduknya."Mau ke mana, Abang? Aku belum selesai bercerita," ucapnya merajuk."Aku mau ke kamar mandi, Vin. Mules aku dengar omonganmu," sahut Iyan sambil berlari
"Assalamualaikum, Mbak," ucap Vina setelah melihat Fitri keluar."Wa'alaikumussalam, Vina," sahut Fitri dengan senyum khasnya, sambil meletakkan beberapa makanan di meja."Wa'alaikumussalam, Vin. Wah, pagi sekali ... dapat geratis satu porsi sebagai pelanggan pertama," ujar Ambar menyusul, kedua tangannya membawa wadah berisi gorengan yang masih mengepulkan asap yang mengantarkan aroma sedap pada siapa saja yang menghirupnya."Wah, Alhamdulillah ... gratisannya gorengan aja, Mbak," sahut Vina dengan sumringah."Beres, ini mau dibungkus atau makan di sini?" tanya Ambar sambil mengelap piring. "Dimakan di sini, Mbak. Empat ya," balas Vina dengan pandangan mata yang tak lepas dari gorengan yang terlihat kriuk dan lezat itu. "Siap," sahut Ambar. Ibunya Alif itu mulai meletakkan beberapa lauk di atas nasi, tanpa banyak bertanya, karena Ambar sudah hapal dengan menu pelanggannya ini. Tak membutuhkan waktu lama, empat buah nasi plus lauknya sudah berada di meja depan Vina dan keluarganya.
"Pak, kurangi sedikit hobi bapak itu, Mas Rudi sudah mulai marah-marah," gerutu Santi setelah menelan makanannya."Kalau dia mulai macam-macam, tinggalkan saja dia. Cari lelaki yang lebih kaya lagi," sahut Marno enteng. "Kamu itu cantik, jadi jangan takut kalau dia meninggalkanmu. Masih banyak lelaki di luaran sana yang mau sama kamu, San," imbuhnya.Santi memilih diam walaupun dia sebenarnya ingin melempar lelaki tua itu dengan sendok yang dipegangnya."Bukankah pekerjaanmu memang seperti itu, gonta-ganti pasangan?""Pak!" sentak Santi sambil membanting sendok yang dipegangnya. Santi benar-benar marah mendengar ucapan bapaknya."Berani kamu membentakku!" Marno tak terima melihat anaknya mulai berani padanya."Pak, kalau bapak selalu seperti ini, lebih baik pergi dari rumah ini!" sentak Santi membuat Marno menghentikan kunyahannya, lelaki senja itu menatap anaknya dengan nyalang.Marno yang dikuasai emosi langsung membanting piring yang ada di depannya. Setelah itu dia bangkit untuk m
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya membuat Ambar berjingkat. Setelah bisa menguasai keterkejutannya Ambar pun membalas ucapan suaminya. "Ndak usah .... " Bundanya Alif itu menjeda kalimatnya, wanita itu bingung harus memanggil Iyan dengan sebutan apa."Kenapa diam?" tanya Iyan dengan suara rendah. Lelaki itu semakin mendekat dan itu semakin membuat Ambar gugup."Em ....""Bingung mau manggil aku dengan sebutan apa?" tanya Iyan, tatapannya semakin fokus pada sang istri.Ambar tersenyum kemudian mengangguk. "Susah kah?" tanya Iyan lagi. Karena merasa didesak akhirnya Ambar memberanikan diri mengangkat wajahnya."Sebenarnya ndak susah, cuma canggung aja. Tiba-tiba saja kita sudah menikah," balasnya. Tatapan mereka bertemu, keduanya seoalah enggan mengalihkannya, Iyan dan Ambar saling jatuh cinta."Senyamannya kamu, kalau aku ... Em, boleh nggak kalau aku manggilnya 'Dek'?" Akhirnya kalimat sakti itu keluar juga dari bibir lelaki jangkung tersebut. "Bunda ....!" Seruan Alif membuat mer
"Ada apa? Siapa yang meninggal, Sumi?" tanya Haris dengan suara serak, khas orang bangun tidur. Di KTP-nya, lelaki itu beragama Islam, walaupun kenyataan dia jarang atau hampir tidak pernah melakukan perintah Tuhannya. Namun, dia tahu dan paham untuk apa kalimat yang diucapkan Sumi tadi. Walaupun sebenarnya kalimat itu tak hanya untuk berita kematian, karena sejatinya disaat kita tengah mengalami hal buruk dan kesialan, kita bisa juga mengucapkannya."Aku-aku ... mau ke rumah sakit sekarang," balas Sumi. Wanita itu memungut ponselnya yang tergeletak di lantai tanpa menjawab pertanyaan lelaki yang masih bergulung selimut itu. Setelah mengamati dan memastikan jika benda pintar miliknya itu baik-baik saja, Sumi pun meletakkannya kembali di meja, kemudian dengan langkah tergesa dia menuju ke kamar mandi. Setelah bayangan Sumi tak lagi terlihat, dengan malas Haris bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi ranjang lalu membuat gerakan peregangan otot. Sumi yang baru saja keluar dari ka
Sementara di dalam kamar, Iyan dan Ambar tak bisa berbuat lebih, mereka hanya berbaring di sisi kiri dan kanan Alif sambil saling menatap, untuk saat ini bocah lelaki itu yang menguasai ranjang. "Maaf ...," ucap Ambar dengan suara yang hampir tak terdengar. "Ok," sahut Iyan tanpa suara, lelaki itu hanya menggerakkan bibirnya kemudian tersenyum. Setelah cukup lama saling pandang, Iyan memberanikan diri, tangan kanannya terulur lalu membelai rambut hitam milik Ambar. Bundanya Alif itu tersipu malu, tetapi dia begitu menikmatinya, hingga keduanya sama-sama terlelap.Pagi adalah waktu yang sibuk bagi setiap ibu rumah tangga, begitu juga dengan Ambar. Setelah selesai melaksanakan kewajiban dua rekaat, bundanya Alif itu langsung menyibukkan diri di dapur. Sementara para lelaki penghuni rumah itu masih belum kembali dari musolah. Aroma kopi dan teh melati yang menguar di seluruh ruangan membuat Vina keluar dari kamarnya dan melangkah ke dapur."Ih, pengantin baru rajin amat," godanya pada