"Aku berangkat dulu, Sayang," pamit Rudi sambil mencium pucuk kepala Santi yang sudah resmi menjadi istrinya. "Iya, hati-hati, Mas," sahut Santi dengan mesra. Santi sudah tidak bekerja lagi, dia sekarang sudah menjadi nyonya besar, istri seorang manajer. Untuk saat ini, kehidupannya sangatlah indah, harta berlimpah serta suami yang mapan lagi tampan. Membuat dia semakin sombong di depan keluarga besarnya.Santi memboyong semua anggota keluarganya, ayah, ibu, dan ketiga adiknya. Semua tinggal di rumah besarnya yang dibeli dari hasil menjual harta Rahayu. Seolah terkena sindrom OKB, mereka selalu pamer harta setiap kali ada acara kumpul-kumpul dengan keluarga besar. Ketiga adik Santi menjadi pemalas, mereka semua berhenti bekerja dan lebih senang berjalan-jalan dan belanja. Bahkan mereka tidak mau lagi menyapa teman kerjanya dulu.Begitu juga dengan Marno—bapaknya Santi. Lelaki berumur 55 tahun itu kembali melakukan hobinya, bermain judi. Sementara Samina—ibunya Santi. Dia menjadi pen
"Ngaku! Siapa yang telah mengambil perhiasanku!" bentak Santi pada para pembantunya. "Pasti salah satu diantara kalian yang mengambilnya! Ayo ngaku!" Amarahnya tak terbendung lagi.Ketiga pembantunya itu menunduk takut, mereka semua tak ada yang berani mengangkat wajah apalagi angkat bicara dan hal itu semakin membuat Santi murka."Geledah saja kamarnya, Mbak," usul Siti, yang sekarang tidak mau dipanggil Siti, maunya dipanggil dengan sebutan Titi, ah padahal sama saja kan, pakai Ti. Dia adik pertama Santi."Saji, Sumi! Lekas kalian geledah kamar mereka!" titah Santi pada adik kadua dan ketiganya."Ingat, Mbak. Panggil aku Mimi," protes gadis paling kecil di keluarganya. Sementara Saji, adik laki-laki satu-satunya itu cuek saja, terserah mau dipanggil apa.Setelah menunggu beberapa saat, kedua kakak beradik itu keluar dari kamar pembantu dengan tangan kosong. Melihat hal itu semakin membuat Santi geram."Pasti kalian sudah menjualnya! Iya kan? Jawab! Kalau tidak, aku akan membawa kali
"Mbak Ambar itu ternyata janda loh, Bu," ujar Vina pada kedua orang tuanya, sementara Iyan hanya diam memperhatikan."Dan ternyata ibu Rahayu itu mertuanya. Tadinya aku pikir suami Mbak Ambar itu meninggal, ternyata tidak, mereka bercerai. Bayangankan, betapa baiknya Mbak Ambar itu, dia mau menemani ibu dari orang yang sudah menyakitinya." Cerita Vina menggebu-gebu."Nggak baik membicarakan orang, Vin," sahut Farida-ibunya dengan suara lembutnya."Aku nggak membicarakannya, Bu. Justru aku tuh kagum sama Mbak Ambar. Kok dia mau hidup membersamai ibu dari mantan suaminya. Menurutku itu luar biasa sekali loh, Bu. Ya kan, Bang? Dan, kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya Mbak Ambar itu wanita berwawasan luas. Ada lagi satu wanita yang kukira pelayannya, ternyata bukan dia—" Vina menghentikan kalimatnya setelah Iyan bangkit dari duduknya."Mau ke mana, Abang? Aku belum selesai bercerita," ucapnya merajuk."Aku mau ke kamar mandi, Vin. Mules aku dengar omonganmu," sahut Iyan sambil berlari
"Assalamualaikum, Mbak," ucap Vina setelah melihat Fitri keluar."Wa'alaikumussalam, Vina," sahut Fitri dengan senyum khasnya, sambil meletakkan beberapa makanan di meja."Wa'alaikumussalam, Vin. Wah, pagi sekali ... dapat geratis satu porsi sebagai pelanggan pertama," ujar Ambar menyusul, kedua tangannya membawa wadah berisi gorengan yang masih mengepulkan asap yang mengantarkan aroma sedap pada siapa saja yang menghirupnya."Wah, Alhamdulillah ... gratisannya gorengan aja, Mbak," sahut Vina dengan sumringah."Beres, ini mau dibungkus atau makan di sini?" tanya Ambar sambil mengelap piring. "Dimakan di sini, Mbak. Empat ya," balas Vina dengan pandangan mata yang tak lepas dari gorengan yang terlihat kriuk dan lezat itu. "Siap," sahut Ambar. Ibunya Alif itu mulai meletakkan beberapa lauk di atas nasi, tanpa banyak bertanya, karena Ambar sudah hapal dengan menu pelanggannya ini. Tak membutuhkan waktu lama, empat buah nasi plus lauknya sudah berada di meja depan Vina dan keluarganya.
"Pak, kurangi sedikit hobi bapak itu, Mas Rudi sudah mulai marah-marah," gerutu Santi setelah menelan makanannya."Kalau dia mulai macam-macam, tinggalkan saja dia. Cari lelaki yang lebih kaya lagi," sahut Marno enteng. "Kamu itu cantik, jadi jangan takut kalau dia meninggalkanmu. Masih banyak lelaki di luaran sana yang mau sama kamu, San," imbuhnya.Santi memilih diam walaupun dia sebenarnya ingin melempar lelaki tua itu dengan sendok yang dipegangnya."Bukankah pekerjaanmu memang seperti itu, gonta-ganti pasangan?""Pak!" sentak Santi sambil membanting sendok yang dipegangnya. Santi benar-benar marah mendengar ucapan bapaknya."Berani kamu membentakku!" Marno tak terima melihat anaknya mulai berani padanya."Pak, kalau bapak selalu seperti ini, lebih baik pergi dari rumah ini!" sentak Santi membuat Marno menghentikan kunyahannya, lelaki senja itu menatap anaknya dengan nyalang.Marno yang dikuasai emosi langsung membanting piring yang ada di depannya. Setelah itu dia bangkit untuk m
"Kalau begitu undang saja dia ke rumah, Yan. Ibu juga pingin lihat, seperti apa orangnya. Heran aku sama lelaki seperti itu, nggak ingat apa bagaimana dulu berjuang dengan istrinya," gerutu Farida."Kenapa ibu yang sewot? Katanya nggak baik ngomongin orang," sahut Vina."Dari cerita Iyan, ibu menyimpulkannya gini, Vin. Dia manejer baru kan, Yan?" tanyanya yang dijawab anggukan anak lelakinya. "Itu berarti dia merintis karir dengan istri pertamanya. Jauh dari istri lalu terpikat wanita lain. Lelaki macam apa itu? Bagaimana dengan istrinya? Bagaimana dengan anaknya, jika mereka sudah mempunyai anak?" imbuhnya berujar.Untuk sesaat tak ada yang manyahut. Semua diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing, bahkan ketiga orang itu seolah bisa merasakan sakitnya menjadi mantan istri sang manejer."Kita kan nggak tahu bagaimana permasalahan, Bu. Jadi nggak usah menilai sepihak, seperti yang ibu katakan tadi. Tak baik kalau kita membicarakan orang lain." Handoko mencoba mendinginkan suasana."
Rahayu datang dengan membawa mangkuk berisi minyak kelapa dan irisan bawang merah. "Sudah dikasih obat?" tanyanya pada Ambar yang duduk di pinggir ranjang sambil memijat kaki Alif."Sudah, Bu," sahutnya, kemudian menggeser duduknya, memberi ruang pada Rahayu agar bisa duduk di pinggir ranjang yang sama.Setelah menambahkan beberapa tetes minyak kayu putih pada minyak yang dibawanya, Rahayu mulai membalurkan campuran minyak itu ke perut dan kaki Alif."Tengkurap dulu, Lif," titah Rahayu pada cucunya. Alif pun menurut, bocah itu menikmati setiap olesan dan pijitan dari tangan neneknya."Ini kamu kecapekan, Lif. Mangkanya badannya jadi panas. Sudah Nenek bilang, ndak usah ikut-ikutan ngejar layangan.""Alif ndak ikut ngejar, Nek. Hanya ikut lari teman-teman." Alif membela diri."Ya sama saja, Alif," sahut Rahayu sambil mengurut kaki kecil cucunya. "Ikut lari juga kan?" imbuhnya. Alif mengangguk mengiyakan."Alif kenapa, Mbak?" tanya Fitri yang baru masuk."Badannya panas," sahut Ambar. "
"Pak, ikuti mobil Avanza putih itu," titah Rudi pada Antok–sopirnya. "Siap, Pak," jawab Antok. Lelaki sepantaran dengan Rudi itu langsung tancap gas tanpa banyak bertanya. Mobil Pajero hitam milik Rudi terlihat gagah membelah jalanan, melaju seperti sebuah singa yang tengah mengejar mangsanya. Sementara semua yang ada di dalam kendaraan itu diam seolah mengerti apa yang terjadi.Mobil yang dikendarai Santi dan Haris memasuki pelataran sebuah hotel bintang lima. Begitu juga dengan Pajero milik Rudi."Pak, maaf. Ini ada kabar dari kantor kalau Pak Iyan sekarang berada di sana." Bella mengatakannya ketika Rudi bersiap untuk turun. Rudi terlihat begitu emosi, apalagi ketika ekor matanya melihat Santi begitu mesra menggandeng tangan Haris."Hah!" Hanya itu yang keluar dari bibir Rudi. "Kalian tunggu di sini, jika dalam waktu lima menit aku gak keluar, kamu hubungi aku, Bell," pesannya pada sang asisten. Setelah itu Rudi bergegas pergi."Pak!" seru Bella membuat Rudi menghentikan langkahny