Part 78
Revan turun membukakan pintu untuk Rangga, Adiba dah Mama Rina. Anak-anak berlarian menuju ke dalam rumah yang disusul Mama Rina dari belakang.
"Silahkan turun, Ratuku!" Revan membukakan pintu untukku.
"Ratuku, sejak kapan, Van?" tanyaku seraya menurunkan kaki.
Melihat aku kesusahan turun dari mobil, Revan berkata, "ayo sayang! Sini sama papa."
Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Dia meraih tubuh Arisya ke dalam dekapannya.
"Aku masih istri sah Satria, Van!" tegasku pada Revan.
"Lalu ...." ujar Revan sembari bercanda dengan Arisya.
"Hheumm!" Leguhan kecil yang keluar dari bibirku, tidak ada gunanya memperpanjang masalah.
Aku melangkah mendahului Revan yang masih berdiri dengan wajah cengengesan.
"Tunggu!" teriakknya pelan.
"Makanya cepat, jangan bengong!"
"Mama lama kali, capek kami tungguinnya," ujar Rangga kesal.
"Kenapa nggak masuk duluan, Bang?" tanyaku dengan melihat ke ara
Part 79Keanehan sangat nyata terasa. Tidak mungkin Marsya dan Satria melepaskanku begitu saja. Mereka sangat membenciku dan ancaman terakhir dari Satria yang menginginkanku membusuk di penjara. Membuatku tidak bisa mempercayai begitu saja dengan omongan Mama Rina."Van!" Aku mengarahkan pandangan penuh tanda tanya pada Revan."Sssstttt!" Revan meletakkan telunjuknya di atas bibirnya."Ya sudah, kalau kalian tidak mau mengatakannya." Aku mencebik kesal."Nak, tidak usah dipikirkan lagi, yang terpenting kamu sudah bisa berkumpul lagi dengan anak-anak.Mama Rina ingin tinggal sementara waktu denganku. Dengan Dalih ingin menenangkan diri. Orangtuaku mengizinkannya, meskipun, awalnya Ayah kurang setuju. Bujukanku meluluhkan hati Ayah untuk menerima Mama Rina.Rasa penasaran kian menyeruak. Namun, aku tidak tahu, kepada siapa harus bertanya, agar rasa ingin tahuku tuntas tidak berbekas."Aku pulang, Tan, aku harus ke luar kota untuk
Part 80"Ya Allah, Van, janganlah bahas gituan sekarang, kepalaku pusing!" Aku melipat kedua tanganku di dada dan bersandar pada tembok rumah. Netraku menatap loteng teras rumahku."Iya ... iya! Intinya jaga dirimu baik-baik. Do'aku selalu untukmu, Tan. Aku pamit," ujar Revan seraya membalikkan badan menuju mobilnya. Hanya punggung bidangnya yang terlihat. Tidak ada perbedaan pada fisik Revan. Hanya tubuhnya yang semakin kekar dan berisi."Van! Bagaimana dengan Kasus Talitha?" Revan membalikkan badannya menghadapku lagi. Aku berdiri tepat di hadapan Revan. Menunggu penjelasan yang akan dia berikan untukku."Satria berusaha membebaskannya, tapi, itu nggak kan berhasil. Thalita sudah mengaku, palingan hukumannya saja yang dikurangi, Tan," ungkap Revan. Badannya dia sandarkan pada tiang teras rumahku. Tanganya terus memainkan kunci mobilnya."Satu lagi, kamu tahu alasan
Part 81"Mama, kami main game sama Opa, ya," ujar Rangga dengan memasang muka mengibanya."Kaka juga mau, Ma," timpal Adiba dengan berlari ke arahku berdiri. Merengek untuk meminta ikut dengan Abangnya."Lakukan hal sesuka kalian hari ini, hari ini free!" teriakku. Disambut teriakan dari anak-anak yang melompat-lompat kegirangan."Oma! Temenin kakak, ya!" Rengeknya pada Mama Rina. Mau tidak mau Mama Rina harus ikut di arena bermain dengan Adiba. Aku tersenyum melihat tingkah polah mereka."Mama sama Oma Salma tunggu di restoran, kalau sudah siap, kalian turun, ya!" Pesanku pada anak-anak di sambut anggukan. Sebagai tanda mereka mengerti tentang yang aku katakan.Aku dan Ibu masuk ke dalam restoran dan mall. Memesan makanan dan minuman yang ingin kami pesan. Suara riuh rendah manusia terdengar sangat nyata. Duduk menunggu anak-anak selesai bermain."Bu, titip Arisya, ya? Tania mau ke kamar mandi sebentar," ujarku seraya me
Part 82"Itu bukan urusanmu, yang perlu kamu lakukan, selesaikan segera perceraianmu dan kembalikan mamaku," ujarnya ketus. Amarah menguasainya, mata indahnya berubah semerah saga."Aku tanya sekali lagi, kamu menyukai Satria, sehingga, kamu menaruh benci padaku, benarkah, Sya"? selidikku."Jangan kau campuri urusan pribadiku!" Dia menghardik penuh amarah ke arahku. Aku semakin bingung dengan emosi Marsya yang meledak-ledak."Aku semakin yakin, bahwa, kamu menyukai Satria. Sadar, Sya, dia itu Kakakmu," ujarku seraya berusaha menenangkan Marsya."Kau diam! Kau tidak tahu apa-apa." Marsya melempar tas mewahnya ke arahku."Oouucch!"Sudut tasnya mengenai pelipisku. Rasa nyeri terasa jelas terasa dalam aliran darahku. Tangan bergerak pelan meraba pelipisku ada bercak darah yang mengalir."Sya, aku harap
Part 83Plaaak! Plaaak!Aku menampar keras kedua belah pipi Marsya. Dia meringgis kesakitan. Matanya mendelik ke arahku. Sorot kemarahan jelas tergambar dari ekspresi wajahnya."Sadar secepatnya, sebelum semuanya terlambat!" bentakku di depan wajah Marsya. Matanya mengerjap karena hembusan angin dari mulutku."Sya, keluar!" teriak Satria disambut suara riuh manusia yang tidak aku kenali. Namun, saat ini menyelesaikan masalah dengan Marsya adalah yang paling penting."Jangan sampai aku berbuat nekat padamu, Sya. Kamu itu sudah menggangu ketenanganku. Masalah kamu mencintai Satria, tapi Satria mencintaiku itu bukan urusanku. Jadi stop ganggu kehidupanku!" tegasku seraya melepaskan cengkraman tanganku dari rahangnya. Matanya memandangku dengan kebencian yang teramat dalam.Dia diam tanpa menjawab, terlihat jemari Marsya memegang perutnya. Raut wajahnya menandakan dia sedang merasakan kesakitan."Bangun!" Aku
Part 84Tok! Tok! Tok!Suara pintu kamarku diketuk, padahal aku baru saja ingin merebahkan tubuhku."Tania!" panggil Ibu."Iya, Bu." Aku beringsut malas dari ranjang untuk membuka pintu."Ada apa, Bu?" tanyaku dengan nada malas."Ada yang ingin ketemu kamu, Nak," ujar Ibu. Pikiranku menebak kalau itu Revan. Aku sudah merindukannya."Revan, ya, Bu?" tanyaku girang."Bukan, dia wanita, ibu sepertinya pernah lihat, tapi ... ibu lupa dimana, Nak," ujar Ibu dengan dahi berkerut. semangatku seketika menghilang.Aku segera turun untuk melihat wanita yang Ibu maksud. Aku tidak pernah berjanji dengan teman atau pun sahabatku.Aku terperangah, saat, netraku menangkap sosok Karmila yang sedang duduk di sofa ruang tamu rumahku. Parasnya yang ayu terlihat mempesona, meskipun, dia sudah memiliki dua orang buah hati."Untuk apa kamu ke sini, hah?" tanyaku setengah berbisik. Aku tidak ingin orang tuaku tahu per
Part 85"Kecelakaan, Ma? Dimana?" tanyaku panik.Aku berusaha menenangkan Mama Rina yang histeris. Setelahmendengar kabar duka tentang musibah yang Satria alami dari orang yang tidak di kenal."Ma, katakan pada Tania, dimana lokasi kecelakaan Satria, Ma?" tanyaku lembut. Hatiku mulai tidak tenang."Di puncak," jawab Mama Rina dengan air mata yang berlinang."Mama tenang, kita berangkat ke sana sekarang juga," ujarku pada nya.Aku membantu Mama Rina berdiri, lalu, mencari keberadaan Ibu dan Ayahku. Menceritakan tentang kondisi Satria yang mengalami kecelakaan di puncak. Degup jantungku mulai tidak beraturan.Beribu kali dia menjahati dan melukaiku. Rasa sayang itu masih ada di dalam hatiku paling dalam. Ayah keberatan dengan keinginanku untuk datang ke lokasi kejadian. Trauma masih bertahta di dalam hati Ayah dengan ulah Satria beberapa waktu lalu yang menjebakku.Perdebatan alot pun terjadi antara aku dan ayah. Ibu hanya diam dan sesekali memberi komentar. Mama Rina meraung-meraung me
Part 86"Iya, sekarang kita tempat Satria, Ma," sahutku. Aku melajukan kembali mobilku. Kebingungan menguasai alam pikiranku. Aku tidak tahu arah, tempat mana yang harus aku datangi. Lokasi puncak itu sangat luas, aneh rasanya, harus ngecek ke setiap rumah sakit di sana. Aku beristighfar untuk menenangkan diri. Masalah yang bertubi kuhadapi membuat fisik dan mental tidak stabil. Mulut boleh berucap aku sanggup, tetapi, hatiku rapuh.Kling! Kling!Notifikasi pesan whatsapp berbunyi, kuraih dengan sebelah tangan. Ku gesek layar ponsel mewahku untuk melihat pesan masuk.[Bu, benar nggak, ni?] tanya Dara sektretaris Satria di kantor yang di sertai link tentang kejadian yang di alami Satria.[Bu, dimana?] tanyanya lagi.Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna berita yang dikirimkan oleh Dara. Hatiku kembali hancur, setelah, membaca deretan kalimat yang disusun rapi oleh si pembuat berita. Air mataku meleleh dengan sendirinya."Sehina itukah kamu sekarang, Sat?" tanyaku seorang diri.Ponsel