Part 86"Iya, sekarang kita tempat Satria, Ma," sahutku. Aku melajukan kembali mobilku. Kebingungan menguasai alam pikiranku. Aku tidak tahu arah, tempat mana yang harus aku datangi. Lokasi puncak itu sangat luas, aneh rasanya, harus ngecek ke setiap rumah sakit di sana. Aku beristighfar untuk menenangkan diri. Masalah yang bertubi kuhadapi membuat fisik dan mental tidak stabil. Mulut boleh berucap aku sanggup, tetapi, hatiku rapuh.Kling! Kling!Notifikasi pesan whatsapp berbunyi, kuraih dengan sebelah tangan. Ku gesek layar ponsel mewahku untuk melihat pesan masuk.[Bu, benar nggak, ni?] tanya Dara sektretaris Satria di kantor yang di sertai link tentang kejadian yang di alami Satria.[Bu, dimana?] tanyanya lagi.Aku terdiam sejenak, berusaha mencerna berita yang dikirimkan oleh Dara. Hatiku kembali hancur, setelah, membaca deretan kalimat yang disusun rapi oleh si pembuat berita. Air mataku meleleh dengan sendirinya."Sehina itukah kamu sekarang, Sat?" tanyaku seorang diri.Ponsel
Part 87"Mereka Wartawan, Tan, kenapa mereka tahu kita ada di sini," ujar Mama kembali panik. Pandangannya tidak tenang. Mama Rina lebih banyak menunduk, takut dengan cahaya kamera yang menyentuh wajahnya. Tubuhku semakin bergetar, seluruh sendi lemah tak bertenaga. Bagaimana bisa kasus ini, sangat cepat diketahui media. Anak-anak yang pertama kali aku cemaskan. Tidak rela, jika, mereka melihat kasus yang memalukan seperti ini. Bagaimana kalau mereka dibully di sekolah? Arrrgh! Kenapa masalah terus dan terus menghantuiku. Hati menjerit pilu, tapi tak bisa kuungkapkan. "Buk Tania, bagaimana perasaan Ibu, setelah, melihat berita kematian Pak Satria?" tanya salah seorang wanita."Buk Rina, bagaimana tanggapan anda tentang berita Pak Satria yang beredar di media," tanya salah seorangnya lagi.Mereka mengambil foto dan video kami tanpa izin. Jiwaku terguncang dengan kejadian ini, di tambah lagi, para wartawan yang menanyakan hal yang tidak mampu aku ungkapkan ke publik."Maaf, kami baru
Part 88Kuseret langkahku perlahan. Tubuh ini sangat berat untuk digerakkan. Aku semakin terisak, tidak pernah terlintas dalam bayangan mengunjungi kamar yang menakutkan seperti ini.Hawa dingin menerpa wajah, detak jantung saling bersahutan dengan cepatnya. Saat netraku menangkap sosok jenazah yang ditutupi kain putih dengan bercak darah. Rasa takut semakin mengrogoti jiwaku. Langkahku semakin berat."Ini jenazah Pak Satria, Bu," ujar lelaki berbaju putih di hadapanku.Aku hanya menatap ke arahnya. Lidahku kelu tidak mampu berkata."Pak Satria menghembuskan nafas terakhir di lokasi kejadian, di samping ada seorang wanita yang sedang kritis di ruang ICU," ujar lelaki itu.Air mataku terus berderai dengan derasnya, kepalaku mendadak pusing. Jiwaku tidak sanggup menerima semua ini, terlalu berat untuk aku lalui seorang diri.Aku melangkah mendekati jenazah yang terbujur kaku di hadapanku. Tanganku berusaha mengangkat kain yang menutupi tubuhnya."Jangan dibuka kalau Ibu tidak sanggup me
Part 89Saat aku sadar, tubuhku sudah di atas ranjang rumah sakit. Di dalam sebuah kamar yang mewah dengan fasilitas yang lengkap. Netraku menjelajah ke sekeliling ruangan, tidak ada satu pun yang menungguiku.Penglihatanku masih belum terlalu jelas. Rasa pusing teramat jelas terasa. Seluruh persendian terasa luluh lantak tak bersisa."Ya Allah, kenapa engkau mengujiku seberat ini, salah aku apa ya Allah?" Aku kembali terisak pilu dengan air mata yang berderai dengan sendirinya."Aaarrrrggghhh!" pekikku seraya menutup telinga dengan kedua tanganku."Ini mimpi, ini bukan kenyataan, ini hanya hayalan. Aku sedang bermimpi, aku sedang bermimpi," ucapku berulang-ulang."Satria, kenapa kau terus saja menyakitiku, sampai mati pun, kau menyisakan lara yang begitu dashyatnya untukku?" tanyaku dalam hati.Aku meracau seorang diri, emosi yang meninggi dengan sendirinya. Aku mencari tasku, mungkin ada panggilan dari Ayah dan Ibu, tidak sanggup di sini sendiri. Jiwa tidak mampu melaluinya seorang
Part 90"Mama Rina ... mama Rina kemana, Van?" tanyaku pada Revan. Aku melupakan wanita itu. Terakhir kali dia pingsan dan dibawa oleh Dara.Aku beranjak turun dari ranjang, memakai sepatu dan melangkah keluar. Rasa malu dan takut merajai hati dan jiwa. Namun, aku tidak mungkin membiarkan wanita itu sendiri menanggung pilu. Tatapan puluhan pasang mata membuat nyaliku menciut. Padahal sebagian besar dari mereka tidak mengetahui permasalahan yang kuhadapi. Revan membantuku mencari keberadaan Mama Rina. Beberapa saat kemudian, aku mendapati Mama Rina berjalan dengan seorang dokter ke kamar jenazah. Langkahnya terseok-seok penuh beban. Gerakan tangannya pun terlihat sangat lemat, tidak jauh berbeda denganku. Langkah kupercepat untuk menemui Mama Rina. Tidak peduli dengan keberadaan Revan di sisi. Akankah dia sanggup melihat jasad anaknya yang tidak lagi berbentuk? Rasa takut akan jiwanya yang akan terganggu, semakin menghantuiku."Mama!" teriakku. Mama Rina menoleh ke belakang. Dia men
Part 91Melihat Marsya membuat lukaku, semakin menganga lebar. Dokter Andre membuka map di tangannya. Aku memeluk Mama Rina dari belakang. Menyuruhnya beristighfar dan bersabar."Marsya ini adiknya Pak Satria, Dok," timpal Revan. Dokter Andre melirik ke arahku dan Mama."Adiknya Pak Satria, Pak?" tanyanya kepada Revan dengan nada tidak percaya."Iya," jawab Revan."Bagaimana ini semua bisa terjadi? Apa mereka melakukan melakukan hubungan sedarah?""Nggak, Marsya anak angkat dalam keluarga Pak Satria," sahut Revan cepat. Dokter Andre terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.Pertanyaan Dokter Andre membuat Mama Rina histeris, ia menjerit-jerit seperti orang gila. Kata umpatan dan makian dia arahkan kepada Marsya. Jelas tergambar kekecewaan di raut wajah senjanya. Dia tidak berdaya dalam pelukanku.Dokter Andre menjelaskan kembali kepada Mama Rina bahwa mereka ditemukan dalam kondisi setengah telanjang. Mama Rina tidak menjawab, tatapannya kosong ke arah Marsya. Napasnya tidak beraturan.
Part 92Aku terbangun karena rasa dingin yang menjalar ke dalam urat sarafku. Membuka mata perlahan dengan kepala yang masih agak berat. Kaki dan tangannku tidak bisa digerakkan sesuka hati. Pandangan kuedarkan ke seluruh ruangan, asing. Sepertinya, aku berada di sebuah gudang atau bagunan tua yang terlihat dari beberapa perabotan yang sudah usang. "Tania, bangun!" teriak wanita yang empat tahun lalu sudah menjadi adik maduku.Dia berdiri di hadapanku, tubuhnya dibalut mini dress selutut yang menampakkan betis putihnya, bagian atas tanpa lengan. Rambut pirangnya dibiarkan tergerai. Polesan make up full di wajahnya menambah kecantikan yang miliki. Namun, cara hidup yang dia pilih salah. Merebut milikku, menjadi madu dalam diam untukku. Hari ini, ia menatapku penuh kebencian. Netranya seakan keluar, melotot ke arahku.Mencoba menenangkan diri, tidak boleh gegabah, ikuti saja permainan yang di mainkannya. Aku sungingkan senyum manis untuk Karmila. Pandangan bersahabat kuarahkan pada adi
Part 93Dia menatapku lekat. Bertanya berulang kali tentang kalimat yang baru kucapkan. Aku mengiyakan dengan raut wajah serius. Aku sadar, kesalahan yang Karmila lakukan, bukan kesilapan Karmila sepenuhnya. Satria peran utama dalam pengkhianatan yang mereka lakukan.Bagaimana bisa aku menghukum Karmila, ia berada di posisi yang sama denganku. Hubungan mereka sah di mata Allah. Aku bukan manusia yang tidak punya hati. Nurani tidak membenarkan kuberlaku kejam pada Karmila. Namun, batin juga tidak mampu ikhlas akan kehadirannya. Lelah hati dan jiwa menghadapi semua. Semakin aku melawan keinginan Karmila, permasalahan ini tidak akan pernah selesai. Lari dan menjauh bukanlah solusi. "Ayo, lepaskan ikatannya, aku akan mengabulkan permintaanmu," ujarku penuh harap. Kutatap manik cokelatnya intens, sorot kesedihan juga terbaca di dalam sana."Kau tidak membohongiku, kan?" tanya Karmila untuk memastikan. "Aku bukan pembohong, kamu bisa mempercayaiku." Aku berusaha meyakinkan Karmila.Dia m