Kiara Giovanna, seorang gadis cantik berusia 23 tahun yang terpaksa menikah dengan Edwin Anderson. 26 tahun. Sosok pria yang sudah menyebabkan Daddy-nya meninggal dunía karena kecelakaan, kecelakaan yang bermula dari kelalaian Edwin sendiri. Kiara pun sudah menolak pernikahan ini, namun karena paksaan Edwin, dan permintaan Daddy-nya sebelum meninggal. Kiara akhirnya menerima pernikahaan ini.
Pernikahan yang membuat Kiara merasa kecewa, dan sia-sia. Bagaimana tidak kecewa, dan sia-sia. Jika selama pernikahannya dengan Edwin-Kiara tidak pernah di anggap, Kiara merasa di campakkan, dan Kiara merasa percuma selama dua bulan ini menjalani pernikahan. Sebab Edwin sendiri masih menjalin hubungan dengan kekasihnya, dan hanya dia yang mengetahui hal ini. Karena Edwin tidak berani mengatakan yang sesungguhnya kepada Victor. Victor Anderson, sosok pria gagah, dan tampan yang kini berusia 37 tahun. Seorang duda dan pengusaha nomor satu di New York, wajahnya yang tampan dengan rambut hitam legam yang selalu rapi, mata coklat yang tajam, dan hidung mancung membuat banyak wanita terpikat padanya. Pria itu ialah, Ayah dari Edwin Anderson. Meskipun Victor bukan Ayah biologis Edwin, tapi Victor benar-benar menganggap Edwin sebagai putra kandungnya sendiri. Sebab, Victor mengasuh Edwin semenjak mantan istrinya membawa Edwin ke mansion Anderson. Victor memiliki pembawaan yang terkesan dingin dan misterius, di balik penampilannya yang sempurna. Victor adalah seorang pria yang sulit didekati, setiap langkahnya terukur, dan wajahnya jarang menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Kiara sendiri selalu takut jika berhadapan dengan Victor. Mansion Anderson, New York. "Kak Edwin," panggil Kiara saat melihat Edwin yang baru saja masuk ke dalam kamarnya, selama dua bulan menikah dengan Edwin. Kiara tidak pernah tidur bersama suaminya itu. "Aku akan pergi selama dua hari bersama Cecil, aku harap kau bisa bekerja sama ketika Daddy menanyakanku," ucapnya dengan suara dinginnya. Kiara menghela nafasnya perlahan, wanita itu menatap Edwin dengan sendu. "Sampai kapan kita akan seperti ini, Kak? Tidak adakah harapan untuk kita memperbaiki hubungan ini selayaknya suami-istri?" tanya Kiara dengan berani, Edwin menatapnya tajam. Dalam sekali gerakan Edwin mencengkram dagu Kiara. "Kau tidak lupa statusmu bukan? Kau hanya istri di atas kertas, Kiara. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai istriku, karena kau tidak pantas! Hanya Cecilia yang pantas di sebut sebagai istriku, dan aku ingatkan kembali kepadamu ... pernikahan ini hanya akan bertahan selama satu tahun! Jadi jangan mengharapkan lebih dalam hubungan ini." Edwin menyentakkan dagu Kiara, membuat wajah gadis itu tertoleh ke kanan dengan kasar. "Lagi pula siapa yang mau denganmu? Aku menikahimu hanya karena merasa bersalah dengan Daddymu, jika saja Daddymu tidak meminta hal konyol seperti ini-aku sudah menikah dengan Cecilia saat ini sialan! Seharusnya kau bersyukur ketika aku berbaik hati memungutmu selama satu tahun, kau bisa menikmati hidup kaya sebelum aku buang," hina Edwin, Kiara yang mendengar sontak merasakan sakit hati. Dadanya terasa begitu sesak. "Jangan pernah mengatakan hal itu lagi, menjijikkan!" sentak Edwin, sebelum akhirnya pria itu melangkah keluar dari kamar Kiara. Meninggalkan Kiara yang meluruhkan tubuhnya ke lantai, gadis itu menangis. Setelahnya, Kiara langsung menuju kamar mandi. Ketika berada di kamar mandi, Kiara menghidupkan shower dan meluruhkan tubuhnya di lantai kembali. Kiara menangis histeris, menekan dadanya yang teramat sesak. Kiara memukul dadanya, menghilangkan rasa sesak yang terus bergelung di benaknya. "Apakah aku serendah itu, Dad? Kenapa dia menghinaku seperti itu? Aku bahkan sejak awal sudah menolak pernikahan ini, tapi kenapa dia yang mengatakan jika aku menjijikkan? Kenapa dia mengatakan jika aku menghancurkan hubungan mereka? Kenapa, Dad?" teriak Kiara, gadis itu meraung. Memukuli dadanya yang sangat sesak. "Apakah semua orang kaya seperti itu? Kenapa kau tidak mengajakku kesana, Dad? Aku ingin ikut bersamamu! Untuk apa aku hidup jika aku hanya sendiri di sini?" jerit Kiara. Gadis itu benar-benar terlihat memilukan, ia menggosok tubuhnya dengan kasar. Mencakarnya, dan melukainya. Sembari air matanya yang terus mengalir. "Jijik, kau menjijikkan Kiara. Kau menjijikkan, tidak akan ada yang sudi bersamamu. Tidak adal jerit Kiara dengan ribuan rasa sakit, dan sesak yang menghantam dadanya. Ada satu jam lamanya Kiara menghabiskan waktu di kamar mandi, ia menyiksa dirinya sendiri. Meluapkan amarahnya, dan melampiaskan kesedihannya. Kiara benar-benar terlihat rapuh. Kini Kiara sudah berada di atas ranjang, meringkuk dengan tubuh menggigil. Air matanya sejak tadi terus mengalir, seakan-akan tidak ingin berhenti meratapi nasibnya. Sedangkan di lantai satu, Victor duduk di meja makan dengan tatapan yang memindai sekitar. Pria itu cukup heran dengan kondisi malam ini, sebab menantu dan putranya tidak ada. Victor mendongak, menatap kepala maid di depannya. "Kemana Edwin, dan Kiara. Paula?" tanya Victor kepada kepala maid. "Tuan Edwin sudah keluar, Tuan. Kalau Nona Kiara sedang sakit, tadi saya sempat ke kamarnya berniat memanggil makan malam," jelas Paula. "Kiara sakit?" beo Victor, Paula mengangguk. "Iya, Tuan. Nona Kiara sakit, sepertinya demam," jawabnya, Victor terdiam sejenak. "Kalau begitu buatkan dia sup, dan antarkan obat untuknya. Jika masih sakit, antarkan dia ke dokter, titah Victor. "Baik, Tuan. Tadi saya sudah meminta Martina mengantarkan sup dan obat," "Baguslah," sahut Victor, pria itu mulai menyantap hidangan makan malamnya. Ada perasaam gelisah yang tiba-tiba menyerang benaknya. "Bukankah dia tadi baik-baik saja? Apakah dia dan Edwin sedang bertengkar? batin Victor. Satu minggu kemudian, Semenjak kejadian satu minggu lalu, Kiara lebih banyak diam. Gadis itu tidak terlalu berinteraksi dengan Edwin kembali seperti sebelumnya. Jika sebelumnya Kiara berusaha selayaknya seorang istri. Saat ini Kiara berusaha selayaknya orang asing. Meskipun begitu, Kiara tetap melayani Edwin di depan Victor. Berusaha terlihat baik- baik saja di depan mertuanya. "Dad," panggil Edwin, Victor menoleh. Pria itu menatap Edwin yang membawa koper. "Kau mau kemana, Edwin?" tanya Victor. "Aku mau ke Italia selama dua minggu, Dad," Victor tersenyum, "kau mau honeymoon bersama Kiara? Apakah kau membutuhkan villa pribadi Daddy?" tanya Victor, Edwin menggeleng. "Kenapa?" tanya Victor dengan heran, ia mengernyitkan dahinya. Edwin mendesah pelan, pria itu menatap Victor dengan serius. "Aku tidak honeymoon bersama Kiara, Dad. Aku ke Italia pergi sendiri bersama sekertarisku Amanda, karena ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di sana," ujar Edwin. "Daddy kira kau akan honeymoon, tapi jika kau ingin sekalian ingin honeymoon tidak apa-apa," goda Victor, Edwin mendengkus. Malam harinya, "Tidak, Dad. Sudahlah, Edwin berangkat sekarang." Edwin segera pergi setelah berpamitan kepada Victor. Victor menggelengkan kepalanya melihat putranya Edwin. Kiara sedang sibuk membuat kue, tadi siang ia sudah meminta izin Victor untuk membuat kekacauan sebentar pada dapur, dan beruntung Victor mengizinkannya. Serta membebaskannya. Menjadikan Kiara senang, la bisa mengisi kekosongannya. Berkreasi dengan kesukaannya. "Paula, cobalah kue ini. Apakah rasanya sudah pas?" Kiara memberikan kue di tangannya kepada Paula. Wanita paruh baya itu mengambilnya, dan mencicipinya. "Wah, rasanya sangat enak. Nona, kau benar- benar pintar memasak," puji Paula, Kiara terkekeh. "Jangan memujiku terlalu berlebihan seperti itu, nanti kepalaku jadi sangat besar, canda Kiara, Paula tertawa di buatnya. "Apakah sudah selesai semuanya, Nona? Lalu untuk apa kue sebanyak ini nantinya? Apakah Nona akan menjualnya?" tanya Paula, Kiara menggeleng. "Tidak, aku ingin membaginya ke panti asuhan yang biasanya aku datangi. Aku sudah berjanji kepada adik-adik di sana untuk membuatkan kue- kue ini," ucapnya dengan senyum mengembang di bibirnya. Paula turut tersenyum, la merasa terharu dengan pribadi Kiara. "Anda sangat baik, Nona," puji Paula kembali. Setelahnya, Paula dan Kiara menata kue-kue tersebut ke dalam wadah dan memasukkannya ke dalam paper bag. Kemudian, Paula pergi ke pavilliun para maid, sementara Kiara masih meneguk air dingin. Tak lama kemudian, Kiara melangkah keluar dari dapur. Gadis itu mengeratkan tali pada jubah tidurnya, ia melangkah menuju kamarnya. Ketika tiba di depan lift, Kiara melihat sosok Victor. "Dad ... hhmmpptthhh," Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ia juga melotot saat Victor dengan tidak sopannya mencium bibirnya. Kiara memberontak, namun Victor semakin menahan tubuhnya. Bahkan kini pria itu menggendong Kiara seperti karung beras. Membawanya pergi ntah kemana. "Daddy! Apa yang kau lakukan? Turunkan aku!" Kiara memukul punggung Victor, gadis itu merasa ketakutan dengan Victor yang seperti ini. "Daddy, turunkan Kiara. Kiara mohon," pinta Kiara, gadis itu sudah menangis. Rasa khawatir menyeruak ke dalam benaknya saat Victor membawanya ke dalam kamar pribadi pria itu, Victor menguncinya. Kemudian membawa Kiara ke ranjang, ia menghempaskan Kiara di atas ranjang. Tidak sakit, tapi cukup membuat Kiara meringis. "Dad, apa yang kau lakukan? Sadarlah aku istri Edwin! Kau sedang mabuk!" pekik Kiara, bau alkohol tercium menyengat di hidungnya. Kiara terus meraung, namun Victor seakan-akan menulikan telinganya. Pria itu melumat bibir Kiara, mengunci tubuh berontak Kiara. "Kau sangat cantik, Kia. Rasanya aku tidak tahan sekali, oh fuck!" Victor menggeram, pria yang tengah mabuk itu mulaii melewati batasannya, ia menyentuh Kiara dan membuat Kiara terus menangis memberontak. "Dad, sadarlah. Aku istri putramu," ucapnya dengan suara bergetar, ia menggigit bibir bawahnya saat Victor memainkan miliknya. Kiara terus berusaha melepaskan diri dari kungkungan Victor, namun percuma. Apa yang tidak seharusnya terjadi—pada akhirnya terjadi. Victor merenggut kesuciannya, kesucian yang selama ini ia jaga. Pria itu dengan tidak berdosanya menggeram, dan mengerang dalam setiap hujaman, serta hentakkan yang ia lakukan. Kiara sendiri terus meneteskan air matanya, ia merasakan jijik dan hina. Bagaimana bisa Victor menodainya. Malam ini, adalah malam kelam yang membuat Kiara merasakan kehancuran. "Oh shit! Kau membuatku gila, Kia." Victor menghentakkan miliknya, ia menyemburkan cairan cintanya untuk kesekian kalinya di dalam rahim Kiara. ***Kiara menggeliat tertahan, suara ringisan terdengar dari bibirnya. Kedua kelopak matanya bergerak, sebelum akhirnya secara perlahan mulai terbuka. Gadis yang kini sudah menjadi seorang wanita itu mengerjapkan kedua matanya berkali-kali, ia mencari kesadarannya. Wanita itu memejamkan kedua matanya sejenak, sebelum kembali terbuka dan menunduk. Kedua mata Kiara menatap sendu ke arah tangan kekar Victor yang melingkar di perut rampingnya, seketika air matanya kembali luruh saat mengingat kejadian semalam. Kejadian yang membuat hidup Kiara semakin hancur. Kiara menyingkirkan tangan Victor, wanita itu mencoba beranjak bangun dengan susah payah, ia duduk dan menoleh ke arah Victor. Hatinya kembali merasakan sesak saat bagaimana Victor berkali-kali melakukan hal gila kepadanya, Kiara mengusap air matanya, ia menuruni ranjang dan meraih kemeja Victor. Memakainya, lalu bergegas melangkah keluar dari kamar Victor dengan langkah yang susah. "Shhss, sakit sekali," gumam Kiara saat merasakan pe
Napoli, Italia."Bagaimana kabar istrimu, Sayang? Apakah dia menghubungimu?" tanya Cecilia, wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Edwin."Tidak, dan lagi untuk apa kau selalu membahasnya. Cecil? Kau mengatakan jika tidak terima dengannya, tapi kau selalu menyebutnya sebagai istriku. Apakah ini menandakan jika kau sebenarnya sudah merelakanku menjadi milik orang lain?" kesal Edwin, sebab Cecil selalu saja membahas tentang Kiara. Yang mana membuat Edwin muak."Bagaimana bisa aku menerimanya, aku membahasnya karena ingin mengingatkanmu jika kau harus segera menceraikannya!" ketus Cecil, Edwin menghembuskan nafasnya perlahan. Pria itu menarik Cecil untuk duduk di bibir ranjang."Aku akan menceraikannya, tenang saja. Kau tidak perlu khawatir, bukankah aku tidak pernah berbohong? Jika kau terus membahasnya—aku jadi muak,""Ya, maafkan aku yang selalu membuatmu muak karena Kiara. Tapi jujur aku sangat tidak suka dengannya, Sayang. Aku ingin kau segera membuangnya, dan kita menikah
"Semakin kau menolak, semakin membuatku tertarik denganmu. Kia,"Deg!Kiara terkejut, wanita itu menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Victor. Kiara semakin melangkah mundur saat Victor melangkah ke arahnya, hingga tubuhnya kini menabrak kursi. Kini tubuh Kiara terhimpit dengan kursi, dan tubuh Victor."Menjauhlah, Dad. Jangan seperti ini," ucap Kiara dengan rasa takut yang menyeruak.Victor menyeringai, tangannya terangkat membelai wajah cantik Kiara. Jemari besarnya pun sudah bergerak mengelus pipi, mata, hidung, dan berakhir di bibir sexy Kiara. Membuat wanita itu merasa ketakutan, tubuhnya bergetar."Seperti apa? Apakah seperti ini?" Victor merengkuh pinggang Kiara, Kiara tersentak. Wanita itu memberontak tapi Victor menahannya."Kenapa kau selalu menghindar semenjak kejadian itu, Kiara?" tanya Victor dengan suara geraman tertahan.Kiara kembali memberontak, wanita itu mencoba mendorong tubuh Victor. Namun tidak bisa, Victor menahannya dengan kuat. Bahkan saat ini pria itu
Bukankah Victor sangat gila, bisa-bisanya dia mengintai Kiara melalui cctv tersembunyi. Yang mana bisa melihat apapun kegiatan Kiara, Victor tersenyum smirk. Pria itu terus menatap Kiara yang kini masuk ke dalam kamar mandi.Victor mengerang, dan menggeram. Pria itu mengeluarkan miliknya, dan melakukan solo karir bermodalkan bantuan Kiara. Gila, Victor memang sudah gila.Setelah menuntaskan segalanya, dan melihat Kiara yang mulai bersiap tidur. Victor menutup laptopnya, pria itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Kedua matanya memejam."Kau harus menjadi milikku, Kia. Kau tidak bisa berharap kepada putraku, untuk apa kau mengharapkan Edwin yang malah memilih wanita lain?" gumam Victor, pria itu membuka matanya, dan mendesah pelan."Kenapa susah sekali menjeratmu? Sedangkan di luar sana para wanita biasanya langsung melemparkan dirinya kepadaku, tapi kau?" Victor mengacak-acak rambutnya dengan kasar.Tak lama kemudian, Victor berdiri. Pria itu melangkah keluar dari ruang kerjan
"Maaf, Daddy. Kiara tidak bisa, Kiara sudah memiliki suami, dan suami Kiara putra Daddy sendiri. Jadi Kiara mohon, jangan ganggu Kiara. Lupakan semua perasaan atau obsesi Daddy terhadap Kiara, sampai kapanpun Kiara tidak akan mau menjadi kekasih bahkan istri. Daddy," tolak Kiara dengan tegas.Victor tertegun, harga dirinya terasa tercoreng dengan penolakan Kiara. Pria itu melihat Kiara yang menarik kedua tangannya, dan mengalihkan wajahnya ke arah lain. Victor mengeraskan rahangnya."Kenapa kau menolakku, Kia? Kau berharap apa kepada Edwin? Dia memiliki Cecilia, bahkan dia akan menceraikanmu setelah ini. Lalu apa yang kau harapkan dari Edwin, Kia?" cerca Victor, membuat Kiara terkejut. Wanita itu menoleh."D-daddy, tau?" tanya Kiara terbata, Victor terkekeh lirih."Kau kira aku pria bodoh? Aku tau segalanya, Kiara. Bahkan aku tau jika selama ini Edwin tidak menyentuhmu—karena aku orang pertama yang menyentuhmu!" sentak Victor, jantung Kiara berpacu kian cepat. Wanita itu menggigit bib
"Stop it." Kiara menggelengkan kepalanya saat Victor akan menyerang bibirnya kembali, Victor tersenyum. "Kenapa, Baby? Apakah kau merasa tidak nyaman?" tanya Victor, Kiara mengangguk. "Aku istri putramu, Dad. Berhentilah untuk bersikap seperti ini," lirih Kiara, sesungguhnya wanita itu terbuai akan ciuman dan cumbuan Victor. Namun, mengingat jika ia berstatus istri Edwin. Membuatnya takut, Kiara tidak ingin terjatuh terlalu dalam. Sebab, Victor selalu menggodanya. Yang mana suatu saat bisa saja ia khilaf. Victor mendesah pelan, "kau benar-benar tidak ingin bersamaku, Kia?" tanya Victor, Kiara menggelengkan kepalanya. "Apa yang kau harapkan dari Edwin? Dia tidak mencintaimu, Kiara," ujar Victor dengan mengerang, pria itu menatap Kiara dengan serius. "Sudahlah, Dad. Aku tidak ingin membahasnya, bisakah Daddy keluar dari kamarku?" pinta Kiara, wanita itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Baiklah, kau istirahat. Daddy keluar dulu." Victor mengecup lembut puncak kepala
Mansion Anderson, 04.00 PM. "Dimana Kiara, dan Daddy. Paula?" tanya Edwin, pria itu baru saja pulang ke mansion setelah dua minggu pergi. "Nona Kiara ada di kamarnya, Tuan. Sementara Tuan Victor ada di mansion satunya sejak dua minggu lalu," jelas Paula dengan sopan, Edwin menaikkan sebelah alisnya. "Ke mansion satunya? Untuk apa Daddy ke sana?" "Saya kurang paham, Tuan," jawabnya, Edwin mengangguk. Pria itu melangkah menuju kamarnya. Setibanya di kamar, Edwin masuk ke dalam kamar mandi. Pria tersebut membersihkan tubuhnya, setelah selesai. Edwin menuju walk in closet, mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Kemudian, pria itu melangkah menuju kamar Kiara. "Kia, bangun." Edwin menggoyangkan tangan Kiara ketika sampai di kamar wanita itu, Kiara terusik. Wanita itu membuka kedua matanya, dan terkejut. "Kak Edwin?" Kiara beranjak bangun, ia duduk dan melihat Edwin yang menatapnya tajam. "Aku memang menikahimu, Kiara. Tapi tidak untuk kau menjadi malas-malasan begini, apakah
Victor mendorong tubuh Kiara, pria itu menatap Kiara dengan datar. Kemudian merapikan pakaiannya, dan menatap Kiara kembali. Sementara Kiara, wanita itu menatap Victor dengan kesal. "Apa yang kau lakukan, Kiara?" tanya Victor dengan datar. "Menciummu, memangnya apa lagi? Apakah kau terlalu senang di cium oleh wanita lain?" kesal Kiara, Victor mendengkus. "Memangnya kenapa jika ada wanita lain yang menciumku? Tidak ada larangannya bukan? Kau sendiri sudah menolakku, Kia. Lalu untuk apa kau mempermasalahkannya? Wajar saja jika aku berhubungan dengan wanita lain, sebab setelah kau menolakku—masih ada wanita lain yang menginginkanku," ucap Victor, membuat dada Kiara terasa sesak. "Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau inginkan datang kemari? Apakah kau memiliki urusan penting denganku, atau Edwin? Jika memang tidak ada—pergilah, karena aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Sebab sekarang aku sadar jika kau menantuku!" tekan Victor dengan suara dinginnya, yang mana kata-kata Vic
Hari itu, setelah sepekan menikmati bulan madu mereka, Edwin dan Sarah kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Edwin terlihat sangat tenang, namun tatapan matanya sesekali menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak oleh Sarah. "Sayang, kita mau langsung pulang ke apartemen?" tanya Sarah sambil menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin tersenyum kecil, tangannya menggenggam erat tangan Sarah. "Kita ada sedikit pemberhentian sebelum pulang," jawabnya penuh teka-teki. Rasa penasaran Sarah semakin memuncak saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar dengan ornamen besi berukir yang megah. Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan indah. "Edwin... ini tempat apa?" bisik Sarah sambil memandangi pemandangan di depannya dengan takjub. Edwin hanya tersenyum misterius, mengisyaratkan Sarah untuk bersabar. Mobil mereka terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri kokoh dengan desain ars
Keesokan harinya. Edwin terbangun terbangun terlebih dahulu, pria itu menatap Sarah yang masih terlelap. Jemarinya bergerak mengelus wajah cantik Sarah yang terlihat kelelahan, bibirnya mengulas senyum. "Dia memang sangat cantik, pantas saja aku sangat tergila-gila dengannya." Pria tersebut mencondongkan wajahnya ke arah Sarah, lantas mengecup bibir pucat yang sejak semalam ia nikmati. Setelahnya, Edwin menuruni ranjang. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya Edwin meminta Amanda untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tak lama kemudian, Amanda datang membawakan sarapan untuk Edwin dan Sarah. Edwin mengambilnya, dan meletakkan di atas meja. Dengan penuh cinta, dia menyiapkan sarapan untuk Sarah, menyusun makanan dengan rapi, dan memastikan semuanya sempurna . Tindakan kecil ini menunjukkan betapa Edwin ingin membuat Sarah merasa istimewa dan dihargai. Ini menjadi awal yang indah untuk bulan madu mereka, penuh dengan kasih sa
Hotel Anderson, New York. Resepsi pernikahan Edwin dan Sarah di hotel mewah Anderson berlangsung dengan sangat elegan dan megah. Terletak di aula utama hotel yang dihiasi dengan lampu kristal besar, suasana terasa mewah dan berkelas. Dekorasi dominan berwarna putih dengan sentuhan emas dan perak, memperkuat kesan glamor. Bunga-bunga segar seperti mawar putih, anggrek, dan lily ditempatkan di setiap sudut, menambahkan keindahan alami yang harmonis dengan nuansa mewah ruangan. Meja-meja tamu didekorasi dengan kain sutra berwarna krem dan dihiasi dengan centerpiece bunga serta lilin beraroma lembut. Di setiap meja, tersedia hidangan pembuka yang lezat, dengan pilihan makanan dari berbagai masakan internasional yang disiapkan oleh koki kelas dunia hotel tersebut. Panggung utama tempat Edwin dan Sarah duduk dikelilingi oleh dekorasi bunga yang indah dan latar belakang yang dipenuhi dengan lampu-lampu kecil yang berkilauan, menciptakan suasana romantis. Acara dimulai dengan pro
Beberapa hari berikutnya.Pernikahan Edwin dan Sarah adalah sebuah perayaan yang mewah dan penuh makna, dilaksanakan di sebuah hotel mewah milik Anderson yang memancarkan kemewahan dan keanggunan. Hotel ini dikenal dengan desain interiornya yang megah, dan pada hari istimewa ini, suasana menjadi semakin anggun berkat dekorasi yang disesuaikan dengan tema pernikahan.Di altar, Edwin berdiri dengan penuh kesan dalam balutan setelan tuxedo yang dirancang khusus untuk acara ini, tampak tenang dan penuh harapan. Di sampingnya, Pendeta yang akan memimpin pemberkatan berdiri dengan penuh khidmat, siap untuk meresmikan ikatan suci antara Edwin dan Sarah.Sarah, dengan anggun, melangkah menuju altar, didampingi oleh Joshua, yang bertindak sebagai walinya. Joshua, yang mengenakan setelan formal yang serasi, berjalan dengan penuh kehormatan, memberikan dukungan dan cinta kepada Sarah di hari bersejarah ini.Sarah sendiri mengenakan gaun pengantin yang menawan, dirancang dengan detail yang memuka
Beberapa hari berikutnya."Kita turun sekarang." Edwin menoleh pada Sarah yang tersenyum. "Iya, setelah dari sini kemana lagi?" Sarah melepaskan seatbeltnya, wanita itu mengambil tasnya. "Kita akan pergi menuju toko perhiasan sekalian." Edwin turun dari mobil, pria itu lantas membantu Sarah membuka pintu mobilnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam butik ternama yang ada di New York. "Selamat datang, Tuan Edwin. Silahkan di sebelah sana, untuk Nona Sarah akan ada di ruangan sebelah sini." Seorang wanita paruh baya itu membawa Sarah masuk ke dalam ruangan. Sementara Edwin masuk ke dalam ruangan lainnya yang sudah di tunjukkan oleh pemilik butik tersebut. Setelah mencoba beberapa tuxedo yang di pilihkan, Edwin memilih tuxedo yang menurutnya cocok untuknya. Setelahnya, ia melangkah menuju ruangan Sarah."Apa dia sudah selesai?""Nona Sarah sedang mencoba gaunnya, Tuan. Silahkan masuk." Wanita itu mempersilahkan Edwin untuk masuk ke dalam ruangan Sarah.Edwin melangkah masuk
Keesokan harinya. Kiara mendekati Paula yang sedang menimang Felix, wanita itu tersenyum. "Apakah Felix rewel, Paula?" Kiara mengambil alih Felix, dan menggendongnya. "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sangat anteng, bahkan saat terbangun tidak menangis." Paula tersenyum ke arah Kiara. "Kalau begitu istirahatlah, Paula. Aku akan menjaga Felix, dan Ken. Terimakasih sudah menjaga Felix, dan Ken." Kiara menatap Paula dengan tersenyum. Paula mengangguk, wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Kiara. Kiara menimang Felix. "Haus ya tadi, Sayang? Kenapa pintar sekali adik." Kiara merunduk, ia mengecup hidung bangir putranya. "Setelah ini mandi ya? Tunggu Daddy, lalu mandi bersama Kakak." Kiara membalikkan badannya, ia terkejut saat melihat Victor. "Kau mengejutkanku, Sayang." Victor mengulas senyumnya, pria itu mendekati Kiara, dan melabuhkan kecupan di kening Kiara. Lalu mengecup putranya. "Aku sudah di sini, ayo kita mandi. Setelah ini Edwin dan Sarah akan datang." Kiara m
Victor ingin tersenyum, namun ia menahannya. Sementara Kiara masih mengalungkan kedua tangannya di leher Victor, wanita itu mengecupi seluruh wajah Victor. "Maaf, maafkan aku." Kiara terus mengecup seluruh wajah Victor. Victor semakin lama semakin tidak tahan, akhirnya ia menahan Kiara. Pria itu menatap Kiara. "Aku memaafkanmu, Baby. Stop, kau bisa membangunkan yang lain." Pria itu menggeram. Kiara mengulas senyumnya, wanita itu mengerlingkan matanya menggoda. "Aku memang ingin membuatnya bangun, Sayang. Tapi nanti saja ketika kita di mansion.'' Kiara mengecup bibir Victor lembut, dan berdiri dari duduknya. Wanita itu duduk di kursinya sendiri, lantas memulai makan malamnya bersama Victor. Mereka nampak menikmati dengan khidmat. Sementara di sisi lain, Edwin menjemput Sarah di apartemennya. Mereka akan pergi makan malam bersama, setibanya di apartemen Sarah. Edwin mengetuk pintunuya, tak lama kemudian. Sarah membukanya. Edwin berdiri di depan Sarah, saat pandangannya jatuh
"Mau masuk?" Victor mengusap pipi Kiara dengan lembut. Kiara mengangguk. "Mau, ayo." Kiara tersenyum saat Victor merengkuh pinggangnya. Keduanya masuk ke dalam mansion yang telah Victor berikan, di dalam mansion yang megah itu, suasana penuh warna dan keceriaan. Kiara, dengan wajah bersinar penuh kebahagiaan, berdiri di tengah ruang besar yang dipenuhi dengan barang-barang indah dan mewah. Setiap sudut ruangan dihiasi dengan detail yang mencerminkan perhatian Victor terhadap apa yang mungkin paling membahagiakan Kiara. Lampu kristal berkilau lembut, memantulkan cahaya yang menari di sekeliling ruangan, sementara aroma bunga segar dan lilin wangi memenuhi udara. Kiara, mengenakan gaun yang anggun dan penuh warna cerah, tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. Matanya berbinar penuh keajaiban dan mulutnya melengkung dalam senyum lebar. Dia melangkah dengan lincah, menjelajahi setiap sudut ruangan, dan sesekali membalikkan badan untuk melihat Victor dengan ekspresi penuh rasa
Sarah mendorong tubuh Edwin agar menjauh darinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia bisa lepas dari Edwin. Sarah menatap Edwin dengan tajam. "Jangan bersikap kurang ajar, Tuan. Lebih baik sekarang Anda pergi." "Kau yakin mengusirku? Sementara kau sendiri menginginkannya, Sarah?" Edwin menaikkan sebelah alisnya, ia semakin mendekati Sarah. Namun, Sarah menjauh. "Saya tidak menginginkannya, Tuan. Jadi lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya memukul Anda." Sarah menatap Edwin dengan tajam. Edwin mendengkus, jika sudah begini. Tandanya Sarah tidak bisa untuk di negosiasi. Edwin menatap Sarah. "Kalau begitu aku pergi dulu, tapi ingat satu hal—aku akan tetap berusaha mendapatkanmu kembali." Oh sial! Suara penuh intimidasi, dan tatapan seriusnya membuat Sarah bergidik. Wanita itu menatap Edwin dengan berani. "Pergilah, Tuan." Edwin mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang." Edwin membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Sarah. Seperginya Edwin, Sa