"Stop it." Kiara menggelengkan kepalanya saat Victor akan menyerang bibirnya kembali, Victor tersenyum.
"Kenapa, Baby? Apakah kau merasa tidak nyaman?" tanya Victor, Kiara mengangguk. "Aku istri putramu, Dad. Berhentilah untuk bersikap seperti ini," lirih Kiara, sesungguhnya wanita itu terbuai akan ciuman dan cumbuan Victor. Namun, mengingat jika ia berstatus istri Edwin. Membuatnya takut, Kiara tidak ingin terjatuh terlalu dalam. Sebab, Victor selalu menggodanya. Yang mana suatu saat bisa saja ia khilaf. Victor mendesah pelan, "kau benar-benar tidak ingin bersamaku, Kia?" tanya Victor, Kiara menggelengkan kepalanya. "Apa yang kau harapkan dari Edwin? Dia tidak mencintaimu, Kiara," ujar Victor dengan mengerang, pria itu menatap Kiara dengan serius. "Sudahlah, Dad. Aku tidak ingin membahasnya, bisakah Daddy keluar dari kamarku?" pinta Kiara, wanita itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Baiklah, kau istirahat. Daddy keluar dulu." Victor mengecup lembut puncak kepala Kiara, membuat Kiara memejamkan kedua matanya. Kiara membuka matanya kembali saat Victor sudah pergi dari kamarnya. "Maafkan, Kiara. Dad, Kiara tidak ingin jika lama-lama Kiara merasa nyaman dengan Daddy,'' gumam Kiara, karena sesungguhnya saat ini Kiara sudah merasakan sedikit kenyamanan itu. Sementara Victor, pria itu masuk ke dalam ruang kerjanya, ia meneguk wine di tangannya sembari kedua matanya yang menatap Kiara dari laptopnya. Victor terus memandangi kegiatan Kiara di dalam kamar, sesekali ia tersenyum melihat tingkah Kiara. Apalagi saat melihat Kiara yang kesal karena tidak bisa tidur. "Aku harus bagaimana agar bisa membuatmu terikat denganku, Kia? Karena tidak mungkin jika aku memaksamu, yang ada kau semakin membenciku," gumam Victor, pria tersebut menghembuskan nafasnya kasar. Setelahnya, Victor menuju kamar Kiara. Pria itu menyelinap masuk, dan kembali menemani Kiara tidur. Victor memeluk Kiara, membuat tidur Kiara semakin lelap. Hingga keesokan harinya, Kiara menggeliat tertahan. Wanita itu menggerakkan kelopak matanya, dan membuka matanya secara perlahan. Kiara menunduk saat merasakan berat pada perutnya, saat melihat ke bawah. Kedua mata Kiara melotot, sebab ada tangan kekar yang melingkar di perutnya. Kiara membalikkan badannya, wanita itu melihat Victor yang sedang memejamkan kedua matanya. "Daddy bangun! Bagaimana bisa kau ada di sini huh?" pekik Kiara, wanita itu menepuk-nepuk rahang tegas Victor, membuat Victor terusik. "Apa, Baby?" tanya Victor, ia membuka kedua matanya menatap Kiara. "Kenapa Daddy ada di sini, dan bagaimana bisa Daddy masuk?" Victor terdiam sejenak, "Daddy ingin menemanimu," ujarnya, Kiara mendengkus. "Kiara tidak perlu teman, Dad. Lebih baik sekarang Daddy keluar, Kiara mau mandi," usirnya, Victor tersenyum. "Kau mau mandi? Bagaimana jika kita mandi bersama?" goda Victor. "Jangan bercanda, Dad. Aku sudah mengatakannya berkali-kali kepadamu, jangan seperti ini. Ingatlah jika aku istri putramu, sampai kapanpun aku tidak akan mau bersamamu. Kita sudah melakukan kesalahan, jangan sampai kita semakin berbuat kesalahan," ucap Kiara dengan nada marahnya, wanita itu memberontak. Victor melepaskannya, membiarkan Kiara bangun. "Kiara mohon, Dad. Jangan ganggu Kiara lagi, lupakan tentang kesalahan semalam itu," mohon Kiara dengan mengatupkan kedua tangannya di depan dada. Victor menghembuskan nafasnya pelan, ia beranjak bangun, dan menatap Kiara serius. Pria itu merasa kesal dengan penolakan Kiara berkali-kali, apalagi melihat Kiara yang keras kepala. menjadikan Victor ingin sekali memaksa wanita itu. "Edwin tidak akan membahagiakanmu, Kia," "Aku tidak perduli, Dad. Yang harus kau ingat—aku istri Edwin," sahut Kiara. "Dia akan menceraikanmu, Kia, dan membuangmu," ucap Victor kembali, Kiara menatap Victor. "Apapun itu—biarkan menjadikan keputusanku dengan, Edwin. Dad, mau bagaimana nantinya hubungan kita berdua. Yang terpenting adalah saat ini aku istri Edwin, dan Daddy tidak berhak ikut campur akan masalah ini. Jadi Kiara mohon, jangan mengusik Kiara, dan lupakan kejadian itu. Kiara mohon," mohon Kiara kembali, Victor mengeraskan rahangnya. Amarahnya memuncak, namun ia mati-matian menahannya. "Aku tanya kembali kepadamu, Kiara. Kau benar-benar tidak ingin bersamaku, dan meninggalkan putraku itu?" tanya Victor, Kiara menggelengkan kepalanya. "Tidak, Dad. Aku tetap akan bersama Victor," tegasnya, yang semakin membuat dada Victor terbakar. "Meskipun aku mengatakan jika aku mencintaimu?" tanya Victor, Kiara terkejut. Dadanya berdebar dengan kencang, lidahnya terasa keluh saat mendapatkan pertanyaan dari Victor barusan. "Jawab, Kiara," tekan Victor, Kiara menggigit bibir bawahnya. "Y-ya, meskipun Daddy mencintaiku," jawabanya terbata, Victor mengepalkan kedua tangannya. Emosinya benar-benar sudah memuncak. "Baik, jika memang itu kemauanmu. Daddy tidak akan pernah mengganggumu lagi, maafkan Daddy jika pernah mengganggumu. Semoga kau bahagia dengan keputusanmu," tegas Victor dengan penuh amarah yang tersimpan, membuat Kiara menelan salivanya dengan susah payah. Kiara mendongak, wanita itu menatap Victor yang sudah melangkah pergi dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Sampai membuatnya terjingkat, seperginya Victor. Kiara meneteskan air matanya, tiba-tiba benaknya terasa sesak mendengar ucapan Victor. "M-maaf," gumam Kiara. Sementara di sisi Victor, pria itu membanting barang-barangnya hingga pecah berkeping-keping. Pria itu benar-benar melampiaskan emosinya. "Fuck! Kau benar-benar membuatku marah, Kiara. Lihat saja nanti, aku akan memastikan jika kau akan memohon kepadaku!" tekan Victor. "Argh brengsek!" Victor melemparkan guci di sampingnya hingga menghantam dinding, dan pecah berkeping-keping. Malam harinya, "Dimana, Daddy. Paula?" tanya Kiara, ia mencari keberadaan Victor. Sebab semenjak pertengkarannya dengan Victor tadi pagi, Kiara belum melihat Victor sama sekali. "Nona tidak tau?" "Tau apa?" tanya Kiara kembali dengan heran. "Tuan Victor mengatakan jika pindah ke mansion satunya," jelas Paula, membuat dada Kiara terasa nyeri. "Pindah? Mansion mana?" tanya Kiara. "Iya, Nona. Tuan mengatakan jika selama beberapa bulan akan tinggal di mansion satunya, tapi Nona tenang saja. Tuan sudah berpesan tentang semua yang Nona butuhkan," jelas Paula, yang mana rasa nyeri itu semakin menghujam benak Kiara. "Dimana mansion itu, Paula?" "Wah ... saya juga tidak tau, Nona. Sebab Tuan tidak pernah memberitahu kami tetang mansion itu," ucap Paula. Kiara mengangguk. Wanita itu melangkah kembali ke ke kamarnya. Setibanya di kamar, Kiara melangkah menuju ranjang. Wanita itu duduk di bibir ranjang. Kiara menghembuskan nafasnya perlahan. "Apakah kau sangat marah kepadaku, Dad?" gumam Kiara, tiba-tiba saja air matanya menetes saat mengingat Victor. Hari terus berlalu, minggu demi minggu terlewati. Sudah genap dua minggu ini Victor menarik diri dari Kiara, membuat Kiara merasakan kesepian. Tidak jarang Kiara juga menangis di kamar saat merasakan rindu kepada Victor, Victor sendiri diam-diam tetap memperhatikan Kiara. Meskipun ia sedang dalam misi menarik diri. "Kenapa kau lebih memilih tinggal di mansion lain? Apakah ini caramu menghindar?" gumam Kiara, wanita itu membaringkan tubuhnya. Air matanya terus mengalir deras. "Kau kemana, Dad? Aku merindukanmu," ucap Kiara dengan rasa sesak di benaknya.Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 🥰
Mansion Anderson, 04.00 PM. "Dimana Kiara, dan Daddy. Paula?" tanya Edwin, pria itu baru saja pulang ke mansion setelah dua minggu pergi. "Nona Kiara ada di kamarnya, Tuan. Sementara Tuan Victor ada di mansion satunya sejak dua minggu lalu," jelas Paula dengan sopan, Edwin menaikkan sebelah alisnya. "Ke mansion satunya? Untuk apa Daddy ke sana?" "Saya kurang paham, Tuan," jawabnya, Edwin mengangguk. Pria itu melangkah menuju kamarnya. Setibanya di kamar, Edwin masuk ke dalam kamar mandi. Pria tersebut membersihkan tubuhnya, setelah selesai. Edwin menuju walk in closet, mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Kemudian, pria itu melangkah menuju kamar Kiara. "Kia, bangun." Edwin menggoyangkan tangan Kiara ketika sampai di kamar wanita itu, Kiara terusik. Wanita itu membuka kedua matanya, dan terkejut. "Kak Edwin?" Kiara beranjak bangun, ia duduk dan melihat Edwin yang menatapnya tajam. "Aku memang menikahimu, Kiara. Tapi tidak untuk kau menjadi malas-malasan begini, apakah
Victor mendorong tubuh Kiara, pria itu menatap Kiara dengan datar. Kemudian merapikan pakaiannya, dan menatap Kiara kembali. Sementara Kiara, wanita itu menatap Victor dengan kesal. "Apa yang kau lakukan, Kiara?" tanya Victor dengan datar. "Menciummu, memangnya apa lagi? Apakah kau terlalu senang di cium oleh wanita lain?" kesal Kiara, Victor mendengkus. "Memangnya kenapa jika ada wanita lain yang menciumku? Tidak ada larangannya bukan? Kau sendiri sudah menolakku, Kia. Lalu untuk apa kau mempermasalahkannya? Wajar saja jika aku berhubungan dengan wanita lain, sebab setelah kau menolakku—masih ada wanita lain yang menginginkanku," ucap Victor, membuat dada Kiara terasa sesak. "Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau inginkan datang kemari? Apakah kau memiliki urusan penting denganku, atau Edwin? Jika memang tidak ada—pergilah, karena aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Sebab sekarang aku sadar jika kau menantuku!" tekan Victor dengan suara dinginnya, yang mana kata-kata Vic
Victor mengambil air hangat, dan handuk kecil. Setelahnya, ia kembali mendekati Kiara yang sudah terlelap. Victor duduk di bibir ranjang, pria tersebut mengulas senyumnya melihat Kiara yang nampak sangat kelelahan. Bagaimana tidak kelelahan—jika mereka saja melakukannya sampai empat kali, seandainya Kiara tidak mengeluh perutnya sakit. Mungkin Victor akan terus menggempurnya. "Aku tau jika saat ini kau sedang hamil, Baby. Tapi aku akan diam saja sampai kau menyadarinya sendiri." Victor mengelus perut Kiara, pria itu merundukkan tubuhnya dan mengecup perut Kiara penuh sayang. "Sehat selalu anak, Daddy. Terimakasih—karena kau, Mommy jadi mau mendekat," bisiknya, Victor terkekeh. Setelah itu, ia menegakkan tubuhnya. Victor mulai membersihkan tubuh Kiara dengan handuk kecil yang ia bawa tadi, Victor sangat telaten membersihkan tubuh Kiara. Ketika selesai, Victor mengembalikan wadah, dan handuk kecilnya ke kamar mandi. Kemudian pria tersebut bergabung dengan Kiara. Malam harinya,
Keesokan harinya, Kiara menggeliat, secara perlahan wanita itu membuka kedua matanya, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebelum akhirnya Kiara membalikkan badannya, wanita itu menatap Victor yang masih terlelap. Tangannya terulur mengelus rahang tegas Victor. "Daddy," panggil Kiara. "Ayo bangun, sudah pagi. Daddy tidak ke kantor? Kiara hari ini ada urusan ke kampus," ucap Kiara, wanita itu terus mengelus rahang tegas Victor. Sampai akhirnya Kiara mengelus bibir Victor, membuat Victor menggigit jemari Kiara. "Daddy!" pekik Kiara terkejut, Victor membuka kedua matanya. Pria itu terkekeh, dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Kiara. "Morning, Baby," Kiara mengulas senyumnya, "morning, Daddy. Ayo bangun, sudah pagi," "Hm, kau mengatakan apa tadi? Kau ada urusan ke kampus?" "Ya, aku harus menandatangani beberapa berkas untuk wisuda nanti," jawabnya, Victor mengangguk. "Kapan kau wisuda, Baby?" "Tiga bulan lagi, kenapa? Daddy mau datang?" "Mau, Daddy akan d
"Apa lagi yang mereka lakukan kepada Kiara?" sentak Victor, wajahnya mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat. "Hanya itu, Tuan. Tapi sekarang Nona Kiara kesakitan akibat tendangan Nona Cecilia," jelas anak buah Victor, membuat Victor semakin meradang. "Brengsek! Mereka benar-benar membuatku marah, bagaimana bisa mereka mencelakai kesayanganku hah? Lalu apa tugas kalian di saat Kiara di celakai?" bentak Victor, anak buah Victor menunduk ketakutan. "Sekarang lakukan tugas dariku, jangan buat mereka mati. Cukup lukai mereka, dan buat celaka! Aku ingin mereka berdua merasakan apa yang Kiara rasakan, kalian paham?" tegas Victor, dua anak buah Victor mengangguk. "Kami paham, Tuan," ujar mereka berdua. "Bagus, sekarang jalankan tugas kalian. Aku ingin mendengar mereka benar-benar celaka!" "Baik, Tuan. Lalu bagaimana dengan Nona Kiara?" "Aku yang akan mengurusnya." Victor menatap keduanya dengan tajam, sebelum akhirnya pria itu melangkah pergi. Victor masuk ke dalam mobilnya
Bellevue Hospitals, "Bagaimana situasinya?" tanya Victor pada anak buahnya melalui panggilan telefon. "Aman, Tuan. Apakah Anda akan kemari sekarang?" tanya anak buah Victor. "Ya, aku kesana. Buka pintu ruangan Cecil," ucap Victor, sebelum akhirnya pria itu mematikan sambungan telefonnya. Victor membalikkan badannya, ia masuk ke dalam ruangan Kiara. Setibanya di kamar, Victor mendekati Kiara. Tangannya bergerak mengelus lembut puncak kepala Kiara, kemudian, ia merundukkan tubuhnya, dan mengecup Kiara. "Istirahatlah, aku akan membalas apa yang sudah Cecil lakukan kepadamu. Baby," bisik Victor, ia menegakkan tubuhnya, dan melangkah keluar dari ruangan Kiara. Setibanya di ruangan Cecil, Victor menyeringai. Pria itu melihat Cecil yang terbaring dengan beberapa luka di tubuhnya, lantas—Victor mengeluarkan belati kecil dari saku kemejanya, ia mendekati ranjang Cecil. Victor menancapkan belatinya pada pipi Cecil. "Kau cantik, tapi sayang—masih cantik Kiara. Bahkan kini kau
"Aku mencintaimu, Victor," Deg! Victor tertegun, jantungnya berdegup dengan kencang. Ketika telinganya mendengar Kiara mengatakan cinta, Victor menjauhkan tubuhnya dari Kiara. Pria tersebut menatap Kiara dengan serius, mencoba mencari kebohongan pada kedua mata teduh itu. "Kau mengatakan apa, Baby? Coba katakan lagi," pinta Victor, Kiara mendengkus geli. "Tidak ada siaran ulang, Sayang," ucap Kiara, membuat Victor terkekeh. "Ulang lagi, Baby. Aku benar-benar ingin mendengarnya, aku mohon," ucap Victor dengan memohon, Kiara tersenyum. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Aku mencintaimu, Victor. Mencintaimu, dan mencintaimu!" seru Kiara, menerbitkan senyuman dan jantung berdebar-debar di hati Victor. Victor meraih dagu Kiara, mendongakkan wajah wanita itu. Membuatnya bisa memangut bibir Kiara, Victor memangutnya dengan penuh kelembutan. Kiara sendiri turut membalas pangutan Victor dengan intens. Lama keduanya berpangutan, kemudian—Victor menyudah
Beberapa hari berlalu, Setelah berada di rumah sakit menjalani perawatan, kini Edwin sudah kembali ke mansion. Dalam beberapa hari ini, ia juga sering memperhatikan Kiara. Sebab wanita itu semakin menjaga jarak dengannya, dan nampak acuh. "Kiara," panggil Edwin, pria tersebut berdecak saat Kiara tidak menyahut. "Kiara, apakah kau tidak mendengarku?" sentak Edwin, Kiara mendesah pelan. Lantas membalikkan badannya, dan menatap Edwin dengan serius. "Kenapa, Kak?" tanya Kiara dengan malas. "Aku sejak tadi memanggilmu, apakah telingamu bermasalah?" gerutu Edwin, pria itu menatap Kiara dengan serius. 'Ternyata dia juga sangat cantik, tubuhnya pun sangat indah. Bagaimana jika aku meminta hak sebagai seorang suami? Shit!' batin Edwin, ia menggelengkan kepalanya saat pikiran kotor mulai membayangi otaknya. "Kau hanya ingin memanggilku tanpa sebab, Kak?" kesal Kiara, Edwin tersadar. "Tidak, bisakah kau membantuku untuk mengganti perban di tanganku?" tanya Edwin, Kiara te