"Maaf, Daddy. Kiara tidak bisa, Kiara sudah memiliki suami, dan suami Kiara putra Daddy sendiri. Jadi Kiara mohon, jangan ganggu Kiara. Lupakan semua perasaan atau obsesi Daddy terhadap Kiara, sampai kapanpun Kiara tidak akan mau menjadi kekasih bahkan istri. Daddy," tolak Kiara dengan tegas.
Victor tertegun, harga dirinya terasa tercoreng dengan penolakan Kiara. Pria itu melihat Kiara yang menarik kedua tangannya, dan mengalihkan wajahnya ke arah lain. Victor mengeraskan rahangnya. "Kenapa kau menolakku, Kia? Kau berharap apa kepada Edwin? Dia memiliki Cecilia, bahkan dia akan menceraikanmu setelah ini. Lalu apa yang kau harapkan dari Edwin, Kia?" cerca Victor, membuat Kiara terkejut. Wanita itu menoleh. "D-daddy, tau?" tanya Kiara terbata, Victor terkekeh lirih. "Kau kira aku pria bodoh? Aku tau segalanya, Kiara. Bahkan aku tau jika selama ini Edwin tidak menyentuhmu—karena aku orang pertama yang menyentuhmu!" sentak Victor, jantung Kiara berpacu kian cepat. Wanita itu menggigit bibir bawahnya. "Aku benar bukan? Lalu apa yang kau harapkan dari pernikahan ini huh? Kau tidak bahagia, Kiara. Lepaskan Edwin, dan jadilah milikku! Aku akan menjamin segala kebahagiaan yang tidak pernah Edwin berikan kepadamu," ucap Victor dengan serius. Lama Kiara terdiam, sampai akhirnya wanita itu menghembuskan nafasnya pelan. Kiara mengalihkan wajahnya ke arah lain, hatinya mendadak berdebar tidak karuan. Emosionalnya tidak stabil. "Aku tidak bisa, Dad. Meskipun pernikahan kami tidak di landasi cinta, statusku tetap istri putramu. Jangan memaksaku, karena sampai kapanpun aku tidak akan bisa menerima Daddy. Sekalipun aku bercerai dengan Edwin, aku akan pergi dan tidak akan berurusan dengan kalian kembali," jawabnya dengan lirih, ada rasa berat di benaknya saat melontarkan kata-kata tersebut. Victor mengerang, pria itu mengacak kasar rambutnya. Bagaimana bisa Kiara sangat keras kepala seperti ini, Victor rasanya hampir frustasi. Dengan cara apalagi Victor harus mendapatkan Kiara. "Aku akan tetap mengejarmu, Kiara. Kau akan menjadi milikku, camkan itu!" Victor menyalakan mesin mobilnya, pria itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sementara Kiara, wanita itu melirik ke arah Victor sejenak. Ada perasaan aneh di benaknya, namun Kiara tidak memahaminya. Perasaan apa yang kini ia rasakan. Setibanya di mansion, Kiara segera masuk ke dalam kamarnya. Victor sendiri memilih pergi menuju kantornya. Malam harinya, "Kemana Daddy, dan Kak Edwin. Paula?" tanya Kiara pada kepala maid saat melihat meja makan sepi. "Sepertinya Tuan Edwin, dan Tuan Victor belum kembali. Nona," jawab Paula, Kiara mengangguk. Wanita itu ingin membantu Paula. Hoekkk ... hoekkk ... hoekkk Kiara berlari ke arah wastafel, wanita itu memuntahkan isi perutnya yang kembali bergejolak hanya karena mencium aroma bumbu. Paula sendiri terkejut, ia membantu Kiara. Memijit tengkuk wanita itu. "Sudah, Paula. Terimakasih," ujar Kiara saat selesai memuntahkan semua isi perutnya, wanita itu mengelap sudut bibirnya. "Kenapa bau sekali, Paula. Apakah bumbu persediaan basi?" tanya Kiara, Paula mengernyit. "Tidak, Nona. Bumbunya masih bagus, bukankah Nona sendiri yang membelinya kemarin?" "Iya, aku yang membelinya kemarin. Tapi sungguh baunya sangat tidak enak, Paula. Perutku rasanya mual sekali saat menciumnya," ujarnya dengan kesal. "Kalau begitu Nona duduk saja, tidak usah ikut membantu hari ini. Daripada Nona kembali muntah-muntah," saran Paula, Kiara mengangguk. "Maafkan aku, Paula. Semangat memasak." Kiara tersenyum, wanita itu menepuk lengan Paula beberapa kali. Kemudian berlalu pergi. "Apakah Nona Kiara sedang hamil? Aku harus mengatakannya kepada Tuan Victor," gumam Paula. Setelahnya, kini Kiara duduk di kursi meja makan sendiri. Wanita itu menatap sekelilingnya dengan cemberut. Kiara merasa kesal karena tidak ada Edwin, ataupun Victor. "Kemana mereka berdua? Kenapa tidak segera pulang? Apakah mereka sama-sama lembur?" cerca Kiara sendiri, wanita itu sangat kesal. "Paula, ayo temani aku makan," pinta Kiara, Paula menggeleng. "Maaf, Nona. Saya tidak bisa, Nona saja yang makan. Saya temani dari sini," tolak Paula. "Tidak mau, aku maunya di temani. Paula," rengek Kiara, tiba-tiba saja wanita itu menjadi manja. Paula terkekeh. "Baiklah, Nona. Saya temani." Paula duduk di samping Kiara, menerbitkan senyum di bibir wanita cantik itu. Sementara itu, Victor tidak ingin kembali ke mansion malam ini. Setelah penolakan yang Kiara lakukan, Victor ingin menarik diri sejenak dari Kiara. Victor ingin membiarkan Kiara sendiri sebentar. Hingga akhirnya, apa yang Victor lakukan berlarut sampai tiga hari lamanya. Pria itu sudah tiga hari ini tidak kembali ke mansion, begitu juga dengan Edwin. Pria itu pun turut tidak pernah pulang, membuat Kiara kesal. Wanita itu sedih. "Kenapa mereka berdua sama-sama tidak pulang ke mansion? Apakah mereka tidak ingin jalan pulang? Daddy Victor juga begitu, apakah dia marah setelah aku menolaknya?" Kiara terisak, wanita itu memeluk kedua lututnya sendiri. "Tapi ‘kan dia mengatakan jika akan tetap mengejarku, lalu ini apa? Kenapa dia tidak pulang ke mansion? Malah membiarkanku sendirian selama tiga hari, apakah dia tidak tau jika aku kesepian? Dia juga tidak menghubungiku." Kiara mengusap air matanya yang terus mengalir deras, dadanya terasa sesak. Wanita itu nampak bingung dengan perasaannya sendiri. "Jahat, Daddy Victor jahat! Apa yang ia katakan tidak sama dengan tindakannya! Awas saja jika bertemu, aku tidak mau berbicara dengannya lagi," gerutu Kiara tanpa sadar, wanita itu tidak sadar jika sejak tadi bibirnya terus menyebutkan nama Victor. Sedangkan yang di cari-cari oleh Kiara saat ini baru saja menginjakkan kedua kakinya di mansion, pria itu nampak lelah sekali. Selama tiga hari ini ia menyibukkan diri dengan pekerjaannya, sampai akhirnya lupa untuk pulang. Larut dalam aksi menarik diri, bahkan ponselnya pun mati sejak tiga hari lalu. "Tuan," sapa Paula, Victor mengangguk. "Kemana, Kiara?" tanya Victor, Paula tersenyum. "Ada di kamarnya, Tuan. Tiga hari ini Nona Kiara nampak sedih karena Tuan dan Tuan Edwin tidak ada di mansion," jelasnya. "Sedih?" Victor menaikkan sebelah alisnya, Paula mengangguk. "Iya, Tuan. Nona Kiara terlihat sangat sedih," "Yasudah, kembalilah ke paviliun. Aku akan melihatnya di kamar." Victor melangkah menuju kamarnya, ia membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya pergi menuju kamar Kiara. Setibanya di kamar Kiara, Victor masuk. Pria itu melihat Kiara yang terisak dengan tubuh meringkuk, Victor meringis. Pria itu merasa kasihan dengan Kiara. "Kiara," panggil Victor dengan suara berat, dan seraknya. Membuat Kiara menoleh. Deg! Kiara terkejut, ia mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Mencoba memastikan apakah yang ia lihat benar atau tidak, kemudian Kiara beranjak duduk. Wanita itu menepuk kedua pipinya. Membuat Victor terkekeh gemas, ia duduk di bibir ranjang. Lalu menarik Kiara di dalam dekapannya. "Sakit, jangan di tepuk-tepuk begitu." Victor mengurai pelukannya, ia menangkup wajah cantik Kiara. Jemari besarnya mengusap air mata wanita itu. "Kenapa menangis? Merindukanku, hm?" "Tidak, aku tidak merindukan. Daddy, sana pergi. Kenapa pulang? Tidak usah pulang seharusnya, sudah sana pergi ... hhmmppthhh," Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya saat Victor menciumnya dengan paksa. Victor memangut bibir Kiara dengan menuntut, tangan kanannya menahan tengkuk Kiara. Kiara sendiri memberontak, ia mencoba melepaskan diri. Namun tidak bisa, hingga pada akhirnya. Kiara turut larut dalam ciuman paksa Victor. "Eugh ... Daddy," lenguh Kiara. Victor tersenyum. "Manis, bibirmu selalu manis. Kiara," bisik Victor, sebelum akhirnya pria itu menyerang leher Kiara. "Oh, Daddy!" desah Kiara, wanita itu menggigit bibir bawahnya."Stop it." Kiara menggelengkan kepalanya saat Victor akan menyerang bibirnya kembali, Victor tersenyum. "Kenapa, Baby? Apakah kau merasa tidak nyaman?" tanya Victor, Kiara mengangguk. "Aku istri putramu, Dad. Berhentilah untuk bersikap seperti ini," lirih Kiara, sesungguhnya wanita itu terbuai akan ciuman dan cumbuan Victor. Namun, mengingat jika ia berstatus istri Edwin. Membuatnya takut, Kiara tidak ingin terjatuh terlalu dalam. Sebab, Victor selalu menggodanya. Yang mana suatu saat bisa saja ia khilaf. Victor mendesah pelan, "kau benar-benar tidak ingin bersamaku, Kia?" tanya Victor, Kiara menggelengkan kepalanya. "Apa yang kau harapkan dari Edwin? Dia tidak mencintaimu, Kiara," ujar Victor dengan mengerang, pria itu menatap Kiara dengan serius. "Sudahlah, Dad. Aku tidak ingin membahasnya, bisakah Daddy keluar dari kamarku?" pinta Kiara, wanita itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Baiklah, kau istirahat. Daddy keluar dulu." Victor mengecup lembut puncak kepala
Mansion Anderson, 04.00 PM. "Dimana Kiara, dan Daddy. Paula?" tanya Edwin, pria itu baru saja pulang ke mansion setelah dua minggu pergi. "Nona Kiara ada di kamarnya, Tuan. Sementara Tuan Victor ada di mansion satunya sejak dua minggu lalu," jelas Paula dengan sopan, Edwin menaikkan sebelah alisnya. "Ke mansion satunya? Untuk apa Daddy ke sana?" "Saya kurang paham, Tuan," jawabnya, Edwin mengangguk. Pria itu melangkah menuju kamarnya. Setibanya di kamar, Edwin masuk ke dalam kamar mandi. Pria tersebut membersihkan tubuhnya, setelah selesai. Edwin menuju walk in closet, mengganti pakaiannya dengan pakaian santai. Kemudian, pria itu melangkah menuju kamar Kiara. "Kia, bangun." Edwin menggoyangkan tangan Kiara ketika sampai di kamar wanita itu, Kiara terusik. Wanita itu membuka kedua matanya, dan terkejut. "Kak Edwin?" Kiara beranjak bangun, ia duduk dan melihat Edwin yang menatapnya tajam. "Aku memang menikahimu, Kiara. Tapi tidak untuk kau menjadi malas-malasan begini, apakah
Victor mendorong tubuh Kiara, pria itu menatap Kiara dengan datar. Kemudian merapikan pakaiannya, dan menatap Kiara kembali. Sementara Kiara, wanita itu menatap Victor dengan kesal. "Apa yang kau lakukan, Kiara?" tanya Victor dengan datar. "Menciummu, memangnya apa lagi? Apakah kau terlalu senang di cium oleh wanita lain?" kesal Kiara, Victor mendengkus. "Memangnya kenapa jika ada wanita lain yang menciumku? Tidak ada larangannya bukan? Kau sendiri sudah menolakku, Kia. Lalu untuk apa kau mempermasalahkannya? Wajar saja jika aku berhubungan dengan wanita lain, sebab setelah kau menolakku—masih ada wanita lain yang menginginkanku," ucap Victor, membuat dada Kiara terasa sesak. "Sekarang katakan kepadaku, apa yang kau inginkan datang kemari? Apakah kau memiliki urusan penting denganku, atau Edwin? Jika memang tidak ada—pergilah, karena aku tidak ingin ada kesalahpahaman. Sebab sekarang aku sadar jika kau menantuku!" tekan Victor dengan suara dinginnya, yang mana kata-kata Vic
Victor mengambil air hangat, dan handuk kecil. Setelahnya, ia kembali mendekati Kiara yang sudah terlelap. Victor duduk di bibir ranjang, pria tersebut mengulas senyumnya melihat Kiara yang nampak sangat kelelahan. Bagaimana tidak kelelahan—jika mereka saja melakukannya sampai empat kali, seandainya Kiara tidak mengeluh perutnya sakit. Mungkin Victor akan terus menggempurnya. "Aku tau jika saat ini kau sedang hamil, Baby. Tapi aku akan diam saja sampai kau menyadarinya sendiri." Victor mengelus perut Kiara, pria itu merundukkan tubuhnya dan mengecup perut Kiara penuh sayang. "Sehat selalu anak, Daddy. Terimakasih—karena kau, Mommy jadi mau mendekat," bisiknya, Victor terkekeh. Setelah itu, ia menegakkan tubuhnya. Victor mulai membersihkan tubuh Kiara dengan handuk kecil yang ia bawa tadi, Victor sangat telaten membersihkan tubuh Kiara. Ketika selesai, Victor mengembalikan wadah, dan handuk kecilnya ke kamar mandi. Kemudian pria tersebut bergabung dengan Kiara. Malam harinya,
Keesokan harinya, Kiara menggeliat, secara perlahan wanita itu membuka kedua matanya, ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebelum akhirnya Kiara membalikkan badannya, wanita itu menatap Victor yang masih terlelap. Tangannya terulur mengelus rahang tegas Victor. "Daddy," panggil Kiara. "Ayo bangun, sudah pagi. Daddy tidak ke kantor? Kiara hari ini ada urusan ke kampus," ucap Kiara, wanita itu terus mengelus rahang tegas Victor. Sampai akhirnya Kiara mengelus bibir Victor, membuat Victor menggigit jemari Kiara. "Daddy!" pekik Kiara terkejut, Victor membuka kedua matanya. Pria itu terkekeh, dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Kiara. "Morning, Baby," Kiara mengulas senyumnya, "morning, Daddy. Ayo bangun, sudah pagi," "Hm, kau mengatakan apa tadi? Kau ada urusan ke kampus?" "Ya, aku harus menandatangani beberapa berkas untuk wisuda nanti," jawabnya, Victor mengangguk. "Kapan kau wisuda, Baby?" "Tiga bulan lagi, kenapa? Daddy mau datang?" "Mau, Daddy akan d
"Apa lagi yang mereka lakukan kepada Kiara?" sentak Victor, wajahnya mengeras. Kedua tangannya terkepal kuat. "Hanya itu, Tuan. Tapi sekarang Nona Kiara kesakitan akibat tendangan Nona Cecilia," jelas anak buah Victor, membuat Victor semakin meradang. "Brengsek! Mereka benar-benar membuatku marah, bagaimana bisa mereka mencelakai kesayanganku hah? Lalu apa tugas kalian di saat Kiara di celakai?" bentak Victor, anak buah Victor menunduk ketakutan. "Sekarang lakukan tugas dariku, jangan buat mereka mati. Cukup lukai mereka, dan buat celaka! Aku ingin mereka berdua merasakan apa yang Kiara rasakan, kalian paham?" tegas Victor, dua anak buah Victor mengangguk. "Kami paham, Tuan," ujar mereka berdua. "Bagus, sekarang jalankan tugas kalian. Aku ingin mendengar mereka benar-benar celaka!" "Baik, Tuan. Lalu bagaimana dengan Nona Kiara?" "Aku yang akan mengurusnya." Victor menatap keduanya dengan tajam, sebelum akhirnya pria itu melangkah pergi. Victor masuk ke dalam mobilnya
Bellevue Hospitals, "Bagaimana situasinya?" tanya Victor pada anak buahnya melalui panggilan telefon. "Aman, Tuan. Apakah Anda akan kemari sekarang?" tanya anak buah Victor. "Ya, aku kesana. Buka pintu ruangan Cecil," ucap Victor, sebelum akhirnya pria itu mematikan sambungan telefonnya. Victor membalikkan badannya, ia masuk ke dalam ruangan Kiara. Setibanya di kamar, Victor mendekati Kiara. Tangannya bergerak mengelus lembut puncak kepala Kiara, kemudian, ia merundukkan tubuhnya, dan mengecup Kiara. "Istirahatlah, aku akan membalas apa yang sudah Cecil lakukan kepadamu. Baby," bisik Victor, ia menegakkan tubuhnya, dan melangkah keluar dari ruangan Kiara. Setibanya di ruangan Cecil, Victor menyeringai. Pria itu melihat Cecil yang terbaring dengan beberapa luka di tubuhnya, lantas—Victor mengeluarkan belati kecil dari saku kemejanya, ia mendekati ranjang Cecil. Victor menancapkan belatinya pada pipi Cecil. "Kau cantik, tapi sayang—masih cantik Kiara. Bahkan kini kau
"Aku mencintaimu, Victor," Deg! Victor tertegun, jantungnya berdegup dengan kencang. Ketika telinganya mendengar Kiara mengatakan cinta, Victor menjauhkan tubuhnya dari Kiara. Pria tersebut menatap Kiara dengan serius, mencoba mencari kebohongan pada kedua mata teduh itu. "Kau mengatakan apa, Baby? Coba katakan lagi," pinta Victor, Kiara mendengkus geli. "Tidak ada siaran ulang, Sayang," ucap Kiara, membuat Victor terkekeh. "Ulang lagi, Baby. Aku benar-benar ingin mendengarnya, aku mohon," ucap Victor dengan memohon, Kiara tersenyum. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Aku mencintaimu, Victor. Mencintaimu, dan mencintaimu!" seru Kiara, menerbitkan senyuman dan jantung berdebar-debar di hati Victor. Victor meraih dagu Kiara, mendongakkan wajah wanita itu. Membuatnya bisa memangut bibir Kiara, Victor memangutnya dengan penuh kelembutan. Kiara sendiri turut membalas pangutan Victor dengan intens. Lama keduanya berpangutan, kemudian—Victor menyudah
Hari itu, setelah sepekan menikmati bulan madu mereka, Edwin dan Sarah kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Edwin terlihat sangat tenang, namun tatapan matanya sesekali menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak oleh Sarah. "Sayang, kita mau langsung pulang ke apartemen?" tanya Sarah sambil menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin tersenyum kecil, tangannya menggenggam erat tangan Sarah. "Kita ada sedikit pemberhentian sebelum pulang," jawabnya penuh teka-teki. Rasa penasaran Sarah semakin memuncak saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar dengan ornamen besi berukir yang megah. Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan indah. "Edwin... ini tempat apa?" bisik Sarah sambil memandangi pemandangan di depannya dengan takjub. Edwin hanya tersenyum misterius, mengisyaratkan Sarah untuk bersabar. Mobil mereka terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri kokoh dengan desain ars
Keesokan harinya. Edwin terbangun terbangun terlebih dahulu, pria itu menatap Sarah yang masih terlelap. Jemarinya bergerak mengelus wajah cantik Sarah yang terlihat kelelahan, bibirnya mengulas senyum. "Dia memang sangat cantik, pantas saja aku sangat tergila-gila dengannya." Pria tersebut mencondongkan wajahnya ke arah Sarah, lantas mengecup bibir pucat yang sejak semalam ia nikmati. Setelahnya, Edwin menuruni ranjang. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya Edwin meminta Amanda untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tak lama kemudian, Amanda datang membawakan sarapan untuk Edwin dan Sarah. Edwin mengambilnya, dan meletakkan di atas meja. Dengan penuh cinta, dia menyiapkan sarapan untuk Sarah, menyusun makanan dengan rapi, dan memastikan semuanya sempurna . Tindakan kecil ini menunjukkan betapa Edwin ingin membuat Sarah merasa istimewa dan dihargai. Ini menjadi awal yang indah untuk bulan madu mereka, penuh dengan kasih sa
Hotel Anderson, New York. Resepsi pernikahan Edwin dan Sarah di hotel mewah Anderson berlangsung dengan sangat elegan dan megah. Terletak di aula utama hotel yang dihiasi dengan lampu kristal besar, suasana terasa mewah dan berkelas. Dekorasi dominan berwarna putih dengan sentuhan emas dan perak, memperkuat kesan glamor. Bunga-bunga segar seperti mawar putih, anggrek, dan lily ditempatkan di setiap sudut, menambahkan keindahan alami yang harmonis dengan nuansa mewah ruangan. Meja-meja tamu didekorasi dengan kain sutra berwarna krem dan dihiasi dengan centerpiece bunga serta lilin beraroma lembut. Di setiap meja, tersedia hidangan pembuka yang lezat, dengan pilihan makanan dari berbagai masakan internasional yang disiapkan oleh koki kelas dunia hotel tersebut. Panggung utama tempat Edwin dan Sarah duduk dikelilingi oleh dekorasi bunga yang indah dan latar belakang yang dipenuhi dengan lampu-lampu kecil yang berkilauan, menciptakan suasana romantis. Acara dimulai dengan pro
Beberapa hari berikutnya.Pernikahan Edwin dan Sarah adalah sebuah perayaan yang mewah dan penuh makna, dilaksanakan di sebuah hotel mewah milik Anderson yang memancarkan kemewahan dan keanggunan. Hotel ini dikenal dengan desain interiornya yang megah, dan pada hari istimewa ini, suasana menjadi semakin anggun berkat dekorasi yang disesuaikan dengan tema pernikahan.Di altar, Edwin berdiri dengan penuh kesan dalam balutan setelan tuxedo yang dirancang khusus untuk acara ini, tampak tenang dan penuh harapan. Di sampingnya, Pendeta yang akan memimpin pemberkatan berdiri dengan penuh khidmat, siap untuk meresmikan ikatan suci antara Edwin dan Sarah.Sarah, dengan anggun, melangkah menuju altar, didampingi oleh Joshua, yang bertindak sebagai walinya. Joshua, yang mengenakan setelan formal yang serasi, berjalan dengan penuh kehormatan, memberikan dukungan dan cinta kepada Sarah di hari bersejarah ini.Sarah sendiri mengenakan gaun pengantin yang menawan, dirancang dengan detail yang memuka
Beberapa hari berikutnya."Kita turun sekarang." Edwin menoleh pada Sarah yang tersenyum. "Iya, setelah dari sini kemana lagi?" Sarah melepaskan seatbeltnya, wanita itu mengambil tasnya. "Kita akan pergi menuju toko perhiasan sekalian." Edwin turun dari mobil, pria itu lantas membantu Sarah membuka pintu mobilnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam butik ternama yang ada di New York. "Selamat datang, Tuan Edwin. Silahkan di sebelah sana, untuk Nona Sarah akan ada di ruangan sebelah sini." Seorang wanita paruh baya itu membawa Sarah masuk ke dalam ruangan. Sementara Edwin masuk ke dalam ruangan lainnya yang sudah di tunjukkan oleh pemilik butik tersebut. Setelah mencoba beberapa tuxedo yang di pilihkan, Edwin memilih tuxedo yang menurutnya cocok untuknya. Setelahnya, ia melangkah menuju ruangan Sarah."Apa dia sudah selesai?""Nona Sarah sedang mencoba gaunnya, Tuan. Silahkan masuk." Wanita itu mempersilahkan Edwin untuk masuk ke dalam ruangan Sarah.Edwin melangkah masuk
Keesokan harinya. Kiara mendekati Paula yang sedang menimang Felix, wanita itu tersenyum. "Apakah Felix rewel, Paula?" Kiara mengambil alih Felix, dan menggendongnya. "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sangat anteng, bahkan saat terbangun tidak menangis." Paula tersenyum ke arah Kiara. "Kalau begitu istirahatlah, Paula. Aku akan menjaga Felix, dan Ken. Terimakasih sudah menjaga Felix, dan Ken." Kiara menatap Paula dengan tersenyum. Paula mengangguk, wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Kiara. Kiara menimang Felix. "Haus ya tadi, Sayang? Kenapa pintar sekali adik." Kiara merunduk, ia mengecup hidung bangir putranya. "Setelah ini mandi ya? Tunggu Daddy, lalu mandi bersama Kakak." Kiara membalikkan badannya, ia terkejut saat melihat Victor. "Kau mengejutkanku, Sayang." Victor mengulas senyumnya, pria itu mendekati Kiara, dan melabuhkan kecupan di kening Kiara. Lalu mengecup putranya. "Aku sudah di sini, ayo kita mandi. Setelah ini Edwin dan Sarah akan datang." Kiara m
Victor ingin tersenyum, namun ia menahannya. Sementara Kiara masih mengalungkan kedua tangannya di leher Victor, wanita itu mengecupi seluruh wajah Victor. "Maaf, maafkan aku." Kiara terus mengecup seluruh wajah Victor. Victor semakin lama semakin tidak tahan, akhirnya ia menahan Kiara. Pria itu menatap Kiara. "Aku memaafkanmu, Baby. Stop, kau bisa membangunkan yang lain." Pria itu menggeram. Kiara mengulas senyumnya, wanita itu mengerlingkan matanya menggoda. "Aku memang ingin membuatnya bangun, Sayang. Tapi nanti saja ketika kita di mansion.'' Kiara mengecup bibir Victor lembut, dan berdiri dari duduknya. Wanita itu duduk di kursinya sendiri, lantas memulai makan malamnya bersama Victor. Mereka nampak menikmati dengan khidmat. Sementara di sisi lain, Edwin menjemput Sarah di apartemennya. Mereka akan pergi makan malam bersama, setibanya di apartemen Sarah. Edwin mengetuk pintunuya, tak lama kemudian. Sarah membukanya. Edwin berdiri di depan Sarah, saat pandangannya jatuh
"Mau masuk?" Victor mengusap pipi Kiara dengan lembut. Kiara mengangguk. "Mau, ayo." Kiara tersenyum saat Victor merengkuh pinggangnya. Keduanya masuk ke dalam mansion yang telah Victor berikan, di dalam mansion yang megah itu, suasana penuh warna dan keceriaan. Kiara, dengan wajah bersinar penuh kebahagiaan, berdiri di tengah ruang besar yang dipenuhi dengan barang-barang indah dan mewah. Setiap sudut ruangan dihiasi dengan detail yang mencerminkan perhatian Victor terhadap apa yang mungkin paling membahagiakan Kiara. Lampu kristal berkilau lembut, memantulkan cahaya yang menari di sekeliling ruangan, sementara aroma bunga segar dan lilin wangi memenuhi udara. Kiara, mengenakan gaun yang anggun dan penuh warna cerah, tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. Matanya berbinar penuh keajaiban dan mulutnya melengkung dalam senyum lebar. Dia melangkah dengan lincah, menjelajahi setiap sudut ruangan, dan sesekali membalikkan badan untuk melihat Victor dengan ekspresi penuh rasa
Sarah mendorong tubuh Edwin agar menjauh darinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia bisa lepas dari Edwin. Sarah menatap Edwin dengan tajam. "Jangan bersikap kurang ajar, Tuan. Lebih baik sekarang Anda pergi." "Kau yakin mengusirku? Sementara kau sendiri menginginkannya, Sarah?" Edwin menaikkan sebelah alisnya, ia semakin mendekati Sarah. Namun, Sarah menjauh. "Saya tidak menginginkannya, Tuan. Jadi lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya memukul Anda." Sarah menatap Edwin dengan tajam. Edwin mendengkus, jika sudah begini. Tandanya Sarah tidak bisa untuk di negosiasi. Edwin menatap Sarah. "Kalau begitu aku pergi dulu, tapi ingat satu hal—aku akan tetap berusaha mendapatkanmu kembali." Oh sial! Suara penuh intimidasi, dan tatapan seriusnya membuat Sarah bergidik. Wanita itu menatap Edwin dengan berani. "Pergilah, Tuan." Edwin mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang." Edwin membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Sarah. Seperginya Edwin, Sa