Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 🥰
Bellevue Hospitals, "Bagaimana situasinya?" tanya Victor pada anak buahnya melalui panggilan telefon. "Aman, Tuan. Apakah Anda akan kemari sekarang?" tanya anak buah Victor. "Ya, aku kesana. Buka pintu ruangan Cecil," ucap Victor, sebelum akhirnya pria itu mematikan sambungan telefonnya. Victor membalikkan badannya, ia masuk ke dalam ruangan Kiara. Setibanya di kamar, Victor mendekati Kiara. Tangannya bergerak mengelus lembut puncak kepala Kiara, kemudian, ia merundukkan tubuhnya, dan mengecup Kiara. "Istirahatlah, aku akan membalas apa yang sudah Cecil lakukan kepadamu. Baby," bisik Victor, ia menegakkan tubuhnya, dan melangkah keluar dari ruangan Kiara. Setibanya di ruangan Cecil, Victor menyeringai. Pria itu melihat Cecil yang terbaring dengan beberapa luka di tubuhnya, lantas—Victor mengeluarkan belati kecil dari saku kemejanya, ia mendekati ranjang Cecil. Victor menancapkan belatinya pada pipi Cecil. "Kau cantik, tapi sayang—masih cantik Kiara. Bahkan kini kau
"Aku mencintaimu, Victor," Deg! Victor tertegun, jantungnya berdegup dengan kencang. Ketika telinganya mendengar Kiara mengatakan cinta, Victor menjauhkan tubuhnya dari Kiara. Pria tersebut menatap Kiara dengan serius, mencoba mencari kebohongan pada kedua mata teduh itu. "Kau mengatakan apa, Baby? Coba katakan lagi," pinta Victor, Kiara mendengkus geli. "Tidak ada siaran ulang, Sayang," ucap Kiara, membuat Victor terkekeh. "Ulang lagi, Baby. Aku benar-benar ingin mendengarnya, aku mohon," ucap Victor dengan memohon, Kiara tersenyum. Wanita itu mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Aku mencintaimu, Victor. Mencintaimu, dan mencintaimu!" seru Kiara, menerbitkan senyuman dan jantung berdebar-debar di hati Victor. Victor meraih dagu Kiara, mendongakkan wajah wanita itu. Membuatnya bisa memangut bibir Kiara, Victor memangutnya dengan penuh kelembutan. Kiara sendiri turut membalas pangutan Victor dengan intens. Lama keduanya berpangutan, kemudian—Victor menyudah
Beberapa hari berlalu, Setelah berada di rumah sakit menjalani perawatan, kini Edwin sudah kembali ke mansion. Dalam beberapa hari ini, ia juga sering memperhatikan Kiara. Sebab wanita itu semakin menjaga jarak dengannya, dan nampak acuh. "Kiara," panggil Edwin, pria tersebut berdecak saat Kiara tidak menyahut. "Kiara, apakah kau tidak mendengarku?" sentak Edwin, Kiara mendesah pelan. Lantas membalikkan badannya, dan menatap Edwin dengan serius. "Kenapa, Kak?" tanya Kiara dengan malas. "Aku sejak tadi memanggilmu, apakah telingamu bermasalah?" gerutu Edwin, pria itu menatap Kiara dengan serius. 'Ternyata dia juga sangat cantik, tubuhnya pun sangat indah. Bagaimana jika aku meminta hak sebagai seorang suami? Shit!' batin Edwin, ia menggelengkan kepalanya saat pikiran kotor mulai membayangi otaknya. "Kau hanya ingin memanggilku tanpa sebab, Kak?" kesal Kiara, Edwin tersadar. "Tidak, bisakah kau membantuku untuk mengganti perban di tanganku?" tanya Edwin, Kiara ter
Kiara terkejut, wanita itu menatap Edwin dengan tidak percaya. Tiba-tiba saja rasa takut menyeruak ke dalam benaknya, Kiara yang sadar langsung memberontak. Namun Edwin mencekal pergelangan tangannya dengan erat. "Lepaskan aku, Kak. Jangan gila," teriak Kiara, wanita itu terus berusaha melepaskan diri dari Edwin. Edwin menyeringai, "untuk apa aku melepaskanmu? Kau sendiri yang mengatakan jika ingin bercerai bukan? Kalau begitu layani aku dulu!" tegas Edwin, Kiara menggeleng. "Jangan gila, Kak Edwin. Lepaskan aku, aku mohon. Jangan seperti ini." Kiara melepaskan tangannya, namun tetap saja tidak bisa. "Aku gila? Kenapa gila? Kau istriku, Kiara, dan aku berhak meminta hakku!" "Tapi aku tidak mau, Kak! Kita tidak pernah sedekat ini untuk hal seperti ini, tolong lepaskan aku!" teriak Kiara, kedua mata wanita itu berkaca-kaca. 'Daddy, tolong. Tolong Kiara, Kiara tidak ingin seperti ini,' batin Kiara, ia rasanya ingin sekali menangis. Sementara itu Victor, pria tersebut
"Daddy kemana sih? Kenapa tidak segera pulang?" gumam Kiara, wanita itu berdiri di dekat balkon. Menunggu mobil Victor datang. "Dia juga tidak mengabariku sejak sore tadi, apakah dia sangat sibuk di kantor?" monolog Kiara, wanita itu mendesah pelan. Hawa dingin yang menerpa tubuhnya, membuatnya tidak tahan. Akhirnya, Kiara masuk ke dalam kamarnya. Wanita itu naik ke atas ranjang, dan membaringkan tubuhnya. Kiara membungkus tubuhnya dengan selimut. "Lebih baik aku tidur saja, sepertinya dia sangat sibuk," desah Kiara dengan kecewa, wanita itu merindukan Victor. Namun Victor tidak ada menghubunginya. Sementara yang tengah di cari, kini sedang berada di sebuah club malam. Victor tengah menenangkan diri sembari meneguk wine, pria itu sudah menghabiskan sepuluh gelas wine. Membuat Joshua sedikit khawatir jika Victor akan mabuk, dan sesuatu akan terjadi. "Jam berapa sekarang?" tanya Victor, pria itu menaruh gelas terakhir, dan menyandarkan tubuhnya di sofa. "Sudah jam dua b
Victor mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, pria itu berharap segera sampai di mansionnya. Sesampainya di mansion, ia mencari keberadaan Kiara. Victor melangkah menuju kamar wanita itu, ketika sampai di kamar. Victor melihat Kiara yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Sayang?" panggil Kiara, ia mengernyit melihat wajah Victor yang nampaknya menahan amarah. Victor sendiri mengunci pintu kamar Kiara, ia lantas mendekati Kiara. "Ada apa denganmu ... hmmpptthhh," Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya ketika Victor melumat bibirnya paksa, bahkan kini tangan pria itu sudah meremas gundukan sintalnya dengan kasar. "S-sayang, sakit," rintih Kiara ketika Victor menyesap kulitnya dengan tindakan yang kasar, belum selesai dengan itu. Kini Victor menghempaskan tubuh Kiara ke atas ranjang. Meskipun tidak terlalu sakit, tapi cukup membuat Kiara merintih. Kiara ingin berdiri, namun Victor sudah mengungkungnya. Mencium bibirnya dengan paksa, menyentuhnya dengan kasar. Kiara me
"Morning, Baby," sapa Victor ketika Kiara baru saja membuka kedua matanya, wanita itu mengulas senyumnya. "Morning, Sayang. Kau ke kantor hari ini?" tanya Kiara, Victor mengangguk. "Iya, ada beberapa meeting di kantor. Kenapa, Baby?" "Tidak apa-apa, aku ingin makan bersama. Ntahlah, aku tidak ingin jauh darimu," ucap Kiara dengan sedikit merengek, Victor terkekeh. Tangannya terulur mengelus wajah cantik kekasihnya. "Datang saja ke kantor, tapi pergi bersama sopir. Jangan pergi sendiri atau naik taxi," "Okay, Sayang. Terimakasih," ujar Kiara dengan senang, Victor mengangguk. "Apapun yang kau mau, Baby." Victor memangut bibir Kiara sejenak. "Ayo mandi," ajak Victor. "Mandi bersama?" "Ya, aku ingin mandi bersamamu." Victor menegakkan tubuhnya, ia menggendong dan membawa Kiara menuju kamar mandi. Setibanya di kamar mandi, mereka berdua masuk ke dalam bathtub. "Mau makan di luar apa di kantor, Sayang? Jika di kantor aku akan memasak untukmu," Victor melingkarkan t
Dengan emosi yang meluap, Victor melangkah menuju kamarnya bersama Kiara. Setibanya di depan kamar, Victor segera membuka pintunya, dan melihat Kiara yang berbaring di atas ranjang dengan memakai lingerie. Tidak mencurigai apa yang terjadi, Kiara sendiri menuruni ranjang dan menyambut Victor yang baru saja datang. "Bagaimana meetingmu, Say—" Brugh! "Shhss, kenapa. Sayang?" tanya Kiara sembari meringisa ketika Victor menghempaskan tubuhnya ke ranjang, ia menatap Victor, dan ia baru sadar jika raut wajah pria itu sama dengan beberapa hari lalu. "Say ... hmmmpptthh." Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ketika Victor kembali menyerang bibirnya dengan kasar, Kiara menggeliat, ia mencoba meloloskan diri dari Victor. Sebab ia tidak ingin kejadian tempo lalu terulang. Namun, bagaimana bisa ia lepas jika kini tubuhnya di kunci oleh Victor. Bahkan pria itu tidak meloloskannyya sedikit pun, kini Victor menegakkan tubuhnya. Pria itu merobek lingerie Kiara dengan kasar, membuat Kiara
Hari itu, setelah sepekan menikmati bulan madu mereka, Edwin dan Sarah kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Edwin terlihat sangat tenang, namun tatapan matanya sesekali menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak oleh Sarah. "Sayang, kita mau langsung pulang ke apartemen?" tanya Sarah sambil menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin tersenyum kecil, tangannya menggenggam erat tangan Sarah. "Kita ada sedikit pemberhentian sebelum pulang," jawabnya penuh teka-teki. Rasa penasaran Sarah semakin memuncak saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar dengan ornamen besi berukir yang megah. Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan indah. "Edwin... ini tempat apa?" bisik Sarah sambil memandangi pemandangan di depannya dengan takjub. Edwin hanya tersenyum misterius, mengisyaratkan Sarah untuk bersabar. Mobil mereka terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri kokoh dengan desain ars
Keesokan harinya. Edwin terbangun terbangun terlebih dahulu, pria itu menatap Sarah yang masih terlelap. Jemarinya bergerak mengelus wajah cantik Sarah yang terlihat kelelahan, bibirnya mengulas senyum. "Dia memang sangat cantik, pantas saja aku sangat tergila-gila dengannya." Pria tersebut mencondongkan wajahnya ke arah Sarah, lantas mengecup bibir pucat yang sejak semalam ia nikmati. Setelahnya, Edwin menuruni ranjang. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya Edwin meminta Amanda untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tak lama kemudian, Amanda datang membawakan sarapan untuk Edwin dan Sarah. Edwin mengambilnya, dan meletakkan di atas meja. Dengan penuh cinta, dia menyiapkan sarapan untuk Sarah, menyusun makanan dengan rapi, dan memastikan semuanya sempurna . Tindakan kecil ini menunjukkan betapa Edwin ingin membuat Sarah merasa istimewa dan dihargai. Ini menjadi awal yang indah untuk bulan madu mereka, penuh dengan kasih sa
Hotel Anderson, New York. Resepsi pernikahan Edwin dan Sarah di hotel mewah Anderson berlangsung dengan sangat elegan dan megah. Terletak di aula utama hotel yang dihiasi dengan lampu kristal besar, suasana terasa mewah dan berkelas. Dekorasi dominan berwarna putih dengan sentuhan emas dan perak, memperkuat kesan glamor. Bunga-bunga segar seperti mawar putih, anggrek, dan lily ditempatkan di setiap sudut, menambahkan keindahan alami yang harmonis dengan nuansa mewah ruangan. Meja-meja tamu didekorasi dengan kain sutra berwarna krem dan dihiasi dengan centerpiece bunga serta lilin beraroma lembut. Di setiap meja, tersedia hidangan pembuka yang lezat, dengan pilihan makanan dari berbagai masakan internasional yang disiapkan oleh koki kelas dunia hotel tersebut. Panggung utama tempat Edwin dan Sarah duduk dikelilingi oleh dekorasi bunga yang indah dan latar belakang yang dipenuhi dengan lampu-lampu kecil yang berkilauan, menciptakan suasana romantis. Acara dimulai dengan pro
Beberapa hari berikutnya.Pernikahan Edwin dan Sarah adalah sebuah perayaan yang mewah dan penuh makna, dilaksanakan di sebuah hotel mewah milik Anderson yang memancarkan kemewahan dan keanggunan. Hotel ini dikenal dengan desain interiornya yang megah, dan pada hari istimewa ini, suasana menjadi semakin anggun berkat dekorasi yang disesuaikan dengan tema pernikahan.Di altar, Edwin berdiri dengan penuh kesan dalam balutan setelan tuxedo yang dirancang khusus untuk acara ini, tampak tenang dan penuh harapan. Di sampingnya, Pendeta yang akan memimpin pemberkatan berdiri dengan penuh khidmat, siap untuk meresmikan ikatan suci antara Edwin dan Sarah.Sarah, dengan anggun, melangkah menuju altar, didampingi oleh Joshua, yang bertindak sebagai walinya. Joshua, yang mengenakan setelan formal yang serasi, berjalan dengan penuh kehormatan, memberikan dukungan dan cinta kepada Sarah di hari bersejarah ini.Sarah sendiri mengenakan gaun pengantin yang menawan, dirancang dengan detail yang memuka
Beberapa hari berikutnya."Kita turun sekarang." Edwin menoleh pada Sarah yang tersenyum. "Iya, setelah dari sini kemana lagi?" Sarah melepaskan seatbeltnya, wanita itu mengambil tasnya. "Kita akan pergi menuju toko perhiasan sekalian." Edwin turun dari mobil, pria itu lantas membantu Sarah membuka pintu mobilnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam butik ternama yang ada di New York. "Selamat datang, Tuan Edwin. Silahkan di sebelah sana, untuk Nona Sarah akan ada di ruangan sebelah sini." Seorang wanita paruh baya itu membawa Sarah masuk ke dalam ruangan. Sementara Edwin masuk ke dalam ruangan lainnya yang sudah di tunjukkan oleh pemilik butik tersebut. Setelah mencoba beberapa tuxedo yang di pilihkan, Edwin memilih tuxedo yang menurutnya cocok untuknya. Setelahnya, ia melangkah menuju ruangan Sarah."Apa dia sudah selesai?""Nona Sarah sedang mencoba gaunnya, Tuan. Silahkan masuk." Wanita itu mempersilahkan Edwin untuk masuk ke dalam ruangan Sarah.Edwin melangkah masuk
Keesokan harinya. Kiara mendekati Paula yang sedang menimang Felix, wanita itu tersenyum. "Apakah Felix rewel, Paula?" Kiara mengambil alih Felix, dan menggendongnya. "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sangat anteng, bahkan saat terbangun tidak menangis." Paula tersenyum ke arah Kiara. "Kalau begitu istirahatlah, Paula. Aku akan menjaga Felix, dan Ken. Terimakasih sudah menjaga Felix, dan Ken." Kiara menatap Paula dengan tersenyum. Paula mengangguk, wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Kiara. Kiara menimang Felix. "Haus ya tadi, Sayang? Kenapa pintar sekali adik." Kiara merunduk, ia mengecup hidung bangir putranya. "Setelah ini mandi ya? Tunggu Daddy, lalu mandi bersama Kakak." Kiara membalikkan badannya, ia terkejut saat melihat Victor. "Kau mengejutkanku, Sayang." Victor mengulas senyumnya, pria itu mendekati Kiara, dan melabuhkan kecupan di kening Kiara. Lalu mengecup putranya. "Aku sudah di sini, ayo kita mandi. Setelah ini Edwin dan Sarah akan datang." Kiara m
Victor ingin tersenyum, namun ia menahannya. Sementara Kiara masih mengalungkan kedua tangannya di leher Victor, wanita itu mengecupi seluruh wajah Victor. "Maaf, maafkan aku." Kiara terus mengecup seluruh wajah Victor. Victor semakin lama semakin tidak tahan, akhirnya ia menahan Kiara. Pria itu menatap Kiara. "Aku memaafkanmu, Baby. Stop, kau bisa membangunkan yang lain." Pria itu menggeram. Kiara mengulas senyumnya, wanita itu mengerlingkan matanya menggoda. "Aku memang ingin membuatnya bangun, Sayang. Tapi nanti saja ketika kita di mansion.'' Kiara mengecup bibir Victor lembut, dan berdiri dari duduknya. Wanita itu duduk di kursinya sendiri, lantas memulai makan malamnya bersama Victor. Mereka nampak menikmati dengan khidmat. Sementara di sisi lain, Edwin menjemput Sarah di apartemennya. Mereka akan pergi makan malam bersama, setibanya di apartemen Sarah. Edwin mengetuk pintunuya, tak lama kemudian. Sarah membukanya. Edwin berdiri di depan Sarah, saat pandangannya jatuh
"Mau masuk?" Victor mengusap pipi Kiara dengan lembut. Kiara mengangguk. "Mau, ayo." Kiara tersenyum saat Victor merengkuh pinggangnya. Keduanya masuk ke dalam mansion yang telah Victor berikan, di dalam mansion yang megah itu, suasana penuh warna dan keceriaan. Kiara, dengan wajah bersinar penuh kebahagiaan, berdiri di tengah ruang besar yang dipenuhi dengan barang-barang indah dan mewah. Setiap sudut ruangan dihiasi dengan detail yang mencerminkan perhatian Victor terhadap apa yang mungkin paling membahagiakan Kiara. Lampu kristal berkilau lembut, memantulkan cahaya yang menari di sekeliling ruangan, sementara aroma bunga segar dan lilin wangi memenuhi udara. Kiara, mengenakan gaun yang anggun dan penuh warna cerah, tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. Matanya berbinar penuh keajaiban dan mulutnya melengkung dalam senyum lebar. Dia melangkah dengan lincah, menjelajahi setiap sudut ruangan, dan sesekali membalikkan badan untuk melihat Victor dengan ekspresi penuh rasa
Sarah mendorong tubuh Edwin agar menjauh darinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia bisa lepas dari Edwin. Sarah menatap Edwin dengan tajam. "Jangan bersikap kurang ajar, Tuan. Lebih baik sekarang Anda pergi." "Kau yakin mengusirku? Sementara kau sendiri menginginkannya, Sarah?" Edwin menaikkan sebelah alisnya, ia semakin mendekati Sarah. Namun, Sarah menjauh. "Saya tidak menginginkannya, Tuan. Jadi lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya memukul Anda." Sarah menatap Edwin dengan tajam. Edwin mendengkus, jika sudah begini. Tandanya Sarah tidak bisa untuk di negosiasi. Edwin menatap Sarah. "Kalau begitu aku pergi dulu, tapi ingat satu hal—aku akan tetap berusaha mendapatkanmu kembali." Oh sial! Suara penuh intimidasi, dan tatapan seriusnya membuat Sarah bergidik. Wanita itu menatap Edwin dengan berani. "Pergilah, Tuan." Edwin mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang." Edwin membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Sarah. Seperginya Edwin, Sa