Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 😘 Jangan lupa ulasan, jejak komentar, dan votenya 🙏 terimakasih 😗
"Morning, Baby," sapa Victor ketika Kiara baru saja membuka kedua matanya, wanita itu mengulas senyumnya. "Morning, Sayang. Kau ke kantor hari ini?" tanya Kiara, Victor mengangguk. "Iya, ada beberapa meeting di kantor. Kenapa, Baby?" "Tidak apa-apa, aku ingin makan bersama. Ntahlah, aku tidak ingin jauh darimu," ucap Kiara dengan sedikit merengek, Victor terkekeh. Tangannya terulur mengelus wajah cantik kekasihnya. "Datang saja ke kantor, tapi pergi bersama sopir. Jangan pergi sendiri atau naik taxi," "Okay, Sayang. Terimakasih," ujar Kiara dengan senang, Victor mengangguk. "Apapun yang kau mau, Baby." Victor memangut bibir Kiara sejenak. "Ayo mandi," ajak Victor. "Mandi bersama?" "Ya, aku ingin mandi bersamamu." Victor menegakkan tubuhnya, ia menggendong dan membawa Kiara menuju kamar mandi. Setibanya di kamar mandi, mereka berdua masuk ke dalam bathtub. "Mau makan di luar apa di kantor, Sayang? Jika di kantor aku akan memasak untukmu," Victor melingkarkan t
Dengan emosi yang meluap, Victor melangkah menuju kamarnya bersama Kiara. Setibanya di depan kamar, Victor segera membuka pintunya, dan melihat Kiara yang berbaring di atas ranjang dengan memakai lingerie. Tidak mencurigai apa yang terjadi, Kiara sendiri menuruni ranjang dan menyambut Victor yang baru saja datang. "Bagaimana meetingmu, Say—" Brugh! "Shhss, kenapa. Sayang?" tanya Kiara sembari meringisa ketika Victor menghempaskan tubuhnya ke ranjang, ia menatap Victor, dan ia baru sadar jika raut wajah pria itu sama dengan beberapa hari lalu. "Say ... hmmmpptthh." Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ketika Victor kembali menyerang bibirnya dengan kasar, Kiara menggeliat, ia mencoba meloloskan diri dari Victor. Sebab ia tidak ingin kejadian tempo lalu terulang. Namun, bagaimana bisa ia lepas jika kini tubuhnya di kunci oleh Victor. Bahkan pria itu tidak meloloskannyya sedikit pun, kini Victor menegakkan tubuhnya. Pria itu merobek lingerie Kiara dengan kasar, membuat Kiara
Edwin melangkah dengan langkah terburu-buru menuju pintu masuk mansion megahnya. Wajahnya memerah padam, dahinya berkerut dalam, dan tinjunya terkepal erat. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kecewa yang tak terkira. Baru saja, dia menerima sebuah bukti yang tak terduga, bukti yang mengungkap skandal besar yang selama ini disembunyikan oleh dua orang yang ada di sekitarnya sendiri. Edwin membuka pintu dengan kasar, hingga bunyi keras menggema di seluruh ruangan. Para maid yang melihatnya langsung menundukkan kepala, takut akan amarahnya yang meledak-ledak. "Dimana Daddy, dan Kiara?" tanya Edwin dengan suara menggelegar, semua maid yang ada di sana menunduk takut. Sementara Paula mendongak, dan memberanikan diri menatap Edwin. "Tuan Victor, dan Nona Kiara tidak ada di mansion. Tuan," jawab Paula. "Brengsek! Pergi kalian semua dari ruangan ini!" titah Edwin dengan amarahnya yang meluap, semua para maid menurut. Mereka segera pergi meninggalkan ruang tamu. Pyarrr! Pyarrr! Edwin
Beberapa jam sebelumnya, "Apa aku harus memberikan kesempatan untuk Victor?" "Sepertinya memang aku harus memberikan kesempatan kembali untuknya, bagaimana pun juga aku sudah memiliki hubungan terlalu jauh dengannya. Tidak mungkin aku pergi begitu saja, lagi pula Edwin sudah mengurus perceraian kami. Siapa tau dengan ini Victor bisa berterus terang karena hubungan kami yang sudah tidak ada penghalang kembali," ucap Kiara, wanita itu nampak menyakinkan dirinya sendiri tentang Victor. Kiara duduk di depan meja rias, ia melihat pipinya yang memar. Menyentuhnya dengan perlahan, Kiara meringis. Rasanya masih sedikit sakit. "Apa sebenarnya yang sedang ia sembunyikan, aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa dia bersika—" Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ketika ponselnya mendapatkan notifikasi pesan. Kiara membukanya. Deg! Jantung Kiara berdegup dengan kencang, rasa sesak tiba-tiba menghantam hatinya. Ketika kedua matanya melihat sebuah video yang terkirim di ponselnya
Beberapa hari kemudian, Suara muntahan terdengar nyaring dari arah kamar yang saat ini di tempati oleh Kiara, Sarah yang mendengar bergegas menuju kamar wanita itu. Setibanya di sana, Sarah segera masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu membantu Kiara memuntahkan semua gejolak di perutnya. "S-sudah, Sarah," ujar Kiara, ia mengusap dan membersihkan bekas muntahannya yang ada di sekitar bibirnya. "Sepertinya kau sedang sakit, Kiara. Wajahmu pun terlihat sangat pucat, nanti sore sebelum kau berangkat ke airport—kita pergi ke rumah sakit terlebih dahulu," ajak Sarah, Kiara menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, aku tidak apa-apa. Sarah," tolak Kiara. "Aku tidak menerima penolakan, Kiara. Kita mampir ke rumah sakit sebentar, baru kau boleh pergi meninggalkan negara ini. Jika kau tidak mau periksa, aku juga tidak akan memperbolehkanmu pergi," ancam Sarah, sebab sudah beberapa hari ini Kiara seperti itu, dan membuatnya merasakan kecurigaan. Kiara menghela nafasnya perlahan, "baiklah, kita
Gedung tua, New York. "Dia sudah di dalam?" tanya Victor, Joshua mengangguk. "Sesuai dengan perintah Tuan, Nyonya Nicole, dan Delon sudah ada di dalam. Mereka sudah sama-sama terikat di kursi," Victor tidak menjawab, pria itu melangkah masuk ke dalam gudang. Menguatkan dirinya sendiri, Joshua sendiri turut melangkah masuk. Setibanya di dalam gudang, tubuh Victor bergetar ketika melihat Nicole. Hatinya terasa sesak. "Apakah saya saja yang mengeksekusi, Tuan?" tanya Joshua saat melihat respon tubuh Victor. Victor menggeleng, ia mengambil nafasnya, dan menghembuskannya perlahan. "Biar aku saja," lirihnya, Victor melangkah mendekati Nicole yang sudah menatapnya tajam. "Lepaskan aku sialan! Apa yang kau lakukan!" teriak Nicole, ia memberontak. Kedua matanya menatap marah Victor. "Aku melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan sejak lama, Nicole. Sudah seharusnya aku membun-uhmu sejak dulu, bukan membiarkanmu sampai kau merusak semuanya! Karena kau—Kiara pergi sialan!
Toronto, Kanada Sarah mengelus lengan Kiara. "Kau yakin akan bekerja?" tanya Sarah. Kini keduanya sudah berada di Toronto, sudah dua bulan mereka ada di sini. Keduanya bekerja di Martinez Corporation sebagai office girls. Kiara menatap Sarah, bibirnya mengulas senyumnya. "Aku yakin, usia kandunganku sudah hampir memasuki tujuh bulan. Sarah, aku harus mempersiapkan segalanya untuk anakku." Kiara mengelus perutnya yang sudah membuncit, hatinya menghangat jika mengingat sebentar lagi akan segera bertemu. "Baiklah jika begitu, kita berangkat sekarang." Sarah menggandeng tangan Kiara, membawa wanita itu untuk menunggu taxi. Martinez Corporation, Setibanya di perusahaan, Kiara dan Sarah langsung bekerja. Mereka berpisah dalam tugas masing-masing, Kiara sendiri masuk ke dalam ruangan CEO sekaligus pemilik perusahaan Martinez. Kiara yang sedang membersihkan meja, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Wanita itu membungkuk hormat. "Selamat pagi, Tuan Alex." sapanya. Alex men
Keesokan harinya, Joshua mengetuk pintu kamar Victor, pagi ini mereka akan melakukan pertemuan di perusahaan kliennya. Tak lama kemudian, Victor membuka pintunya. Victor menatap Joshua. "Apa mereka sudah menghubungimu?" Joshua mengangguk. "Sudah, Tuan. Mereka meminta Tuan langsung ke perusahaan." "Baiklah, kalau begitu tunggu aku di mobil. Sebentar lagi aku akan menyusul," "Baik, Tuan," Victor masuk ke dalam kamarnya kembali, ia mengambil dasinya, dan berdiri di depan cermin. Victor menatap dirinya sendiri, rasa sesak kembali merasuki benaknya, saat ia mengingat Kiara. Bayangan Kiara yang selalu memasangkan dasinya, dan membantunya bersiap terlintas di otaknya. Victor menghembuskan nafasnya perlahan. "Andai kau berada di sini, pasti kau yang sudah membantuku. Baby." Victor mengulas senyum tipisnya, tatapannya menjadi sendu. Tak lama kemudian, Victor bergabung bersama Joshua di mobil. Kini mereka menuju perusahaan yang akan mengadakan pertemuan, setibanya di sana
Hari itu, setelah sepekan menikmati bulan madu mereka, Edwin dan Sarah kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Edwin terlihat sangat tenang, namun tatapan matanya sesekali menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak oleh Sarah. "Sayang, kita mau langsung pulang ke apartemen?" tanya Sarah sambil menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin tersenyum kecil, tangannya menggenggam erat tangan Sarah. "Kita ada sedikit pemberhentian sebelum pulang," jawabnya penuh teka-teki. Rasa penasaran Sarah semakin memuncak saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar dengan ornamen besi berukir yang megah. Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan indah. "Edwin... ini tempat apa?" bisik Sarah sambil memandangi pemandangan di depannya dengan takjub. Edwin hanya tersenyum misterius, mengisyaratkan Sarah untuk bersabar. Mobil mereka terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri kokoh dengan desain ars
Keesokan harinya. Edwin terbangun terbangun terlebih dahulu, pria itu menatap Sarah yang masih terlelap. Jemarinya bergerak mengelus wajah cantik Sarah yang terlihat kelelahan, bibirnya mengulas senyum. "Dia memang sangat cantik, pantas saja aku sangat tergila-gila dengannya." Pria tersebut mencondongkan wajahnya ke arah Sarah, lantas mengecup bibir pucat yang sejak semalam ia nikmati. Setelahnya, Edwin menuruni ranjang. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya Edwin meminta Amanda untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tak lama kemudian, Amanda datang membawakan sarapan untuk Edwin dan Sarah. Edwin mengambilnya, dan meletakkan di atas meja. Dengan penuh cinta, dia menyiapkan sarapan untuk Sarah, menyusun makanan dengan rapi, dan memastikan semuanya sempurna . Tindakan kecil ini menunjukkan betapa Edwin ingin membuat Sarah merasa istimewa dan dihargai. Ini menjadi awal yang indah untuk bulan madu mereka, penuh dengan kasih sa
Hotel Anderson, New York. Resepsi pernikahan Edwin dan Sarah di hotel mewah Anderson berlangsung dengan sangat elegan dan megah. Terletak di aula utama hotel yang dihiasi dengan lampu kristal besar, suasana terasa mewah dan berkelas. Dekorasi dominan berwarna putih dengan sentuhan emas dan perak, memperkuat kesan glamor. Bunga-bunga segar seperti mawar putih, anggrek, dan lily ditempatkan di setiap sudut, menambahkan keindahan alami yang harmonis dengan nuansa mewah ruangan. Meja-meja tamu didekorasi dengan kain sutra berwarna krem dan dihiasi dengan centerpiece bunga serta lilin beraroma lembut. Di setiap meja, tersedia hidangan pembuka yang lezat, dengan pilihan makanan dari berbagai masakan internasional yang disiapkan oleh koki kelas dunia hotel tersebut. Panggung utama tempat Edwin dan Sarah duduk dikelilingi oleh dekorasi bunga yang indah dan latar belakang yang dipenuhi dengan lampu-lampu kecil yang berkilauan, menciptakan suasana romantis. Acara dimulai dengan pro
Beberapa hari berikutnya.Pernikahan Edwin dan Sarah adalah sebuah perayaan yang mewah dan penuh makna, dilaksanakan di sebuah hotel mewah milik Anderson yang memancarkan kemewahan dan keanggunan. Hotel ini dikenal dengan desain interiornya yang megah, dan pada hari istimewa ini, suasana menjadi semakin anggun berkat dekorasi yang disesuaikan dengan tema pernikahan.Di altar, Edwin berdiri dengan penuh kesan dalam balutan setelan tuxedo yang dirancang khusus untuk acara ini, tampak tenang dan penuh harapan. Di sampingnya, Pendeta yang akan memimpin pemberkatan berdiri dengan penuh khidmat, siap untuk meresmikan ikatan suci antara Edwin dan Sarah.Sarah, dengan anggun, melangkah menuju altar, didampingi oleh Joshua, yang bertindak sebagai walinya. Joshua, yang mengenakan setelan formal yang serasi, berjalan dengan penuh kehormatan, memberikan dukungan dan cinta kepada Sarah di hari bersejarah ini.Sarah sendiri mengenakan gaun pengantin yang menawan, dirancang dengan detail yang memuka
Beberapa hari berikutnya."Kita turun sekarang." Edwin menoleh pada Sarah yang tersenyum. "Iya, setelah dari sini kemana lagi?" Sarah melepaskan seatbeltnya, wanita itu mengambil tasnya. "Kita akan pergi menuju toko perhiasan sekalian." Edwin turun dari mobil, pria itu lantas membantu Sarah membuka pintu mobilnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam butik ternama yang ada di New York. "Selamat datang, Tuan Edwin. Silahkan di sebelah sana, untuk Nona Sarah akan ada di ruangan sebelah sini." Seorang wanita paruh baya itu membawa Sarah masuk ke dalam ruangan. Sementara Edwin masuk ke dalam ruangan lainnya yang sudah di tunjukkan oleh pemilik butik tersebut. Setelah mencoba beberapa tuxedo yang di pilihkan, Edwin memilih tuxedo yang menurutnya cocok untuknya. Setelahnya, ia melangkah menuju ruangan Sarah."Apa dia sudah selesai?""Nona Sarah sedang mencoba gaunnya, Tuan. Silahkan masuk." Wanita itu mempersilahkan Edwin untuk masuk ke dalam ruangan Sarah.Edwin melangkah masuk
Keesokan harinya. Kiara mendekati Paula yang sedang menimang Felix, wanita itu tersenyum. "Apakah Felix rewel, Paula?" Kiara mengambil alih Felix, dan menggendongnya. "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sangat anteng, bahkan saat terbangun tidak menangis." Paula tersenyum ke arah Kiara. "Kalau begitu istirahatlah, Paula. Aku akan menjaga Felix, dan Ken. Terimakasih sudah menjaga Felix, dan Ken." Kiara menatap Paula dengan tersenyum. Paula mengangguk, wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Kiara. Kiara menimang Felix. "Haus ya tadi, Sayang? Kenapa pintar sekali adik." Kiara merunduk, ia mengecup hidung bangir putranya. "Setelah ini mandi ya? Tunggu Daddy, lalu mandi bersama Kakak." Kiara membalikkan badannya, ia terkejut saat melihat Victor. "Kau mengejutkanku, Sayang." Victor mengulas senyumnya, pria itu mendekati Kiara, dan melabuhkan kecupan di kening Kiara. Lalu mengecup putranya. "Aku sudah di sini, ayo kita mandi. Setelah ini Edwin dan Sarah akan datang." Kiara m
Victor ingin tersenyum, namun ia menahannya. Sementara Kiara masih mengalungkan kedua tangannya di leher Victor, wanita itu mengecupi seluruh wajah Victor. "Maaf, maafkan aku." Kiara terus mengecup seluruh wajah Victor. Victor semakin lama semakin tidak tahan, akhirnya ia menahan Kiara. Pria itu menatap Kiara. "Aku memaafkanmu, Baby. Stop, kau bisa membangunkan yang lain." Pria itu menggeram. Kiara mengulas senyumnya, wanita itu mengerlingkan matanya menggoda. "Aku memang ingin membuatnya bangun, Sayang. Tapi nanti saja ketika kita di mansion.'' Kiara mengecup bibir Victor lembut, dan berdiri dari duduknya. Wanita itu duduk di kursinya sendiri, lantas memulai makan malamnya bersama Victor. Mereka nampak menikmati dengan khidmat. Sementara di sisi lain, Edwin menjemput Sarah di apartemennya. Mereka akan pergi makan malam bersama, setibanya di apartemen Sarah. Edwin mengetuk pintunuya, tak lama kemudian. Sarah membukanya. Edwin berdiri di depan Sarah, saat pandangannya jatuh
"Mau masuk?" Victor mengusap pipi Kiara dengan lembut. Kiara mengangguk. "Mau, ayo." Kiara tersenyum saat Victor merengkuh pinggangnya. Keduanya masuk ke dalam mansion yang telah Victor berikan, di dalam mansion yang megah itu, suasana penuh warna dan keceriaan. Kiara, dengan wajah bersinar penuh kebahagiaan, berdiri di tengah ruang besar yang dipenuhi dengan barang-barang indah dan mewah. Setiap sudut ruangan dihiasi dengan detail yang mencerminkan perhatian Victor terhadap apa yang mungkin paling membahagiakan Kiara. Lampu kristal berkilau lembut, memantulkan cahaya yang menari di sekeliling ruangan, sementara aroma bunga segar dan lilin wangi memenuhi udara. Kiara, mengenakan gaun yang anggun dan penuh warna cerah, tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. Matanya berbinar penuh keajaiban dan mulutnya melengkung dalam senyum lebar. Dia melangkah dengan lincah, menjelajahi setiap sudut ruangan, dan sesekali membalikkan badan untuk melihat Victor dengan ekspresi penuh rasa
Sarah mendorong tubuh Edwin agar menjauh darinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia bisa lepas dari Edwin. Sarah menatap Edwin dengan tajam. "Jangan bersikap kurang ajar, Tuan. Lebih baik sekarang Anda pergi." "Kau yakin mengusirku? Sementara kau sendiri menginginkannya, Sarah?" Edwin menaikkan sebelah alisnya, ia semakin mendekati Sarah. Namun, Sarah menjauh. "Saya tidak menginginkannya, Tuan. Jadi lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya memukul Anda." Sarah menatap Edwin dengan tajam. Edwin mendengkus, jika sudah begini. Tandanya Sarah tidak bisa untuk di negosiasi. Edwin menatap Sarah. "Kalau begitu aku pergi dulu, tapi ingat satu hal—aku akan tetap berusaha mendapatkanmu kembali." Oh sial! Suara penuh intimidasi, dan tatapan seriusnya membuat Sarah bergidik. Wanita itu menatap Edwin dengan berani. "Pergilah, Tuan." Edwin mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang." Edwin membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Sarah. Seperginya Edwin, Sa