Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 😘 Jangan lupa ulasan, jejak komentar, dan votenya 🙏 terimakasih 😗
"Tuan." Joshua mendekati Victor. "Nona Kiara sudah berada di apartemennya, apakah kita ke sana sekarang. Tuan?" "Besok saja, biarkan dia menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tau jika dia masih terkejut dengan kedatanganku," Joshua mengangguk. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya hanya mengirimkan beberapa anak buah untuk mengawasi Nona Kiara." Victor menatap Joshua. "Sepertinya tidak perlu, siapkan aku satu unit di samping unit Kiara." Victor mengulas senyumnya, pria itu membayangkan pagi-pagi menyambut Kiara. "Baik, Tuan. Segera saya siapkan." Joshua mengambil ponselnya, dan segera menjalankan perintah Victor. Sementara itu di apartemen, Kiara sedang menangis. Wanita itu bingung ingin menyampaikan seperti apa akan perasaan yang kini sedang ia rasakan, sebab Kiara sendiri bingung. Ada sesak yang Kiara rasakan, tapi ada juga rasa sedikit senang di hatinya ketika melihat wajah Victor, mungkin saja bawaan ia hamil. Sarah menghela nafasnya perlahan, ia mendekati Kiara. "Jangan
Kiara, dan Victor terkejut ketika mendengar suara Sarah. Mereka saling menatap, lantas Kiara menatap ke arah pintu. "Lebih baik kau sembunyi, aku akan membukakan pintu untuk Sarah," Victor menaikkan sebelah alisnya, ia semakin merengkuh pinggang Kiara. "Kenapa harus sembunyi? Bukankah Sarah tau jika kau dan aku bersama?" Kiara memutar bola matanya malas. "Tidak, dia tidak tau. Lebih baik sekarang kau sembunyi, jangan membuat masalah Victor." "Aku tidak membuat masalah, Baby." Victor meraih dagu Kiara, mengangkat wajah wanita itu agar menghadap ke arahnya. Lantas, Victor mengecup bibir Kiara. "Ini baru masalah, Baby." Kiara memejamkan kedua matanya, jantungnya dengan berdebar kencang. Sudah bisa ia pastikan jika wajahnya sekarang memerah seperti tomat. "Kiara, kenapa lama sekali?" Kiara ingin melepaskan diri dari Victor, dan ingin membuka pintu kamarnya. Namun, Victor terlebih dahulu membukakan pintu kamar Kiara, dan menyembulkan kepalanya. Yang mana membuat Sarah t
Perasaan Kiara semakin tak menentu mendengar ucapan Victor yang mengatakan tentang pernikahan, segudang pertanyaan muncul di otaknya di iringi dengan beberapa keraguan. Bukan dia tidak senang, melainkan ia takut. Bagaimana jika Victor kembali membohonginya? Victor mengelus bibir Kiara, dan bertanya, "Kenapa diam, Baby? Apa kau tidak yakin akan apa yang aku ucapkan?" Kiara menatap Victor, dengan ragu ia bertanya, "Bolehkan aku merasa tidak yakin setelah apa yang kita alami?" Victor terdiam, lantas mengangguk. Pria itu membawa Kiara duduk di kursi, dengan posisi Kiara berada di pangkuannya. Tangannya bergerak mengelus wajah cantik Kiara, kedua mata tajamnya menatap sorot indah dan teduh milik Kiara. "Kau boleh tidak yakin dengan ucapanku." Victor tau, dia yang menyebabkan Kiara seperti ini. "Tapi jujur, aku benar-benar serius dengan ucapanku. Baby." "Mungkin kau tidak bisa langsung yakin, karena aku sendiri yang membuatmu seperti ini. Tapi aku mohon... berikan aku kesempat
Kiara menggeliat, tubuhnya menggelinjang saat Victor memainkan miliknya di bawah sana. Wanita itu merasa geli, dan nikmat menjadi satu. Rasanya ia juga menginginkan secara lebih, namun ia masih mencoba mempertahankan diri di sisa kesadarannya. Kiara meremas helaian rambut Victor, dan mencoba menjauhkan wanita itu. "Victor... sudah." Victor melirik Kiara, alih-alih berhenti. Victor semakin mempercepat gerakannya, membuat wanita itu menggila. Berpegangan pada sisi wastafel, dengan satu tangannya yang meremas helaian rambut Victor. Gila, memang hanya Victor yang gila. Tak seberapa lama, Kiara mendapatkan pelepasannya. Wanita itu terengah-engah, Victor beranjak berdiri. Ia ingin memulai menu inti. Kiara menahan Victor. "Victor, jangan. Kau yang mengatakan akan melakukannya ketika kita sudah menikah." Victor yang sedang di selimuti gairah lantas tersadar, pria itu memeluk Kiara. "Maaf... maafkan aku yang hampir lepas kendali." Victor meredakan nafasnya yang memburu, ia sad
Seorang dokter mengarahkan Sarah dan Joshua ke dekat ranjang. "Silahkan berbaring, Nona." Joshua membantu Sarah berbaring di atas ranjang, tak lama kemudian dokter menyingkap kemeja Sarah, dan mengoleskan gel di atas perutnya. Lantas menggerakkan alat di atasnya. "Sepertinya belum ada kantung rahim yang terbentuk di sini, Nona." Dokter tersebut menatap layar monitor, dengan terus menggerakkan alat di atas perut Sarah. Tak seberapa lama, dokter itu menyudahi pemeriksaannya. Ia meminta Sarah, dan Joshua untuk duduk di depannya. "Jadi saya tidak hamil?" Dokter tersebut mengulas senyumnya, ia mengelus lembut punggung tangan Sarah. "Jangan berkecil hati, Nona. Mungkin bisa melakukan program hamil setelah ini, namun yang harus di ingat... Nona tidak boleh terlalu stres, dan banyak pikiran. Untuk makanannya sendiri sebaiknya menghindari junk food, nanti saya juga akan meresepkan obat kesuburan." Sarah terdiam, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dok. Tapi kenapa saya mual-mual akh
Victor menghela nafasnya perlahan, ia menatap Joshua, dan Edwin secara bergantian. Lantas menatap Sarah. "Kau sendiri bagaimana, Sarah?" Victor sendiri merasa jika Sarah merasa tidak nyaman. Sarah mendongak, ia menatap Victor, dan menjawab dengan gugup, "S-saya sendiri merasa jika tidak harus di posisi sekretaris, Tuan. Mungkin saya bisa di departemen lain." "Baiklah, kau begitu aku akan meminta Nara menempatkanmu di departemen lain," "Terimakasih, Tuan." Sarah kembali menunduk. Tak lama kemudian, Joshua, dan Edwin sudah keluar. Begitu juga dengan Sarah, wanita itu keluar dari ruangan Victor. Ketika Sarah ingin masuk lift, Joshua menarik pergelangan tangan Sarah. "Mau di anter?" Sarah tersenyum, wanita itu menggeleng. "Tidak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri." "Yasudah, hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah sampai," kata Joshua, ia melepaskan pegangan tangannya pada pergelangan Sarah. "Jika ada apa-apa hubungi aku juga." Sarah tidak menjawab, wanita itu hanya tersen
Victor duduk di kursi kerjanya, ia menatap Joshua. "Ada apa Joshua? Apakah ada sesuatu yang penting?" "Ada, Tuan." Joshua menghela nafasnya kasar, pria itu menatap Victor serius. "Sarah tidak ingin bekerja di bawah naungan Anderson, Tuan. Lebih tepatnya, dia tidak ingin berurusan kembali dengan Tuan Edwin." "Edwin? Apa maksudnya dengan Edwin, Joshua? Apa Edwin membuat masalah dengan Sarah?" Victor menaikkan sebelah alisnya, kalimat Joshua terlalu ambigu untuk ia dengar. "Sebenarnya di katakan membuat masalah pun saya bingung, karena pada saat itu Tuan Edwin mabuk. Tuan Edwin menarik Sarah ke dalam ranjangnya, dan memaksa Sarah untuk tidur dengannya." Victor terkejut, pria itu melebarkan kedua matanya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Rahangnya mengeras, dengan tegas Victor berucap, "Katakan dengan jelas, Joshua!" "Dalam pengaruh alkohol, Tuan Edwin memaksa Sarah menghabiskan malam panas bersama. Kejadian itu bertepatan dengan dua hari menghilangnya Nona Kiara, saat terba
Beberapa bulan kemudian, Pagi itu, udara terasa segar memasuki dapur dimana Kiara sedang asyik menyiapkan sarapan. Rambutnya yang tergerai indah, dan wajahnya yang memancarkan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ibu. Tiba-tiba, Victor datang dari belakang dan memeluknya dengan lembut. Lantas berbisik tepat di telinga Kiara, "Semangat pagi, calon Mommy terhebat," Tawa kecil mengalir dari mulut Kiara, "Terimakasih, Daddy." Kiara menaruh spatulanya, dan mematikan kompor. Wanita itu membalikkan badannya, dan mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Jadi periksa 'kan?" "Jadi, Baby." Victor mendekatkan wajahnya, ia ingin memberikan kecupan pada Kiara. Namun, gerakan itu segera terhenti ketika Kiara menjauh saat merasakan mulas tiba-tiba menjalar di perutnya. Kiara mengerang pelan, tangannya instinktif meraih lengan Victor, dan mencengkramnya erat. "Victor, mulas sekali." Dengan napas yang tersengal-sengal, ia kembali berucap, "Sepertinya aku akan melahirkan, S
Hari itu, setelah sepekan menikmati bulan madu mereka, Edwin dan Sarah kembali ke kota. Sepanjang perjalanan, Edwin terlihat sangat tenang, namun tatapan matanya sesekali menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak oleh Sarah. "Sayang, kita mau langsung pulang ke apartemen?" tanya Sarah sambil menyandarkan kepalanya di bahu Edwin. Edwin tersenyum kecil, tangannya menggenggam erat tangan Sarah. "Kita ada sedikit pemberhentian sebelum pulang," jawabnya penuh teka-teki. Rasa penasaran Sarah semakin memuncak saat mobil mereka berhenti di depan sebuah gerbang besar dengan ornamen besi berukir yang megah. Gerbang itu perlahan terbuka, memperlihatkan jalan beraspal yang dikelilingi taman luas dan indah. "Edwin... ini tempat apa?" bisik Sarah sambil memandangi pemandangan di depannya dengan takjub. Edwin hanya tersenyum misterius, mengisyaratkan Sarah untuk bersabar. Mobil mereka terus melaju hingga akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah. Bangunan itu berdiri kokoh dengan desain ars
Keesokan harinya. Edwin terbangun terbangun terlebih dahulu, pria itu menatap Sarah yang masih terlelap. Jemarinya bergerak mengelus wajah cantik Sarah yang terlihat kelelahan, bibirnya mengulas senyum. "Dia memang sangat cantik, pantas saja aku sangat tergila-gila dengannya." Pria tersebut mencondongkan wajahnya ke arah Sarah, lantas mengecup bibir pucat yang sejak semalam ia nikmati. Setelahnya, Edwin menuruni ranjang. Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar mandi, dan membersihkan tubuhnya. Sebelum akhirnya Edwin meminta Amanda untuk mengantarkan makanan ke kamarnya. Tak lama kemudian, Amanda datang membawakan sarapan untuk Edwin dan Sarah. Edwin mengambilnya, dan meletakkan di atas meja. Dengan penuh cinta, dia menyiapkan sarapan untuk Sarah, menyusun makanan dengan rapi, dan memastikan semuanya sempurna . Tindakan kecil ini menunjukkan betapa Edwin ingin membuat Sarah merasa istimewa dan dihargai. Ini menjadi awal yang indah untuk bulan madu mereka, penuh dengan kasih sa
Hotel Anderson, New York. Resepsi pernikahan Edwin dan Sarah di hotel mewah Anderson berlangsung dengan sangat elegan dan megah. Terletak di aula utama hotel yang dihiasi dengan lampu kristal besar, suasana terasa mewah dan berkelas. Dekorasi dominan berwarna putih dengan sentuhan emas dan perak, memperkuat kesan glamor. Bunga-bunga segar seperti mawar putih, anggrek, dan lily ditempatkan di setiap sudut, menambahkan keindahan alami yang harmonis dengan nuansa mewah ruangan. Meja-meja tamu didekorasi dengan kain sutra berwarna krem dan dihiasi dengan centerpiece bunga serta lilin beraroma lembut. Di setiap meja, tersedia hidangan pembuka yang lezat, dengan pilihan makanan dari berbagai masakan internasional yang disiapkan oleh koki kelas dunia hotel tersebut. Panggung utama tempat Edwin dan Sarah duduk dikelilingi oleh dekorasi bunga yang indah dan latar belakang yang dipenuhi dengan lampu-lampu kecil yang berkilauan, menciptakan suasana romantis. Acara dimulai dengan pro
Beberapa hari berikutnya.Pernikahan Edwin dan Sarah adalah sebuah perayaan yang mewah dan penuh makna, dilaksanakan di sebuah hotel mewah milik Anderson yang memancarkan kemewahan dan keanggunan. Hotel ini dikenal dengan desain interiornya yang megah, dan pada hari istimewa ini, suasana menjadi semakin anggun berkat dekorasi yang disesuaikan dengan tema pernikahan.Di altar, Edwin berdiri dengan penuh kesan dalam balutan setelan tuxedo yang dirancang khusus untuk acara ini, tampak tenang dan penuh harapan. Di sampingnya, Pendeta yang akan memimpin pemberkatan berdiri dengan penuh khidmat, siap untuk meresmikan ikatan suci antara Edwin dan Sarah.Sarah, dengan anggun, melangkah menuju altar, didampingi oleh Joshua, yang bertindak sebagai walinya. Joshua, yang mengenakan setelan formal yang serasi, berjalan dengan penuh kehormatan, memberikan dukungan dan cinta kepada Sarah di hari bersejarah ini.Sarah sendiri mengenakan gaun pengantin yang menawan, dirancang dengan detail yang memuka
Beberapa hari berikutnya."Kita turun sekarang." Edwin menoleh pada Sarah yang tersenyum. "Iya, setelah dari sini kemana lagi?" Sarah melepaskan seatbeltnya, wanita itu mengambil tasnya. "Kita akan pergi menuju toko perhiasan sekalian." Edwin turun dari mobil, pria itu lantas membantu Sarah membuka pintu mobilnya. Tak lama kemudian, mereka sampai di dalam butik ternama yang ada di New York. "Selamat datang, Tuan Edwin. Silahkan di sebelah sana, untuk Nona Sarah akan ada di ruangan sebelah sini." Seorang wanita paruh baya itu membawa Sarah masuk ke dalam ruangan. Sementara Edwin masuk ke dalam ruangan lainnya yang sudah di tunjukkan oleh pemilik butik tersebut. Setelah mencoba beberapa tuxedo yang di pilihkan, Edwin memilih tuxedo yang menurutnya cocok untuknya. Setelahnya, ia melangkah menuju ruangan Sarah."Apa dia sudah selesai?""Nona Sarah sedang mencoba gaunnya, Tuan. Silahkan masuk." Wanita itu mempersilahkan Edwin untuk masuk ke dalam ruangan Sarah.Edwin melangkah masuk
Keesokan harinya. Kiara mendekati Paula yang sedang menimang Felix, wanita itu tersenyum. "Apakah Felix rewel, Paula?" Kiara mengambil alih Felix, dan menggendongnya. "Tidak, Nyonya. Tuan Muda sangat anteng, bahkan saat terbangun tidak menangis." Paula tersenyum ke arah Kiara. "Kalau begitu istirahatlah, Paula. Aku akan menjaga Felix, dan Ken. Terimakasih sudah menjaga Felix, dan Ken." Kiara menatap Paula dengan tersenyum. Paula mengangguk, wanita paruh baya itu melangkah pergi meninggalkan Kiara. Kiara menimang Felix. "Haus ya tadi, Sayang? Kenapa pintar sekali adik." Kiara merunduk, ia mengecup hidung bangir putranya. "Setelah ini mandi ya? Tunggu Daddy, lalu mandi bersama Kakak." Kiara membalikkan badannya, ia terkejut saat melihat Victor. "Kau mengejutkanku, Sayang." Victor mengulas senyumnya, pria itu mendekati Kiara, dan melabuhkan kecupan di kening Kiara. Lalu mengecup putranya. "Aku sudah di sini, ayo kita mandi. Setelah ini Edwin dan Sarah akan datang." Kiara m
Victor ingin tersenyum, namun ia menahannya. Sementara Kiara masih mengalungkan kedua tangannya di leher Victor, wanita itu mengecupi seluruh wajah Victor. "Maaf, maafkan aku." Kiara terus mengecup seluruh wajah Victor. Victor semakin lama semakin tidak tahan, akhirnya ia menahan Kiara. Pria itu menatap Kiara. "Aku memaafkanmu, Baby. Stop, kau bisa membangunkan yang lain." Pria itu menggeram. Kiara mengulas senyumnya, wanita itu mengerlingkan matanya menggoda. "Aku memang ingin membuatnya bangun, Sayang. Tapi nanti saja ketika kita di mansion.'' Kiara mengecup bibir Victor lembut, dan berdiri dari duduknya. Wanita itu duduk di kursinya sendiri, lantas memulai makan malamnya bersama Victor. Mereka nampak menikmati dengan khidmat. Sementara di sisi lain, Edwin menjemput Sarah di apartemennya. Mereka akan pergi makan malam bersama, setibanya di apartemen Sarah. Edwin mengetuk pintunuya, tak lama kemudian. Sarah membukanya. Edwin berdiri di depan Sarah, saat pandangannya jatuh
"Mau masuk?" Victor mengusap pipi Kiara dengan lembut. Kiara mengangguk. "Mau, ayo." Kiara tersenyum saat Victor merengkuh pinggangnya. Keduanya masuk ke dalam mansion yang telah Victor berikan, di dalam mansion yang megah itu, suasana penuh warna dan keceriaan. Kiara, dengan wajah bersinar penuh kebahagiaan, berdiri di tengah ruang besar yang dipenuhi dengan barang-barang indah dan mewah. Setiap sudut ruangan dihiasi dengan detail yang mencerminkan perhatian Victor terhadap apa yang mungkin paling membahagiakan Kiara. Lampu kristal berkilau lembut, memantulkan cahaya yang menari di sekeliling ruangan, sementara aroma bunga segar dan lilin wangi memenuhi udara. Kiara, mengenakan gaun yang anggun dan penuh warna cerah, tidak bisa menyembunyikan rasa sukacitanya. Matanya berbinar penuh keajaiban dan mulutnya melengkung dalam senyum lebar. Dia melangkah dengan lincah, menjelajahi setiap sudut ruangan, dan sesekali membalikkan badan untuk melihat Victor dengan ekspresi penuh rasa
Sarah mendorong tubuh Edwin agar menjauh darinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia bisa lepas dari Edwin. Sarah menatap Edwin dengan tajam. "Jangan bersikap kurang ajar, Tuan. Lebih baik sekarang Anda pergi." "Kau yakin mengusirku? Sementara kau sendiri menginginkannya, Sarah?" Edwin menaikkan sebelah alisnya, ia semakin mendekati Sarah. Namun, Sarah menjauh. "Saya tidak menginginkannya, Tuan. Jadi lebih baik Anda pergi sekarang juga, sebelum saya memukul Anda." Sarah menatap Edwin dengan tajam. Edwin mendengkus, jika sudah begini. Tandanya Sarah tidak bisa untuk di negosiasi. Edwin menatap Sarah. "Kalau begitu aku pergi dulu, tapi ingat satu hal—aku akan tetap berusaha mendapatkanmu kembali." Oh sial! Suara penuh intimidasi, dan tatapan seriusnya membuat Sarah bergidik. Wanita itu menatap Edwin dengan berani. "Pergilah, Tuan." Edwin mengangguk. "Ya, aku akan pergi sekarang." Edwin membalikkan badannya, dan melangkah pergi meninggalkan Sarah. Seperginya Edwin, Sa