Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 🥰
Beberapa bulan kemudian, Pagi itu, udara terasa segar memasuki dapur dimana Kiara sedang asyik menyiapkan sarapan. Rambutnya yang tergerai indah, dan wajahnya yang memancarkan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ibu. Tiba-tiba, Victor datang dari belakang dan memeluknya dengan lembut. Lantas berbisik tepat di telinga Kiara, "Semangat pagi, calon Mommy terhebat," Tawa kecil mengalir dari mulut Kiara, "Terimakasih, Daddy." Kiara menaruh spatulanya, dan mematikan kompor. Wanita itu membalikkan badannya, dan mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Jadi periksa 'kan?" "Jadi, Baby." Victor mendekatkan wajahnya, ia ingin memberikan kecupan pada Kiara. Namun, gerakan itu segera terhenti ketika Kiara menjauh saat merasakan mulas tiba-tiba menjalar di perutnya. Kiara mengerang pelan, tangannya instinktif meraih lengan Victor, dan mencengkramnya erat. "Victor, mulas sekali." Dengan napas yang tersengal-sengal, ia kembali berucap, "Sepertinya aku akan melahirkan, S
Kiara menghela nafasnya perlahan, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Lantas, Kiara kembali mendekat pada podium. Setelah menikmati hidangan, dan bertemu dengan para kolega. Victor berdiri dari kursinya dan meminta mikrofon kepada pembawa acara. Dia tersenyum sambil menatap semua tamu yang hadir, matanya berhenti sejenak pada Kiara yang berdiri di sisi ruangan. Seiring langkahnya mendekat, sorot matanya penuh kepastian. Victor membuka suaranya dengan tegas, "Terimakasih semua sudah hadir di sini," "Saya memiliki pengumuman penting yang ingin saya sampaikan sebelum kita menutup acara ini." Kiara merasakan detak jantungnya meningkat. Dia tahu ada sesuatu yang besar akan terjadi, tapi tidak tahu pasti apa itu. Victor mengambil tangan Kiara dan membawanya ke tengah panggung. Cahaya sorotan membuat Kiara merasa semua mata tertuju padanya. "Kiara," kata Victor dengan lembut. "Sejak hari pertama kita bertemu, aku tahu bahwa kau adalah orang yang aku inginkan di sisiku. Aku ingi
Keesokan harinya, Kiara menggeliat, wanita itu membuka kedua matanya secara perlahan. Bibirnya melengkungkan senyum saat melihat Victor masih terlelap. Wanita itu menempelkan pipi kanannya pada dada bidang Victor, sesekali ia mengecup dada bidang itu. Yang mana membuat Victor terusik, pria itu membuka kedua matanya. Ia terkekeh melihat Kiara. Victor mengelus puncak kepala Kiara, lantas meraih dagu Kiara. Membawa wajah wanita itu mendongak, ia tersenyum saat melihat Kiara juga tersenyum. "Morning, Daddy," "Morning, Mommy." Victor memangut bibir Kiara dengan lembut. "Apa anak-anak bangun?" Kiara menggeleng. "Tidak, mereka lelap sekali." Kiara mengelus dada bidang Victor dengan jemarinya secara abstrak. Victor menggeram, ia menahan tangan Kiara. "Jangan menggodaku, Baby." "Aku tidak menggodamu, Sayang. Kau saja yang selalu tergoda denganku." Kiara mengedipkan sebelah matanya, Victor menaikkan sebelah alisnya. "Oh jadi karena aku yang tergoda sendiri? Kau tidak ikut tergod
Satu bulan kemudian, Hari ini matahari bersinar terang, menghangatkan suasana di rumah ibadah Anderson yang dipenuhi dengan kerabat dan teman-teman. Victor mengenakan setelan tuxedo hitam yang sangat elegan, berdiri di altar dengan perasaan berdebar tidak karuan. Pria itu menunggu Kiara, hingga tak lama kemudian musik romantis terdengar, beriringan dengan langkah seorang wanita cantik yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Para tamu undangan berdecak kagum melihat Kiara tampak anggun dalam gaun pengantin putih yang dilapisi renda halus. Setibanya di altar, Victor mengulurkan tangannya pada Kiara. Membawa wanita itu naik ke atas altar, dan berdiri berhadapan di depan Pendeta. Tak lama kemudian, suara Pendeta mulai terdengar. "Maka tibalah saatnya untuk meresmikan perkawinan saudara. Saya persilahkan saudara masing-masing menjawab pertanyaan Saya, Tuan Victor Anderson bersediakah saudara menikah dengan Nona Kiara Giovanna yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hid
Malam harinya, Langit nampak cerah , seakan mendukung suasana di hotel Anderson. Kini acara resepsi pernikahan Kiara dan Victor berlangsung dengan gemilang. Hotel mewah ini telah dipoles dengan dekorasi yang memukau, mengubah ballroom yang sudah indah menjadi sebuah mahakarya yang mewah. Langit-langit ditutupi dengan rangkaian lampu kristal yang berkilauan, menciptakan efek seperti langit malam yang bertabur bintang di dalam ruangan. Di lantai, karpet merah yang tebal memandu para tamu menuju meja-meja yang didekorasi dengan bunga-bunga segar dan lilin berkilau. Tamu-tamu undangan, yang mengenakan gaun dan setelan formal, saling berbincang sambil menikmati berbagai hidangan lezat yang disajikan. Di satu sudut, sebuah grup musik memainkan lagu-lagu romantis, melodi lembut yang mengisi ruangan dengan suasana elegan. Sementara di meja utama, Kiara dan Victor berdiri sebagai pasangan pengantin, dikelilingi oleh teman-teman dekat dan keluarga yang bahagia. Victor menoleh pada Kiar
Victor, dan Kiara saling menatap. Lantas, Kiara terkekeh. Sementara Victor membuang napasnya kasar, pria itu turun dari ranjang. "Sepertinya anak-anak perlu di tenangkan terlebih dahulu." Victor memakai celana bahannya kembali, Kiara sendiri turut memakai bathrobenya. Tak seberepa lama, Victor membuka pintunya, dan menampakkan sosok Joshua. Joshua meringis, ia menggaruk kepalanya. "Maafkan saya, Tuan. Tapi Tuan Muda Kenneth, dan Tuan Muda Felix terbangun. Mereka rewel." "Tidak masalah, kalau begitu aku dan Kiara akan ke sana." Joshua mengangguk, dan berkata. "Baik, Tuan." Joshua menunduk hormat, dan melangkah menjauh. Setelah Joshua pergi, Kiara mendekati Victor. Wanita itu mengelus lengan suaminya. "Mau kesana sekarang?" "Ya, lebih baik kita ke sana sekarang. Karena aku tidak ingin menunda lagi." Victor mengecup pipi Kiara, membuat wanita itu terkekeh. Lantas, mereka berdua melangkah menuju kamar si kembar. Setibanya di sana, benar saja. Si kembar sangat rewel,
"Sayang." Kiara mendekati Victor, wanita itu melabuhkan kecupan di pipi kanan Victor. Victor mengulas senyumnya, ia membalas kecupan di pipi kiri Kiara. "Kenapa kemari, Baby?" "Tidak apa-apa, aku takut jika Ken, dan Felix menyusahkanmu." Kiara mengambil Felix yang sedang berbaring di ranjang khusus bayi. Wanita itu menimang putranya. "Mereka tidak akan menyusahkanku, Baby. Mereka putra-putraku." Victor membaringkan Kenneth di ranjangnya, lantas menghampiri Kiara. Memeluk wanita itu dari belakang. "Aku ingin melakukan sesuatu nanti malam." Victor mengecup leher jenjang Kiara, membuat wanita itu memejamkan kedua matanya, dan menggigit bibir bawahnya. "Aku harap kau mempersiapkan segalanya, aku menunggu sesuatu yang spesial." Victor mengelus leher jenjang Kiara, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Kiara. Seperginya Victor, Kiara menggigit bibir bawahnya. Pemikirannya berkelana kemana-mana. Setelah menidurkan Felix, Kiara menuju kamarnya. Wanita itu melihat Victor ya
Victor mematung mendengar ucapan Kiara, pria itu mendadak diam membisu. Namun, hatinya berdegup dengan kencang. Ia tidak salah mendengar bukan? Kiara yang melihat Victor mendadak diam membisu lantas tertawa lirih, tangannya terulur mengelus lengan suaminya. "Kenapa diam saja?" Victor tersentak, pria itu tertawa saat sadar jika Kiara tahu dia terkejut akan ungkapan cinta barusan. "Tidak apa-apa, Baby. Aku hanya sedikit terkejut saja." Victor menatap Kiara. "I love you, I love you more than anything. I will always love you." Suara bariton itu menyapa indah pada telinga Kiara ketika ucapan-ucapan cinta itu terlontar, membuat hatinya menghangat. Wajahnya memanas, ia berniat membuat Victor tersipun. Namun, kini berganti dengan dia yang di buat tersipu. Kiara memukul lengan Victor. "Kau selalu membuatku tersipu, seharusnya aku yang membuatmu tersipu." "Tidak masalah, aku suka melihat wajah meronamu." Victor terkekeh, ia merengkuh pinggang Kiara, dan membiarkan Kiara untuk dudu
Malam hari menyapa penthouse mewah keluarga Anderson dengan langit New York yang berkelip lembut dari balik jendela kaca besar. Kota itu tampak hidup, namun di dalam, kehidupan yang jauh lebih hangat sedang berlangsung—bersama dua bocah laki-laki berusia satu tahun yang menjadi pusat semesta pasangan kuat ini.Di ruang keluarga yang didesain dengan nuansa hangat dan elegan, karpet lembut membentang di atas lantai marmer. Mainan edukatif premium berserakan rapi, dan aroma lembut lavender menyebar dari diffuser di sudut ruangan.“Ken... jangan ganggu Felix, Sayang,” ucap Kiara sambil tersenyum lembut, membetulkan posisi duduk Kenneth yang tengah berusaha merebut boneka singa dari saudara kembarnya.Felix meringis kecil, matanya bulat menatap sang ibu, lalu tiba-tiba menghambur ke arah Victor dengan tangan terentang. “Pa...pa...”Victor yang tengah melepas dasi dan jasnya segera berjongkok, menyambut bocah kecil itu ke dalam pelukannya. “Felix-ku! Sudah belajar manggil Papa, ya?” bisikny
Cahaya pagi menelusup masuk melalui jendela kaca setinggi langit-langit, menyinari interior elegan ruang rapat utama Anderson Corporation yang berada di jantung kota New York. Lampu gantung kristal berkilau lembut di atas meja konferensi panjang berlapis kayu walnut Italia, dikelilingi pria dan wanita dalam setelan rapi dan penuh kharisma. Victor Anderson duduk di kepala meja, tegap dan tak tergoyahkan dalam balutan jas bespoke berwarna charcoal, kemeja putih bergaris tipis dan dasi sutra biru navy. Wajahnya tak menunjukkan emosi, namun jemarinya yang mengetuk permukaan meja menunjukkan ada yang tak sabar bergolak dalam dirinya. Di layar besar, grafik pertumbuhan pasar ditampilkan dengan presisi. Presentasi tengah berlangsung, namun Victor hanya sesekali meliriknya. “As expected,” ucapnya datar namun menohok, setelah kepala divisi pemasaran selesai memaparkan. “Namun ekspektasi saya bukan hal yang biasa. Saya menginginkan progres, bukan stabilitas semu.” Ruangan hening. Bebera
Victor mencium Kiara dengan penuh gairah, bibirnya menyapu dengan lembut namun menuntut, membuat wanita itu tenggelam dalam arus hasrat yang menggelora. Tangan besar Victor menelusuri lekuk tubuh Kiara, menariknya semakin dekat hingga dada mereka saling bertemu, seakan ingin menyatu lebih dalam. Kiara menggeliat dalam pelukan Victor, jemarinya menyusuri rambut pria itu, menariknya lebih dekat sementara desahan penuh nikmat meluncur dari bibirnya. Victor menyeringai, menikmati bagaimana istrinya menjadi begitu patuh dalam kungkungannya. "Kau benar-benar menggoda, Baby," gumam Victor dengan suara serak sebelum melumat bibir Kiara lagi, kali ini lebih menuntut, lebih mendominasi. Kiara tersentak, namun tubuhnya segera menyesuaikan, menerima setiap sentuhan Victor dengan penuh hasrat. Dengan satu gerakan kuat, Victor mengangkat Kiara dan mendudukkannya di bangku kayu yang dingin. Gaun rumah yang sederhana dengan mudah tersingkap saat tangan Victor mengelus pahanya, jemarinya meny
Di sebuah toko bunga mewah yang terletak di sudut jalan kota, Victor berdiri dengan tenang, matanya menelusuri berbagai macam bunga yang tertata indah di dalam vas kaca. Wangi mawar dan lily bercampur lembut di udara, menciptakan suasana yang menenangkan. Tangan Victor yang besar dan kokoh mengambil seikat mawar merah dengan kelopak yang masih segar, lalu menatapnya sejenak. Senyum tipis tersungging di sudut bibirnya saat membayangkan bagaimana ekspresi Kiara ketika menerimanya nanti. Namun, momen itu terganggu oleh suara langkah kaki seseorang yang mendekat. "Victor." Sebuah suara lembut namun tajam bergema di udara. Victor menegang sejenak sebelum menoleh sekilas. Sosok wanita dengan gaun berwarna biru tua berdiri di sana, rambut panjangnya tergerai sempurna, matanya menatap Victor dengan penuh arti. Eleanor. Namun, Victor hanya menoleh sebentar sebelum kembali menatap mawar di tangannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia melangkah ke kasir. Eleanor memicingkan matanya,
Keesokan harinya, suasana di sebuah kafe mewah di pusat kota terasa sibuk. Para eksekutif dengan setelan mahal memenuhi ruangan, membahas bisnis mereka dengan serius. Aroma kopi berkualitas tinggi bercampur dengan suara dentingan gelas dan piring, menciptakan harmoni yang khas. Di salah satu sudut ruangan yang lebih privat, Edwin Anderson duduk tegap di kursinya, ekspresi wajahnya tenang dan profesional. Seorang pria paruh baya dengan jas hitam yang rapi duduk di hadapannya, sementara beberapa dokumen terbuka di atas meja. "Mr. Anderson, saya harus mengakui, proposal Anda sangat mengesankan," ucap pria itu sambil melirik berkas yang tersusun rapi. "Namun, kami tetap ingin memastikan bahwa kerja sama ini akan menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kami membutuhkan jaminan bahwa distribusi produk ini akan berjalan lancar tanpa kendala logistik." Edwin menyandarkan tubuhnya, menyesap espresso hitamnya sebelum menjawab dengan suara dalam yang tegas, "Anda tidak perlu khawatir, Mr. Col
Di sebuah kafe dengan desain klasik nan elegan, dua wanita duduk berhadapan di sudut ruangan yang sedikit tersembunyi. Aroma kopi hitam yang pekat bercampur dengan wangi vanilla dari lilin aroma terapi di setiap meja, menciptakan suasana yang nyaman. Namun, meski suasananya tampak damai, percakapan di meja itu jauh dari kata tenang. Eleanor mengaduk cangkir kopinya dengan pelan, pandangannya lurus ke depan dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sementara itu, wanita di hadapannya, Cecil, tersenyum miring sambil memainkan sendok peraknya. "Kau terlihat terlalu serius, Eleanor," ucap Cecil dengan nada santai, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Apa kau masih tidak terima kalau Victor sudah menjadi milik wanita lain?" Eleanor tersenyum tipis, tapi matanya berkilat tajam. "Victor bukan 'milik' siapa pun, apalagi wanita biasa seperti Kiara. Aku mengenalnya lebih lama. Aku tahu bagaimana perasaannya yang sebenarnya. Dia hanya… tersesat sejenak." Cecil terkekeh pela
Pagi menjelang dengan tenang di mansion keluarga Anderson. Matahari baru saja menyentuh puncak pohon ketika Kiara terbangun dari tidurnya. Tubuhnya masih diselimuti kehangatan Victor, yang lengannya melingkari pinggangnya dengan posesif. Ia tersenyum tipis, membiarkan dirinya menikmati momen itu sebelum akhirnya mencoba beranjak.Namun, begitu ia bergerak, lengan Victor mengencang."Jangan pergi," gumamnya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.Kiara terkekeh, membelai rambut suaminya. "Anak-anak bisa bangun kapan saja. Aku harus melihat mereka."Victor membuka matanya perlahan, menatapnya dengan pandangan yang selalu berhasil membuat Kiara kehilangan napas. "Biarkan Sofia mengurus mereka sebentar lagi. Aku masih ingin bersamamu."Kiara menggigit bibir, hampir tergoda, tapi suara dentingan piring dari lantai bawah mengingatkannya bahwa hari sudah dimulai. Ia pun mencium pipi Victor singkat sebelum berhasil meloloskan diri dari pelukannya.Saat turun ke ruang makan, aroma kop
Mansion keluarga Anderson berdiri megah di atas lahan luas, dikelilingi taman berhiaskan mawar putih yang bermekaran. Di halaman belakang, air mancur berlapis marmer memantulkan sinar matahari sore, menciptakan suasana damai yang selalu dirindukan Kiara setelah bepergian jauh. Hari itu, keluarga kecil mereka baru saja kembali dari perjalanan di laut. Kenneth dan Felix tidur nyenyak di kamar bayi, sementara Victor mengawasi mereka dari kursi di sudut ruangan, lengan bersilang di dada. Kiara berdiri di ambang pintu, mengamati suaminya yang tampak begitu tenang. "Kau terlihat seperti penjaga gerbang surga," godanya sambil melangkah masuk. Victor menoleh, seulas senyum tipis di bibirnya. "Jika begitu, berarti kau bidadarinya." Ia menepuk pahanya, memberi isyarat agar Kiara mendekat. Tanpa ragu, Kiara duduk di pangkuannya. Tubuhnya bersandar pada dada bidang Victor, menikmati kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman. Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Suara deru me
Matahari telah naik lebih tinggi, memantulkan kilau keemasan di atas permukaan laut yang tenang. Kiara berbaring terlentang di atas selimut putih, dadanya masih bergerak naik-turun perlahan. Victor memandanginya dengan mata penuh kepuasan, jari-jarinya yang besar dengan lembut mengusap lekuk tulang rusuk sang istri. “Kau masih hidup?” goda Victor, suaranya serak namun penuh kelembutan. Bibirnya menempel di bahu Kiara, mengecap keringat asin yang mengering. Kiara memicingkan mata, tangan mungilnya menampar lembut dada Victor. “Hampir tidak,” jawabnya sambil tertawa ringan. “Kau benar-benar … tidak pernah kehabisan tenaga.” Victor menggeram rendah, mendekapnya erat sebelum bangkit dengan gesit. Tubuh atletisnya terpampang sempurna di bawah sinar matahari. “Ayo kita bersihkan diri,” ujarnya sambil merentangkan tangan. “Sebelum Sofia datang dan melihat kita seperti dua remaja mabuk cinta.” Kiara menggigit bibir, matanya menyapu tubuh Victor dari kepala hingga ujung kaki. “Kau yan