Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 😘 Jangan lupa ulasan, jejak komentar, dan votenya 🙏 terimakasih 😗 Habis ini bakal ada konflik Edwin yang tidak kalah badasnya 🥰
Perasaan Kiara semakin tak menentu mendengar ucapan Victor yang mengatakan tentang pernikahan, segudang pertanyaan muncul di otaknya di iringi dengan beberapa keraguan. Bukan dia tidak senang, melainkan ia takut. Bagaimana jika Victor kembali membohonginya? Victor mengelus bibir Kiara, dan bertanya, "Kenapa diam, Baby? Apa kau tidak yakin akan apa yang aku ucapkan?" Kiara menatap Victor, dengan ragu ia bertanya, "Bolehkan aku merasa tidak yakin setelah apa yang kita alami?" Victor terdiam, lantas mengangguk. Pria itu membawa Kiara duduk di kursi, dengan posisi Kiara berada di pangkuannya. Tangannya bergerak mengelus wajah cantik Kiara, kedua mata tajamnya menatap sorot indah dan teduh milik Kiara. "Kau boleh tidak yakin dengan ucapanku." Victor tau, dia yang menyebabkan Kiara seperti ini. "Tapi jujur, aku benar-benar serius dengan ucapanku. Baby." "Mungkin kau tidak bisa langsung yakin, karena aku sendiri yang membuatmu seperti ini. Tapi aku mohon... berikan aku kesempat
Kiara menggeliat, tubuhnya menggelinjang saat Victor memainkan miliknya di bawah sana. Wanita itu merasa geli, dan nikmat menjadi satu. Rasanya ia juga menginginkan secara lebih, namun ia masih mencoba mempertahankan diri di sisa kesadarannya. Kiara meremas helaian rambut Victor, dan mencoba menjauhkan wanita itu. "Victor... sudah." Victor melirik Kiara, alih-alih berhenti. Victor semakin mempercepat gerakannya, membuat wanita itu menggila. Berpegangan pada sisi wastafel, dengan satu tangannya yang meremas helaian rambut Victor. Gila, memang hanya Victor yang gila. Tak seberapa lama, Kiara mendapatkan pelepasannya. Wanita itu terengah-engah, Victor beranjak berdiri. Ia ingin memulai menu inti. Kiara menahan Victor. "Victor, jangan. Kau yang mengatakan akan melakukannya ketika kita sudah menikah." Victor yang sedang di selimuti gairah lantas tersadar, pria itu memeluk Kiara. "Maaf... maafkan aku yang hampir lepas kendali." Victor meredakan nafasnya yang memburu, ia sad
Seorang dokter mengarahkan Sarah dan Joshua ke dekat ranjang. "Silahkan berbaring, Nona." Joshua membantu Sarah berbaring di atas ranjang, tak lama kemudian dokter menyingkap kemeja Sarah, dan mengoleskan gel di atas perutnya. Lantas menggerakkan alat di atasnya. "Sepertinya belum ada kantung rahim yang terbentuk di sini, Nona." Dokter tersebut menatap layar monitor, dengan terus menggerakkan alat di atas perut Sarah. Tak seberapa lama, dokter itu menyudahi pemeriksaannya. Ia meminta Sarah, dan Joshua untuk duduk di depannya. "Jadi saya tidak hamil?" Dokter tersebut mengulas senyumnya, ia mengelus lembut punggung tangan Sarah. "Jangan berkecil hati, Nona. Mungkin bisa melakukan program hamil setelah ini, namun yang harus di ingat... Nona tidak boleh terlalu stres, dan banyak pikiran. Untuk makanannya sendiri sebaiknya menghindari junk food, nanti saya juga akan meresepkan obat kesuburan." Sarah terdiam, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dok. Tapi kenapa saya mual-mual akh
Victor menghela nafasnya perlahan, ia menatap Joshua, dan Edwin secara bergantian. Lantas menatap Sarah. "Kau sendiri bagaimana, Sarah?" Victor sendiri merasa jika Sarah merasa tidak nyaman. Sarah mendongak, ia menatap Victor, dan menjawab dengan gugup, "S-saya sendiri merasa jika tidak harus di posisi sekretaris, Tuan. Mungkin saya bisa di departemen lain." "Baiklah, kau begitu aku akan meminta Nara menempatkanmu di departemen lain," "Terimakasih, Tuan." Sarah kembali menunduk. Tak lama kemudian, Joshua, dan Edwin sudah keluar. Begitu juga dengan Sarah, wanita itu keluar dari ruangan Victor. Ketika Sarah ingin masuk lift, Joshua menarik pergelangan tangan Sarah. "Mau di anter?" Sarah tersenyum, wanita itu menggeleng. "Tidak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri." "Yasudah, hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah sampai," kata Joshua, ia melepaskan pegangan tangannya pada pergelangan Sarah. "Jika ada apa-apa hubungi aku juga." Sarah tidak menjawab, wanita itu hanya tersen
Victor duduk di kursi kerjanya, ia menatap Joshua. "Ada apa Joshua? Apakah ada sesuatu yang penting?" "Ada, Tuan." Joshua menghela nafasnya kasar, pria itu menatap Victor serius. "Sarah tidak ingin bekerja di bawah naungan Anderson, Tuan. Lebih tepatnya, dia tidak ingin berurusan kembali dengan Tuan Edwin." "Edwin? Apa maksudnya dengan Edwin, Joshua? Apa Edwin membuat masalah dengan Sarah?" Victor menaikkan sebelah alisnya, kalimat Joshua terlalu ambigu untuk ia dengar. "Sebenarnya di katakan membuat masalah pun saya bingung, karena pada saat itu Tuan Edwin mabuk. Tuan Edwin menarik Sarah ke dalam ranjangnya, dan memaksa Sarah untuk tidur dengannya." Victor terkejut, pria itu melebarkan kedua matanya. Jantungnya berdegup dengan kencang. Rahangnya mengeras, dengan tegas Victor berucap, "Katakan dengan jelas, Joshua!" "Dalam pengaruh alkohol, Tuan Edwin memaksa Sarah menghabiskan malam panas bersama. Kejadian itu bertepatan dengan dua hari menghilangnya Nona Kiara, saat terba
Beberapa bulan kemudian, Pagi itu, udara terasa segar memasuki dapur dimana Kiara sedang asyik menyiapkan sarapan. Rambutnya yang tergerai indah, dan wajahnya yang memancarkan kebahagiaan karena sebentar lagi akan menjadi ibu. Tiba-tiba, Victor datang dari belakang dan memeluknya dengan lembut. Lantas berbisik tepat di telinga Kiara, "Semangat pagi, calon Mommy terhebat," Tawa kecil mengalir dari mulut Kiara, "Terimakasih, Daddy." Kiara menaruh spatulanya, dan mematikan kompor. Wanita itu membalikkan badannya, dan mengalungkan kedua tangannya di leher Victor. "Jadi periksa 'kan?" "Jadi, Baby." Victor mendekatkan wajahnya, ia ingin memberikan kecupan pada Kiara. Namun, gerakan itu segera terhenti ketika Kiara menjauh saat merasakan mulas tiba-tiba menjalar di perutnya. Kiara mengerang pelan, tangannya instinktif meraih lengan Victor, dan mencengkramnya erat. "Victor, mulas sekali." Dengan napas yang tersengal-sengal, ia kembali berucap, "Sepertinya aku akan melahirkan, S
Kiara menghela nafasnya perlahan, ia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Lantas, Kiara kembali mendekat pada podium. Setelah menikmati hidangan, dan bertemu dengan para kolega. Victor berdiri dari kursinya dan meminta mikrofon kepada pembawa acara. Dia tersenyum sambil menatap semua tamu yang hadir, matanya berhenti sejenak pada Kiara yang berdiri di sisi ruangan. Seiring langkahnya mendekat, sorot matanya penuh kepastian. Victor membuka suaranya dengan tegas, "Terimakasih semua sudah hadir di sini," "Saya memiliki pengumuman penting yang ingin saya sampaikan sebelum kita menutup acara ini." Kiara merasakan detak jantungnya meningkat. Dia tahu ada sesuatu yang besar akan terjadi, tapi tidak tahu pasti apa itu. Victor mengambil tangan Kiara dan membawanya ke tengah panggung. Cahaya sorotan membuat Kiara merasa semua mata tertuju padanya. "Kiara," kata Victor dengan lembut. "Sejak hari pertama kita bertemu, aku tahu bahwa kau adalah orang yang aku inginkan di sisiku. Aku ingi
Keesokan harinya, Kiara menggeliat, wanita itu membuka kedua matanya secara perlahan. Bibirnya melengkungkan senyum saat melihat Victor masih terlelap. Wanita itu menempelkan pipi kanannya pada dada bidang Victor, sesekali ia mengecup dada bidang itu. Yang mana membuat Victor terusik, pria itu membuka kedua matanya. Ia terkekeh melihat Kiara. Victor mengelus puncak kepala Kiara, lantas meraih dagu Kiara. Membawa wajah wanita itu mendongak, ia tersenyum saat melihat Kiara juga tersenyum. "Morning, Daddy," "Morning, Mommy." Victor memangut bibir Kiara dengan lembut. "Apa anak-anak bangun?" Kiara menggeleng. "Tidak, mereka lelap sekali." Kiara mengelus dada bidang Victor dengan jemarinya secara abstrak. Victor menggeram, ia menahan tangan Kiara. "Jangan menggodaku, Baby." "Aku tidak menggodamu, Sayang. Kau saja yang selalu tergoda denganku." Kiara mengedipkan sebelah matanya, Victor menaikkan sebelah alisnya. "Oh jadi karena aku yang tergoda sendiri? Kau tidak ikut tergod