Toronto, Kanada Sarah mengelus lengan Kiara. "Kau yakin akan bekerja?" tanya Sarah. Kini keduanya sudah berada di Toronto, sudah dua bulan mereka ada di sini. Keduanya bekerja di Martinez Corporation sebagai office girls. Kiara menatap Sarah, bibirnya mengulas senyumnya. "Aku yakin, usia kandunganku sudah hampir memasuki tujuh bulan. Sarah, aku harus mempersiapkan segalanya untuk anakku." Kiara mengelus perutnya yang sudah membuncit, hatinya menghangat jika mengingat sebentar lagi akan segera bertemu. "Baiklah jika begitu, kita berangkat sekarang." Sarah menggandeng tangan Kiara, membawa wanita itu untuk menunggu taxi. Martinez Corporation, Setibanya di perusahaan, Kiara dan Sarah langsung bekerja. Mereka berpisah dalam tugas masing-masing, Kiara sendiri masuk ke dalam ruangan CEO sekaligus pemilik perusahaan Martinez. Kiara yang sedang membersihkan meja, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Wanita itu membungkuk hormat. "Selamat pagi, Tuan Alex." sapanya. Alex men
Keesokan harinya, Joshua mengetuk pintu kamar Victor, pagi ini mereka akan melakukan pertemuan di perusahaan kliennya. Tak lama kemudian, Victor membuka pintunya. Victor menatap Joshua. "Apa mereka sudah menghubungimu?" Joshua mengangguk. "Sudah, Tuan. Mereka meminta Tuan langsung ke perusahaan." "Baiklah, kalau begitu tunggu aku di mobil. Sebentar lagi aku akan menyusul," "Baik, Tuan," Victor masuk ke dalam kamarnya kembali, ia mengambil dasinya, dan berdiri di depan cermin. Victor menatap dirinya sendiri, rasa sesak kembali merasuki benaknya, saat ia mengingat Kiara. Bayangan Kiara yang selalu memasangkan dasinya, dan membantunya bersiap terlintas di otaknya. Victor menghembuskan nafasnya perlahan. "Andai kau berada di sini, pasti kau yang sudah membantuku. Baby." Victor mengulas senyum tipisnya, tatapannya menjadi sendu. Tak lama kemudian, Victor bergabung bersama Joshua di mobil. Kini mereka menuju perusahaan yang akan mengadakan pertemuan, setibanya di sana
"Tuan." Joshua mendekati Victor. "Nona Kiara sudah berada di apartemennya, apakah kita ke sana sekarang. Tuan?" "Besok saja, biarkan dia menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tau jika dia masih terkejut dengan kedatanganku," Joshua mengangguk. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya hanya mengirimkan beberapa anak buah untuk mengawasi Nona Kiara." Victor menatap Joshua. "Sepertinya tidak perlu, siapkan aku satu unit di samping unit Kiara." Victor mengulas senyumnya, pria itu membayangkan pagi-pagi menyambut Kiara. "Baik, Tuan. Segera saya siapkan." Joshua mengambil ponselnya, dan segera menjalankan perintah Victor. Sementara itu di apartemen, Kiara sedang menangis. Wanita itu bingung ingin menyampaikan seperti apa akan perasaan yang kini sedang ia rasakan, sebab Kiara sendiri bingung. Ada sesak yang Kiara rasakan, tapi ada juga rasa sedikit senang di hatinya ketika melihat wajah Victor, mungkin saja bawaan ia hamil. Sarah menghela nafasnya perlahan, ia mendekati Kiara. "Jangan
Kiara, dan Victor terkejut ketika mendengar suara Sarah. Mereka saling menatap, lantas Kiara menatap ke arah pintu. "Lebih baik kau sembunyi, aku akan membukakan pintu untuk Sarah," Victor menaikkan sebelah alisnya, ia semakin merengkuh pinggang Kiara. "Kenapa harus sembunyi? Bukankah Sarah tau jika kau dan aku bersama?" Kiara memutar bola matanya malas. "Tidak, dia tidak tau. Lebih baik sekarang kau sembunyi, jangan membuat masalah Victor." "Aku tidak membuat masalah, Baby." Victor meraih dagu Kiara, mengangkat wajah wanita itu agar menghadap ke arahnya. Lantas, Victor mengecup bibir Kiara. "Ini baru masalah, Baby." Kiara memejamkan kedua matanya, jantungnya dengan berdebar kencang. Sudah bisa ia pastikan jika wajahnya sekarang memerah seperti tomat. "Kiara, kenapa lama sekali?" Kiara ingin melepaskan diri dari Victor, dan ingin membuka pintu kamarnya. Namun, Victor terlebih dahulu membukakan pintu kamar Kiara, dan menyembulkan kepalanya. Yang mana membuat Sarah t
Perasaan Kiara semakin tak menentu mendengar ucapan Victor yang mengatakan tentang pernikahan, segudang pertanyaan muncul di otaknya di iringi dengan beberapa keraguan. Bukan dia tidak senang, melainkan ia takut. Bagaimana jika Victor kembali membohonginya? Victor mengelus bibir Kiara, dan bertanya, "Kenapa diam, Baby? Apa kau tidak yakin akan apa yang aku ucapkan?" Kiara menatap Victor, dengan ragu ia bertanya, "Bolehkan aku merasa tidak yakin setelah apa yang kita alami?" Victor terdiam, lantas mengangguk. Pria itu membawa Kiara duduk di kursi, dengan posisi Kiara berada di pangkuannya. Tangannya bergerak mengelus wajah cantik Kiara, kedua mata tajamnya menatap sorot indah dan teduh milik Kiara. "Kau boleh tidak yakin dengan ucapanku." Victor tau, dia yang menyebabkan Kiara seperti ini. "Tapi jujur, aku benar-benar serius dengan ucapanku. Baby." "Mungkin kau tidak bisa langsung yakin, karena aku sendiri yang membuatmu seperti ini. Tapi aku mohon... berikan aku kesempat
Kiara menggeliat, tubuhnya menggelinjang saat Victor memainkan miliknya di bawah sana. Wanita itu merasa geli, dan nikmat menjadi satu. Rasanya ia juga menginginkan secara lebih, namun ia masih mencoba mempertahankan diri di sisa kesadarannya. Kiara meremas helaian rambut Victor, dan mencoba menjauhkan wanita itu. "Victor... sudah." Victor melirik Kiara, alih-alih berhenti. Victor semakin mempercepat gerakannya, membuat wanita itu menggila. Berpegangan pada sisi wastafel, dengan satu tangannya yang meremas helaian rambut Victor. Gila, memang hanya Victor yang gila. Tak seberapa lama, Kiara mendapatkan pelepasannya. Wanita itu terengah-engah, Victor beranjak berdiri. Ia ingin memulai menu inti. Kiara menahan Victor. "Victor, jangan. Kau yang mengatakan akan melakukannya ketika kita sudah menikah." Victor yang sedang di selimuti gairah lantas tersadar, pria itu memeluk Kiara. "Maaf... maafkan aku yang hampir lepas kendali." Victor meredakan nafasnya yang memburu, ia sad
Seorang dokter mengarahkan Sarah dan Joshua ke dekat ranjang. "Silahkan berbaring, Nona." Joshua membantu Sarah berbaring di atas ranjang, tak lama kemudian dokter menyingkap kemeja Sarah, dan mengoleskan gel di atas perutnya. Lantas menggerakkan alat di atasnya. "Sepertinya belum ada kantung rahim yang terbentuk di sini, Nona." Dokter tersebut menatap layar monitor, dengan terus menggerakkan alat di atas perut Sarah. Tak seberapa lama, dokter itu menyudahi pemeriksaannya. Ia meminta Sarah, dan Joshua untuk duduk di depannya. "Jadi saya tidak hamil?" Dokter tersebut mengulas senyumnya, ia mengelus lembut punggung tangan Sarah. "Jangan berkecil hati, Nona. Mungkin bisa melakukan program hamil setelah ini, namun yang harus di ingat... Nona tidak boleh terlalu stres, dan banyak pikiran. Untuk makanannya sendiri sebaiknya menghindari junk food, nanti saya juga akan meresepkan obat kesuburan." Sarah terdiam, ia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dok. Tapi kenapa saya mual-mual akh
Victor menghela nafasnya perlahan, ia menatap Joshua, dan Edwin secara bergantian. Lantas menatap Sarah. "Kau sendiri bagaimana, Sarah?" Victor sendiri merasa jika Sarah merasa tidak nyaman. Sarah mendongak, ia menatap Victor, dan menjawab dengan gugup, "S-saya sendiri merasa jika tidak harus di posisi sekretaris, Tuan. Mungkin saya bisa di departemen lain." "Baiklah, kau begitu aku akan meminta Nara menempatkanmu di departemen lain," "Terimakasih, Tuan." Sarah kembali menunduk. Tak lama kemudian, Joshua, dan Edwin sudah keluar. Begitu juga dengan Sarah, wanita itu keluar dari ruangan Victor. Ketika Sarah ingin masuk lift, Joshua menarik pergelangan tangan Sarah. "Mau di anter?" Sarah tersenyum, wanita itu menggeleng. "Tidak perlu, Kak. Aku bisa pulang sendiri." "Yasudah, hati-hati di jalan. Kabari aku jika sudah sampai," kata Joshua, ia melepaskan pegangan tangannya pada pergelangan Sarah. "Jika ada apa-apa hubungi aku juga." Sarah tidak menjawab, wanita itu hanya tersen