Selamat Membaca ❤ Sehat Selalu 😘 Jangan lupa ulasan, jejak komentar, dan votenya 🙏 terimakasih 😗
Dengan emosi yang meluap, Victor melangkah menuju kamarnya bersama Kiara. Setibanya di depan kamar, Victor segera membuka pintunya, dan melihat Kiara yang berbaring di atas ranjang dengan memakai lingerie. Tidak mencurigai apa yang terjadi, Kiara sendiri menuruni ranjang dan menyambut Victor yang baru saja datang. "Bagaimana meetingmu, Say—" Brugh! "Shhss, kenapa. Sayang?" tanya Kiara sembari meringisa ketika Victor menghempaskan tubuhnya ke ranjang, ia menatap Victor, dan ia baru sadar jika raut wajah pria itu sama dengan beberapa hari lalu. "Say ... hmmmpptthh." Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ketika Victor kembali menyerang bibirnya dengan kasar, Kiara menggeliat, ia mencoba meloloskan diri dari Victor. Sebab ia tidak ingin kejadian tempo lalu terulang. Namun, bagaimana bisa ia lepas jika kini tubuhnya di kunci oleh Victor. Bahkan pria itu tidak meloloskannyya sedikit pun, kini Victor menegakkan tubuhnya. Pria itu merobek lingerie Kiara dengan kasar, membuat Kiara
Edwin melangkah dengan langkah terburu-buru menuju pintu masuk mansion megahnya. Wajahnya memerah padam, dahinya berkerut dalam, dan tinjunya terkepal erat. Hatinya dipenuhi rasa marah dan kecewa yang tak terkira. Baru saja, dia menerima sebuah bukti yang tak terduga, bukti yang mengungkap skandal besar yang selama ini disembunyikan oleh dua orang yang ada di sekitarnya sendiri. Edwin membuka pintu dengan kasar, hingga bunyi keras menggema di seluruh ruangan. Para maid yang melihatnya langsung menundukkan kepala, takut akan amarahnya yang meledak-ledak. "Dimana Daddy, dan Kiara?" tanya Edwin dengan suara menggelegar, semua maid yang ada di sana menunduk takut. Sementara Paula mendongak, dan memberanikan diri menatap Edwin. "Tuan Victor, dan Nona Kiara tidak ada di mansion. Tuan," jawab Paula. "Brengsek! Pergi kalian semua dari ruangan ini!" titah Edwin dengan amarahnya yang meluap, semua para maid menurut. Mereka segera pergi meninggalkan ruang tamu. Pyarrr! Pyarrr! Edwin
Beberapa jam sebelumnya, "Apa aku harus memberikan kesempatan untuk Victor?" "Sepertinya memang aku harus memberikan kesempatan kembali untuknya, bagaimana pun juga aku sudah memiliki hubungan terlalu jauh dengannya. Tidak mungkin aku pergi begitu saja, lagi pula Edwin sudah mengurus perceraian kami. Siapa tau dengan ini Victor bisa berterus terang karena hubungan kami yang sudah tidak ada penghalang kembali," ucap Kiara, wanita itu nampak menyakinkan dirinya sendiri tentang Victor. Kiara duduk di depan meja rias, ia melihat pipinya yang memar. Menyentuhnya dengan perlahan, Kiara meringis. Rasanya masih sedikit sakit. "Apa sebenarnya yang sedang ia sembunyikan, aku benar-benar tidak mengerti. Kenapa dia bersika—" Kiara tidak dapat melanjutkan ucapannya, ketika ponselnya mendapatkan notifikasi pesan. Kiara membukanya. Deg! Jantung Kiara berdegup dengan kencang, rasa sesak tiba-tiba menghantam hatinya. Ketika kedua matanya melihat sebuah video yang terkirim di ponselnya
Beberapa hari kemudian, Suara muntahan terdengar nyaring dari arah kamar yang saat ini di tempati oleh Kiara, Sarah yang mendengar bergegas menuju kamar wanita itu. Setibanya di sana, Sarah segera masuk ke dalam kamar mandi. Wanita itu membantu Kiara memuntahkan semua gejolak di perutnya. "S-sudah, Sarah," ujar Kiara, ia mengusap dan membersihkan bekas muntahannya yang ada di sekitar bibirnya. "Sepertinya kau sedang sakit, Kiara. Wajahmu pun terlihat sangat pucat, nanti sore sebelum kau berangkat ke airport—kita pergi ke rumah sakit terlebih dahulu," ajak Sarah, Kiara menggelengkan kepalanya. "Tidak mau, aku tidak apa-apa. Sarah," tolak Kiara. "Aku tidak menerima penolakan, Kiara. Kita mampir ke rumah sakit sebentar, baru kau boleh pergi meninggalkan negara ini. Jika kau tidak mau periksa, aku juga tidak akan memperbolehkanmu pergi," ancam Sarah, sebab sudah beberapa hari ini Kiara seperti itu, dan membuatnya merasakan kecurigaan. Kiara menghela nafasnya perlahan, "baiklah, kita
Gedung tua, New York. "Dia sudah di dalam?" tanya Victor, Joshua mengangguk. "Sesuai dengan perintah Tuan, Nyonya Nicole, dan Delon sudah ada di dalam. Mereka sudah sama-sama terikat di kursi," Victor tidak menjawab, pria itu melangkah masuk ke dalam gudang. Menguatkan dirinya sendiri, Joshua sendiri turut melangkah masuk. Setibanya di dalam gudang, tubuh Victor bergetar ketika melihat Nicole. Hatinya terasa sesak. "Apakah saya saja yang mengeksekusi, Tuan?" tanya Joshua saat melihat respon tubuh Victor. Victor menggeleng, ia mengambil nafasnya, dan menghembuskannya perlahan. "Biar aku saja," lirihnya, Victor melangkah mendekati Nicole yang sudah menatapnya tajam. "Lepaskan aku sialan! Apa yang kau lakukan!" teriak Nicole, ia memberontak. Kedua matanya menatap marah Victor. "Aku melakukan apa yang sudah seharusnya aku lakukan sejak lama, Nicole. Sudah seharusnya aku membun-uhmu sejak dulu, bukan membiarkanmu sampai kau merusak semuanya! Karena kau—Kiara pergi sialan!
Toronto, Kanada Sarah mengelus lengan Kiara. "Kau yakin akan bekerja?" tanya Sarah. Kini keduanya sudah berada di Toronto, sudah dua bulan mereka ada di sini. Keduanya bekerja di Martinez Corporation sebagai office girls. Kiara menatap Sarah, bibirnya mengulas senyumnya. "Aku yakin, usia kandunganku sudah hampir memasuki tujuh bulan. Sarah, aku harus mempersiapkan segalanya untuk anakku." Kiara mengelus perutnya yang sudah membuncit, hatinya menghangat jika mengingat sebentar lagi akan segera bertemu. "Baiklah jika begitu, kita berangkat sekarang." Sarah menggandeng tangan Kiara, membawa wanita itu untuk menunggu taxi. Martinez Corporation, Setibanya di perusahaan, Kiara dan Sarah langsung bekerja. Mereka berpisah dalam tugas masing-masing, Kiara sendiri masuk ke dalam ruangan CEO sekaligus pemilik perusahaan Martinez. Kiara yang sedang membersihkan meja, menoleh ke arah pintu yang terbuka. Wanita itu membungkuk hormat. "Selamat pagi, Tuan Alex." sapanya. Alex men
Keesokan harinya, Joshua mengetuk pintu kamar Victor, pagi ini mereka akan melakukan pertemuan di perusahaan kliennya. Tak lama kemudian, Victor membuka pintunya. Victor menatap Joshua. "Apa mereka sudah menghubungimu?" Joshua mengangguk. "Sudah, Tuan. Mereka meminta Tuan langsung ke perusahaan." "Baiklah, kalau begitu tunggu aku di mobil. Sebentar lagi aku akan menyusul," "Baik, Tuan," Victor masuk ke dalam kamarnya kembali, ia mengambil dasinya, dan berdiri di depan cermin. Victor menatap dirinya sendiri, rasa sesak kembali merasuki benaknya, saat ia mengingat Kiara. Bayangan Kiara yang selalu memasangkan dasinya, dan membantunya bersiap terlintas di otaknya. Victor menghembuskan nafasnya perlahan. "Andai kau berada di sini, pasti kau yang sudah membantuku. Baby." Victor mengulas senyum tipisnya, tatapannya menjadi sendu. Tak lama kemudian, Victor bergabung bersama Joshua di mobil. Kini mereka menuju perusahaan yang akan mengadakan pertemuan, setibanya di sana
"Tuan." Joshua mendekati Victor. "Nona Kiara sudah berada di apartemennya, apakah kita ke sana sekarang. Tuan?" "Besok saja, biarkan dia menenangkan diri terlebih dahulu. Aku tau jika dia masih terkejut dengan kedatanganku," Joshua mengangguk. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya hanya mengirimkan beberapa anak buah untuk mengawasi Nona Kiara." Victor menatap Joshua. "Sepertinya tidak perlu, siapkan aku satu unit di samping unit Kiara." Victor mengulas senyumnya, pria itu membayangkan pagi-pagi menyambut Kiara. "Baik, Tuan. Segera saya siapkan." Joshua mengambil ponselnya, dan segera menjalankan perintah Victor. Sementara itu di apartemen, Kiara sedang menangis. Wanita itu bingung ingin menyampaikan seperti apa akan perasaan yang kini sedang ia rasakan, sebab Kiara sendiri bingung. Ada sesak yang Kiara rasakan, tapi ada juga rasa sedikit senang di hatinya ketika melihat wajah Victor, mungkin saja bawaan ia hamil. Sarah menghela nafasnya perlahan, ia mendekati Kiara. "Jangan