Nenek Sholihati dan Marlina berlari menuju kamar ayahnya. Mereka melihat Pak Maryono tergeletak di lantai.
“Er ….” Pak Maryono seakan ingin mengucapkan kata-kata, namun tidak terdengar dengan jelas.
Nenek Sholihati dan Marlina berusaha mengangkat Pak Maryono kembali ke atas kasur. Pak Maryono mengalami stroke yang mengakibatkan tubuhnya sebelah kanan tidak dapat digerakkan. Mulutnya juga miring ke kanan sehingga tidak bisa berbicara dengan jelas.
Marlina memberi minum ayahnya, tapi air minum itu tumpah, tak bisa masuk ke dalam mulut pak Maryono yang miring. Pak Maryono menangis sangat keras membuat mertua dan anaknya ikut menangis. Pak Maryono memukul kepalanya dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan, seolah tidak terima dengan keadaan stroke yang menimpanya.
Seluruh penghuni rumah itu tak ada yang berani keluar. Mereka tak ingin mendengar gunjingan tetangga lagi, mereka berusaha menutupi sakit yang diderita Pak Maryono. Beberapa hari di dalam rumah. Persedian makanan semakin sedikit memaksa Nenek Sholihati keluar rumah untuk bekerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan di rumah.
Nenek Sholihati mencabut singkong di kebun untuk dimakan. Lalu Nenek Sholihati memetik sayuran di kebun, lalu diikat dan ditukar beberapa bahan makanan.
Tetangga yang melihat Nenek Sholihati ada yang menjauh, menyindir, bahkan ada yang terang-terangan menghina. Nenek Sholihati berusaha tenang dan pura-pura tidak dengar, kemudian kembali ke rumah lagi.
Di dalam rumah Marlina sedang membersihkan kotoran ayahnya. Aroma busuk dari kotoran menantunya membuat Nenek Sholihati urung untuk masuk ke dalam rumah. Setelah selesai membersihkan ayahnya, Marlina menuju kamar mandi. Di sana Marlina mengeluarkan isi perutnya, mungkin dia kebauan juga.
Nenek Sholihati geleng-geleng seraya meletakkan barang-barang yang tadi dibelinya. Di kamar, Pak Maryono menitikkan air mata, menyesali kenapa dia merepotkan anaknya.
Sehari-harinya Marlina tekun mengurus ayahnya, meski sering mual dan muntah setelahnya. Nenek Sholihati melihat perubahan bentuk fisik cucunya itu, namun tidak berani mengungkapkan, takut jika benar-benar apa yang ia pikirkan itu jadi kenyataan. Saat ini Marlina sedikit sekali makannya, badannya menjadi kurus, tetapi dadanya semakin berisi. Nenek Sholihati ingin sekali bertanya pada cucunya, kapan terakhir Marlina menstruasi.
***
Pak Maryono sudah sebulan ini sakit. Marlina semakin tak dapat menguasai rasa mualnya setiap hari. Pak Maryono bau sekali, sehingga ia tak bisa menyingkirkan rasa mual ini. Apakah ini benar-benar mual karena bau dari Ayahnya? Marlina khawatir jika dia hamil. Sudah dua bulan lebih Marlina tidak menstruasi. Apa ini yang disebut hamil? Marlina tak berani bertanya pada Nenek. Bagaimana jika Marlina benar-benar hamil? Marlina menangis dalam lamunannya.
Jika Marlina menuruti nasehat orang tua untuk tidak meneruskan sekolah di kota, mungkin hal ini tak terjadi. Marlina masih bisa berkebun bersama ibu dan neneknya. Banyak juga anak-anak yang tidak melanjutkan sekolah, keluarganya tenang damai, kehidupan berlanjut. Dengan adanya Marlina bersekolah, keluarganya malah kehilangan Ibu, sedangkan ayahnya sakit stroke.
Malam ini Marlina mengadu pada Rabbnya. Di atas sajadah ini dia menangis dan bersujud, memohon ampunan atas dosanya. Dengan kesalahan tersebut, semua orang merasakan apa yang telah diperbuatnya. Marlina bersumpah atas nama Ibunya untuk menjaga dan merawat Ayah sampai akhir hayatnya. Bahkan neneknya yang tidak tau apa-apa kini kena juga menanggung malu.
“Ya Allah, ampunilah dosaku. Semoga tebakanku salah, aku tak ingin hamil. Tuhan, jangan tambah bebanku, jangan engkau menambah berat beban Ayah dan Nenek.” Marlina memanjatkan doanya.
“Ya Allah, berilah petunjukMu pada hamba. Aku sungguh tahu hamil seperti apa, jangan buat aku hamil Ya Allah, aku malu.” Marlina sesegukan dalam doanya.
Di akhir doanya, neneknya membelai kepala Marlina dari belakang. Marlina berbalik ke arah neneknya, memeluknya dengan erat dan menumpahkan tangisnya.
“Nek, maafkan aku. Karena Aku semua jadi seperti ini. Aku yang berbuat, Nenek, Ayah dan Ibu ikut menanggungnya.” Marlina menangis dalam pelukan Nenek.
“Kamu harus sabar, ini ujian dari Yang Kuasa, Kita harus menjalankan sebaik mungkin. Allah tidak memberikan cobaan melebihi kemampuan hambanya. Nenek yakin, kita pasti bisa melewati cobaan ini,” ucap neneknya sambil memeluk dan mengusap kepala Marlina.
Pagi ini kepala Marlina sangat pusing. Untuk masuk ke kamar ayahnya saja rasanya berat sekali, namun tetap dipaksakan dengan berjalan memegang tembok untuk menyanggah tubuhnya. Kamar Pak Maryono sangat bau, mungkin ompolnya semalam sangat banyak, aroma pesing membuat semua orang akan merasa mual. Marlina mengelap seluruh tubuh ayahnya dengan handuk dan air hangat lalu menggantikan pakaiannya. Tubuh Pak Maryono sangat berat, mungkin karena kurang gerak sehingga sulit untuk menggerakkannya. Untuk membalikkan badannya saja. Marlina merasa badannya sangat lelah untuk pekerjaan ini, padahal kemarin pekerjaan ini dirasa tidak seberat saat ini.
Setiap selesai membersihkan Pak Maryono, Marlina membuang seluruh isi perutnya di kamar mandi. Bukan karena jijik, tapi memang mual yang tak dapat tertahan. Mual yang dirasakan berlangsung sampai matahari tepat di atas kepala. Selepas siang, dia sehat kembali, kekuatannya seperti datang lagi. Sementara badannya yang masih kuat ini, Marlina membantu Nenek di kebun. Namun, ketika berjongkok untuk mencabut rumput, perutnya terasa mengganjal. Nenek memperhatikannya, tapi Marlina pura-pura tidak tahu.
Nenek Sholihati mengantar makanan ke kamar menantunya, sepertinya sang menantu ingin menyampaikan sesuatu pada mertuanya.
“Apa?” tanya Nenek.
“Er ….” Pak Maryono mengencangkan ucapannya sambil menunjuk ke arah Marlina.
“Marlina? Minta dipanggil ke sini?” tanya Nenek lagi.
Pak MAryono menggeleng, Marlina masuk ke kamar tanpa diperintah.
“Apa Yah?” tanya Marlina mendekat.
Pak Maryono mengelus perutnya, “Ayah lapar? Sini Mar suapin ya!” Marlina menyodorkan sesuap nasi ke mulut ayahnya. Pak Maryono menggeleng dan kembali mengelus perutnya.
“Perutmu sakit?” tanya Nenek pada menantunya.
Lagi-lagi Pak Maryono menggeleng, Marlina mendekatinya lagi, “Ayah kenapa?” tanyanya pelan. Tangan Pak Maryono berupaya menggapai tubuh anaknya. Marlina menggenggam tangan kiri Pak Maryono, “Ayah ingin apa?”
Tangan Pak Maryono menyentuh perut putrinya, “aku belum lapar, aku suapin Ayah dulu ya. Nanti kalau Ayah sudah kenyang baru aku makan,” ucap Marlina setengah berbisik di dekat telinganya.
“Er….” Ayah kembali berucap yang tidak kami ketahui.
Marlina mendekatkan telinganya ke mulut Pak Maryono. “Hamil ….” Suara pelan yang terdengar dari mulut ayahnya sontak membuat Marlina bergetar dan membuat matanya berembun. Apakah Pak Maryono tahu jika putrinya sedang hamil?
“Ayahmu ngomong apa?” tanya Nenek Sholihati pada Marlina. Marlina menggelengkan kepala sambil terus menangis. Tangisnya semakin keras, demikian pula dengan Pak Maryono.
Dalam tangisnya, Marlina mencium tangan ayahnya. “Mar gak tau, Yah,” bisiknya pelan.
Nenek Sholihati masih penasaran apa yang sedang mereka bicarakan, Marlina meninggalkan kamar ayahnya dan menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya.
Terdengar Nenek Sholihati mengencangkan ucapannya, tapi akhirnya bersuara pelan. Hening, hingga akhirnya Nenek Sholihati masuk ke kamar Marlina lalu mendekapnya dengan erat.
“Nenek berharap kamu tidak hamil. Namun, jika itu benar, maka Nenek akan selalu bersamamu menjaga kandunganmu.”
“Terima kasih, Nek,” ucap Marlina setengah berbisik.
***
Setelah delapan bulan dari kejadian kelam itu, perut Marlina semakin membesar. Nenek dan ayahnya sudah mulai menerima kenyataan ini. Neneknya memberi asupan makanan pada Marlina lebih banyak dari sebelumnya. Makannya kini juga lebih lahap. Ketika Marlina mematut diri di depan kaca, dia melihat pipinya bertambah tebal, begitu dengan dada dan perutnya.
Nenek Sholihati sering menggantikan Marlina untuk mengurus ayahnya. Kadang Pak Maryono sengaja mengusir Marlina dan meminta mertuanya untuk mengurusinya. Mungkin Pak Maryono kasihan pada Marlina, perutnya sudah gendut.
Pak Maryono dan Nenek Sholihati sepertinya sudah bisa menerima kehamilan Marlina, begitu juga dengan Marlina, dia berusaha menerima kehamilan ini meski terkadang menangis sendiri menyesali nasibnya.
“Bersabarlah, karena Allah bersama orang yang sabar. Sabar dalam menerima cobaan ini. Nanti akan ada jalan keluar yang terbaik untuk kita semua. Saat ini yang terpenting adalah menjaga kesehatanmu, badanmu ada dua sekarang. Apa yang kamu lakukan sekarang berakibat pada si jabang bayi yang ada di dalam perutmu. Kamu tidak sendirian, ada Nenek yang selalu berada di pihakmu, yang selalu menjaga dan menyayangimu.” Nenek Sholihati tak pernah berhenti menasehati Marlina.
“Iya, Nek,” kata Marlina sambil mengusap kedua matanya yang berair.
Malam ini Marlina merasa nyeri di perutnya, seperti mau pecah perut. Ingin berteriak tapi tak sanggup, tenggorokannya terasa kering. Marlina berusaha meraih sebuah gelas, tapi gelas itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara pecahan kaca. Nenek Sholihati yang mendengar suara pecahan gelas itu masuk ke kamar cucunya, “Ada apa Mar? Kamu kenapa?” tanya Nenek Sholihati sambil mengelus perut cucunya yang semakin membesar.
“Sakit, Nek!”
Malam ini Marlina merasa nyeri di perutnya, seperti mau pecah perut. Ingin berteriak tapi tak sanggup, tenggorokannya terasa kering. Marlina berusaha meraih sebuah gelas, tapi gelas itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara pecahan kaca. Nenek Sholihati yang mendengar suara pecahan gelas itu masuk ke kamar cucunya, “Ada apa Mar? Kamu kenapa?” tanya Nenek Sholihati sambil mengelus perut cucunya yang semakin membesar.“Sakit, Nek!”“Istighfar, Mar. Astaghfirullahal Adzim.”“Haus, Nek.” Suara Marlina tercekat.Nenek Sholihati keluar kamar lalu kembali lagi dengan membawa segelas air, Marlina menenggaknya sampai habis. Tenggorokannya kini menjadi basah, tapi
Marlina tak kuat lagi berdiri, rasanya seperti ingin kencing, seperti ingin buang air besar tapi tak bisa. Klinik itu belum terlihat dari posisinya berada saat ini. Dia harus sampai ke sana sebelum bayinya lahir. Dengan terpaksa dia berjalan merangkak, pelan, sesekali berhenti meringkuk di jalan. Peluh di seluruh tubuh meski malam ini dingin. Dia sempat tertidur saat rasa sakit itu hilang, lalu terbangun lagi saat rasa sakit itu datang lagi.Marlina menggeliat di jalan sendiri dan berharap ada orang yang lewat dan membantunya. Tapi tak ada satupun orang yang lewat. Dengan segenap kekuatan yang ada dia mencoba berdiri dan berjalan. Tas yang dibawanya didekap kencang, lalu berlari pelan.Dari kejauhan Marlina melihat neon box bertuliskan ‘Bidan Delima”. Semangatnya datang lagi, l
Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. ‘Siapa mereka?’ tanya Marlina dalam hati.“Siapa kamu? Kenapa lewat di sini sendirian? Bahaya! Banyak terjadi kejahatan di sini.” salah satu orang itu memperingatkan Marlina.“Ma-maaf, saya cuma numpang lewat.” Marlina mengeratkan tali tas di dadanya.“Cepat pulang sana!” Perintah yang lain.“Iya, permisi.” Marlina mempercepat langkahnya melewati sungai. Rasa trauma akan kejadian waktu itu masih belum hilang dari benaknya.Beberapa kali terpeleset di bebatuan, Marlina mempercepat langkahnya untuk menjauhi kedua orang yang tak
Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”Nenek Sholihati terseok berjalan menuju kamar menantunya, “kenapa Ayahmu, Mar?”“Gak tau, Nek.” Marlina mengusap air liur Pak Maryono yang keluar dari mulut ayahnya.“Istighfar, Nak.” Nenek Sholihati mengelus dada Pak Maryono yang naik turun. Marlina mengusap alis ayahnya, berharap kedua bola matanya normal kembali. “Astagfirullahaladzim.” Marlina menuntun ayahnya beristighfar.Perlahan dada Pak Maryono normal kembali, bola matanya juga tak lagi
Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun.Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.Terdengar
PlakSalah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”“Hajar!” teriak yang lain.Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.Orang-orang yang sedang memukuli Marlina sontak berhenti lalu menengok ke sumber suara.Seorang wanita cantik mendekati Marlina. “Kamu mencuri hp di tempat laundry saya?” tanya wanita cantik itu.“Nggak, saya gak nyuri apapun,” bantah Marlina sambil menangis.
“Kerjanya di bagian wilayah mana?” ulang wanita di sebelah Marlina.“Owh, saya kebetulan di laundry depan rumah ini,” jawab Marlina.Wanita itu terkekeh, “cuma pegawai laundry, saya pikir kurir seperti aku juga!”“Kurir apa?” tanya Marlina bingung, tapi wanita itu justru tertawa keras.Sebuah pintu besar di ujung ruang makan terbuka, Tante Angel keluar dari pintu tersebut. Semua orang yang ada di ruang makan berdiri menyambut kedatangannya. Setelah Tante Angel duduk di kursi utama, yang lain diperbolehkan duduk kembali.“Selamat malam ladies,” sapa Tante Angel sumringah.
Marlina masuk ke dalam rumah itu, ternyata pria itu bertelanjang dada dan hanya menutup kemaluannya dengan sehelai handuk, dan membiarkan sebagian pahanya terekspos bebas. Roti sobek di dada pria itu tersusun indah, Marlina meneguk liurnya yang tersangkut di tenggorokan.“Liat apa?” bentak Jessie.“E-enggak. Maaf,” jawab Marlina takut.Jessie keluar dari kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuh. “Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.” Pria yang membukakan pintu untuk Marlina mengikuti langkah Jessie ke kamar mandi.Selama mereka mandi, Marlina melihat seluruh isi rumah Jessie. Kotor, bau dan pengap, puntung rokok berserakan di lantai. Beberapa botol dengan pipet juga tergeletak di lanta
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb