Malam ini Marlina merasa nyeri di perutnya, seperti mau pecah perut. Ingin berteriak tapi tak sanggup, tenggorokannya terasa kering. Marlina berusaha meraih sebuah gelas, tapi gelas itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara pecahan kaca. Nenek Sholihati yang mendengar suara pecahan gelas itu masuk ke kamar cucunya, “Ada apa Mar? Kamu kenapa?” tanya Nenek Sholihati sambil mengelus perut cucunya yang semakin membesar.
“Sakit, Nek!”
“Istighfar, Mar. Astaghfirullahal Adzim.”
“Haus, Nek.” Suara Marlina tercekat.
Nenek Sholihati keluar kamar lalu kembali lagi dengan membawa segelas air, Marlina menenggaknya sampai habis. Tenggorokannya kini menjadi basah, tapi rasa sakit tidak berkurang sedikitpun. Marlina berguling-guling di kasur, perutnya mengeras, “Ahh ….” teriak Marlina sekuat mungkin.
Owek … owek ….
Tangis bayi menggema, Marlina melahirkan seorang bayi. Nenek Sholihati kaget melihat apa yang terjadi, lalu membersihkan bayi itu. Untung ada Nenek yang bisa membantu Marlina mengurus bayi itu dengan penuh kasih sayang. Marlina menangis terharu, kini dia sudah menjadi ibu muda dengan satu anak dan tanpa suami.
“Anakmu laki-laki yang tampan, coba lihatlah!” Nenek Sholihati menyerahkan bayi yang sudah terbungkus selimut rapat padanya.
Marlina menerimanya. Air matanya mengalir deras. “Maafkan Ibu, Nak. Kamu lahir tanpa Ayah, bahkan Ibu tak kenal siapa Ayahmu. Selama di kandungan, Ibumu selalu beruraian air mata dan penuh tekanan. Semoga hidupmu kelak diliputi kebahagiaan. Jangan tiru Ibumu yang hina ini, meski kau terlahir dari keluarga yang tak punya ini,” ucap Marlina dalam hati pada bayi yang tak berdosa ini.
Marlina mencium bayi mungil itu, meraba raut wajahnya yang lembut. Wajahnya yang kecil, mata masih menutup, kulitnya halus, hidungnya mancung, bibirnya merah, dikecupnya bibir merahnya yang indah itu. Bayi itu menggeliat sesaat lalu menangis. Nenek menepuk-nepuk pelan. “Sayang, jangan menangis!”
“Cup … cup … Sayang ….” ucap Marlina menimang pelan bayi itu.“Mungkin dia haus, Mar!” Nenek Sholihati menebak-nebak.
“Aku harus bagaimana Nek?” tanya Marlina bingung.
“Susui bayi itu!”
“Aku gak tau caranya, bagaimana? Apa aku punya susu untuk bayi ini?” Marlina semakin gugup.
“Kalau sudah melahirkan pasti bisa keluar susu. Buka bajumu, susui bayimu!” Nenek Sholihati membantu membuka baju Marlina lalu mendekatkan mulut sang bayi ke puting susunya Marlina. Bayi itu masih menangis. Mulut bayi itu mencari puting yang belum ada ujungnya. Tangis bayi itu semakin keras. Marlina semakin bingung, tangis bayi itu membuatnya stress. Apa yang harus dilakukan? Dengan sabar Nenek Sholihati mengajari bayi itu untuk mengemut puting. Sempat beberapa kali mulutnya menghisap puting, tapi lepas lagi. Putingnya belum ada, makanya mulut bayi itu terlepas lagi dari isapannya.
“Pelan-pelan, Mar. Kamu yang tenang, bayi itu diciptakan Tuhan untuk menyusu pada Ibunya!” Nenek Sholihati berkata lagi dengan pelan.
Marlina berusaha lagi agar mulut bayi kecil itu menghisap ujung putingnya. Tidak kena lagi, tangis bayi itu semakin keras. Nenek Sholihati mengambil alih bayi itu, lalu menimang-nimang penuh kasih sayang hingga tangisnya mereda. Marlina yang belum bisa bangun dari tempat tidur hanya pasrah ketika bayi itu digendong hingga tertidur lagi oleh Nenek.
Setelah bayi itu tertidur lagi, Nenek Sholihati mengembalikan bayi itu ke pangkuan Marlina, lalu dia menimangnya pelan-pelan. Ternyata cara Marlina menggedong bayi itu membuatnya kembali menangis. Menangis keras, Nenek Sholihati mengelus kepala bayi dalam pangkuan Marlina.
Bayi itu tak berhenti menangis, justru tangisnya semakin kencang. Marlina memperhatikan raut wajahnya yang tadi mungil seolah berubah menjadi menyeramkan, air matanya berubah menjadi darah. Darah dari air matanya membasahi wajahnya, pipinya semua berwarna merah. “Nek, kenapa bayi ini? Air matanya jadi darah!” tanya Marlina panik.
“Dia marah padamu karena dia tidak kamu susui. Dia menuntutmu untuk bertanggung jawab merawat dan memberi susu. Cepat susui bayi itu!” Nenek Sholihati berteriak.
“Tapi aku gak bisa Nek, bayi ini gak mau nyusu sama aku, aku juga gak keluar susunya.”
“Jangan sampai darahnya semakin banyak keluar, Mar! Atau bayi itu akan mati kehabisan darah!”
“Tidak, jangan sampai bayi ini mati, bantu aku Nek!”
Marlina mendekatkan mulut bayi itu ke putingnya, tapi bayi itu menjauhkan mulutnya. Tangis bayi itu semakin mengeras, bahkan air mata darahnya muncrat mengenai wajah Marlina.
“Ah, Nenek. Tolong aku!” Marlina berteriak, lalu duduk. Keringat memenuhi kening.
“Apa Mar?” Nenek mengusap keringatku di kening.
Ternyata Marlina hanya mimpi, dia mengelus perutnya yang semakin buncit. Marlina sadar bahwa dia belum melahirkan.
“Minum dulu Mar. Kamu mimpi ya? Sudah waktunya tahajud, ayo bangun, basuh wajahmu dengan air wudhu lalu mintalah pengampunan dan perlindungan pada Allah.
Marlina mengikuti saran Neneknya, setelah bertahajud Marlina bertanya pada Neneknya, “Nek, kalau aku melahirkan nanti, aku harus bagaimana? Bisakan Nenek membantuku saat melahirkan nanti?”
“Nenek gak bisa, sudah lupa waktu Ibumu melahirkanmu. Mintalah bantuan bidan untuk membantu persalinanmu.”
“Tapi apa aku diterima oleh bidan itu? Aku takut Nek!” Marlina menangis di pelukan nenek.“Nenek akan selalu mendampingi dan membantumu. Tak ada yang boleh menyakitimu!”
“Kalau Nenek menemaniku, siapa yang menjaga ayah?”
Nenek menghembuskan napas kasar. “Mintalah petunjuk dan pertolongan pada Allah, semoga diberikan kemudahan dalam segala urusan kita. Serahkan semua pada Allah.”
Marlina mengangguk pelan dan mengusap air matanya.
Marlina terus memikirkan persalinan nanti, kapan hari itu akan datang. Apa yang harus dilakukan? Bagaimana nanti Nenek menghadapi orang-orang sekitar sini? Jika Nenek membantunya ke bidan, siapa yang menjaga ayahnya? Semua pertanyaan berkecamuk pikiran Marlina.
Lama Marlina memikirkannya lagi, seandainya saja dia tidak melanjutkan sekolah di kota, mungkin semua ini tak akan terjadi. Penyesalannya sekarang tak ada gunanya.
Pikirannya kembali melayang ketika di sekolah dulu, indah tapi semu. Tiba-tiba Marlina teringat pada sebuah klinik bersalin di jalan yang dulu sering dilaluinya ketika berangkat dan pulang sekolah.
Sepertinya klinik itu tepat untuk bersalin, jauh dari daerah sini, pikir Marlina. Jika Marlina melahirkan di sana, orang-orang desa ini pasti tak ada yang tahu. Marlina bertekad akan melahirkan di sana saja. Dia berencana berangkat ke sana bila malam tiba agar tak ada satu orangpun yang tahu. Marlina tak ingin merepotkan sang Nenek, biarlah neneknya menangani dan merawat Pak Maryono selama di rumah.
Tapi Marlina tak tahu berapa biayanya, pasti tidak sedikit. Lalu nanti bayinya pakai pakaian apa? Marlina sama sekali belum punya bayangan untuk membeli peralatan dan baju bayi.
Akan tetapi dia teringat pada celengan bambu yang sengaja tidak dibuka sejak jaman SD dulu. Marlina membelahnya, lalu menghitung duitnya. Ada satu juta lebih, Marlina merasa cukup untuk membeli baju bayi dan biaya melahirkan. Satu masalah berhasil dilewati Marlina.
Malam ini Marlina berencana mengutarakan niatnya pada Neneknya.
“Nek, nanti kalau aku mau melahirkan, aku mau ke kota malam hari agar tak ada orang yang melihatku. Dulu di jalan yang sering aku lalui ketika sekolah ada sebuah klinik bersalin. Aku mau melahirkan di sana. Nenek di rumah saja menjaga ayah. Kalau sudah melahirkan, aku akan kembali lagi ke sini.”
Nenek tersenyum lalu mengelus kepala cucunya penuh kasih sayang, “tidak semudah itu orang melahirkan Mar! Orang yang mau melahirkan belum tentu sanggup berjalan sejauh itu. Bagaimana kalau kamu melahirkan di jalan, apalagi malam hari, itu sangat berbahaya. Tetaplah di rumah, nanti akan Nenek panggilkan bidan untuk membantumu bersalin.
Marlina menggeleng, “aku tidak mau melahirkan di sini. Aku yakin aku bisa berjalan sampai ke klinik itu sampai waktunya tepat untuk melahirkan.”
“Jangan gegabah Mar, melahirkan itu perkara sulit. Sama saja bertaruh nyawa. Jangan sia-siakan nyawamu saat melahirkan nanti!”
Tiba-tiba perut Marlina mengeras, Marlina merasakan bayi dalam perut ini bergerak sangat aktif. “Sakit Nek,” lirihnya.
Nenek mengelus-ngelus perut Marlina. Mulutnya komat-kamit mengucapkan doa ke arah perut cucunya. Marlina merasakan kemaluannya mengeluarkan sesuatu, saat rasa sakit itu menghilang aku melihat bercak lendir dan darah di celana dalamnya, “Nek, ini apa?” tanya Marlina.
Nenek melihat lendir dan darah di celana yang Marlina tunjukkan padanya. “Waduh, ini tanda Mar!” ucap neneknya dengan wajah yang panik.
“Tanda apa Nek?” tanya Marlina.
“Sebentar lagi kamu mau melahirkan! Nenek mau panggil bidan dulu ya!” Kata Nenek Sholihati.“Nggak Nek, Mar mau pergi aja, malam ini malam yang tepat. Mar mau pergi sendiri ke klinik itu. Nenek di sini aja tungguin Ayah!” Ucap Marlina.
Rasa sakit itu kembali menyerang, Marlina menahan rasa sakit sambil berjongkok.
“Sudahlah Mar, jangan pergi. Biar Nenek yang pergi memanggil bidan ke sini.” pinta Nenek Sholihati.
Marlina menggeleng pelan, sakit ini luar biasa, hingga Marlina meneteskan air mata. Nenek Sholihati menggenggam tangan Marlina dengan erat.
Rasa itu tiba-tiba menghilang, Marlina mengatur nafas lalu masuk ke kamar mengambil uang tabungan bersama beberapa pakaian yang telah disiapkan. Nenek Sholihati menangis mencegah cucunya pergi.
“Tolong, jangan cegah Aku pergi Nek! Setelah melahirkan nanti aku akan kembali lagi. Aku berjanji, jangan beritahu Ayah kalau aku pergi. Aku akan baik-baik saja!” Marlina melepas tangan Neneknya. “Percayalah!”
Malam itu juga Marlina meninggalkan rumah membawa kepedihan. Dulu ketika sekolah dia biasa melalui jalan ini dengan cepat, tapi kini dia berjalan dengan pelan sambil merasakan sakit yang kadang datang kadang pergi. Ketika sakit yang sangat, Marlina berhenti, berjongkok merasakan sakit yang amat sangat.
Tiba di seberang kali, tempat di mana dia kehilangan keperawanannya dulu, air matanya mengalir. Di sinilah kejadiannya, Marlina tidak akan pernah melupakan kejadian kelam hari itu.
Pelan-pelan Marlina menyusuri sungai hingga ke seberang. Perjalanan tak jauh lagi, kontraksi di perut ini semakin sering. Marlina menghentikan langkah, malam gelap hanya bercahayakan bintang yang samar. Haus, itu yang paling terasa di tenggorokannya. Marlina berjalan tertatih menuju cahaya terang di ujung jalan. Sebentar lagi Marlina akan sampai di kota. Dari ujung jalan ini, klinik kira-kira berjarak dua ratus meter. Tak jauh lagi, tapi perutnya seperti diremas, sakit sekali. Marlina berlutut dengan kedua tangan juga berada tanah, sakiiittt….
Air mata yang keluar diseka Marlina dengan kasar, ‘Aku tak boleh cengeng’, batinnya dalam hati.
Marlina mencoba berjalan lagi, aahhh … sakit itu kembali datang, Marlina ambruk lagi di jalan. Malam ini sudah larut, tak ada orang yang lewat, tak ada yang dapat membantunya.
Marlina tak kuat lagi berdiri, rasanya seperti ingin kencing, seperti ingin buang air besar tapi tak bisa. Klinik itu belum terlihat dari posisinya berada saat ini. Dia harus sampai ke sana sebelum bayinya lahir. Dengan terpaksa dia berjalan merangkak, pelan, sesekali berhenti meringkuk di jalan. Peluh di seluruh tubuh meski malam ini dingin. Dia sempat tertidur saat rasa sakit itu hilang, lalu terbangun lagi saat rasa sakit itu datang lagi.Marlina menggeliat di jalan sendiri dan berharap ada orang yang lewat dan membantunya. Tapi tak ada satupun orang yang lewat. Dengan segenap kekuatan yang ada dia mencoba berdiri dan berjalan. Tas yang dibawanya didekap kencang, lalu berlari pelan.Dari kejauhan Marlina melihat neon box bertuliskan ‘Bidan Delima”. Semangatnya datang lagi, l
Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. ‘Siapa mereka?’ tanya Marlina dalam hati.“Siapa kamu? Kenapa lewat di sini sendirian? Bahaya! Banyak terjadi kejahatan di sini.” salah satu orang itu memperingatkan Marlina.“Ma-maaf, saya cuma numpang lewat.” Marlina mengeratkan tali tas di dadanya.“Cepat pulang sana!” Perintah yang lain.“Iya, permisi.” Marlina mempercepat langkahnya melewati sungai. Rasa trauma akan kejadian waktu itu masih belum hilang dari benaknya.Beberapa kali terpeleset di bebatuan, Marlina mempercepat langkahnya untuk menjauhi kedua orang yang tak
Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”Nenek Sholihati terseok berjalan menuju kamar menantunya, “kenapa Ayahmu, Mar?”“Gak tau, Nek.” Marlina mengusap air liur Pak Maryono yang keluar dari mulut ayahnya.“Istighfar, Nak.” Nenek Sholihati mengelus dada Pak Maryono yang naik turun. Marlina mengusap alis ayahnya, berharap kedua bola matanya normal kembali. “Astagfirullahaladzim.” Marlina menuntun ayahnya beristighfar.Perlahan dada Pak Maryono normal kembali, bola matanya juga tak lagi
Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun.Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.Terdengar
PlakSalah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”“Hajar!” teriak yang lain.Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.Orang-orang yang sedang memukuli Marlina sontak berhenti lalu menengok ke sumber suara.Seorang wanita cantik mendekati Marlina. “Kamu mencuri hp di tempat laundry saya?” tanya wanita cantik itu.“Nggak, saya gak nyuri apapun,” bantah Marlina sambil menangis.
“Kerjanya di bagian wilayah mana?” ulang wanita di sebelah Marlina.“Owh, saya kebetulan di laundry depan rumah ini,” jawab Marlina.Wanita itu terkekeh, “cuma pegawai laundry, saya pikir kurir seperti aku juga!”“Kurir apa?” tanya Marlina bingung, tapi wanita itu justru tertawa keras.Sebuah pintu besar di ujung ruang makan terbuka, Tante Angel keluar dari pintu tersebut. Semua orang yang ada di ruang makan berdiri menyambut kedatangannya. Setelah Tante Angel duduk di kursi utama, yang lain diperbolehkan duduk kembali.“Selamat malam ladies,” sapa Tante Angel sumringah.
Marlina masuk ke dalam rumah itu, ternyata pria itu bertelanjang dada dan hanya menutup kemaluannya dengan sehelai handuk, dan membiarkan sebagian pahanya terekspos bebas. Roti sobek di dada pria itu tersusun indah, Marlina meneguk liurnya yang tersangkut di tenggorokan.“Liat apa?” bentak Jessie.“E-enggak. Maaf,” jawab Marlina takut.Jessie keluar dari kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuh. “Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.” Pria yang membukakan pintu untuk Marlina mengikuti langkah Jessie ke kamar mandi.Selama mereka mandi, Marlina melihat seluruh isi rumah Jessie. Kotor, bau dan pengap, puntung rokok berserakan di lantai. Beberapa botol dengan pipet juga tergeletak di lanta
“Jangan bergerak, angkat tangan ke atas!” perintah seseorang dari belakang Marlina. Sebuah benda tumpul menusuk pinggangnya. Marlina kaget dan langsung mengangkat kedua tangannya.Tiba-tiba orang yang di belakang Marlina menekuk tangannya ke belakang lalu menjatuhkannya dalam posisi telungkup di tanah.“Ada apa ini?” pekik Marlina.“Diam!” perintah orang itu dengan berteriak. Beberapa orang keluar dari persembunyiannya.Pria yang mengaku sebagai Pak Toni membuka paket pemberian Marlina.“Target dikuasai!” ucap seseorang menggunakan walkie talkie.“Amankan!” jawab dari seberang.
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb