Saat mendekati sungai, Marlina melihat dua orang laki-laki yang sedang duduk lalu berdiri ketika Marlina mendekat. ‘Siapa mereka?’ tanya Marlina dalam hati.
“Siapa kamu? Kenapa lewat di sini sendirian? Bahaya! Banyak terjadi kejahatan di sini.” salah satu orang itu memperingatkan Marlina.
“Ma-maaf, saya cuma numpang lewat.” Marlina mengeratkan tali tas di dadanya.
“Cepat pulang sana!” Perintah yang lain.
“Iya, permisi.” Marlina mempercepat langkahnya melewati sungai. Rasa trauma akan kejadian waktu itu masih belum hilang dari benaknya.
Beberapa kali terpeleset di bebatuan, Marlina mempercepat langkahnya untuk menjauhi kedua orang yang tak dikenalnya.
Memasuki kampungnya, Marlina merasa khawatir akan penolakan warga padanya dan keluarganya. Dia teringat bahwa ayahnya stroke akibat gunjingan dari tetangga yang sudah sangat keterlaluan.
Rasa rindu pada ayah dan neneknya, membuat Marlina meneteskan air mata. Sambil menunggu situasi lebih sepi dari balik pohon, Marlina merencanakan apa yang hendak dikatakannya pada nenek dan ayah mengenai bayinya. Jika dia berkata jujur, apakah nenek dan ayah anak menyetujui keputusannya? Bagaimana jika mereka tidak terima dengan keputusannya?
Marlina enggan mendekati rumahnya, dia kembali masuk ke kebun karet lalu menumpahkan air matanya di sana. Marlina menyesali semua yang telah diperbuat. Seandainya dia tidak meneruskan sekolah SMA, mungkin ibunya masih ada, ayahnya masih sehat, hidup damai dikelilingi orang tercinta.
Karena terlalu lama menangis dan buaian angin yang bertiup sela dahan pepohonan, membuatnya terlelap hingga matahari tergelincir. Suasana mulai remang-remang, Marlina memberanikan diri melangkah menuju rumahnya.
‘Nenek, aku pulang,’ ucapnya dalam hati.
Marlina masuk ke dalam rumah dari pintu belakang, dia masuk dengan mengendap-endap.
Nenek Sholihati sedang memasak di dapur, “Nek,” sapa Marlina pelan.
Nenek Sholihati menengok sumber suara yang memanggilnya, “Marlina,” jeritnya lalu mendekap cucu satu-satunya itu.
“Mar, sudah pulang,” bisik Marlina pelan pada neneknya.
“Mana anakmu?” Nenek melepaskan pelukannya lalu mengelus perut Marlina yang sudah tak buncit lagi.
Marlina menggeleng pelan lalu mengusap air matanya di pipi.
“Mana bayimu?” tanya Nenek Sholihati lagi.
“Dia aman tinggal bersama bu bidan, Nek,” jelas Marlina.
Nenek Sholihati menggelengkan kepala, “kamu meninggalkan bayi itu di sana? Kamu gak bersungguh-sungguh membiarkan bayi itu di sana kan?”
“Mar belum siap punya anak, Nek. Asi Mar juga gak banyak, jadi terpaksa Mar titipkan bayi itu di sana. Bu bidan berjanji akan merawat bayi itu dengan baik,” jelas Marlina.
Nenek kembali menghadap kompornya, sepertinya nenek kecewa mendengar penuturan dari Marlina.
“Nek, maafin Mar. Mar terpaksa melakukannya. Nenek jangan marah ya!” pinta Marlina dan memegang bahu neneknya yang juga menangis.
“Nek,” Bu Gembrot langsung masuk ke dalam rumah tanpa diberi izin.
“Lho, ada Marlina. Sejak kapan kamu di sini? Perutmu sudah rata.” Bu Gembrot mengelus perut Marlina. Marlina merasa risih lalu mundur menjauh dan berlindung di balik Nenek Sholihati.
“Mana bayimu?” Bu Gembrot membuka pintu kamar tanpa izin, mencari-cari bayi Marlina.
“Mau apa kamu di sini?” bentak Nenek.
“Aku mau mengantar ini.” Bu Gembrot menaruh bungkusan di atas meja lalu kembali keluar masuk kamar mencari bayi Marlina. “Kok anakmu gak ada?”
“Er,” Pak Maryono seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi tak ada kata yang keluar dari mulutnya.
“Terima kasih. Tolong jangan ganggu keluargaku, silahkan pergi!” Nenek Sholihati mengambil kantong plastik dari atas meja lalu berdiri di depan pintu yang terbuka untuk mengusir Bu Gembrot.
“Dikasih kok malah ngusir, dasar tidak tahu terima kasih.” Bu Gembrot melangkah pergi dengan wajah yang kusut.
Marlina tidak menghiraukan kepergian Bu Gembrot itu lagi, dia memberanikan diri mendekati ayahnya yang sedang berbaring. Mata sendu Pak Maryono menyimpan kerinduan yang mendalam pada putri satu-satunya itu. Setelah mematung beberapa saat, akhirnya Marlina berlari lalu memeluk ayahnya dan menumpahkan air matanya.
“Yah, maafin Mar. Mar bikin ayah susah terus,” tangis Marlina tersedu-sedu. Pak Maryono membalas pelukan Marlina dengan mengelus rambut Marlina dengan tangan kirinya.
“Er,” Pak Maryono mengelus perut Marlina yang kini tak buncit lagi. Nenek Sholihati ikut masuk ke dalam kamar Pak Maryono karena ingin mendengar penjelasan lebih lengkap lagi dari Marlina.
“Mar, tolong jelaskan pada Nenek dan Ayah. Di mana bayimu sekarang?” pinta Nenek Sholihati.
Marlina mengusap pipinya yang basah. Bahunya naik turun menahan tangis.
“Sudah, jangan menangis lagi. Ayahmu ingin dengar penjelasanmu.” Nenek Sholihati mengelus punggung cucunya itu.
“Bayi itu sudah berada di tempat yang aman. Dia nyaman dan terlindungi di sana. Ayah dan Nenek tidak perlu khawatir. Yang penting Ayah sehat lagi seperti dulu, Mar siap menjaga dan merawat Ayah sampai sembuh.” Marlina kembali menyeka air matanya.
Pak Maryono menangis tersedu-sedu, tak ada kata yang terdengar dari mulutnya, hanya erangan yang sangat memilukan.
***
Keesokan harinya Marlina dengan sigap memasak air untuk memandikan ayahnya, lalu membuatkan bubur dan menyuapi ayahnya dengan penuh kasih sayang. Seminggu adalah waktu yang sangat lama bagi Marlina meninggalkan ayahnya. Marlina membayar rindunya pada Pak Maryono dengan merawatnya sepenuh hati.
Selama Marlina tidak ada di rumah, Nenek Sholihati tidak cekatan seperti Marlina dalam mengurus Pak Maryono, mungkin karena fisik nenek yang sudah renta.
Tok … tok ….
Pintu rumah diketuk dari luar. Nenek Sholihati membuka pintu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata bu RT dan beberapa ibu-ibu lainnya datang beramai-ramai.
“Ada apa?” tanya Nenek Sholihati gugup melihat ibu-ibu berkerumun di depan rumahnya.
“Marlina kemarin hamil kan? Sekarang mana bayi itu?” teriak Bu RT.
“Tidak ada. Kalian tidak perlu tau dimana bayi itu berada sekarang. Bukan urusan kalian, pergilah!” usir Nenek Sholihati.
“Seharusnya Marlina yang pergi dari kampung ini, sampah masyarakat, sangat meresahkan,” umpat Bu Gembrot berapi-api.
Marlina tak berani keluar dari kamarnya, dia berlindung bersama ayahnya yang kembali menangis mendengar teriakan ibu-ibu di depan.
“Cucuku tidak mengganggu kalian, kenapa harus diusir?” bantah Nenek Sholihati.
“Cucumu itu sudah hamil tak suami, itu saja sudah membuat mencoreng nama baik kampung ini. Apalagi dia telah membunuh bayi itu!” teriak Bu RT.
“Cucuku bukan pembunuh, pergilah kalian dari rumahku!” Nenek Sholihati yang renta itu berteriak sekeras-kerasnya hingga terbatuk-batuk.
“Usir Marlina dari kampung ini!” teriak orang dari belakang kerumunan ibu-ibu di depan rumah Pak Maryono diikuti teriak lain yang menyerukan pengusiran Marlina. Orang yang datang ke rumah itu bertambah banyak.
Marlina menangis memeluk ayahnya, meminta perlindungan pada orang tuanya. Ayahnya terisak sambil memeluk putri tercintanya.
“Cucuku bukan pembunuh,” isak Nenek Sholihati sambil memegang gagang pintu, kekuatannya mulai melemah lalu terduduk tak berdaya dengan bersandar pada pintu.
Bu RT dan ibu-ibu lainnya masuk ke dalam rumah mencari Marlina, “hai perempuan kotor, pergi dari kampung ini!” pekik Bu RT melihat ayah dan anak yang sedang berpelukan di kasur itu.
“Usir!”
“Usir!”
“Usir!”
Teriakan orang-orang semakin bising di telinga.
Marlina turun dari kasur lalu berlutut di depan orang-orang beringas yang akan mengusirnya dari kampung ini, “tolong beri saya kesempatan. Kalau saya pergi, siapa yang akan mengurus ayah saya. Saya hanya ingin merawat ayah saya. Tolong beri saya kesempatan,” Marlina menangkupkan kedua tangan memohon pada warga yang memenuhi kamar ayahnya.
“Anak durhaka, masih juga kamu berani menjadikan ayahmu sebagai alasan untuk tinggal di sini.”
“Pokoknya Marlina tidak boleh tinggal di kampung ini lagi.”
“Bawa pergi ayahmu yang tak berguna itu sekalian dari kampung ini.”
Makian dari orang-orang semakin membuat keluarga Pak Maryono tak berdaya. Marlina bersujud di depan warga, memohon dan minta dikasihani, tapi tak ada seorangpun yang menanggapinya. Justru kata-kata pengusiran yang semakin santer terdengar.
“Aku beri waktu sampai matahari terbit besok untuk tinggal di sini. Tapi jika sampai besok kamu tidak pergi dari sini, maka rumah ini akan dibakar sampai habis!” ancam Bu RT.
Bu RT meninggalkan rumah Pak Maryono diikuti ibu-ibu yang lain.
“Usir Marlina!”
“Usir Marlina!”
Teriakan itu masih terdengar hingga semua orang bubar dari pandangan.
Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.
“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”
Marlina memeluk ayahnya, tapi kedua mata Pak Maryono menatap ke atas, dadanya naik turun.“Ayah, Ayah ….” Marlina menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya. “Nek, ke sini. Ayah kenapa?”Nenek Sholihati terseok berjalan menuju kamar menantunya, “kenapa Ayahmu, Mar?”“Gak tau, Nek.” Marlina mengusap air liur Pak Maryono yang keluar dari mulut ayahnya.“Istighfar, Nak.” Nenek Sholihati mengelus dada Pak Maryono yang naik turun. Marlina mengusap alis ayahnya, berharap kedua bola matanya normal kembali. “Astagfirullahaladzim.” Marlina menuntun ayahnya beristighfar.Perlahan dada Pak Maryono normal kembali, bola matanya juga tak lagi
Beberapa orang memegang kedua tangan Marlina, “kamu belum pergi dari sini hari ini, berarti kamu harus dibakar bersama rumahmu!” teriak Bu RT sambil mengacungkan obor ke arah Marlina.“Jangan, tolong jangan lakukan.” Marlina memohon bersujud di hadapan orang-orang yang berkerumun.Nenek Sholihati berlari ke belakang ikut bersujud pada puluhan orang yang tengah mengepung cucunya itu.“Tolong biarkan kami mengubur Maryono lebih dulu.” Nenek Sholihati menunjuk Pak Maryono yang baru dimandikan tapi belum dibungkus kain penutup yang kering.“Saya ingin menguburkan ayah saya dulu, saya berjanji akan pergi setelah ini.” Marlina memohon lagi.Terdengar
PlakSalah satu orang yang berada di dekatnya menamparnya. “Sudah tertangkap basah, masih juga tak mau mengaku!”“Hajar!” teriak yang lain.Marlina mendapat pukulan dan tamparan dari orang-orang yang mengerubunginya.“Hei, tunggu!” teriak dari balik kerumunan.Orang-orang yang sedang memukuli Marlina sontak berhenti lalu menengok ke sumber suara.Seorang wanita cantik mendekati Marlina. “Kamu mencuri hp di tempat laundry saya?” tanya wanita cantik itu.“Nggak, saya gak nyuri apapun,” bantah Marlina sambil menangis.
“Kerjanya di bagian wilayah mana?” ulang wanita di sebelah Marlina.“Owh, saya kebetulan di laundry depan rumah ini,” jawab Marlina.Wanita itu terkekeh, “cuma pegawai laundry, saya pikir kurir seperti aku juga!”“Kurir apa?” tanya Marlina bingung, tapi wanita itu justru tertawa keras.Sebuah pintu besar di ujung ruang makan terbuka, Tante Angel keluar dari pintu tersebut. Semua orang yang ada di ruang makan berdiri menyambut kedatangannya. Setelah Tante Angel duduk di kursi utama, yang lain diperbolehkan duduk kembali.“Selamat malam ladies,” sapa Tante Angel sumringah.
Marlina masuk ke dalam rumah itu, ternyata pria itu bertelanjang dada dan hanya menutup kemaluannya dengan sehelai handuk, dan membiarkan sebagian pahanya terekspos bebas. Roti sobek di dada pria itu tersusun indah, Marlina meneguk liurnya yang tersangkut di tenggorokan.“Liat apa?” bentak Jessie.“E-enggak. Maaf,” jawab Marlina takut.Jessie keluar dari kamarnya dengan selimut yang menutupi tubuh. “Tunggu sebentar, aku mau mandi dulu.” Pria yang membukakan pintu untuk Marlina mengikuti langkah Jessie ke kamar mandi.Selama mereka mandi, Marlina melihat seluruh isi rumah Jessie. Kotor, bau dan pengap, puntung rokok berserakan di lantai. Beberapa botol dengan pipet juga tergeletak di lanta
“Jangan bergerak, angkat tangan ke atas!” perintah seseorang dari belakang Marlina. Sebuah benda tumpul menusuk pinggangnya. Marlina kaget dan langsung mengangkat kedua tangannya.Tiba-tiba orang yang di belakang Marlina menekuk tangannya ke belakang lalu menjatuhkannya dalam posisi telungkup di tanah.“Ada apa ini?” pekik Marlina.“Diam!” perintah orang itu dengan berteriak. Beberapa orang keluar dari persembunyiannya.Pria yang mengaku sebagai Pak Toni membuka paket pemberian Marlina.“Target dikuasai!” ucap seseorang menggunakan walkie talkie.“Amankan!” jawab dari seberang.
Chris mendekat lalu menjambak rambut Marlina ke belakang hingga wajahnya mendongak ke atas. “Diam, tadi aku sudah membayarmu sepuluh juta. Jadi kamu sekarang harus membayarnya!” “Jangan, tolong jangan sakiti aku. Aku gak punya uang sepuluh juta. Kembalikan saja aku ke dalam penjara.” Marlina menangis sambil memohon, peristiwa di sungai dekat kebun karet melintas dalam benak Marlina. Dia sangat takut jika peristiwa itu terulang lagi. “Tidak semudah itu gadis bodoh!” Chris mengencangkan tarikan tangannya pada rambut Marlina. “Aduh, sakit. Ampun!” Marlina memegang rambut yang dijambak Chris. Chris melepaskan tangannya dengan mendorong Marlina ke lantai. “Au,” teriak Marlina kesak
“Jika kau mau mengikuti saranku. Aku yakin kamu bisa melunasi hutangmu dalam waktu seminggu saja!” ucap Tante Angel sambil memilin rambut.“Aku mau, Tan. Bagaimana caranya?” kata Marlina penuh semangat.“Jangan hanya jadi kurir, waktunya kamu cari konsumen sendiri. Tapi ingat, jangan ambil langganan Jessie,” terang Tante Angel.“Bagaimana caranya? Aku gak banyak kenal orang.” Marlina agak pesimis.“Pacari orang-orang yang berduit, lalu pasarkan pada mereka,” kata Tante Angel.“Iya. Aku tau kalau yang itu. Masalahnya, bagaimana mendekati mereka?” tanya Marlina.“Besok aku akan mengajakmu bermain gol
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb