“Jika kau mau mengikuti saranku. Aku yakin kamu bisa melunasi hutangmu dalam waktu seminggu saja!” ucap Tante Angel sambil memilin rambut.
“Aku mau, Tan. Bagaimana caranya?” kata Marlina penuh semangat.
“Jangan hanya jadi kurir, waktunya kamu cari konsumen sendiri. Tapi ingat, jangan ambil langganan Jessie,” terang Tante Angel.
“Bagaimana caranya? Aku gak banyak kenal orang.” Marlina agak pesimis.
“Pacari orang-orang yang berduit, lalu pasarkan pada mereka,” kata Tante Angel.
“Iya. Aku tau kalau yang itu. Masalahnya, bagaimana mendekati mereka?” tanya Marlina.
“Besok aku akan mengajakmu bermain gol
Sebelum matahari tenggelam, Delon sudah sampai di rumah Tante Angel. Lyan menemui Delon dengan balutan dress bunga-bunga putih-pink yang panjangnya setengah betis dan tangan setengah bahu, sepatu high heels transparan di bagian atasnya dan sebuah tas kulit berwarna gelap. Rambutnya disanggul sehingga menunjukkan lehernya yang jenjang.Lyan langsung duduk di samping Delon dan mengecup pipinya, “aku siap pergi bersamamu,” bisik Lyan di telinga Delon.Delon memacu roda besinya menuju apartemennya di kawasan elit. Marlina sungguh takjub dengan pemandangan yang baru pertama kali dilihatnya. Selama ini dia hanya melihat kemewahan kota dari layar kaca, tapi kali ini dia menikmati keindahan tersebut dengan mata kepalanya sendiri.Marlina baru pertama kalinya naik l
PlakDelon memegang pipinya kanannya yang terasa panas.“Jangan kau ganggu perempuan polos itu!” hardik Jasmine pada Delon.“Sakit. Jangan marah dulu.” Delon menarik tangan Jasmine hingga Jasmine duduk di pangkuannya. “Kita sudah lama tak menikmati ini berdua,” bisik Delon di telinga Jasmine.“Iya, tapi Lyan anak baik-baik. Jangan kamu cekoki dia dengan barang haram itu!” ucap Jasmine marah.“Salahnya sendiri menyentuh barang-barangku,” kekeh Delon, lalu Delon memberikan alat hisap itu pada istrinya.Keduanya menikmati apa yang sebelumnya sudah disediakan Lyan. Ketika Jasmine sudah mulai meracau den
“Oh. Jangan malu dengan profesimu selama pekerjaanmu halal.” Jonathan memamerkan deretan gigi putihnya.“Iya, terima kasih.” Lyan mengangkat wajahnya.“Kamu juga boleh bekerja di apartemenku sekarang,” bisik Jonathan sambil melirik isi dalam dada Lyan yang menyembul indah.Lyan melihat arah mata Jonathan, lalu dia menutup sebagian dadanya yang terekspos dengan tangan kanan.“Kau mau mampir ke rumahku sekarang?” ajak Jonathan.Lyan menggeleng, “aku hanya diberi izin keluar rumah sampai dengan hari ini aja oleh orang tuaku.”Jonathan tersenyum. “Jarang lho anak jaman sekarang yang nurut sama
“Satu juta lagi,” Lyan menadahkan tangannya dan merapatkan kakinya di perut Jonathan hingga pangkal kakinya penempel di paha Jonathan.“Apa?” Jonathan berdiri dan menghempaskan kaki Lyan dengan kasar.Lyan hampir terguling jatuh dari kasur, tapi kemudian Lyan bangkit lagi dengan menempelkan tubuhnya yang bugil pada tubuh Jonathan. “Dengar, lima ratus ribu untuk ini.” Lyan memegang tangan Jonathan lalu menempelkan tangannya pada pangkal pahanya. “Lima ratus ribu untuk itu,” Lyan menunjuk botol sisa hisapan Jonathan. “Dan lima ratus ribu lagi untuk kamar ini.”“Ini pemerasan!” bentak Jonathan sambil mendorong tubuh Lyan menjauh darinya“Ini adalah nilai yang harus kamu bayar s
Apa yang akan dilakukan Tuan Tan pada Wisnu jika dia melihat asistennya terkapar di samping bong? Lyan gelisah sendiri dalam kamar. Dia tak bisa meninggalkan kamarnya saat Tuan Tan pergi. Malam semakin larut, Lyan tak bisa mengetahui apa yang terjadi pada Tuan Tan dan Wisnu. Lyan memutuskan untuk tidur tanpa menghiraukan urusan mereka.Hingga hampir tengah malam tak ada kabar dari Tuan Tan dan Wisnu, Lyan juga tak berani keluar dari kamarnya. Bagaimana jika Tuan Tan marah dan meninggalkannya di sini? Semakin pusing lagi jika dia diharuskan membayar reservasi dan akomodasi dalam villa ini. Ah, Lyan gila memikirkannya.Di tengah malam, pintu kamar Lyan diketuk. “Siapa?” teriak Lyan dari dalam.“Aku, Wisnu,” balas Wisnu dari balik pintu.
“Apa maksudmu?” Marlina membulatkan mata. “Selagi pemilik kasur ini tidak tidur di sini, kita boleh kan menikmati kasur empuk ini!” Wisnu terlentang dengan kedua tangan menyangga kepalanya. Lyan memandang Wisnu penuh emosi, “tega sekali kamu!” umpat Lyan. “Ayolah, buang segala egomu. Mari kita nikmati malam ini,” rayu Wisnu. “Aku juga ingin menikmati barangmu itu setelah kita ehem-ehem.” Wisnu tertawa. “Kamu belum bayar, jadi tak ada yang gratis!” ucap Lyan ketus. “Kamu mau berapa?” tanya Wisnu dengan memamerkan isi dompetnya. “Kenapa kamu sangat perhitungan denganku? Kamu pikir apa tua bangka itu akan membayarmu tanpa campur tanganku?” “Apa mak
“Dia ngomong apa sih, Mbak?” tanya Lyan pada Susi.Mbak Susi mengangkat bahu lalu meninggalkan Lyan dan Chris.“Wajahmu sekarang cantik dan terawat, aku suka,” puji Chris.“Terima kasih. Tapi kurasa ada yang salah dengan kata-katamu tadi. Aku ingin kamu menarik kata-katamu dan meminta maaf padaku. Oh ya, aku juga tak ingin kamu mengulangi kata-kata kotormu itu,” tegas Lyan.“Sombong sekali. Coba lihat uang yang kubawa.” Chris memamerkan dompetnya.“Pergi dan bawa uangmu itu. Jessie akan marah jika kau berpaling darinya.” Lyan mengingatkan.Tiba-tiba Chris mendekat pada Lyan lalu menarik m
“Kamu gak lagi hamil kan?”Lyan menengadahkan kepala, “gak!”“Mbak Mar kenapa?” tanya Pak Udin, pembantu Tante Angel.“Gapapa,” Lyan membasuh wajahnya.“Tante Angel minta buatkan nasi goreng,” kata Pak Udin lagi.“Iya, nanti aku ke sana,” jawab Lyan.Lyan menyusul pak Udin menuju ke dapur di rumah Tante Angel. Di sana, Lyan mulai meracik bumbu. Ketika bumbu ditumis, Lyan kembali merasakan mual tapi tetap ditahan. Kepalanya semakin berat, tubuhnya melemah. Sebelum nasi gorengnya matang sempurna, Lyan mematikan kompor dan menyudahi kegiatan masaknya. Jelas ada yang tidak beres d
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb