“Dia ngomong apa sih, Mbak?” tanya Lyan pada Susi.
Mbak Susi mengangkat bahu lalu meninggalkan Lyan dan Chris.
“Wajahmu sekarang cantik dan terawat, aku suka,” puji Chris.
“Terima kasih. Tapi kurasa ada yang salah dengan kata-katamu tadi. Aku ingin kamu menarik kata-katamu dan meminta maaf padaku. Oh ya, aku juga tak ingin kamu mengulangi kata-kata kotormu itu,” tegas Lyan.
“Sombong sekali. Coba lihat uang yang kubawa.” Chris memamerkan dompetnya.
“Pergi dan bawa uangmu itu. Jessie akan marah jika kau berpaling darinya.” Lyan mengingatkan.
Tiba-tiba Chris mendekat pada Lyan lalu menarik m
“Kamu gak lagi hamil kan?”Lyan menengadahkan kepala, “gak!”“Mbak Mar kenapa?” tanya Pak Udin, pembantu Tante Angel.“Gapapa,” Lyan membasuh wajahnya.“Tante Angel minta buatkan nasi goreng,” kata Pak Udin lagi.“Iya, nanti aku ke sana,” jawab Lyan.Lyan menyusul pak Udin menuju ke dapur di rumah Tante Angel. Di sana, Lyan mulai meracik bumbu. Ketika bumbu ditumis, Lyan kembali merasakan mual tapi tetap ditahan. Kepalanya semakin berat, tubuhnya melemah. Sebelum nasi gorengnya matang sempurna, Lyan mematikan kompor dan menyudahi kegiatan masaknya. Jelas ada yang tidak beres d
“Tunggu apalagi? Buka bajumu sekarang!” bentak Mitha.“Untuk apa?” Lyan berbalik tanya. Lyan mulai merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan Mitha.“Kamu gak asyik.” Mitha duduk sambil memeluk lututnya. Lama terdiam dalam duduk, bahu Mitha naik turun, sepertinya dia sedang menangis.Lyan menyentuh bahu Mitha untuk menyodorkan segelas air mineral. Mitha meminum airnya sedikit lalu mengembalikan gelasnya lagi pada Lyan.“Jadi, kamu gak tertarik sama aku?” tanya Mitha galau.Lyan menjauh dari Mitha. “Saya perempuan, sukanya sama laki. Saya gak suka sama perempuan.”“Tapi aku
Lyan menutup wajahnya dengan lengan, "kenapa kamu menyerangku?" teriak Lyan."Kenapa kamu gak bilang kalau sedang hamil?" Suara Mitha tak kalah keras."Kamu gak nanya, buat apa aku bilang. Lebih baik aku pergi." Lyan membuka pintu lalu keluar.Baru saja Lyan keluar dan menutup pintu, dari dalam kamar Mitha berteriak dan melempar benda keras ke pintu. Lyan berhenti sejenak, memperhatikan apa yang terjadi dari depan pintu.Malam ini Lyan sudah bekerja keras bahkan merasakan pelecehan yang sungguh diluar akalnya dan juga kehilangan paket kecil milik Tante Angel. Tapi dia belum mendapatkan sepeserpun dari Mitha. Ingin kembali masuk ke kamar itu tapi sama saja masuk ke sarang harimau, kalau tidak masuk pastinya dia akan rugi sebab harus memba
Lyan tersentak dengan pengusiran dari Tante Angel. Mau kemana lagi dia tinggal? Kembali ke Jessie itu sangat tidak mungkin.Tanpa berpikir panjang lagi, Lyan membenahi barang-barangnya yang ada di kamar tirainya itu. Mbak Susi kini ikut menangis, dia tak tahu apa yang terjadi, yang jelas Tante Angel dan Lyan kini sedang dalam keadaan penuh emosi.“Tante, tolong jangan usir Marlina dari sini. Mau tinggal dimana lagi dia. Tolong, Tante.” Mbak Susi memohon pada Tante Angel.“Biarkan dia pergi sampai selesai melahirkan. Nanti kalau sudah melahirkan, dia boleh di sini lagi tanpa bayinya.” Tante Angel berkata lalu pergi meninggalkan area laundry.“Kata siapa aku hamil?” ucap Lyan setelah Tante Angel berlalu.
Dokter gadungan itu mengarahkan jarum suntik ke arah Lyan.“Tidak, aku gak mau,” jerit Lyan. Lyan turun dari bed partus lalu menyabet celana jeansnya dan mengenakannya lagi.Tante Angel duduk menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi seraya melipat kedua tangannya di dada, “yakin, kamu gak mau?”Lyan memanjangkan lehernya ketika mendengar apa yang baru dikatakan Tante Angel. Perlahan dia menurunkan celananya lagi. Kata-kata Tante Angel sungguh sangat menekan Lyan. Jika Lyan tak menurutinya, dimana dia akan tinggal selanjutnya.“Ayo naik!” perintah dokter itu dengan mengacungkan suntikanny
Dokter gadungan itu mengarahkan jarum suntik ke arah Lyan.“Tidak, aku gak mau,” jerit Lyan. Lyan turun dari bed partus lalu menyabet celana jeansnya dan mengenakannya lagi.Tante Angel duduk menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi seraya melipat kedua tangannya di dada, “yakin, kamu gak mau?”Lyan memanjangkan lehernya ketika mendengar apa yang baru dikatakan Tante Angel. Perlahan dia menurunkan celananya lagi. Kata-kata Tante Angel sungguh sangat menekan batin Lyan. Jika Lyan tak menurutinya, dimana dia akan tinggal selanjutnya.“Ayo naik!” perintah dokter itu dengan mengacungkan sunt
Lyan terpaksa menghisap apa yang diberikan Tante Angel.“Kamu ini aneh, jual tapi gak pernah pake.” kata Tante Angel sambil memperhatikan cara Lyan menghisap.“Biar irit pengeluaran,” balas Lyan yang disambut tawa renyah Tante Angel.“Kamu pernah merokok?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggeleng.“Kalau minum alkohol?” tanya Tante Angel.“Pernah dikit, gak sampai setengah gelas.” jawab Lyan. Kepalanya mulai pusing.“Biar irit?” Tante Angel tertawa sendiri karena Lyan sudah masuk ke dunia lain.
“Ini barang saya, hak dan privasi saya. Anda tidak boleh seenaknya melihat isi di dalamnya.” bantah Lyan.“Iya, tapi Mbak tadi cuma bilang bawa kardus aja di bagasi. Sekarang kok tambah tas pink juga?” kondektur itu tak mau mengalah.Lyan merebut tas pink miliknya dengan kasar, tapi kondektur itu menarik tas itu lagi lalu melemparkan ke dalam bagasi.Lyan tak mau kalah, dia masuk ke dalam bagasi bus dan mengambil tas pink itu. Lyan dan kondektur saling tarik menarik tas warna pink itu. Keduanya berhenti ketika suara klakson bus berbunyi. Lyan membawa barang bawaannya menjauh dari bus dengan berlari.“Awas kalo penumpang saya ada kehilangan! Berarti kamu yang nyuri! Pake kerudung tapi maling.” umpat kondektur itu lal
Lyan kembali menahan nafas sambil menengok ke arah belakang. Kaca belakang yang telah pecah itu jelas memperlihatkan jalan kosong, Lyan memicingkan mata dan memperjelas pandangannya lagi.“Jalanan kosong, Pak. Gak ada polisi yang ngejar!” teriak Lyan suka cita. Pak Udin sesaat menengok ke belakang untuk memastikan lalu mempercepat laju kendaraannya untuk kembali ke rumah Tante Angel.Tante Angel menunggu cemas di dalam ruangannya. Lyan masuk ke dalam ruangan dengan penuh luka goresan kaca di lengan dan kakinya. “Kenapa kamu, Lyan? Mana Jessie?”Pak Udin masuk dengan memeluk tas berisi uang lalu menyerahkan pada Tante Angel.“Jessie gak bisa kami selamatkan dari sana. Dia ditabrak motor dan disandera oleh mereka.” jawab Lyan sambil menahan sakit.Tante Angel menutup mulutnya dengan kedua tangannya, “kalian gak mencoba menolongnya?” tanya Tante Angel.“Kalau gak nolong Jessie, gak mungkin sampai luka-luka kayak gini, Tan.” jawab Lyan.“Mobil juga remuk, untung uang itu bisa diselamatkan
“Maksudnya gimana, Tan?” Lyan membulatkan matanya.“Saya sangat mengapresiasikan langkahmu kemarin. Membuat Bang John tidak percaya lagi pada Lidya itu suatu hal yang sangat luar biasa. Tapi kita juga butuh barang. Jadi, terpaksa kita harus merampasnya dari Lidya.” jawab Tante Angel.“Bagaimana caranya?” tanya Lyan lagi.“Panggil Jessie ke sini, kita susun langkah setelah Jessie datang.” perintah Tante Angel.“Males ah, Tante aja. Takut ketemu Chris.” tolak Lyan.“Baiklah. Satu jam lagi aku aku tunggu kalian di sini.”Lyan kembali ke gerai laundry menemui Mbak Susi yang sedang sibuk dengan cucian
Bang John menembus lantai granit dengan peluru yang dimuntahkan dari senjata dalam genggamannya. Semua orang yang ada dalam ruangan itu berjongkok sambil menutup kedua telinga. Aroma mesiu tercium pekat.Lidya berbalik dan melihat lantai dengan pola sarang laba-laba tak jauh dari kakinya. “Aku kembalikan uangmu sekarang, tapi tolong jangan bunuh aku.” ucap Lidya memelas.Lidya berjalan pelan kembali ke tempatnya semula lalu mengeluarkan uang yang tadi diberikan Sisil.Kedua netra Bang John merah padam, sepertinya dia siap menelan Lidya hidup-hidup. Senjata yang digenggam Bang John sepertinya benar asli, tidak seperti senjata milik Lidya tadi. Suara letusannya sangat membuat Lyan ketakutan setengah mati.“Aku gak
Pria berjubah putih itu menyapa Lyan dengan menundukkan kepalanya lalu tersenyum. Kepalanya menggunakan peci putih yang diikat dengan kain hitam mengelilingi kepalanya, tangannya menggenggam seuntai tasbih putih, alas kakinya hanya menggunakan sandal karet sederhana. Siapakah pria yang dijemput Sisil ini.Mobil berhenti di sebuah rumah besar yang sangat asri, beberapa pohon besar membuat teduh penglihatan. Rumah bercat putih dipenuhi dengan bunga-bunga indah di sepanjang terasnya. Beberapa ekor burung dengan kicauan merdu yang tergantung di teras menyambut kedatangan mereka.Lidya turun dari mobil dan menyeret koper itu ke dalam rumah. Masuk dari pintu utama, ruangan tampak luas, ada perbedaan tinggi pada lantai. Seperti rumah ini didesain untuk lesehan, sebab di lantai yang lebih tinggi itu terdapat karpet tebal dan beberapa s
Tanpa aba-aba, Lidya menembak vas bunga yang ada di meja. Suara letusan memekakkan telinga, seketika itu juga material kaca penyusun vas itu hancur berantakan.“Kenapa kita tidak berdamai saja? Kamu punya barang, aku punya duit. Kita barter, selesai urusan.” ucap Lyan sedatar mungkin meski detak jantungnya tak karuan.“Terserah padaku, dengan siapa aku bertransaksi. Kenapa kamu memaksaku untuk menjual barangku padamu? Aku gak suka itu.” ucap Lidya ketus.“Kalau tidak mau menjualnya padaku, kenapa kamu mau ikut denganku?” jawab Lyan sambil tersenyum.“Mana aku tahu kalau kamu orang suruhan Angel. Kalau tau pasti aku gak akan mau ikut denganmu!” hardik Lidya.“
Azka berlari meninggalkan rumah. Lyan tahu dengan pasti jika Azka dari tadi kelaparan. Lyan berusaha mengejar tapi Azka terlanjur menjauh dengan mobilnya. “Biarkan dia pergi, nanti juga kembali lagi.” ucap Tante Angel ketika Lyan kembali. Lyan berjalan lesu lalu duduk di kursi yang tak jauh dari ruang kerja Tante Angel. “Kalian sudah bertemu nenekmu?” tanya Tante Angel lagi. Lyan menggelengkan kepala. “Rumah ayah sudah gak ada lagi, sekarang dibangun rumah baru yang besar. Nenek sudah lama pergi dari rumah, katanya gak lama setelah aku pergi.” Lyan menekuk kakinya dan memeluknya, tangisnya kembali pecah. Tante Angel hanya diam lalu meninggalkan Lyan sendiri dalam tangisnya. “Tante,” panggil
“Hai Celine,” sapa Azka tanpa melepaskan genggaman tangannya. “Siapa dia?” tanya Celine lagi. “Ini Marlina, pacarku. Marlina, perkenalkan sepupuku, Celine.” jawab Azka memamerkan deretan gigi putihnya. Mata Celine membulat. “Pasti kamu bohong!” hardik Celine. “Pa, Ma, Azka mau pergi dulu. Marlina sudah punya janji dengan seseorang di sana.” Azka pergi taman dengan masih menggenggam tangan Marlina. “Azka, minta minyak dulu sama Surti, Pa takut tanganmu gak bisa lepas dari cewek itu.” ledek grandpa. “Bisa lepas kok, Pa.” Azka melepas tangannya lalu merangkul Marlina dari samping lalu mengedipkan sebelah matanya lalu pergi.
“Maksudnya gimana?” Lyan terpancing emosi.Azka menegakkan kelima jari tangannya di depan Lyan. “Nenek yang tinggal di rumah yang lama kemana ya?” tanya Azka.“Wah, gak tau Mas. Saya ke sini, rumahnya sudah kosong. Saya pikir memang gak ada penghuninya.” jawab tukang tersebut.“Bapak bukan orang sini ya?” tanya Azka lagi.“Bukan, rumah saya jauh. Saya di drop di sini bareng kawan sama Bos Kuncoro. Pak Sodikin tuh yang asli orang sini!” tunjuk tukang tersebut.Lyan cepat-cepat mengenakan kacamata hitam sebelum Sodikin mendekat, Lyan kenal betul dengan teman kerja ayahnya dulu itu.“Siapa?” t
“Maaf.” Azka berdiri dan menjauh dari kasur Lyan.Lyan duduk lalu menarik selimut menutupi badannya dan menatap Azka.“Sejak kapan Mas Azka di sini?” tanya Lyan agak emosi.“Ehm, maaf ya. Tadi aku sudah beberapa kali masuk ke sini. Tapi kamu belum bangun juga. Aku tunggu di bawah ya.” Azka berbalik badan menuju pintu.“Aku gak mau peristiwa tadi terulang lagi. Lagipula bajuku ada di bawah. Aku mandi di sana aja.” Lyan turun dari kasur dan mendahului Azka keluar dari kamar.“Maaf ya!” ucap Azka sebelum Lyan menuruni tangga. Lyan bergeming kemudian meneruskan langkahnya lagi tanpa kata.Lyan kemb