"May…" Desaknya lagi sambil meremas jemariku yang masih bertaut dengan jemarinya. Aku dibuatnya gelagapan setelah kesadaranku kembali.
Ia tak memberikan aku waktu untuk berpikir dengan jernih.
"Gimana? Hhmm? Kita coba ya?!" Mas Indra memiringkan wajahnya dan menatap lekat manik mataku untuk meminta persetujuan. Genggaman tangannya semakin mengakar di telapak tanganku.
Dipenuhi oleh kabut hawa n4fsu ingin merasakan hidup kaya dan mapan, tanpa sadar aku menganggukan kepala secara samar dan menyetujui ide Mas Indra untuk menerapkan tren hidup ala frugal living yang sedang marak terjadi di ibu kota besar.
"Nah gitu dong." ucap Mas Indra sambil mengelus lembut pucuk kepalaku. Ia lalu mengeluarkan amplop coklat dari balik saku bajunya dan mulai menghitung dua puluh lima lembar uang pecahan seratus ribuan dan menyerahkannya padaku.
Mataku mendelik tak percaya saat melihat ia menyimpan kembali sisa uang ke dalam kantong bajunya setelah memberikan jatah bulanan padaku.
"Yang bener saja, Mas?! Masa iya uang bulananku dipangkas tiga setengah juta sendiri?" protesku tak terima. Mas Indra memangkas terlalu banyak jatah bulanan untukku, lebih dari separuhnya malah.
"Katanya pengen cepet kaya? Ya kita harus coba cara ini kalau mau tabungan kita cepat banyak." elaknya.
Aku hanya bisa menghela nafas panjang sebelum akhirnya menerima tumpukan uang lembaran merah. Aku berharap ikhtiar yang kujalani nanti akan membawakan kesuksesan dan kekayaannya pada keluarga kecil kami sesuai dengan planning Mas Indra.
***
"May, besok minggu si Irfan mau nginep di rumah kita satu minggu katanya. Kamu urusin adikku ya." Mataku mendelik tak percaya. Masalah baru apalagi ini?
Apa gak salah Mas Indra menyuruhku untuk mengurusi adiknya? Si Irfan ini kan sudah 22 tahun, bukan anak SD lagi. Kenapa aku harus mengurusinya? Ada-ada saja Mas Indra ini.
Dan lagian, sejak dulu aku tidak suka dengan adik iparku itu. Dia sudah besar tapi gak mau kerja, sudah begitu maunya jajan dan makan enak setiap hari. Duh, ancaman bagi dompetku sudah mengintip di depan mata.
"Tumben lama amat, Mas nginepnya?" tanyaku penasaran. Biasanya si Irfan ini hanya betah menginap barang sehari atau dua hari saja di rumah. Tak lain karena ia malas mendengar ocehanku yang selalu menyuruhnya ini dan itu.
"Ibu sama Bapak lagi ada kondangan saudara di luar kota. Si Irfan gak mau di rumah sendirian, takut gak keurus nanti." Jawab Mas Indra datar dan langsung membuat mimik mukaku berubah kesal.
Apa-apaan ini, cowok kok melempem kaya gitu. Sudah besar harusnya bisa mandiri, bukan malah bergantung kepada orangtua terus-terusan. Kalau mereka pergi jauh begini jadi repot sendiri dan malah nyusahin orang lain kan?
Baru juga ditinggal pergi seminggu, bagaimana kalo seumpama amit-amit bapak dan ibu mertuaku pergi selama-lamanya, apa dia gak kelabakan dan bakalan menjadi benalu yang menempel pada keluargaku terus menerus?
Mengetahui kegelisahanku, Mas Indra segera menoleh dan tersenyum kepadaku. "Tolong jangan marahi dia! Kamu itu harus akur sama ipar. Walaupun begitu juga kan dia adikku, kita itu lahir dari rahim yang sama. Jadi sudah seharusnya kamu menghormatinya juga." pesan Mas Indra menasehatiku.
Dalam hatiku aku berkata, tergantung adik modelan seperti apa yang harus dihormati, Mas. Kalau kaya modelan si Irfan sih, aku ogah banget! Toh dia juga gak pernah menghormati aku sebagai kakak iparnya kok.
"Terserah, Mas Indra saja lah." Kujawab dengan ketus, sudah malas rasanya ribut sama Mas Indra, "Yang penting uang belanja ditambahin! Mas tahu kan kalo adikmu itu lidahnya lidah sultan! Pengen makanannya yang enak-enak dan mahal-mahal." Sengaja kusindir kelakuan adiknya yang tak tahu diri itu. Setiap datang bertamu bukannya membawa buah tangan tapi malah seperti merampok meminta ini dan itu.
Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu mengambil dompet dari saku belakang celananya dan mengangsurkan dua lembar uang kertas warna merah padaku.
Hah, dua ratus ribu? Cukup apa dua ratus ribu untuk seminggu? Apa dia gak tahu kalo adiknya itu suka request makanan yang harganya gak masuk akal.
"Kenapa malah ngelamun? Kalo gak mau, Mas simpan lagi nih uangnya." Ucap Mas Indra seraya menarik kembali tangannya yang masih mengudara memegang dua lembar uang pecahan seratus ribuan.
"Eeitts, jangan, Mas!!" Aku langsung menarik tangannya dan merebut uang dua ratus ribu rupiah dari tangannya sebelum ia berubah pikiran kembali.
Tak apalah dua ratus ribu rupiah, itu sudah cukup untuk menyambung hidup sampai awal bulan nanti. Masalah Irfan, lihat saja akan aku kasih dia pelajaran nanti.
Anak manja itu pasti akan kapok menginap di sini lagi.
"Aku tadi mau bikin mie rebus kok gak ada stock mie sama telur, May?" tanya Mas Indra.
Memang tadi ku lihat ia celingukan mencari keberadaan duo bahan penyelamat saat perut dilanda kelaparan pas tengah malam seperti ini. Tapi setelah melihatku ia malah menyampaikan kabar Irfan yang akan menginap.
"Stock nya sudah habis, Mas. Maya belum belanja lagi. Kan uangnya baru dikasih sama Mas barusan."
Mas Indra langsung melengos kembali ke kamar. Kasian juga sebenarnya, tapi biar sajalah. Dia juga sudah bikin aku sama anak-anak hidup sulit kok.
Aku terkikik geli melihat punggung Mas Indra yang terlihat letoy. Mungkin dia sudah menahan lapar sejak tadi tapi tak menemukan makanan apapun di dapur. Padahal sore tadi dia sudah makan malam walaupun dengan lauk ala kadarnya.
Jangan salahkan aku kalau menu makanan di rumah kurang enak. Salahkan uang belanjamu yang kurang.
Jangan cuma memerintah untuk hidup irit dan hemat, tapi perut tidak mau ikut prihatin.
Ku buka lemari rak piring paling bawah dan seketika senyum lebar terkembang saat melihat deretan telur yang tersusun rapi di baki telur. Disampingnya berjejer bahan sembako lainnya seperti gula, teh, kopi, mie, dan lain-lainnya.
Biar saja aku menjadi orang jahat dengan menyembunyikan bahan makanan di tempat yang bahkan suamiku saja tak pernah menyentuhnya sama sekali. Aku hanya memikirkan kebutuhan si kecil yang harus terpenuhi.
Pasalnya setiap aku kekurangan uanh dan meminta uang tambahan, ia akan merepet kesana kemari dan menyalahkan aku karena tak pandai mengelola keuangan. Tapi lain halnya jika itu berhubungan dengan Irfan, dia akan sangat mudah mengeluarkan isi dompetnya. Uang dua ratus ribu yang masih dalam genggaman tanganku ini adalah contoh nyatanya.
"Kalian diem baik-baik disini ya!!" bisikku pelan dan langsung menutup lemari piring.
Mulai saat ini lemari piring ini adalah gudang penyimpananku. Insya Allah aman, karena Mas Indra tidak pernah mau berada di dapur lama-lama.
Aku segera melangkah ke kamar si kembar yang sudah tertidur pulas untuk mematikan lampu kamar mereka. Lalu menyusul tidur di kamarku bersama Mas Indra.
Besok pagi-pagi sekali aku harus ke pasar untuk belanja demi menyambut adik ipar tersayang.
Hari Minggu telah tiba.Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah."Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.Klonthang!"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali."Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu se
"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan? Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendiria
Pov IrfanKesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa."Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.
Dok… dok… dok… Aku terlonjak kaget saat pintu kamar si kembar di gedor keras dari luar. "Ada apa lagi sih? Gak tau anak-anak lagi tidur apa?" Aku membuka pintu seraya ngedumel sendiri. Terlihat kepala Mas Indra menyembul dan langsung mendorong paksa pintu kamar hingga terbuka lebar. Wajahnya sudah memerah seperti sedang menahan amarah. "Heh, Maya!! Kamu udah berani nyolong uang, Mas sekarang? Apa kamu kekurangan uang sampai-sampai berani mencuri uang suamimu sendiri?" Seru Mas Indra dengan suara nyalang. Beruntung si kembar masih tertidur pulas dan tak terusik dengan teriakan ayahnya. Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintu kamar si kembar rapat-rapat. Sungguh tak baik membiarkan anak-anak mendengar pertengkaran orang tuanya. Hal itu akan berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak di kemudian hari. "Uang apa, Mas? Maya gak ngambil! Maya juga gak ngerti, Mas ngomongin apa." Sahutku yang memang tidak tahu kemana arah tuduhan Mas Indra akan bermuara. Kekurangan uang sih iya,
Nasi goreng ini adalah menu favorit Mas Indra. Kulihat ia seperti menelan ludah kecewa menatap sajian nasi goreng di depan matanya. Mungkin ia juga sudah menahan lapar sejak tadi. "Ini nasi gorengnya enak banget loh, Fan. Cobain dulu gih." Mas Indra mencoba membujuk adiknya. Aku dan si kembar diam mematung menyaksikan drama lebai yang Irfan mainkan. "Gak, Bang. Irfan gak selera sama sekali. Ayuk kita makan di luar aja, Bang!" Tak bisa menolak keinginan adik tersayangnya, akhirnya Mas Indra beranjak untuk membawa Irfan pergi makan di luar. Ku kira Mas Indra akan mengajak kami bertiga pergi bersama juga. Tapi ternyata harapanku sirna, mereka hanya pergi berdua saja dengan berboncengan motor Nmax milik Mas Indra. Nanar kutatap punggung mereka yang semakin menjauh dari pandangan mataku. Semenjak menjalani pola hidup ala frugal living, aku tak pernah merasakan yang namanya makan jajan di luar lagi. Jadi jika ada yang mengajak kami pergi jajan walaupun itu hanya semangkuk seblak, rasa
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.