Pov Irfan
Kesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa.
"Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"
Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.
Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah lelah menafkahi aku yang kerjanya tiap hari hanya makan, tidur, main hape… mandi juga jarang-jarang, kalau pas ingat saja, hehehe.
Memang benar alasan terbesar mereka tidak mengajakku pergi ya karena itu, mereka malu karena aku ini seorang pengangguran. Setiap ada acara keluarga besar, semua saudara-saudara pasti berkumpul, mereka akan saling memamerkan dan membanggakan anaknya masing-masing.
Jika aku ikut, otomatis mereka akan malu karena saudara-saudara yang lain pasti mencibirku karena aku seorang pengacara alias pengangguran banyak acara.
Ibu yang sudah selesai menata koper pun ikut nimbrung dan malah menjatuhkan mental ku. "Nah bener itu kata bapakmu. Dengerin!! Kamu itu sudah besar, harusnya cari kerja, jangan cuma ongkang-ongkang kaki di rumah nadahin duit orang tua aja." Maki perempuan paruh baya yang kupanggil dengan sebutan Ibu.
Fix, mereka memang sudah tidak mau menafkahi aku lagi. Itu buktinya menyuruhku untuk cepat-cepat cari kerja.
Aku tambah sedih mendengarnya. Sudahlah mau ditinggal pergi keluar kota selama satu minggu, masih pula di maki-maki cuma gara-gara aku masih menganggur.
"Bukannya Irfan gak mau kerja, Bu, Pak. Irfan itu udah nyoba ngelamar kerja kesana kemari tapi hasilnya nihil!!" Aku mengatakannya dengan nada memelas agar mereka berdua luluh.
Tapi bukannya luluh, mereka malah menyindirku habis-habisan.
"Woi!! Sampai lebaran kingkong juga gak bakalan dapat kerja! Lah wong lulusan cuma SMA tapi minta kerjanya di kantoran pakai baju rapi, pakai dasi pula. Ngimpi kamu, Fan."
"Baru juga ditolak di beberapa perusahaan, eh udah melempem. Mental kok mental tempe."
Memang semua yang mereka katakan itu ada benarnya. Aku baru mencoba melamar di tiga perusahaan dan semuanya ditolak. Apa mungkin itu karena aku menganggap nilai diriku terlalu tinggi. Aku pengen kerja di kantoran tapi aku tak punya keterampilan komputer sama sekali. Jangankan mengetik, mengetahui fungsi-fungsi dari setiap tombol dan tuts yang ada di keyboard saja aku tak tahu.
Apa salahnya lulusan SMA? Abangku juga cuma lulusan SMA, tapi dia sekarang bisa bekerja kantoran di perusahaan gede. Denger-denger udah naik jabatan malah.
Jadi... walaupun aku hanya lulusan SMA, aku juga harus bisa kerja kantoran biar kesohor kaya abangku. Itu prinsipku dalam mencari kerja. Aku tak mau capek dan berpanas-panasan saat bekerja.
Mengetahui aku terdiam dan bersedih ibu segera menghiburku. "Besok kamu nginep aja di rumah abangmu! Sekalian minta carikan kerja sama dia. Dia kan kerja di perusahaan gede, posisinya juga sudah lumayan bagus. Mana tau ada lowongan buat adiknya."
Ahh, pintar sekali ibuku ini. Gak nyangka dia punya ide brilian seperti ini, bangga sekali aku jadi anaknya. Ide dari ibu itu bisa diibaratkan 'satu kali mendayung, dua tiga pulau terlewati'. Aku gak jadi memelas karena ditinggal pergi, bisa minta carikan kerjaan sama abang, juga sekalian minta uang jajan lebih sama abang.
Wajahku langsung berseri-seri setuju dengan ide yang ibu lontarkan. Aku langsung meraih gawai yang tergeletak di dekat meja tempat bapak duduk bersantai sambil menyeruput kopi hitamnya.
Aku segera melakukan panggilan telepon ke nomor Bang Indra. Sedikit lama ia mengangkatnya, mungkin masih sibuk di kantor karena aku menelponnya di saat jam kerja.
"Halo, Bang! Besok minggu aku ke rumah abang ya. Mau nginep di sana selama seminggu. Kebetulan bapak sama ibu mau ke rumah Bi Intan, si Salsa mau nikah, Bang." Aku langsung memberondong Bang Irfan setelah ia mengangkat sambungan teleponnya.
"Iya, boleh." Sahut Bang Indra singkat, mungkin ia sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan kantor.
Aku sudah menduganya, ia pasti tak akan menolak permintaanku. Sejak kecil Abang sangat menyayangiku dan memanjakanku. Ia tak pernah menolak apapun yang ingin aku lakukan.
Yess!! Aku segera menutup telepon setelah Bang Indra mengiyakan niatku yang ingin menginap di rumahnya.
Sekalian aku ingin meminta dibelikan motor sport kawasaki ninja 250 FI yang sudah lama aku idam-idamkan. Gak mahal sih, harganya cuma sekitar 60 jutaan saja. Buat Bang Indra uang segitu mah keciiiil...
Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak dan tenang tanpa khawatir besok takut sendirian tinggal di rumah. Bahkan saking nyenyaknya, aku sampai terbawa mimpi sedang tersenyum senang sambil mengendarai motor sport kawasaki ninja 250 FI yang baru saja dibelikan oleh Bang Indra dalam mimpiku.
Hari Minggu pagi, aku terbangun dengan kondisi rumah dalam keadaan sepi. Apa bapak dan ibu sudah berangkat?
Aku segera mencari keberadaan mereka di semua ruangan tapi hasilnya nihil. Saat aku lapar, aku membuka tudung saji. Hanya ada secarik kertas dan beberapa lembar uang merah di dalamnya.
'Ibu sama bapak berangkat subuh tadi. Sengaja gak pamit karena kamu masih tidur pulas. Ini uang lima ratus ribu buat uang jajan dan makan kamu selama satu minggu kedepan'.
Begitu bunyi tulisan pada secarik kertas yang berisi pesan tulisan tangan dari Ibu. Aku tersenyum senang sambil menghitung lembaran uang merah sebanyak lima lembar yang ibu tinggalkan untukku.
Aahh, lumayan dikasih gopek. Tau gini mending ibu sama bapak sering-sering pergi keluar kota aja, biar aku bisa dapat uang jajan lebih.
Gegas aku memasukkan uang tersebut ke dalam dompetku dan langsung mengeluarkan sepeda motor satria FU kebanggaanku.
"Eh aku kan mau minta belikan motor baru sama Bang Indra." Ujarku sambil menepuk jidat pelan ala emak-emak yang pura-pura lupa waktu ditagih hutangnya.
Niatku menginap di rumah Bang Indra kali ini kan mau sekalian minta kerjaan dan merengek minta dibelikan motor baru. Kalau aku sekarang kesana bawa motor, otomatis nanti aku gak punya alasan kalau motor sudah rusak.
Ku masukkan kembali motor satria FU yang sudah full modifikasi ke dalam garasi. Aku pergi begitu saja hingga lupa mencabut kunci kontak motor dan lupa mengunci pintu garasi rumah.
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.
Dok… dok… dok… Aku terlonjak kaget saat pintu kamar si kembar di gedor keras dari luar. "Ada apa lagi sih? Gak tau anak-anak lagi tidur apa?" Aku membuka pintu seraya ngedumel sendiri. Terlihat kepala Mas Indra menyembul dan langsung mendorong paksa pintu kamar hingga terbuka lebar. Wajahnya sudah memerah seperti sedang menahan amarah. "Heh, Maya!! Kamu udah berani nyolong uang, Mas sekarang? Apa kamu kekurangan uang sampai-sampai berani mencuri uang suamimu sendiri?" Seru Mas Indra dengan suara nyalang. Beruntung si kembar masih tertidur pulas dan tak terusik dengan teriakan ayahnya. Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintu kamar si kembar rapat-rapat. Sungguh tak baik membiarkan anak-anak mendengar pertengkaran orang tuanya. Hal itu akan berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak di kemudian hari. "Uang apa, Mas? Maya gak ngambil! Maya juga gak ngerti, Mas ngomongin apa." Sahutku yang memang tidak tahu kemana arah tuduhan Mas Indra akan bermuara. Kekurangan uang sih iya,
Nasi goreng ini adalah menu favorit Mas Indra. Kulihat ia seperti menelan ludah kecewa menatap sajian nasi goreng di depan matanya. Mungkin ia juga sudah menahan lapar sejak tadi. "Ini nasi gorengnya enak banget loh, Fan. Cobain dulu gih." Mas Indra mencoba membujuk adiknya. Aku dan si kembar diam mematung menyaksikan drama lebai yang Irfan mainkan. "Gak, Bang. Irfan gak selera sama sekali. Ayuk kita makan di luar aja, Bang!" Tak bisa menolak keinginan adik tersayangnya, akhirnya Mas Indra beranjak untuk membawa Irfan pergi makan di luar. Ku kira Mas Indra akan mengajak kami bertiga pergi bersama juga. Tapi ternyata harapanku sirna, mereka hanya pergi berdua saja dengan berboncengan motor Nmax milik Mas Indra. Nanar kutatap punggung mereka yang semakin menjauh dari pandangan mataku. Semenjak menjalani pola hidup ala frugal living, aku tak pernah merasakan yang namanya makan jajan di luar lagi. Jadi jika ada yang mengajak kami pergi jajan walaupun itu hanya semangkuk seblak, rasa
Aneh… ada apa sih? Aku semakin penasaran dibuatnya. Ku pertajam tatapan mataku pada Mas Indra hingga dia merasa tak nyaman. Berharap ia mau berbagi rahasia yang baru saja di dengarnya. "I-itu telepon dari teman kantor. Ya.. itu teman kantor ngabarin kalau lagi ada masalah." Mas Indra mencoba memperjelas jawabannya sebelum aku kembali menyerang dengan pertanyaan yang lain. Okelah, kalau sudah ranah pekerjaan aku tak akan ikut campur. Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya masih belum puas dengan jawaban mengambang dari Mas Indra. Saat malam menjelang, kulihat Mas Indra bersantai sambil melihat acara TV yang menyajikan segmen dunia dalam berita. Si kembar duduk lesehan di karpet depan TV sambil menyelesaikan tugas mewarnai yang harus dikumpulkan ke ibu guru besok pagi. Sama sekali tidak ada interaksi antara anak dan ayah tersebut. Mereka saling larut dalam kesenangannya masing-masing. Kadang aku hanya membatin apa Mas Indra ini gak punya cita-cita ingin bermain dan belajar bersa
"May!!! Mayaaa!!!" Aku mendengar teriakan Mas Indra saat motor supra butut yang kunaiki berbelok untuk meninggalkan gerbang sekolahan. Aku pura-pura tak mendengar teriakannya. "May!! Pinjam motornya dulu!!" Teriak Mas Indra dengan nada yang lebih kencang dari sebelumnya. Kulirik sekilas lewat kaca spion depan, Mas Indra sedang berlari mengejarku dari pertigaan tempat motornya berhenti. Aku pura-pura tak melihatnya dan malah semakin menambah kecepatan. Enak saja dia mau minta tukeran motor dan sudah pasti menyuruhku menuntun motornya pulang ke rumah. Gak sudi aku, Mas setelah kamu mengabaikan untuk membantuku tadi. Inilah saatnya aku membalasmu. Biarin mau dikatain istri durhaka juga, lah wong suaminya juga dzolim kok. "Mayaaa!!" Jeritan Mas Indra mulai terengah-engah mungkin kehabisan nafas karena berteriak sambil berlari. Ah, aku tidak boleh pulang ke rumah, aku harus belok ke arah lain. Kulirik dari kaca spion lagi dan ia masih setia mengejar motor supra bututku. "Sialan kamu,
"Sit, Sita…" Aku menepuk pelan punggung Sita yang mulai bergerak naik turun. Sumpah, aku merasa gak enak banget sampai dilihatin puluhan driver yang masih mengantri di halaman. Mereka yang tidak tahu pasti berpikir aku telah berbuat sesuatu yang tidak baik pada Sita hingga membuatnya menangis. "Ada apa, Sit? Udah dong! Malu dilihatin banyak orang nih." Ucapku yang masih setia membelai lembut punggung Sita. "Kalau aku ada salah kata sama kamu, aku minta maaf, ya. Aku tidak bermaksud menyinggungmu." Walaupun aku tidak tahu apa alasan Sita menangis, tapi aku mencoba untuk merendah dan mengalah agar ia tidak semakin menangis lagi. Ia lalu menengadahkan wajahnya menatap ke arahku sambil menyeka air matanya. "Maaf, May, ini bukan salahmu kok." Sita mulai membuka suara menanggapi ucapanku. Mungkin ia takut terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut. "Aku gak tau harus merasa bahagia apa sedih atas larisnya usaha ini. Usaha ku ini menjadi sukses tepat setelah suamiku meninggal." Wanita
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.