"May!!! Mayaaa!!!" Aku mendengar teriakan Mas Indra saat motor supra butut yang kunaiki berbelok untuk meninggalkan gerbang sekolahan. Aku pura-pura tak mendengar teriakannya. "May!! Pinjam motornya dulu!!" Teriak Mas Indra dengan nada yang lebih kencang dari sebelumnya. Kulirik sekilas lewat kaca spion depan, Mas Indra sedang berlari mengejarku dari pertigaan tempat motornya berhenti. Aku pura-pura tak melihatnya dan malah semakin menambah kecepatan. Enak saja dia mau minta tukeran motor dan sudah pasti menyuruhku menuntun motornya pulang ke rumah. Gak sudi aku, Mas setelah kamu mengabaikan untuk membantuku tadi. Inilah saatnya aku membalasmu. Biarin mau dikatain istri durhaka juga, lah wong suaminya juga dzolim kok. "Mayaaa!!" Jeritan Mas Indra mulai terengah-engah mungkin kehabisan nafas karena berteriak sambil berlari. Ah, aku tidak boleh pulang ke rumah, aku harus belok ke arah lain. Kulirik dari kaca spion lagi dan ia masih setia mengejar motor supra bututku. "Sialan kamu,
"Sit, Sita…" Aku menepuk pelan punggung Sita yang mulai bergerak naik turun. Sumpah, aku merasa gak enak banget sampai dilihatin puluhan driver yang masih mengantri di halaman. Mereka yang tidak tahu pasti berpikir aku telah berbuat sesuatu yang tidak baik pada Sita hingga membuatnya menangis. "Ada apa, Sit? Udah dong! Malu dilihatin banyak orang nih." Ucapku yang masih setia membelai lembut punggung Sita. "Kalau aku ada salah kata sama kamu, aku minta maaf, ya. Aku tidak bermaksud menyinggungmu." Walaupun aku tidak tahu apa alasan Sita menangis, tapi aku mencoba untuk merendah dan mengalah agar ia tidak semakin menangis lagi. Ia lalu menengadahkan wajahnya menatap ke arahku sambil menyeka air matanya. "Maaf, May, ini bukan salahmu kok." Sita mulai membuka suara menanggapi ucapanku. Mungkin ia takut terjadi kesalahpahaman yang berlarut-larut. "Aku gak tau harus merasa bahagia apa sedih atas larisnya usaha ini. Usaha ku ini menjadi sukses tepat setelah suamiku meninggal." Wanita
POV Indra Laksmana. Aku melongok keluar setelah mendengar bunyi klakson mobil di halaman rumah. Betapa terkejutnya aku mendapati mobil dari dealer datang membawa dua sales yang belum lama ku temui tadi pagi. "Selamat Siang, apa benar ini kediaman Bapak Indra Laksmana?" Salah seorang sales yang bertubuh gempal dan bongsor datang menghampiri Maya yang sudah keluar rumah terlebih dahulu setelah mendengar bunyi klakson tadi. Maya mengangguk dan menoleh ke arahku seolah meminta penjelasan lebih. Gawat!! Ini benar-benar gawat! Kenapa juga sales ini malah datang kemari. Bukankah aku tadi sudah bilang untuk mengantarkan barangnya ke alamat orang tuaku. "Maaf Pak Indra, tadi bapak lupa belum menulis alamat pengiriman barangnya. Kami mau kirim barangnya siang ini juga soalnya kami mau closingan data hari ini. Bapak kan sudah bayar cash, jadi barangnya bisa langsung dikirim." Sales bernama Ahmad itu mencerocos bak bunyi petasan banting. Ia tak mempedulikan raut wajahku yang sudah dilanda gel
"Kamu tega sama anak dan istri sendiri, Mas! Kamu dzolim sama kami! Kamu pelit dan perhitungan pada kami, tapi kamu bisa begitu loyal dan jor-joran pada adik kesayanganmu itu." Aku terisak di dalam kamar si kembar, menangisi ketidakadilan dan ketimpangan yang ada dalam rumah tanggaku. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kedua tamu Mas Indra yang masih ada di halaman depan. Bahkan air minum putih saja enggan kusuguhkan. Aku juga tidak tahu apakah mereka masih ada di depan atau sudah pergi. "Aku tidak bisa seperti ini terus! Aku harus bertindak, aku gak mau Mas Indra terus-terusan mendzolimi aku dan anak-anak." Ucapku dengan semangat penuh membara. Kudengar suara deru mesin mobil dan knalpot motor berlalu meninggalkan halaman rumah kami. Ya, mereka baru saja pergi, mungkin ke rumah mertuaku untuk mengantarkan motor baru Irfan. Segera ku hapus sisa bulir tetes air mata yang masih menggenang di pelupuk mata. Kupakai kembali jilbab yang tadi sudah kulepas dan kubuang asal saking gerege
Perkataan ibu mertua sungguh membuatku teringat pada kejadian sepuluh tahun silam. Kejadian dimana awal saat diri ini mulai menjalin kasih dengan Mas Indra."Dik Maya, kita lanjut ke jenjang pernikahan, yuk." Ucapan Mas Indra kala meminang dan meminta diriku menjadi calon istrinya saat itu.Sebenarnya aku sudah ragu sejak awal. Pasalnya, saat Mas Indra memperkenalkan aku kepada keluarganya sebelumnya, respon mereka sedikit kurang mengenakkan di hati. Mereka tidak bisa menerimaku yang hanya seorang gadis yatim piatu dan bahkan tak tahu siapa ayah kandungnya. "Tapi… bagaimana dengan bapak dan ibu serta adikmu, Mas? Maya takut mereka tidak mau menerima kehadiran Maya di keluarga kalian, Mas." Aku sempat mundur dan mengalah karena aku sadar diri, aku hanyalah gadis yang berasal dari desa pesisir pantai barat dan hidup berdasarkan belas kasihan para warga sekitar."Jangan kuatir, Dik! Nanti biar Mas yang bicara sama mereka." Bujukan lembut dari Mas Indra akhirnya perlahan mampu meluluhkan
Krieeet…Keempat pasang mata itu melotot kaget dan refleks menoleh ke arah pintu pagar yang baru saja kubuka dari luar. Dengan wajah tanpa berdosa aku segera melangkah masuk ke halaman rumah mertuaku. Rasanya mulutku sudah gatal untuk membalas hinaan ibu mertua kepada mendiang ibuku yang telah tiada. Tanpa basa-basi segera kulangkahkan kaki dengan mantap dan langsung menghampiri wanita yang bergelar sebagai ibu dari suamiku tersebut."Eh, N-nak M-maya, baru saja datang atau sudah dari tadi, Nak?" Terlihat jelas kegugupan melintas di wajah ibu mertua. Mungkin ia takut kalau aku mendengar semua cacian yang ia lontarkan di belakangku tadi.Halah, tidak perlu bersandiwara lagi, Bu! Sekarang aku sudah tahu wajah aslimu tanpa topeng seperti apa."Mn, baru saja kok, Bu!" Anehnya semua kemarahan yang sudah ku tahan dalam hati sejak tadi tidak bisa keluar sama sekali. Aku justru malah bersikap hormat dengan menyalami takzim kedua orang tua Mas Indra. Mungkin selama ini aku sudah terbiasa bers
Walaupun sudah kutahan dengan sekuat tenaga, akhirnya lolos juga air mataku ini. Bukan karena aku takut dengan ancaman dari ibu mertua yang sudah mendahului takdir, bukan! Aku menangis karena meratapi nasib sialku yang harus berjodoh dengan laki-laki tidak tegas seperti Mas Indra. Aku juga merutuki keadaanku yang harus bergantung pada laki-laki egois yang selalu mendahulukan kepentingan keluarganya di atas kepentingan istri dan anak-anaknya. "Jika cerai adalah jalan terbaik… aku dengan lapang dada akan menerimanya. Mungkin hanya sampai di sini saja bahtera rumah tangga kami berlayar sebelum akhirnya kandas di tengah jalan. Entah sejak kapan kekusutan rumah tanggaku ini dimulai. Seingatku kami ini dulu hidup dengan harmonis dan baik-baik saja tanpa ada banyak masalah mendera. Ya, walaupun Mas Indra sering bersikap cuek dan dingin kepada anak-anak, tapi itu semua tak mengurangi tanggung jawabnya kepada kami. Rasa-rasanya semua carut marut rumah tanggaku ini sepertinya dimulai sejak
[Mas, sudah hampir 3 bulan Mas Indra gak pulang kerumah ini. Apakah aku ini masih dianggap sebagai istrimu, Mas?] Kukirimkan pesan lewat aplikasi berlogo gagang telepon berwarna hijau. Enak saja dua bulan lebih tak ada kabar, main pergi saja tanpa ada penyelesaian masalah. Walaupun transferan untuk nafkah bulanan tetap mengalir setiap bulannya, aku tetap butuh kejelasan dan penjelasan, Mas. Satu jam, dua jam, tak juga ada balasan dari si penerima pesan. Tanda pesan juga masih bertahan pada tanda centang dua abu-abu, pertanda pesanku belum dibaca sama sekali. [Mas! Tolong balas pesanku kalau kamu masih menganggap aku ini istrimu!] Kukirimkan lagi pesan kedua. Berharap ia mau segera membalas isi pesanku. Lebih dari satu jam menunggu, tetap tak ada balasan masuk juga. Games rasanya menghadapi sikap Mas Indra yang kekanak-kanakan seperti ini. Sebenarnya apa maunya sih? Kok sampai merajuk pulang ke rumah orang tuanya. Harusnya yang marah dan merajuk itu aku, bukan kamu, Mas! [Mas Ind
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.