Hari Minggu telah tiba.
Seperti yang Mas Indra beritahukan sebelumnya, Irfan, adik kesayangannya itu benar-benar datang ke rumah. Tanpa salam tanpa mengetuk pintu ia main menyerobot masuk ke dalam rumah.
"Pinjam duit seratus ribu dong!!" Ucapan Irfan sukses membuatku terkejut sampai-sampai aku menjatuhkan wajan penggorengan bekas aku menumis capcay tadi.
Klonthang!
"Astaghfirullah!! Ngangetin aja sih! Orang itu kalau masuk rumah pakai permisi kek, salam kek, ini main selonongan aja!!" Aku menegur manusia yang entah berasal dari planet mana ia dilahirkan, sopan santunnya sangat minim sekali.
"Sini!! Ada gak uangnya?" Sepertinya teguranku tak digubrisnya sama sekali. Ia malah menengadahkan tangannya untuk meminta uang dariku. Udah macam preman pasar lagi memalak tukang sayur yang mangkal di lapak umum tanpa persetujuannya.
Hei manusia planet, enak kali hidupmu itu tinggal main tadah duit orang saja. Lagipula kamu itu sedang bicara sama kakak iparmu, bukan kepada temanmu. Pakailah itu sedikit ot4kmu! Sopan santun itu dikedepankan, jangan cuma bibir aja yang kau majukan.
"Buat apa? Datang-datang kok minta uang?" Aku pun lantas bertanya karena sedikit penasaran juga.
"Tuh!!" Jawabnya singkat seraya menunjuk ke depan rumah dimana sebuah mobil menunggu dengan mesin yang masih menyala.
Aku melongok keluar, dan melihat sebuah mobil innova silver terparkir di depan gerbang rumah kami. "Siapa?" tanyaku semakin penasaran. Apa jangan-jangan dia sedang di kejar tukang kredit cicilan pinjaman online?
"Supir taksi." sahut Irfan datar.
Oohh, mungkin dia belum membayar ongkos taksinya.
Astaga naga, manja sekali rupanya adik iparku ini. Sudah tahu tak punya uang tapi pakai sok gaya-gayaan naik taksi online segala. Padahal jarak rumah mertuaku dengan jarak rumah kami ini hanya sekitar lima belas kilometer saja dan ada transportasi angkot yang menghubungkan jalan rumah kami.
"Kenapa gak naik angkot saja? Kan jauh lebih murah dan bisa berhemat!" Bukannya memberi uang, aku malah mengoceh menasehatinya.
Mungkin ia kesal karena tak segera kuberi uang. Ia langsung marah dan berkata, "Sudahi dulu ceramahmu! Itu supirnya udah kelamaan nungguin."
Apa?? Ini orang benar-benar sudah keterlaluan, bikin darahku mendidih saja. Sudah datang tak permisi, minta ongkos pula!
Aku benar-benar tak mengharapkan kehadirannya di rumah ini.
"Mbak gak ada duit!" Sengaja kutekankan kata panggilan 'Mbak' agar dia tahu siapa aku disini. Aku adalah kakak iparnya yang seharusnya ia hormati. Enak saja Mas Indra menyuruhku menghormati adiknya yang bahkan ia tak menghormati aku sama sekali.
Ia mencebik kesal, lalu melengos mencari keberadaan Mas Indra, kakaknya. "Minta aja sama Mas kamu! Tuh dia lagi ngorok di kamar." Sengaja kuarahkan dia untuk meminta uang kepada kakaknya. Tak sudi aku mengeluarkan uang sepeserpun untuk benalu tak tahu diri macam si Irfan ini.
Tin-tin...
Benar saja klakson mobil terdengar dibunyikan, mungkin si supir sudah tak sabar untuk mengejar setoran lainnya.
Aku tersenyum samar kepada sang supir taksi online. Sebenarnya aku merasa kasihan pada pak supir yang sudah kelamaan menunggu, tapi kalau aku memberi Irfan uang, bagaimana dengan uang belanjaku besok? Belum tentu Mas Indra mau menggantinya kan.
Aku berpikir panjang untuk memikirkan nasib si kembar kalau jatah bulananku habis sebelum waktunya. Mau ku kasih makan apa mereka nanti. Lha wong bapaknya aja sekarang pelit minta ampun.
"Minggir!!" Seru Irfan sambil berlari kecil keluar rumah. Badannya yang besar hampir saja menyenggolku yang sedang berdiri di dekat pintu. Untung aku sigap dan meraih gagang pintu sekenanya, kalau tidak aku pasti sudah jatuh terjungkal.
Kurang ajar sekali manusia alien itu. Ini rumah tempat tinggalku tapi dia bersikap seenaknya sendiri seperti itu.
"Kembaliannya dua puluh ribu ambil aja, Bang! Itung-itung buat ongkos nunggu. Makasih ya, Bang." Kudengar suara Irfan berbicara dengan supir taksi online. Walaupun jarak di depan gerbang, tapi aku masih bisa mendengarnya.
Benar-benar ajaib. Dia masih bisa berlagak sok kaya padahal duit dapat minta abangnya.
"Irfan, ka..." Baru saja aku mau menegurnya karena sikapnya barusan, tiba-tiba suara Mas Indra yang serak khas bangun tidur terdengar.
"May, kenapa si Irfan minta uang gak kamu kasih? Apa susahnya sih tinggal kasih uang ke adikku, pakai bangunin aku segala." Refleks aku menoleh dan melihat Mas Indra sudah berdiri dengan rambut acak-acakan khas baru bangun tidur. Tangannya berkali-kali menutup mulutnya yang masih menguap lebar. Mungkin ia masih mengantuk sekali dan terpaksa bangun karena Irfan mengganggunya.
"Kan kemarin Maya udah bilang kalau uang Maya udah mepet!" Sahutku setengah jengkel. Selalu memarahiku jika itu menyangkut adiknya.
Kalaupun aku punya uangnya, aku tak akan mau memberikannya pada cecunguk satu itu. Enak saja dia bilang pinjam tapi gak tau entah kapan balikinnya.
Tanpa permisi manusia alien itu lewat di tengah-tengah kami yang berbicara sambil berdiri di depan pintu. Minim akhlak sekali, bukan?
"Semalam kan Mas udah kasih uang dua ratus ribu. Emang udah habis?" tanya Mas Indra.
Aku menghela nafas panjang dan kasar. Mungkin suamiku ini benar-benar tidak tau kebutuhan rumah tangga sehari-hari dengan empat kepala yang harus diberi makan. Dan sekarang malah bertambah satu lagi kepala yang harus diberi makan, makanannya harus makanan sultan lagi.
"Uang Maya bener-bener dah mepet, Mas! Hari ini aja Maya udah belanja seratus ribu lebih di pasar buat nyiapin hidangan adikmu itu." Jawabku sambil melirik ke Irfan yang sudah duduk ongkang-ongkang kaki di depan televisi.
Mual rasanya aku melihat kelakuan si Irfan ini.
"Huhh!!" Mas Indra melengos pergi. Entah ia merasa kalah berdebat denganku atau mencoba mengalah karena tak mau ribut denganku. Ia langsung ngeloyor masuk ke kamar lagi. Mungkin mau melanjutkan tidurnya yang tertunda iklan sejenak.
Salah siapa juga uang belanja bulanan dipotong lebih dari separuhnya sendiri. Repot sendiri kan jadinya?
Aku melanjutkan menyapu dan mengepel lantai rumah. Maklum jika hari libur seperti ini pekerjaan rumahku bukannya cepat beres tapi malah jadi tambah banyak. Ini saja masih untung si kembar baru main ke rumah tetangga, kalau mereka ada di rumah sudah bisa dipastikan rumah dalam keadaan seperti kapal pecah berserakan mainan keduanya.
Biasanya aku menyapu dari belakang ke depan hingga ke teras. Lalu dilanjutkan mengepel dengan arah sebaliknya dari teras hingga ke belakang, terkahir di area dapur karena biasanya di lantai dapur agak sedikit kotor bekas asap minyak goreng atau ceceran bumbu masakan.
Saat aku hendak mengepel lantai dapur, mataku membelalak tak percaya melihat pemandangan si Irfan sedang makan di meja makan yang tepat berada di pojokan ruang dapur.
"Astaghfirullah, Irfan!!" Pekikku seraya mendekatinya.
"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan? Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendiria
Pov IrfanKesel deh... minggu besok, bapak dan ibu ada acara keluarga besar di luar kota. Kata mereka aku gak boleh ikut, takut mereka malu kalau banyak yang tanya pekerjaanku sekarang apa."Kamu gak usah ikut! Jagain rumah aja." Saran Bapak saat mereka sedang membahas rencana pernikahan si Salsa, saudara sepupuku yang tinggal di luar kota. Ibu yang sedang mengemas pakaian dan memasukkannya ke dalam koper langsung mengiyakan saran bapak. "Iya, kamu di rumah saja gak usah ikut!"Aku pun sedih mendengarnya. "Nanti siapa yang mengurusi Irfan kalau bapak sama ibu pergi?" protes ku karena tak diperbolehkan ikut. Lagian kenapa harus merasa malu sama anaknya sendiri? Namanya juga aku belum ketemu pekerjaan yang cocok, jadi wajarlah jika masih menganggur.Bapak mencebik kesal. "Heh, kamu itu udah besar, bukan anak TK atau anak SD lagi. Masak iya mau ngetek melulu sama orang tua. Belajarlah mandiri di rumah sendiri! Sukur-sukur mau pergi cari kerja." Ujar Bapak sedikit sewot. Mungkin dia sudah
Pov Irfan "Mmm... naik taksi online ajalah." Gumamku dalam hati saat melihat teriknya cuaca pagi ini. Masih juga pagi tapi matahari sudah bersinar begitu terang seperti di siang hari. Aku langsung mengurungkan niatku untuk naik angkutan umum dan mengutak-atik gawai guna memesan moda transportasi roda empat dari aplikasi yang didominasi oleh warna biru. Buat apa panas-panasan dan berdesak-desakan di angkutan umum kalau bisa duduk santai ditemani semilir angin dari AC mobil taksi online. Masalah ongkos itu gampang, tinggal minta sama Bang Indra atau istrinya, beres!! "Bang, tunggu sebentar ya! Saya gak bawa ongkos." pamit ku pada sang sopir saat mobil sudah sampai di rumah Bang Indra. Entah kenapa rumah abangku terasa sepi, biasanya dua keponakan kembarku bermain di halaman rumah dengan sangat berisik. Aku langsung masuk saja ke dalam rumah untuk meminta ongkos pada abangku. Tapi si4l, yang kutemui malah si Maya, istrinya Bang Indra yang cerewet dan sok ngatur. Kakak iparku itu be
Pov Irfan Hmm norak sekali kamar si kembar ini. Sudah catnya didominasi warna pink dan kuning, di sepanjang temboknya juga banyak bertebaran stiker barbie dan unicorn dimana-mana. Tapi tak apalah daripada aku tidur di depan TV. Masa iya aku tidur di kamar bareng Bang Indra sama istrinya, kan gak lucu. Belum ada setengah jam aku memejamkan mata, kudengar suara anak kecil bersahut-sahutan memanggilku dan menarik-narik tanganku. "Om, bangun Om!!" "Om, ini kamar kita. Jangan tidur di sini." Lama-lama aku tak sabar juga dan terpaksa bangun. "Heh gak sopan sekali jadi anak. Kalau ada orang lagi tidur jangan berisik! Gangguin aja." Ku bentak mereka dan itu sukses membuat mereka langsung kicep tak berani mengusikku lagi. Bahkan kulihat si Keyla langsung mewek setelah ku bentak. Aku melanjutkan tidur siang yang sempat terganggu tadi. Entah selang berapa lama dari kejadian itu, seseorang masuk kamar dan langsung memaki-maki aku. "Heh!! Irfan!! Kalau numpang itu sadar diri. Ini kamar ana
"Keyra, Keyla, dengerin ibu!!" ucapku penuh penekanan begitu membawa si kembar masuk ke dalam kamar mereka. Aku mendudukkan keduanya di kasur Keyra yang spreinya dipenuhi dengan motif unicorn. Aku berlutut untuk menyamakan tinggi dengan keduanya, "Lain kali jangan biarkan Om Irfan masuk ke kamar kalian. Kalau perlu kalian kunci dari dalam, ingat ya!" Keduanya mengangguk dengan patuh. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar berita dari desa sebelah, katanya ada seorang paman yang tega berbuat kurang ajar kepada keponakannya. Jujur, aku takut banget kalau manusia alien itu berbuat hal yang tidak wajar kepada kedua putriku. Mana tau dia seorang ped*fil. Kita kan harus selalu waspada terhadap ancaman bahaya, sekalipun itu saudara ipar. "Bu, kenapa sih Om Irfan itu galak banget sama kita? Tadi aja pas keluar dari kamar, Om Irfan pelototin kita berdua lagi." Tanya si kecil Keyla yang matanya masih sedikit sembab. Mungkin dia ketakutan karena mendapat tatapan tajam dari pamannya.
Dok… dok… dok… Aku terlonjak kaget saat pintu kamar si kembar di gedor keras dari luar. "Ada apa lagi sih? Gak tau anak-anak lagi tidur apa?" Aku membuka pintu seraya ngedumel sendiri. Terlihat kepala Mas Indra menyembul dan langsung mendorong paksa pintu kamar hingga terbuka lebar. Wajahnya sudah memerah seperti sedang menahan amarah. "Heh, Maya!! Kamu udah berani nyolong uang, Mas sekarang? Apa kamu kekurangan uang sampai-sampai berani mencuri uang suamimu sendiri?" Seru Mas Indra dengan suara nyalang. Beruntung si kembar masih tertidur pulas dan tak terusik dengan teriakan ayahnya. Aku bergegas keluar kamar dan menutup pintu kamar si kembar rapat-rapat. Sungguh tak baik membiarkan anak-anak mendengar pertengkaran orang tuanya. Hal itu akan berpengaruh pada kesehatan mental anak-anak di kemudian hari. "Uang apa, Mas? Maya gak ngambil! Maya juga gak ngerti, Mas ngomongin apa." Sahutku yang memang tidak tahu kemana arah tuduhan Mas Indra akan bermuara. Kekurangan uang sih iya,
Nasi goreng ini adalah menu favorit Mas Indra. Kulihat ia seperti menelan ludah kecewa menatap sajian nasi goreng di depan matanya. Mungkin ia juga sudah menahan lapar sejak tadi. "Ini nasi gorengnya enak banget loh, Fan. Cobain dulu gih." Mas Indra mencoba membujuk adiknya. Aku dan si kembar diam mematung menyaksikan drama lebai yang Irfan mainkan. "Gak, Bang. Irfan gak selera sama sekali. Ayuk kita makan di luar aja, Bang!" Tak bisa menolak keinginan adik tersayangnya, akhirnya Mas Indra beranjak untuk membawa Irfan pergi makan di luar. Ku kira Mas Indra akan mengajak kami bertiga pergi bersama juga. Tapi ternyata harapanku sirna, mereka hanya pergi berdua saja dengan berboncengan motor Nmax milik Mas Indra. Nanar kutatap punggung mereka yang semakin menjauh dari pandangan mataku. Semenjak menjalani pola hidup ala frugal living, aku tak pernah merasakan yang namanya makan jajan di luar lagi. Jadi jika ada yang mengajak kami pergi jajan walaupun itu hanya semangkuk seblak, rasa
Aneh… ada apa sih? Aku semakin penasaran dibuatnya. Ku pertajam tatapan mataku pada Mas Indra hingga dia merasa tak nyaman. Berharap ia mau berbagi rahasia yang baru saja di dengarnya. "I-itu telepon dari teman kantor. Ya.. itu teman kantor ngabarin kalau lagi ada masalah." Mas Indra mencoba memperjelas jawabannya sebelum aku kembali menyerang dengan pertanyaan yang lain. Okelah, kalau sudah ranah pekerjaan aku tak akan ikut campur. Aku hanya bisa mengangguk walaupun rasanya masih belum puas dengan jawaban mengambang dari Mas Indra. Saat malam menjelang, kulihat Mas Indra bersantai sambil melihat acara TV yang menyajikan segmen dunia dalam berita. Si kembar duduk lesehan di karpet depan TV sambil menyelesaikan tugas mewarnai yang harus dikumpulkan ke ibu guru besok pagi. Sama sekali tidak ada interaksi antara anak dan ayah tersebut. Mereka saling larut dalam kesenangannya masing-masing. Kadang aku hanya membatin apa Mas Indra ini gak punya cita-cita ingin bermain dan belajar bersa
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak
POV Maya Rosita. "M-mas Indra," gumamku tak percaya saat kedua netraku terbuka seutuhnya. Ternyata, mantan suamiku lah yang telah menahan tangan Irfan untuk tidak melukaiku. Irfan langsung mengibaskan tangannya dengan kuat karena kesal dihadang oleh sang kakak. Tepatnya karena ia tidak berhasil membalas tamparanku tadi. "Awas kamu!! Dasar perempuan miskin!" Maki Irfan sebelum pergi meninggalkan kami di lobby. Ehh, songongnya minta ampun itu anak. Sebenarnya ada dendam kesumat apa sih antara dia sama aku? Kenapa sepertinya ia sangat membenciku dan ingin sekali melihatku hancur? Irfan, Irfan, tunggu saja sampai kamu tau identitas asliku. Aku yakin saat hari itu tiba, kamu akan kejang-kejang karena saking terkejutnya. Sekarang, hanya ada aku dan Irfan di lobby utama perusahaan, semua orang sedang beristirahat. Tiba-tiba suasana menjadi amat canggung. "M-makasih, Mas," ucapku berterima kasih sebab pertolongan Mas Indra datang tepat waktu. Andai saja Mas Indra telat satu detik, mung
POV Maya Rosita.Hari ini adalah hari pertama Papa Hadi kembali ke kantor setelah puluhan tahun menjabat sebagai dewan direksi secara fiktif, nyatanya selama ini perusahaan dikuasai dan dimanipulasi oleh Tante Rosmala dan anaknya.Tak banyak yang tahu akan keberadaan Papa Hadi di perusahaan. Hanya orang dekat dan beberapa karyawan yang sudah mengabdi sejak jaman Kakek Harun menjabat.Kini setelah Rosmala dan anaknya berhasil disingkirkan, Papa Hadi akan menunjukkan siapa pemilik tampuk kepemimpinan yang sebenarnya."Hari ini kamu juga harus ikut ke kantor ya, May! Papa mau ajarin kamu sedikit demi sedikit agar nanti saat papa pensiun, kamu sudah bisa mandiri di perusahaan." Ajak Papa Hadi saat sarapan berlangsung. Aku kaget bukan main. Jujur, aku belum siap sama sekali. Aku yang terbiasa menjadi ibu rumah tangga, tiba-tiba harus naik ke puncak bisnis. Oh tidak! Semua itu bagaikan mimpi."Ta-tapi, Pa…" "Gak ada tapi-tapian. Papa ini sudah mulai menua dan sakit-sakitan. Cepat atau lam
POV Dony."Lepasin saya, Pak! Saya gak salah apa-apa." Aku masih tidak tahu kenapa orang-orang ini menangkapku dan menggelandang ku ke kantor polisi di siang hari bolong. Malu rasanya dijadikan tontonan oleh banyak karyawan yang baru saja selesai menghabiskan waktu jam istirahatnya. Cukup kemarin Olla mempermalukanku di pesta pernikahan Mona, kenapa hari ini masih ada kejadian memalukan lainnya?Oh, mengapa aku harus menderita malu secara bertubi-tubi seperti ini? Dimana letak wibawaku sebagai orang penting di perusahaan."Lepasin!! Kalau kalian gak lepasin juga, saya akan menuntut kalian semua." Aku mengancam dan berusaha melepaskan diri dari barisan pria berseragam yang sudah berhasil memasang borgol tangan plastik yang terbuat dari cable ties di kedua pergelangan tanganku.Sekuat apapun usahaku, semua nampak sia-sia belaka. Bahkan jika aku berhasil melepaskan diri dari ikatan borgol plastik cable ties tersebut, belum tentu aku bisa melewati pagar betis yang mengawal dengan ketat.