Share

Bab 2

Aku balik badan untuk melihat suamiku, apakah dia tertidur pulas atau tidak. Aku lambaikan tangan di wajahnya, untunglah tidurnya pulas sekali.

Kemudian aku melangkah tanpa menimbulkan suara, mencari di mana suara dering ponsel itu berada. Aku yakin sekali, itu pasti suara ponsel suamiku.

Saat aku sampai di lemari khusus pakaian Mas Abian, tanganku sibuk mencari apa yang aku inginkan, karena tidak ada yang kutemukan, akhirnya aku tutup saja lemari itu. Namun tiba-tiba saja, Mas Abian memanggilku. 

“Sayang …,” panggil Mas Abian dengan suara khas bangun tidurnya. Aku terkejut mendengar panggilan tersebut, bukankah tadi tidurnya sangat pulas? kenapa dia bisa bangun? Batinku bertanya-tanya. 

“Ah, i-iya, Mas,” ucapku gugup

“Kamu mau kemana, Sayang?” tanya Mas Abian.

“A-Aku mau ke kamar mandi, Mas,” kataku dengan gugup, takut Mas Abian melihatku membuka lemari pribadinya, “badanku terasa lengket sekali, jadi aku ingin mandi.”

Mas Abian hanya mengernyit, mungkin dia sadar aku lagi gugup, “Kenapa kamu di depan lemari pakaian, Mas? kenapa gak di kamar mandi?”

Astaga, jantungku terasa ingin copot saja, apa yang harus aku katakan? Batinku bertanya-tanya. Aku tarik nafas lalu ku hembuskan lagi, Aku mencoba bersikap biasa saja, lalu berkata, “Oh, ini. Aku mau ambil baju di lemari pakaianku, Mas. Lemarinya, kan, dekat lemari kamu. Aku belum sampai, kamu lebih dulu panggil aku, Mas”

 “Oh, ya sudah kalau begitu, mandilah!” Kata Mas Abian sembari mengangguk, lalu dia berkata lagi, “jangan lupa kamu juga langsung istirahat, Sayang!”

“Iya, Mas.” Aku menghembuskan nafas lega, rasanya jantung ini mau copot saja, takut Mas Abian menaruh curiga padaku.

Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan yang sudah terasa lengket. Selang beberapa menit aku keluar, lalu menunaikan salat malam untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Kuasa. Setelah itu, aku melanjutkan tidur di samping Mas Abian.

Suara Adzan berkumandang, aku bangun dari tidurku untuk menunaikan kewajiban, setelah itu, aku  membangunkan Mas Abian untuk sholat subuh, “Mas, bangun, sudah masuk waktu subuh.”

“Aku masih ngantuk, jangan ganggu aku, Areta,” jawab Mas Abian dengan suara seraknya.

Aku tetap kekeh membangunkan Mas Abian, karena ini merupakan kewajiban setiap umat muslim, “Kamu mandi suci dulu, Mas. Lalu salat baru  tidur lagi kalau kamu masih ngantuk.”

“Berisik! Aku bilang jangan ganggu aku, Areta! Kamu ngerti gak, sih!” bentak Mas Abian padaku.

Aku langsung saja membeku mendengar bentakan yang pertama kali dilontarkan untukku. Selama ini Mas Abian tidak pernah membentak atau berkata kasar, bukan hanya itu saja, ini pertama kalinya Mas Abian lalai dalam menjalankan kewajibannya. 

Apakah dia terlalu capek bekerja? Sepertinya tidak, karena seingat aku secapek-capeknya Mas Abian tidak akan pernah melupakan kewajibannya. Ada apa dengan suamiku? Pikirku.

Aku ingin mencoba membangunnya sekali lagi, tanganku terulur menggoyangkan pelan tangannya, dan berkata dengan lembut, “Kamu salat dulu, Mas. Baru tidur lagi.”

“Jangan ganggu tidurku!” bentak Mas Abian, bahkan dia mendorongku dengan kasar sehingga aku jatuh ke lantai.

“Mas …,” rintihku. 

Kaki dan tanganku terasa sakit akibat terbentur lantai, dorongan Mas Abian begitu keras. Aku tidak menyangka suamiku berubah sangat drastis sekali. Tadi malam dia begitu manis padaku.

Dulu, Mas Abian begitu penyayang dan lembut, dia tidak pernah membentak ataupun berlaku kasar. Buliran bening yang tak ku minta jatuh begitu saja, nafasku terasa sesak, Isak tangis kutahan. Takut membuat Mas Abian semakin marah.

Aku bangun dari lantai itu sembari meringis pelan. Sepertinya urat kakiku ada yang salah, tetapi tetap kutahan. 

Aku lebih baik membangunkan Keyra untuk sholat dan bersiap-siap berangkat ke sekolah, aku pun berjalan pelan menahan sakit.

Sampai di kamarnya, aku mendekat dan kuusap pelan ubun-ubunnya, dan berkata dengan tutur kata yang lembut, “Keyra, Sayang. Salat yuk, sudah masuk waktu subuh.”

“Iya, Ma,” jawabnya dengan suara khas bangun tidur. Keyra itu langsung saja berjalan ke arah kamar mandi. Dia memang anak yang mandiri, diumur yang masih terbilang sembilan tahun anakku tidak pernah membantah ucapanku, dia selalu menurut dan cepat jika aku sudah memberinya perintah. Seperti tadi, saat aku membangunkan dirinya untuk salat dan siap-siap untuk bersekolah. Dia langsung saja bangun tanpa harus berkata ‘Nanti’. 

Buku pelajaran untuk hari ini sudah aku siapkan dari tadi malam, jadi dia tinggal jalan saja tanpa harus memilih buku mata pelajaran yang akan ia terima ilmunya hari ini. Begitupun dengan hari-hari selanjutnya. 

Aku turun ke lantai bawah menuju dapur, kegiatan yang memang harus aku lakukan setiap harinya, yaitu memasak dan bersih-bersih rumah. Dulu aku bekerja di sebuah cafe milik temanku, tetapi semenjak menikah dengan Mas Abian, aku tidak diizinkan untuk bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus kebutuhan mertuaku dan keluarganya. 

Aku setuju saja untuk itu, disisi lain aku juga ingin menemani pertumbuhan Keyra waktu kecil dulu. Kehadiran Keiya membuat keluarga kami lebih lengkap. Mas Abian juga selalu mengutamakan keluarga kecil kami. 

Langkah kakiku terhenti melihat mertuaku yang sedang berkutat terlebih dahulu dengan alat dapur, aku tersenyum, mertuaku ini memang begitu baik, terkadang dia selalu membantu pekerjaanku di rumah ini.

Aku berniat ingin menyapanya, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba mertuaku bicara yang mampu membuat tubuhku diam mematung, “Astaga, suamimu ada di kamarnya. Sabarlah, sebentar lagi dia juga turun untuk sarapan. Setelah sarapan baru ibu sampaikan pesanmu itu.”

Kenapa ibu berkata suamimu? Siapa yang dimaksud suamimu oleh ibu mertuaku?  Laki-laki di sini hanya suamiku saja. Apakah ada kaitannya dengan foto yang aku lihat kemarin? Batinku menjerit tak jelas.

Bagaimana menurut kalian?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status