Aku balik badan untuk melihat suamiku, apakah dia tertidur pulas atau tidak. Aku lambaikan tangan di wajahnya, untunglah tidurnya pulas sekali.
Kemudian aku melangkah tanpa menimbulkan suara, mencari di mana suara dering ponsel itu berada. Aku yakin sekali, itu pasti suara ponsel suamiku. Saat aku sampai di lemari khusus pakaian Mas Abian, tanganku sibuk mencari apa yang aku inginkan, karena tidak ada yang kutemukan, akhirnya aku tutup saja lemari itu. Namun tiba-tiba saja, Mas Abian memanggilku. “Sayang …,” panggil Mas Abian dengan suara khas bangun tidurnya. Aku terkejut mendengar panggilan tersebut, bukankah tadi tidurnya sangat pulas? kenapa dia bisa bangun? Batinku bertanya-tanya. “Ah, i-iya, Mas,” ucapku gugup “Kamu mau kemana, Sayang?” tanya Mas Abian. “A-Aku mau ke kamar mandi, Mas,” kataku dengan gugup, takut Mas Abian melihatku membuka lemari pribadinya, “badanku terasa lengket sekali, jadi aku ingin mandi.” Mas Abian hanya mengernyit, mungkin dia sadar aku lagi gugup, “Kenapa kamu di depan lemari pakaian, Mas? kenapa gak di kamar mandi?” Astaga, jantungku terasa ingin copot saja, apa yang harus aku katakan? Batinku bertanya-tanya. Aku tarik nafas lalu ku hembuskan lagi, Aku mencoba bersikap biasa saja, lalu berkata, “Oh, ini. Aku mau ambil baju di lemari pakaianku, Mas. Lemarinya, kan, dekat lemari kamu. Aku belum sampai, kamu lebih dulu panggil aku, Mas” “Oh, ya sudah kalau begitu, mandilah!” Kata Mas Abian sembari mengangguk, lalu dia berkata lagi, “jangan lupa kamu juga langsung istirahat, Sayang!” “Iya, Mas.” Aku menghembuskan nafas lega, rasanya jantung ini mau copot saja, takut Mas Abian menaruh curiga padaku. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan badan yang sudah terasa lengket. Selang beberapa menit aku keluar, lalu menunaikan salat malam untuk meminta petunjuk pada Sang Maha Kuasa. Setelah itu, aku melanjutkan tidur di samping Mas Abian. Suara Adzan berkumandang, aku bangun dari tidurku untuk menunaikan kewajiban, setelah itu, aku membangunkan Mas Abian untuk sholat subuh, “Mas, bangun, sudah masuk waktu subuh.” “Aku masih ngantuk, jangan ganggu aku, Areta,” jawab Mas Abian dengan suara seraknya. Aku tetap kekeh membangunkan Mas Abian, karena ini merupakan kewajiban setiap umat muslim, “Kamu mandi suci dulu, Mas. Lalu salat baru tidur lagi kalau kamu masih ngantuk.” “Berisik! Aku bilang jangan ganggu aku, Areta! Kamu ngerti gak, sih!” bentak Mas Abian padaku. Aku langsung saja membeku mendengar bentakan yang pertama kali dilontarkan untukku. Selama ini Mas Abian tidak pernah membentak atau berkata kasar, bukan hanya itu saja, ini pertama kalinya Mas Abian lalai dalam menjalankan kewajibannya. Apakah dia terlalu capek bekerja? Sepertinya tidak, karena seingat aku secapek-capeknya Mas Abian tidak akan pernah melupakan kewajibannya. Ada apa dengan suamiku? Pikirku. Aku ingin mencoba membangunnya sekali lagi, tanganku terulur menggoyangkan pelan tangannya, dan berkata dengan lembut, “Kamu salat dulu, Mas. Baru tidur lagi.” “Jangan ganggu tidurku!” bentak Mas Abian, bahkan dia mendorongku dengan kasar sehingga aku jatuh ke lantai. “Mas …,” rintihku. Kaki dan tanganku terasa sakit akibat terbentur lantai, dorongan Mas Abian begitu keras. Aku tidak menyangka suamiku berubah sangat drastis sekali. Tadi malam dia begitu manis padaku. Dulu, Mas Abian begitu penyayang dan lembut, dia tidak pernah membentak ataupun berlaku kasar. Buliran bening yang tak ku minta jatuh begitu saja, nafasku terasa sesak, Isak tangis kutahan. Takut membuat Mas Abian semakin marah. Aku bangun dari lantai itu sembari meringis pelan. Sepertinya urat kakiku ada yang salah, tetapi tetap kutahan. Aku lebih baik membangunkan Keyra untuk sholat dan bersiap-siap berangkat ke sekolah, aku pun berjalan pelan menahan sakit. Sampai di kamarnya, aku mendekat dan kuusap pelan ubun-ubunnya, dan berkata dengan tutur kata yang lembut, “Keyra, Sayang. Salat yuk, sudah masuk waktu subuh.” “Iya, Ma,” jawabnya dengan suara khas bangun tidur. Keyra itu langsung saja berjalan ke arah kamar mandi. Dia memang anak yang mandiri, diumur yang masih terbilang sembilan tahun anakku tidak pernah membantah ucapanku, dia selalu menurut dan cepat jika aku sudah memberinya perintah. Seperti tadi, saat aku membangunkan dirinya untuk salat dan siap-siap untuk bersekolah. Dia langsung saja bangun tanpa harus berkata ‘Nanti’. Buku pelajaran untuk hari ini sudah aku siapkan dari tadi malam, jadi dia tinggal jalan saja tanpa harus memilih buku mata pelajaran yang akan ia terima ilmunya hari ini. Begitupun dengan hari-hari selanjutnya. Aku turun ke lantai bawah menuju dapur, kegiatan yang memang harus aku lakukan setiap harinya, yaitu memasak dan bersih-bersih rumah. Dulu aku bekerja di sebuah cafe milik temanku, tetapi semenjak menikah dengan Mas Abian, aku tidak diizinkan untuk bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus kebutuhan mertuaku dan keluarganya. Aku setuju saja untuk itu, disisi lain aku juga ingin menemani pertumbuhan Keyra waktu kecil dulu. Kehadiran Keiya membuat keluarga kami lebih lengkap. Mas Abian juga selalu mengutamakan keluarga kecil kami. Langkah kakiku terhenti melihat mertuaku yang sedang berkutat terlebih dahulu dengan alat dapur, aku tersenyum, mertuaku ini memang begitu baik, terkadang dia selalu membantu pekerjaanku di rumah ini. Aku berniat ingin menyapanya, baru beberapa langkah saja, tiba-tiba mertuaku bicara yang mampu membuat tubuhku diam mematung, “Astaga, suamimu ada di kamarnya. Sabarlah, sebentar lagi dia juga turun untuk sarapan. Setelah sarapan baru ibu sampaikan pesanmu itu.” Kenapa ibu berkata suamimu? Siapa yang dimaksud suamimu oleh ibu mertuaku? Laki-laki di sini hanya suamiku saja. Apakah ada kaitannya dengan foto yang aku lihat kemarin? Batinku menjerit tak jelas. Bagaimana menurut kalian?Aku melangkah mendekati dirinya, mencoba bersikap seperti biasa saja, walaupun terkadang mulut ini ingin langsung bertanya padanya, apakah ada kaitan dirinya dengan foto pernikahan suamiku itu?“Pagi, Bu,” sapaku sembari tersenyumMertuaku bergegas mematikan sambungan teleponnya, dia kelihatan seperti maling ketangkap basah. Wajah pucatnya pun terlihat jelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu.“Ah, menantu Ibu sudah bangun ternyata. Bagaimana tidurmu, Sayang?” pertanyaan seperti biasa yang setiap pagi selalu dia lontarkan padaku, suara lembut dan menghangatkan itu selalu kudengar. “Tidurku nyenyak, Ibu lagi masak?” tanyaku basa-basi dan dijawab anggukan saja, aku bertanya lagi karena penasaran, “lagi telponan sama siapa, Bu?”“Ah, itu …,” ucapnya terjeda, kelihatan sekali kalau dia sedang memikirkan jawaban apa yang akan dia beri untukku. Aku terus memperhatikan perubahan wajahnya, kegelisahan yang dia rasakan begitu nampak di depanku. Namun, tidak lama dari itu ekspresi wajahn
Aku mendengkus samar, kenapa pagi ini aku mendengar kalimat yang membuat dadaku terasa sesak dari kedua orang yang aku cinta. Apakah ini petunjuk awal? Baiklah, sepertinya aku tahu harus memulai dari mana. “Mas …,” panggilku lirih, tetapi masih bisa didengar olehnya.Suamiku memutar badannya menghadapku, tiba-tiba ponsel yang dipegang suamiku yang menyatu dengan telinganya jatuh begitu saja, kulirik ponsel Mas Abian jatuh ke lantai. Dahiku mengernyit. Apakah aku salah lihat atau sebaliknya? Itu bukan ponsel yang biasa Mas Abian pakai, bahkan tadi malam pun saat Mas Abian membalas pesan anak buahnya, dia menggunakan ponsel yang biasa dipakai sejak kami belum menikah. Namun kenapa ponsel yang jatuh ini berbeda? Apakah dia membeli ponsel baru? Ah, aku ingin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.Baiklah kalau begitu, aku ingin melihat bagaimana ia akan menjawab jika aku bertanya tentang ponsel barunya. Aku berusa
Seperti biasa, aku mengantar Mas Abian sampai teras rumah saat dirinya berangkat bekerja. Sedangkan Keyra sudah berangkat bersama Siska.Walaupun selama satu tahun ini Siska sikapnya berubah jadi tidak suka padaku, tetapi entah kenapa yang paling dekat sama putriku diantara semua iparku adalah Siska. Aku juga tidak tahu kenapa, hatiku lebih nyaman melihat Keyra bersama Siska walaupun dia sangat membenciku. Begitupun juga dengan Keyra, dia lebih nyaman bersama tante Siskanya ketimbang tantenya yang lain. Entahlah, mungkin karena Siska benar-benar tulus menyayangi putriku itu. Bukan tanpa sebab aku berkata seperti ini, saat itu aku pernah bertanya pada putriku, apakah dia benar-benar nyaman sama Tante Siskanya atau tidak. Aku bertanya seperti itu karena melihat Siska benar-benar tidak menyukaiku, dan jawaban yang Keyra berikan adalah dia lebih menyukai saat bersama tante siskanya dari pada tantenya yang lain. “Areta …,” panggil ibu mertuaku
Sedangkan aku yang sudah lama menangis di taman tersebut sampai tak ingat waktu, hatiku bagai tertusuk belati nan tajam. Menyembuhkannya begitu perih, hanya ada sakit yang terus mendera. Tanpa Areta sadari sejak tadi ia diperhatikan oleh seorang pria. Aku yang awalnya ingin menjalankan program hamil pun tak jadi, hatiku sudah benar-benar sakit. Aku tidak ingin memiliki anak dari Mas Abian lagi, apalagi aku melihat dengan jelas dan pakai mata kepalaku sendiri.Aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap wanita yang sedang hamil besar itu. Yah, pria yang membantu wanita hamil itu adalah suamiku sendiri siapa lagi jika bukan Mas Abian Pratama. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap istri keduanya. Bahkan Mas Abian selalu mengatakan cinta pada maduku itu. Aku bangkit dari kursi taman rumah sakit itu, aku tak ingin lemah, aku harus menuntut keadilan untuk diriku sendiri. Sebelum itu aku harus men
“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. “Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil.Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencar
Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Aku diam mematung, tubuhku terasa kaku untuk digerakkan. Entahlah, bahkan bibirku terasa kelu untuk bicara. Ternyata wanita paruh baya itu adalah ibu mertuaku, wajahnya terlalu jelas saat dirinya membalik badan untuk memanggil pelayan cafe ini, sedangkan pelanggan yang baru masuk itu adalah suamiku. Kenapa? Kenapa ibu mertuaku bersama dengan Mas Abian dan Wanita hamil itu? Berbagai macam pertanyaan merajalela dalam pikiranku. Aku mencoba menahan air mata yang sudah mengembun. Pikiranku berkelana disaat Almarhum Ayah dan Bunda tidak merestui hubungan kami. Apakah ini teguran dari Sang Maha Kuasa, karena aku tidak mendengar ucapan orang tua. Aku bingung harus melakukan apa. Apakah ibu mertuaku yang selama ini aku anggap sebagai pengganti Almarhumah Bunda ternyata mengetahui tentang perselingkuhan suamiku? Jika memang benar dia m
Ibu Ida yang tetap memperhatikan cermin di depannya tiba-tiba saja tersenyum smirk saat melihat siapa yang ada di dalam cafe itu juga. “Ini baru permulaan, Areta,” gumam Ibu Ida.Abian yang tidak jelas mendengar gumaman ibunya langsung saja menatap dan bertanya padanya, “Ibu bicara apa?”Ibu Ida hanya menggeleng dan berkata, “Ibu tidak bicara apa-apa,”“Cobalah kamu hubungi Istrimu, apakah dia baik-baik saja di rumah sendiri,” pinta Ibu Ida pada Abian. “Dia sudah besar, Bu. Untuk apa Mas Abian menghubungi istrinya yang pertama,” keluh Diana dengan wajah kesalnya. Dia gak suka melihat Abian terlalu dekat dengan istri pertamanya itu. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Abian melupakan Areta. Diana sudah lama mengejar Abian sejak masa kuliah dulu, tetapi Abian tidak sedikitpun melirik dirinya. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan Abian, Diana tidak menyia-nyiakan semuanya. Bahkan saat ini semua milik Abian menjadi miliknya, bahkan tubuh laki-laki yang dari dulu dia idam-idamkan i
Seperti yang ibunya bilang, lambat laun Areta pasti akan mengetahuinya. Bagaimanapun dia menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Namun disisi lain, ia tidak ingin kehilangan Areta juga. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan tangannya dibalik dinding ruang keluarga tersebut.Dia terus berdiri mendengarkan apa yang Ibu Ida bicarakan bersama Abian. Bahkan rencana yang mereka berdua rencanakan, didengar olehnya..“Sungguh setiap orang di keluarga ini memiliki topeng tersendiri,” gumam seseorang yang ada di balik tembok tersebut. “Kamu tidak ingin menceraikan Areta?” tanya Ibu Ida pada putranya. Abian yang mendengar itu tentu saja terkejut. Bukankah ibunya ini sangat menyayangi Areta istrinya? Lalu kenapa ibunya seperti ini? Abian tidak mungkin melepaskan wanita yang sangat sulit didapatkan dari dulu. Tidak ingin berburuk sangka, Abian langsung saja bertanya pada ibunya, “Kenapa Ibu bicara begitu? Tidak mungkin aku menceraikan Areta, dia adalah istri yang se