“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”
Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. “Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil. Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencari muka pada keluarganya terutama dirinya sendiri Cakra merupakan seorang duda, dia belum memiliki anak dari mantan istrinya itu. Semenjak penghianatan yang dilakukan mantan istrinya waktu itu, membuat dia tidak ingin melirik wanita manapun. Namun entah kenapa, hatinya bergerak ingin mengetahui lebih dalam lagi wanita yang dia lihat sedang menangis di taman rumah sakit itu. Siapa lagi kalau bukan Areta Permata Sari Bram yang diperintahkan oleh Cakra terkejut dengan mulut terbuka nya, bagaimana tidak, seorang Cakra yang dia kenal dingin dan tak tersentuh oleh satu wanita pun, bahkan dia akan sangat marah apabila ada wanita yang mendekati dirinya. “Tutup mulut lo itu,” kata Cakra sembari tangannya menampar pipi Bram. “Astaga, apakah gue gak salah dengar? Seorang Cakra yang terkenal dingin dan tidak tersentuh oleh wanita manapun ingin mencari tau tentang seorang wanita tadi?” cecar Bram menggoda sahabatnya itu, “sepertinya, CEO duda ini akan memulai perjalan cinta barunya, benarkah begitu?” Cakra mendengkus pelan, sepertinya dia salah meminta bantuan pada sahabatnya ini, yang mana ujung-ujungnya dia akan digoda tentang wanita,“Bicara apa sih, Lo. Gue hanya nyuruh Lo untuk mencari tau tentang wanita tadi, bukan menyukai dirinya,” “Ya, ya, ya, awal hanya mencari tau saja,” kata Bram tambah menggoda, “lama-lama tumbuh menjadi cinta, hahaha.” Cakra hanya mendengkus lalu meninggalkan Bram begitu saja. Bram yang melihat dirinya ditinggal hanya bisa berdecak kesal, “Ckk, ditinggalkan, gue. Kebiasaan tuh, kalau bukan sahabat dan Bos gue, udah gue bejek-bejek itu si Cakra.” Bram berlari mengejar langkah Cakra. “Cakra, lo, gak jadi ke Tante Desi?” tanya Bram setelah menyamai langkah Cakra. Cakra hanya tersenyum penuh makna, “Gak, besok aja gue kesana. Ingat tugas Lo itu, jangan kelamaan kasih gue informasi tantang wanita itu,” “Ya, ya, ya, Lo, tenang saja.” Aku yang baru pulang dari rumah sakit langsung menuju cafe milikku. Tanpa sepengetahuan suamiku dan keluarganya, Aku memiliki usaha pribadi, yaitu ‘Cafe Permata’ dan ‘Butik Permata’ yang memang terkenal di Jakarta. Bukan hanya suamiku dan mertuanya yang tidak tahu menahu tentang Cafe dan Butik tersebut, tetapi bahkan para sahabatku tidak ada yang tau, kecuali sahabatku Lina yang sekaligus dijadikan asisten pribadi di cafe tersebut, karena Aku selalu mengurus semuanya dari rumah. Bukan tanpa alasan aki menyembunyikan itu semua, sebenarnya itu adalah permintaan terakhir orang tuaku, entah kenapa mendengar aku akan menikah dengan Mas Abian membuat hati orang tuaku tidak karuan, seperti akan terjadi sesuatu terhadapku, dan semua itu sudah disampaikan sebelum aku melangsungkan ijab kabul. Almarhum kedua orang tuaku tidak setuju dengan hubungan kami berdua, terutama Almarhumah ibuku, apalagi semenjak mengetahui siapa ibunya Mas Abian, Almarhumah ibuku semakin tidak setuju. Namun melihat aku yang tetap kekeh mempertahankan cinta kami, terpaksa orang tuaku merestui hubungan kami berdua. Ah, mengingat itu aku sungguh merasa bersalah. Cafe Permata tersebut banyak dikunjungi dari bermacam kalangan, dengan suasana yang didekor dengan nyaman membuat para tamu betah berkunjung, bukan hanya orang berkelas saja yang datang. Bahkan Cafe tersebut banyak didatangi oleh remaja dan anak kuliahan, karena suasana ruangan di cafe itu bermacam-macam, dari suasana anak remaja sampai dewasa. Bukan hanya itu saja, harga makanan di sana mulai dari harga terjangkau dan yang termahal. “Lina, bagaimana dengan perkembangan cafe sekarang?” tanyaku pada Lina asisten pribadiku dari aku masa kuliah dulu, yang mana kami sudah berada di ruangan khusus milikku. “Pendapatan semakin meningkat, apalagi dengan adanya menu baru yang kemarin Ibu Areta rekomendasikan,” kata Lina penuh hormat, “seperti biasa semua pelanggan merasa puas dengan pelayanan dan menu cafe disini.” Aku hanya mengangguk saja, aku bersyukur mengikuti keinginan terakhir Almarhum Ayah dan Ibu, yaitu tidak memberitahukan tentang bisnis yang aku kelola sendiri sejak masih remaja. Kami pun melanjutkan pembahasan mengenai perkembangan cafe tersebut. Sedangkan diluar cafe seorang wanita hamil dan wanita paruh baya baru saja tiba, “Diana! jangan terlalu cepat jalannya, kehamilanmu harus dijaga, itu cucuku.” Wanita yang dipanggil Diana itu memutar bola matanya, malas mendengar ocehan yang selalu saja dia dengar jika bertemu dengan wanita paruh baya ini. “Baiklah, kalau begitu. Satu lagi, kalau kita lagi berdua begini, jangan panggil gue terlalu formal, lo itu sahabat gue, Lina,” ucapku padanya. Kebiasaan sekali, setiap bertemu pasti dia memanggilku dengan sebutan ‘Ibu Areta’, menyebalkan sekali bukan? “Di luar pekerjaan, deh. Serius,” ucapnya padaku sembari mengangkat kedua jarinya, dan aku hanya mengangguk saja. “Ya, udah. Gue pulang dulu, lo jangan maksain diri untuk bekerja,” ucapku padanya, “ingat, ada Tante dirumah gak ada yang jaga.” “Iya, iya, Bos gue paling cantik dan baik hati,” ucap Lina menggodaku Aku melangkah keluar, tetapi netraku menangkap seorang wanita hamil yang aku lihat di rumah sakit tadi pagi, siapa lagi kalau bukan maduku sendiri. Namun yang membuatku heran dia bersama wanita paruh baya, yang mana baju yang digunakan tak asing bagiku, tetapi siapa? Sayangnya wanita paruh baya itu duduk membelakangi diriku. Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Jangan lupa, like, subcribe dan komentar 🤗Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Aku diam mematung, tubuhku terasa kaku untuk digerakkan. Entahlah, bahkan bibirku terasa kelu untuk bicara. Ternyata wanita paruh baya itu adalah ibu mertuaku, wajahnya terlalu jelas saat dirinya membalik badan untuk memanggil pelayan cafe ini, sedangkan pelanggan yang baru masuk itu adalah suamiku. Kenapa? Kenapa ibu mertuaku bersama dengan Mas Abian dan Wanita hamil itu? Berbagai macam pertanyaan merajalela dalam pikiranku. Aku mencoba menahan air mata yang sudah mengembun. Pikiranku berkelana disaat Almarhum Ayah dan Bunda tidak merestui hubungan kami. Apakah ini teguran dari Sang Maha Kuasa, karena aku tidak mendengar ucapan orang tua. Aku bingung harus melakukan apa. Apakah ibu mertuaku yang selama ini aku anggap sebagai pengganti Almarhumah Bunda ternyata mengetahui tentang perselingkuhan suamiku? Jika memang benar dia m
Ibu Ida yang tetap memperhatikan cermin di depannya tiba-tiba saja tersenyum smirk saat melihat siapa yang ada di dalam cafe itu juga. “Ini baru permulaan, Areta,” gumam Ibu Ida.Abian yang tidak jelas mendengar gumaman ibunya langsung saja menatap dan bertanya padanya, “Ibu bicara apa?”Ibu Ida hanya menggeleng dan berkata, “Ibu tidak bicara apa-apa,”“Cobalah kamu hubungi Istrimu, apakah dia baik-baik saja di rumah sendiri,” pinta Ibu Ida pada Abian. “Dia sudah besar, Bu. Untuk apa Mas Abian menghubungi istrinya yang pertama,” keluh Diana dengan wajah kesalnya. Dia gak suka melihat Abian terlalu dekat dengan istri pertamanya itu. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Abian melupakan Areta. Diana sudah lama mengejar Abian sejak masa kuliah dulu, tetapi Abian tidak sedikitpun melirik dirinya. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan Abian, Diana tidak menyia-nyiakan semuanya. Bahkan saat ini semua milik Abian menjadi miliknya, bahkan tubuh laki-laki yang dari dulu dia idam-idamkan i
Seperti yang ibunya bilang, lambat laun Areta pasti akan mengetahuinya. Bagaimanapun dia menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Namun disisi lain, ia tidak ingin kehilangan Areta juga. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan tangannya dibalik dinding ruang keluarga tersebut.Dia terus berdiri mendengarkan apa yang Ibu Ida bicarakan bersama Abian. Bahkan rencana yang mereka berdua rencanakan, didengar olehnya..“Sungguh setiap orang di keluarga ini memiliki topeng tersendiri,” gumam seseorang yang ada di balik tembok tersebut. “Kamu tidak ingin menceraikan Areta?” tanya Ibu Ida pada putranya. Abian yang mendengar itu tentu saja terkejut. Bukankah ibunya ini sangat menyayangi Areta istrinya? Lalu kenapa ibunya seperti ini? Abian tidak mungkin melepaskan wanita yang sangat sulit didapatkan dari dulu. Tidak ingin berburuk sangka, Abian langsung saja bertanya pada ibunya, “Kenapa Ibu bicara begitu? Tidak mungkin aku menceraikan Areta, dia adalah istri yang se
Tidak lama Ida mengambil kunci cadangan kamar diujung barat, setelah sampai di depan kamar tersebut, ia membuka gagang pintu kamar itu, dan tampaklah seorang gadis berusia sekitar 23 tahun menatap takut dirinya.“I-Ibu …,” ucap Gadis 23 tahun itu dengan gugup. Ida terus melangkah mendekati gadis itu, kemudian dia berkata dengan tatapan tajamnya, “Apa yang kamu lakukan di balik dinding itu?”Sedangkan gadis yang sedang duduk di kursi belajarnya tiba-tiba saja bangun dan melangkah mundur dengan kaki bergetar saat wanita yang dipanggil Ibu itu mendekatinya.“Jangan takut, Sayang,” ucap Ida pada gadis tersebut, “kemarilah, Aku ini ibumu, Nak.”Gadis itu hanya menggeleng dengan kaki yang tetap melangkah mundur.“Ini Ibu, Sayang. Bukan malaikat mautmu,” ucap Ida dengan senyum smirknya, bahkah dengan suara yang lemah lembut Ida ucapkan pada gadis itu, tetapi tidak bagi gadis tersebut. Bahkan suara lembut ibunya seperti maut yang akan mencabut nyawanya. Kakinya bergetar, dia ingin berlari, t
Ida menerima panggilan tersebut, kemudian dia berbicara pada orang yang ada di seberang sana, “Besok pagi kita akan membuat pertunjukkan baru di rumah ini.” Ida mematikan sambungan telponnya, lalu ia melirik ke arah di mana Siska masih meringis menahan sakit pada pahanya.“Sayang sekali, kamu tidak dapat menonton pertunjukkan yang akan aku buat besok pagi. Tidurlah, besok aku panggilkan dokter pribadiku untukmu. Kurang baik apa ibumu ini, hmm,” ucap Ida mengejek pada Siska. Ida pun melangkah keluar dari kamar anak tirinya itu. Melihat ibu tirinya pergi, Siska berusaha bangun sembari meringis menahan sakit, tidak lama setelah sekian kali mencoba, akhirnya dia bisa bangun dan jalan tertatih menuju laci yang mana selalu dia sediakan obat, karena bukan hanya satu kali ini saja dia disiksa oleh ibu tirinya itu. Semenjak kejadian lima tahun lalu, dia sudah mulai merasakan rasa sakit yang selalu diberi oleh ibunya tanpa sepengetahuan Abian dan Ririn, tetapi ini pertama kali dia diberikan
“Rahasia tentang kematian mama kamu, Abian Pratama,” ucap Ida sedikit keras.Dia sengaja bicara sedikit keras agar didengar oleh seseorang yang mendekat ke arah ruang keluarga tersebut. Benar saja, suara langkah kaki itu langsung saja berhenti. Ida melirik sekilas dengan ekor matanya, di sana ada bayangan yang seperti sedang menguping pembicaraan mereka berdua. Tentu saja itu membuat Ibu Tiri dari Abian Pratama tersenyum tipis, sangat tipis, bahkan saking tipisnya Abian tidak menyadari senyum tipis ibu tirinya itu. Abian diam membisu, masih belum bisa mengeluarkan kata yang akan dia bilang pada Ida. Pikirannya berkecamuk, apakah kematian almarhum mamanya dalam keadaan tidak wajar?“Apakah kamu masih mengingat bagaimana kematian almarhum mamamu?” tanya Ida pada Abian.“Bukankah Almarhum Mama meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, Bu,” ucap Abian.Ida tersenyum pahit sembari menggeleng, dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi, bahkan itu dilakukan berulang-ulang kali. Air
Orang yang ada dibalik tembok itu melangkah mendekati Abian dan Ida, lalu dia berkata, “Aku juga akan membantu untuk membalaskan dendam itu.”“Kamu …,” ucapan Abian dan ibunya secara bersamaan“Ya, ini aku. Kenapa hanya Kak Abian saja yang Ibu beritahu rahasia sebesar ini? Kalau tau begitu, aku sudah lama tidak menyukai keluarga seorang pembunuh itu,” ucapnya, bahkan kepalan tangannya dengan kabut amarah yang membara menguasai dirinya.“Jadi, kamu juga ingin membantu Ibu, Ririn?” tanya Ida pada anak perempuannya itu.“Tentu Ibu, aku pasti membantu Ibu membalaskan dendam ku pada keluarga yang telah membuat kami kehilangan sosok Mama dalam hidup kami semua. Sungguh hanya kebencian yang ada di hatiku untuk Kak Areta,” ucap Ririn.Yah, target yang diincar Ida agar mendengar semuanya adalah Ririn Pratama, merupakan adik pertama dari Abian Pratama bahkan umurnya sudah masuk umur 25 tahun. ‘Kena kamu. Gampang sekali membuat kalian membenci Areta sialan itu,’ batin Ida bersorak senang.Ida
“Maksud aku, kenapa Ibu ada di rumah? Bukankah kemarin Ibu berkata akan pergi arisan ke luar kota untuk beberapa hari saja, ya?” tanyaku padanya.Aku melihat wajah ibuku mertuaku berubah pucat, dia hanya diam membisu, apakah dia memang mengetahui kalau…Ah, rasanya aku tidak bisa memprediksi apapun tentang mertuaku ini. Di sisi lain dia seperti terlibat, tetapi melihat sikapnya yang begitu menyayangiku tidak mungkin dia akan terlibat. Tidak lama wajah pucatnya kembali seperti biasa, senyum hangatnya selalu ditampakkan pada setiap orang.“Oh, itu. Ibu gak jadi pergi, ibu khawatir sama kamu yang setiap hari harus sendiri dirumah,” ucapnya padaku, “ayo, nanti kamu telat, Keyra pasti sedang menunggu kamu, Areta.”Aku menepuk jidat, kenapa sampai melupakan anak dan suamiku yang akan pergi sekolah dan ke kantor, hanya gara-gara melihat perubahan wajah ibu mertuaku, aku sampai melupakan mereka berdua.“Astaga, Areta lupa, Bu,” ucapku panik, “kalau begitu Areta ke kamar Keyra dulu.”Aku ber