Share

Bab 7

“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”

Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. 

“Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil.

Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. 

Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencari muka pada keluarganya terutama dirinya sendiri

Cakra merupakan seorang duda, dia belum memiliki anak dari mantan istrinya itu. Semenjak penghianatan yang dilakukan mantan istrinya waktu itu, membuat dia tidak ingin melirik wanita manapun. Namun entah kenapa, hatinya bergerak ingin mengetahui lebih dalam lagi wanita yang dia lihat sedang menangis di taman rumah sakit itu. Siapa lagi kalau bukan Areta Permata Sari 

Bram yang diperintahkan oleh Cakra terkejut dengan mulut terbuka nya, bagaimana tidak, seorang Cakra yang dia kenal dingin dan tak tersentuh oleh satu wanita pun, bahkan dia akan sangat marah apabila ada wanita yang mendekati dirinya.

“Tutup mulut lo itu,” kata Cakra sembari tangannya menampar pipi Bram.

“Astaga, apakah gue gak salah dengar? Seorang Cakra yang terkenal dingin dan tidak tersentuh oleh wanita manapun ingin mencari tau tentang seorang wanita tadi?” cecar Bram menggoda sahabatnya itu, “sepertinya,  CEO duda ini akan memulai perjalan cinta barunya, benarkah begitu?”

Cakra mendengkus pelan, sepertinya dia salah meminta bantuan pada sahabatnya ini, yang mana ujung-ujungnya dia akan digoda tentang wanita,“Bicara apa sih, Lo. Gue hanya nyuruh Lo untuk mencari tau tentang wanita tadi, bukan menyukai dirinya,” 

“Ya, ya, ya, awal hanya mencari tau saja,” kata Bram tambah menggoda, “lama-lama tumbuh menjadi cinta, hahaha.”

Cakra hanya mendengkus lalu meninggalkan Bram begitu saja. Bram yang melihat dirinya ditinggal hanya bisa berdecak kesal, “Ckk, ditinggalkan, gue. Kebiasaan tuh, kalau bukan sahabat dan Bos gue, udah gue bejek-bejek itu si Cakra.”

Bram berlari mengejar langkah Cakra.

“Cakra, lo, gak jadi ke Tante Desi?” tanya Bram setelah menyamai langkah Cakra.

Cakra hanya tersenyum penuh makna, “Gak, besok aja gue kesana. Ingat tugas Lo itu, jangan kelamaan kasih gue informasi tantang wanita itu,”

“Ya, ya, ya, Lo, tenang saja.”

Aku yang baru pulang dari rumah sakit langsung menuju cafe milikku. Tanpa sepengetahuan suamiku dan keluarganya, Aku memiliki usaha pribadi, yaitu ‘Cafe Permata’ dan ‘Butik Permata’ yang memang terkenal di Jakarta.

Bukan hanya suamiku dan mertuanya yang tidak tahu menahu tentang Cafe dan Butik tersebut, tetapi bahkan para sahabatku tidak ada yang tau, kecuali sahabatku Lina yang sekaligus dijadikan asisten pribadi di cafe tersebut, karena Aku selalu mengurus semuanya dari rumah.

Bukan tanpa alasan aki menyembunyikan itu semua, sebenarnya itu adalah permintaan terakhir orang tuaku, entah kenapa mendengar aku akan menikah dengan Mas Abian membuat hati orang tuaku tidak karuan, seperti akan terjadi sesuatu terhadapku, dan semua itu sudah disampaikan sebelum aku melangsungkan ijab kabul.

Almarhum kedua orang tuaku tidak setuju dengan hubungan kami berdua, terutama Almarhumah ibuku, apalagi semenjak mengetahui siapa ibunya Mas Abian, Almarhumah ibuku semakin tidak setuju. 

Namun melihat aku yang tetap kekeh mempertahankan cinta kami, terpaksa orang tuaku merestui hubungan kami berdua. Ah, mengingat itu aku sungguh merasa bersalah.

 

Cafe Permata tersebut banyak dikunjungi dari bermacam kalangan, dengan suasana yang didekor dengan nyaman membuat para tamu betah berkunjung, bukan hanya orang berkelas saja yang datang. 

Bahkan Cafe tersebut banyak didatangi oleh remaja dan anak kuliahan, karena suasana ruangan di cafe itu bermacam-macam, dari suasana anak remaja sampai dewasa. Bukan hanya itu saja, harga makanan di sana mulai dari harga terjangkau dan yang termahal. 

“Lina, bagaimana dengan perkembangan cafe sekarang?” tanyaku pada Lina asisten pribadiku dari aku masa kuliah dulu, yang mana kami sudah berada di ruangan khusus milikku.

“Pendapatan semakin meningkat, apalagi dengan adanya menu baru yang kemarin Ibu Areta rekomendasikan,” kata Lina penuh hormat, “seperti biasa semua pelanggan merasa puas dengan pelayanan dan menu cafe disini.” 

Aku hanya mengangguk saja, aku bersyukur mengikuti keinginan terakhir Almarhum Ayah dan Ibu, yaitu tidak memberitahukan tentang bisnis yang aku kelola sendiri sejak masih remaja. Kami pun melanjutkan pembahasan mengenai perkembangan cafe tersebut. 

Sedangkan diluar cafe seorang wanita hamil dan wanita paruh baya baru saja tiba, “Diana! jangan terlalu cepat jalannya, kehamilanmu harus dijaga, itu cucuku.”

Wanita yang dipanggil Diana itu memutar bola matanya, malas mendengar ocehan yang selalu saja dia dengar jika bertemu dengan wanita paruh baya ini. 

“Baiklah, kalau begitu. Satu lagi, kalau kita lagi berdua begini, jangan panggil gue terlalu formal, lo itu sahabat gue, Lina,” ucapku padanya. Kebiasaan sekali, setiap bertemu pasti dia memanggilku dengan sebutan ‘Ibu Areta’, menyebalkan sekali bukan?

“Di luar pekerjaan, deh. Serius,” ucapnya padaku sembari mengangkat kedua jarinya, dan aku hanya mengangguk saja. 

“Ya, udah. Gue pulang dulu, lo jangan maksain diri untuk bekerja,” ucapku padanya, “ingat, ada Tante dirumah gak ada yang jaga.”

“Iya, iya, Bos gue paling cantik dan baik hati,” ucap Lina menggodaku

Aku melangkah keluar, tetapi netraku  menangkap seorang wanita hamil yang aku lihat di rumah sakit tadi pagi, siapa lagi kalau bukan maduku sendiri. Namun yang membuatku heran dia bersama wanita paruh baya, yang mana baju yang digunakan tak asing bagiku, tetapi siapa? Sayangnya wanita paruh baya itu duduk membelakangi diriku.

Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? 

Jangan lupa, like, subcribe dan komentar 🤗

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status