Tidak lama Ida mengambil kunci cadangan kamar diujung barat, setelah sampai di depan kamar tersebut, ia membuka gagang pintu kamar itu, dan tampaklah seorang gadis berusia sekitar 23 tahun menatap takut dirinya.“I-Ibu …,” ucap Gadis 23 tahun itu dengan gugup. Ida terus melangkah mendekati gadis itu, kemudian dia berkata dengan tatapan tajamnya, “Apa yang kamu lakukan di balik dinding itu?”Sedangkan gadis yang sedang duduk di kursi belajarnya tiba-tiba saja bangun dan melangkah mundur dengan kaki bergetar saat wanita yang dipanggil Ibu itu mendekatinya.“Jangan takut, Sayang,” ucap Ida pada gadis tersebut, “kemarilah, Aku ini ibumu, Nak.”Gadis itu hanya menggeleng dengan kaki yang tetap melangkah mundur.“Ini Ibu, Sayang. Bukan malaikat mautmu,” ucap Ida dengan senyum smirknya, bahkah dengan suara yang lemah lembut Ida ucapkan pada gadis itu, tetapi tidak bagi gadis tersebut. Bahkan suara lembut ibunya seperti maut yang akan mencabut nyawanya. Kakinya bergetar, dia ingin berlari, t
Ida menerima panggilan tersebut, kemudian dia berbicara pada orang yang ada di seberang sana, “Besok pagi kita akan membuat pertunjukkan baru di rumah ini.” Ida mematikan sambungan telponnya, lalu ia melirik ke arah di mana Siska masih meringis menahan sakit pada pahanya.“Sayang sekali, kamu tidak dapat menonton pertunjukkan yang akan aku buat besok pagi. Tidurlah, besok aku panggilkan dokter pribadiku untukmu. Kurang baik apa ibumu ini, hmm,” ucap Ida mengejek pada Siska. Ida pun melangkah keluar dari kamar anak tirinya itu. Melihat ibu tirinya pergi, Siska berusaha bangun sembari meringis menahan sakit, tidak lama setelah sekian kali mencoba, akhirnya dia bisa bangun dan jalan tertatih menuju laci yang mana selalu dia sediakan obat, karena bukan hanya satu kali ini saja dia disiksa oleh ibu tirinya itu. Semenjak kejadian lima tahun lalu, dia sudah mulai merasakan rasa sakit yang selalu diberi oleh ibunya tanpa sepengetahuan Abian dan Ririn, tetapi ini pertama kali dia diberikan
“Rahasia tentang kematian mama kamu, Abian Pratama,” ucap Ida sedikit keras.Dia sengaja bicara sedikit keras agar didengar oleh seseorang yang mendekat ke arah ruang keluarga tersebut. Benar saja, suara langkah kaki itu langsung saja berhenti. Ida melirik sekilas dengan ekor matanya, di sana ada bayangan yang seperti sedang menguping pembicaraan mereka berdua. Tentu saja itu membuat Ibu Tiri dari Abian Pratama tersenyum tipis, sangat tipis, bahkan saking tipisnya Abian tidak menyadari senyum tipis ibu tirinya itu. Abian diam membisu, masih belum bisa mengeluarkan kata yang akan dia bilang pada Ida. Pikirannya berkecamuk, apakah kematian almarhum mamanya dalam keadaan tidak wajar?“Apakah kamu masih mengingat bagaimana kematian almarhum mamamu?” tanya Ida pada Abian.“Bukankah Almarhum Mama meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, Bu,” ucap Abian.Ida tersenyum pahit sembari menggeleng, dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi, bahkan itu dilakukan berulang-ulang kali. Air
Orang yang ada dibalik tembok itu melangkah mendekati Abian dan Ida, lalu dia berkata, “Aku juga akan membantu untuk membalaskan dendam itu.”“Kamu …,” ucapan Abian dan ibunya secara bersamaan“Ya, ini aku. Kenapa hanya Kak Abian saja yang Ibu beritahu rahasia sebesar ini? Kalau tau begitu, aku sudah lama tidak menyukai keluarga seorang pembunuh itu,” ucapnya, bahkan kepalan tangannya dengan kabut amarah yang membara menguasai dirinya.“Jadi, kamu juga ingin membantu Ibu, Ririn?” tanya Ida pada anak perempuannya itu.“Tentu Ibu, aku pasti membantu Ibu membalaskan dendam ku pada keluarga yang telah membuat kami kehilangan sosok Mama dalam hidup kami semua. Sungguh hanya kebencian yang ada di hatiku untuk Kak Areta,” ucap Ririn.Yah, target yang diincar Ida agar mendengar semuanya adalah Ririn Pratama, merupakan adik pertama dari Abian Pratama bahkan umurnya sudah masuk umur 25 tahun. ‘Kena kamu. Gampang sekali membuat kalian membenci Areta sialan itu,’ batin Ida bersorak senang.Ida
“Maksud aku, kenapa Ibu ada di rumah? Bukankah kemarin Ibu berkata akan pergi arisan ke luar kota untuk beberapa hari saja, ya?” tanyaku padanya.Aku melihat wajah ibuku mertuaku berubah pucat, dia hanya diam membisu, apakah dia memang mengetahui kalau…Ah, rasanya aku tidak bisa memprediksi apapun tentang mertuaku ini. Di sisi lain dia seperti terlibat, tetapi melihat sikapnya yang begitu menyayangiku tidak mungkin dia akan terlibat. Tidak lama wajah pucatnya kembali seperti biasa, senyum hangatnya selalu ditampakkan pada setiap orang.“Oh, itu. Ibu gak jadi pergi, ibu khawatir sama kamu yang setiap hari harus sendiri dirumah,” ucapnya padaku, “ayo, nanti kamu telat, Keyra pasti sedang menunggu kamu, Areta.”Aku menepuk jidat, kenapa sampai melupakan anak dan suamiku yang akan pergi sekolah dan ke kantor, hanya gara-gara melihat perubahan wajah ibu mertuaku, aku sampai melupakan mereka berdua.“Astaga, Areta lupa, Bu,” ucapku panik, “kalau begitu Areta ke kamar Keyra dulu.”Aku ber
Ya Allah, kenapa Mas Abian begitu dingin, batinku berkata. Tidak lama saat aku akan menyuapkan nasi ke mulutku, tiba-tiba saja notif pesan masuk dari sahabatku, yang mana dia mengirim sebuah foto. Aku buka pesan itu, saat aku melihat foto tersebut mataku langsung membola melihat foto yang dikirimkannya untukku. Saat aku ingin mematikan layar ponselku, tiba-tiba saja sebuah tangan langsung merampas ponsel milikku dan melihat foto tersebut. Aku menoleh dan ternyata…Astaga, ternyata ibu mertuaku yang merampasnya. aku berharap dia tidak membahas foto itu di sini, masih ada Keyra di hadapan kami, aku terus berdoa dalam hati semoga Ibu tidak membahas foto itu sekarang.“Abian Pratama! apa-apan kamu, apa maksud dari semua ini?” ucap ibu mertuaku dengan nada yang naik satu oktaf, berbeda dari biasanya saat dia berbicara dengan nada yang lemah lembut.Apa yang aku harapkan ternyata tidak terjadi, ibu mertuaku langsung tanpa basa-basi menanyakan foto yang dikirimkan sahabatku itu. Dia bahkan
Saat aku ingin membuka pintu mobil miliknya, tiba-tiba saja dia menarik tangan dan mendekatkan wajahnya padaku, lalu dia berbisik, “Apakah kamu tidak sadar jika sedang di awasi oleh orang yang berpakaian serba hitam?”Aku langsung saja mengedarkan pandangan ke depan, dan benar saja, mataku langsung membola melihat sosok serba hitam yang berada tepat di tempat aku menunggu Sintia tadi.Ya, Allah, ada apa ini? Kenapa banyak sekali misteri dalam hidup ini, atau jangan-jangan…Kepalaku rasanya mau pecah, masalah tentang Mas Abian saja belum aku temukan buktinya. “Mau aku antar pulang?” tawar Pria yang ada di sampingku.“Tidak! Saya bisa sendiri,” tolakku padanya. Enak saja dia bilang ingin mengantarkan aku pulang. “Apakah kamu yakin akan keluar sendiri? aku bahkan melihat dia mengikutimu sejak di lampu merah tadi.” ucapnya, tidak lama dia membuka masker miliknya.Aku terpana melihat ketampanan pria yang ada di depanku ini, wajahnya seperti tidak asing kulihat, tetapi di mana? Ah, dia se
“Baik, gue akan segera tiba di sana.” ucap Pria itu lalu mematikan sambungan telepon miliknya. Tiba-tiba saja Pria itu menatap tajam ke arah depan dan tersenyum smirk.“Kita baru memulai permainan awal,” gumamnya lirih sembari tersenyum yang membuat orang merinding.Dengan kecepatan penuh Pria tersebut melajukan mobil miliknya menuju markas di mana sahabatnya berada. Tiba di sana dia disambut oleh semua teman-temannya, “Cakra, akhirnya sampai juga, Lo.”“Yan, di mana orang itu?” tanya Cakra pada Riyan, “sudah lo siapkan, apa yang gue butuhkan?”Sedangkan Riyan yang ditanya hanya menunjuk dengan dagunya di mana orang tersebut di sekap. Yah, Pria yang menarik tangan Areta saat di taman kota tadi adalah Cakra. Cakra yang akan ke rumah sakit untuk bertemu dengan tantenya yang menjadi Dokter Spesialis Kandungan di tunda olehnya, karena melihat seorang yang sedang memakai pakaian serba hitam sedang mengintip seorang wanita yang menggunakan motor bututnya.Cakra yang awalnya tidak mau ta
“Kau …,” ucap Adimarta yang baru memasuki sel tahanan tersebut langsung saja membeku, dia menatap Pria paruh baya yang ada di depannya ini dengan nyalang, bahkan tangannya mengepal kuat. Sedangkan Pria paruh baya yang duduk di kursi usang dengan tubuh yang di ikat secara keseluruhan hanya tersenyum smirk ke arah Adimarta. “Hay, Adimarta. Kita bertemu lagi,” ucap Pria Paruh baya tersebut yang seumuran dengan dirinya. Bahkan dia menampilkan. Senyum mengejek pada Adimarta. “Prayoga, ternyata lo masih sama seperti dulu. Masih tetap menjadi lelaki bodoh untuk wanita rendahan seperti Ida Sanjaya,” ucap Adimarta yang mencoba menahan emosi agar tetap terkendali. “Jaga bicara lo, Adimarta!” teriak Prayoga yang sudah mulai tersulut emosi, karena wanita yang dia cintai di hina begitu saja. Sedangkan Adimarta yang melihat reaksi Prayoga masih sama seperti dulu membuat dia membuka kepalan tangannya.Adimarta berjalan mendekat, lalu tangannya terulur mencekram dagu Prayoga dengan sekuat tenaga
Sedangkan Cakra yang baru balik dari rumah sakit langsung menuju kediaman Pradipta, yang mana dia sudah ada janji dengan papanya untuk menemui tawanan yang disekap satu minggu yang lalu.Saat sampai di kediaman Adimarta, seperti biasanya Angel langsung bertanya pada putra tunggalnya itu, “Akhirnya, kamu pulang juga Cakra. Bunda begitu khawatir denganmu.”Cakra mendekat dan mencium tangan serta kedua pipi Angel. sedangkan dengan Adimarta cakra mencium tangan papanya saja.“Putra kita akan tetap baik-baik saja, Bunda,” ucap Adimarta memeluk istrinya dari samping.sedangkan Angel yang mendengar suaminya berkata seperti itu membuatnya sedikit kesal, dia pun berkata, “Ya, tetap sajalah, Pa, Bunda khawatir sama Cakra. Apalagi sekarang wanita licik itu sudah berkeliaran kesana kemari. Bunda takut dia berbuat nekat pada Cakra.”Cakra menghembuskan nafas dengan kasar, lalu berkata pada ibunya, “Aku bukan anak kecil lagi, Bunda.”“Tuh, dengar kata putramu, Sayang.” ucap Adimarta membela Cakra.
Sinar di pagi hari membangunkan seorang Pria dengan wajah tampan yang begitu sempurna. Saat membuka mata dia melihat seorang wanita masa kecilnya tidur dengan begitu nyenyak. Siapa lagi kalau bukan Cakra Adimarta yang terus menatap wajah cantik dan manis milik Areta Permata Sari. Gadis yang begitu tangguh dan baik ini masih tetap saja bisa memikat hati Cakra Adimarta. Tangan Cakra terulur mengelus lembut pipi Areta, dia tersenyum saat mengingat ucapan Areta yang akan menggugat cerai suaminya sendiri. Yah, Cakra mendengar semua apa yang Areta bicarakan dengan Lina. Walaupun Areta menghindar darinya. Namun, masih tetap bisa didengar oleh Cakra sendiri. Cakra bangun dari tidurnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya, setelah itu dia keluar membeli sarapan untuk Areta, Keyra dan Siska. Tanpa Cakra sadari, apa yang dia lakukan selalu diperhatikan oleh Siska. Siska tersenyum melihat kakak iparnya ada yang melindungi. Tidak sengaja Siska menoleh ke arah samping tidurnya. Dia terkeju
Aku pun langsung menerima map tersebut dan membacanya. Mataku langsung membola setelah mengetahui isi dari map tersebut. Apa-apaan ini, kenapa aku baru tau semuanya. Kalau…Aku langsung menatap ke arah Mas Cakra, dan berkata, “Apakah informasi ini asli? Dari mana Mas Cakra mendapatkan informasi sepenting ini?” tanyaku tidak sepenuhnya percayaDia hanya menatapku dalam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku Menarik nafas dalam, lalu aku hembuskan dengan kasar dan berkata, “Yang aku tau Bunda tidak memiliki saudara, Mas. Lalu bagaimana bisa aku percaya akan hal ini?”“Justru itu yang harus kita cari tahu, Areta. Aku rasa, ibu mertuamu terlalu banyak menyimpan rahasia,” ucapnya padaku. “Mas, tadi aku mendengar Ibu mengatakan kalau dia menyekap Bunda hanya karena ingin mendapatkan surat wasiat. Namun, sampai sekarang Ibu belum tahu surat wasiat itu di mana. Mungkin sampai sekarang Bunda masih menyimpan surat wasiat itu,” ucapku dengan penuh semangat menceritakan semuanya.Mas Cakra hany
Malam harinya aku masih berada di rumah sakit tepatnya di ruangan Siska. Yang mana ruangan Siska dan Keyra aku jadikan satu, dengan alasan agar aku bisa merawat mereka sekaligus. Tidak lupa juga Pria yang menarik tanganku di taman kota itu selalu menemaniku. Aku heran, kenapa dia selalu ada di waktu yang tepat, bahkan dia dan sahabatnya yang menyelamatkan putriku sendiri. Sungguh aku sangat berhutang budi padanya. Bukan hanya itu, ternyata sopir taksi yang aku tumpangi itu juga merupakan sahabatnya. Apakah ini memang disengaja atau hanya kebetulan saja.Aku duduk di sofa yang ada di ruangan itu, melihat putriku dan juga Siska yang sudah terlelap menuju alam mimpi. Yang aku syukuri mereka tidak menggunakan benda tajam untuk melukai putriku, sedangkan Siska, aku tidak menyangka mertuaku memberikan beberapa sayatan pada tubuhnya. Bagaimana dia bisa bertahan untuk menahan rasa sakit di tubuhnya, belum lagi ditambah racun yang diberikan ibu mertuaku untuknya. Sungguh mereka tidak bisa d
Sedangkan di kediaman Pratama tepatnya di ruang keluarga, Ida yang gagal mengejar Areta mengamuk di rumah tersebut. Kemarahan yang sejak tadi ditahan dia luapkan sepuasnya di kediaman Pratama. Semua barang habis berserakan, begitupun dengan barang pecah belah yang sudah hancur lebur.“Aaakh, Sialan kamu, Areta!” teriak Ida, “akan ku bunuh kalian semua, sedikit lagi aku akan mendapatkan harta keluarga Sanjaya, kenapa harus sekarang Areta tahu keadaan Siska, Aaakh!”“Aku akan menghabiskan mu tanpa harus menggunakan tanganku sendiri,” ucap Ida lagi.Tangannya terulur mengambil ponsel yang ada di tas bahu miliknya, tidak lama dia mengetik sebuah nama yang bisa membantunya untuk membalas apa yang sudah direncanakan oleh mereka, lalu dia menekan tombol hijau untuk menghubungi orang tersebut.“Areta sudah pergi membawa Siska, jangan sampai anak sialan itu menceritakan semuanya pada Areta. Kalau sampai itu terjadi, gagal sudah rencana kita. Cari tahu di mana Areta membawa Siska, jika sudah ke
“Berhenti, Areta!” teriak seseorang mengejutkanku.Aku langsung menoleh ke arah sumber suara, mataku langsung saja membola.Kenapa ibu mertuaku melihat kami? Aku bergegas masuk ke dalam taksi. “Cepat, Pak, Cepat!” pintaku pada sopir taksi itu, “jangan sampai dia mengejar kami, Pak. Dia ingin membunuh adik saya!”“Baik, Nona,” kata sopir taksi itu. Syukurlah dia mengikuti permintaanku. Aku melihat ke arah belakang, ternyata mobil ibu mertuaku mengejar kami, ada rasa takut dalam hatiku. Jujur saja, dari hasil CCTV yang aku pindahkan ke flashdisk tadi, membuatku merinding melihat kekejaman ibu mertuaku.Dia menyiksa Siska seperti seekor binatang. Walaupun Siska hanya anak sambung, tetapi tidak sepantasnya Ibu memperlakukannya seperti itu. Aku terus melihat ke belakang, mobil ibu mertuaku ternyata masih mengejar taksi yang kami tumpangi.“Kamu tenang, ya, Dek. Jangan khawatir. Apapun yang akan terjadi Kakak akan tetap melindungimu,” ucapku menenangkannya, walaupun sebenarnya aku juga le
Dia hanya menggeleng, dia terus memperhatikan wajahku, tidak lama dia pun berkata, “Kak, cepatlah pergi dari rumah ini, bawa Keyra jauh dari sini. Kalau Kakak tidak pergi. Bisa-bisa …,”Dia menghentikan ucapannya dan melirik ke arah pintu kamar miliknya yang terbuka. Mungkin saja dia takut kalau ibu mertuaku datang secara tiba-tiba. Aku melihat tubuhnya gemetar hebat. Ya Allah, apakah mentalnya baik-baik saja? Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku pada gadis manis yang selalu ceria ini. Aku melihat ada ketakutan pada dirinya, tubuhnya yang lebih kurus, bahkan tulang belulangnya sangat jelas terlihat. Tidak mungkin seseorang hanya sakit biasa selama satu Minggu bisa mengubah perubahan badan begitu drastis seperti Siska saat ini. Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku padanya. Apakah Mas Abian mengetahui semua ini? Sepertinya dia tidak mengetahui keadaan adiknya sendiri.“Ceritakan semuanya sama Kakak, Siska. Apa yang Ibu lakukan padamu?” tanyaku padanya, “kenapa badanmu begitu kurus s
Sepulang dari pertemuanku dengan Sintia tadi, aku bergegas menancapkan motor butut itu menuju rumah kediaman suamiku.Disetiap jalan butiran bening itu terus saja mengalir tanpa diminta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya putriku saat ini.Yah, Sintia benar aku harus memberitahukan Mas Abian kalau Keyra diculik. Tidak mungkin juga dia yang menculik anak kandungnya sendiri.Sampai di rumah, aku memanggil suamiku. Namun tidak ada jawaban yang aku dapatkan. Mungkin semuanya sudah bubar setelah makan bersama istri baru suamiku itu. Saat aku ingin berlari menuju kamar tiba-tiba langkahku terhenti mendengar suara tawa yang menggelegar. Aku mencoba sembunyi di bawah tangga. Tawa itu semakin jelas kudengar. Bahkan suara kaki yang menuruni tangga sangat jelas aku dengar juga. Tidak lama orang tersebut bicara, itu seperti suara ibu mertuaku. Yah, suara itu memang milik ibu mertuaku.“Sekap saja anak kecil itu, bahkan Abian sebagai ayahnya saja setuju untuk menculik anaknya sendiri,”