Ya Allah, kenapa Mas Abian begitu dingin, batinku berkata. Tidak lama saat aku akan menyuapkan nasi ke mulutku, tiba-tiba saja notif pesan masuk dari sahabatku, yang mana dia mengirim sebuah foto. Aku buka pesan itu, saat aku melihat foto tersebut mataku langsung membola melihat foto yang dikirimkannya untukku. Saat aku ingin mematikan layar ponselku, tiba-tiba saja sebuah tangan langsung merampas ponsel milikku dan melihat foto tersebut. Aku menoleh dan ternyata…Astaga, ternyata ibu mertuaku yang merampasnya. aku berharap dia tidak membahas foto itu di sini, masih ada Keyra di hadapan kami, aku terus berdoa dalam hati semoga Ibu tidak membahas foto itu sekarang.“Abian Pratama! apa-apan kamu, apa maksud dari semua ini?” ucap ibu mertuaku dengan nada yang naik satu oktaf, berbeda dari biasanya saat dia berbicara dengan nada yang lemah lembut.Apa yang aku harapkan ternyata tidak terjadi, ibu mertuaku langsung tanpa basa-basi menanyakan foto yang dikirimkan sahabatku itu. Dia bahkan
Saat aku ingin membuka pintu mobil miliknya, tiba-tiba saja dia menarik tangan dan mendekatkan wajahnya padaku, lalu dia berbisik, “Apakah kamu tidak sadar jika sedang di awasi oleh orang yang berpakaian serba hitam?”Aku langsung saja mengedarkan pandangan ke depan, dan benar saja, mataku langsung membola melihat sosok serba hitam yang berada tepat di tempat aku menunggu Sintia tadi.Ya, Allah, ada apa ini? Kenapa banyak sekali misteri dalam hidup ini, atau jangan-jangan…Kepalaku rasanya mau pecah, masalah tentang Mas Abian saja belum aku temukan buktinya. “Mau aku antar pulang?” tawar Pria yang ada di sampingku.“Tidak! Saya bisa sendiri,” tolakku padanya. Enak saja dia bilang ingin mengantarkan aku pulang. “Apakah kamu yakin akan keluar sendiri? aku bahkan melihat dia mengikutimu sejak di lampu merah tadi.” ucapnya, tidak lama dia membuka masker miliknya.Aku terpana melihat ketampanan pria yang ada di depanku ini, wajahnya seperti tidak asing kulihat, tetapi di mana? Ah, dia se
“Baik, gue akan segera tiba di sana.” ucap Pria itu lalu mematikan sambungan telepon miliknya. Tiba-tiba saja Pria itu menatap tajam ke arah depan dan tersenyum smirk.“Kita baru memulai permainan awal,” gumamnya lirih sembari tersenyum yang membuat orang merinding.Dengan kecepatan penuh Pria tersebut melajukan mobil miliknya menuju markas di mana sahabatnya berada. Tiba di sana dia disambut oleh semua teman-temannya, “Cakra, akhirnya sampai juga, Lo.”“Yan, di mana orang itu?” tanya Cakra pada Riyan, “sudah lo siapkan, apa yang gue butuhkan?”Sedangkan Riyan yang ditanya hanya menunjuk dengan dagunya di mana orang tersebut di sekap. Yah, Pria yang menarik tangan Areta saat di taman kota tadi adalah Cakra. Cakra yang akan ke rumah sakit untuk bertemu dengan tantenya yang menjadi Dokter Spesialis Kandungan di tunda olehnya, karena melihat seorang yang sedang memakai pakaian serba hitam sedang mengintip seorang wanita yang menggunakan motor bututnya.Cakra yang awalnya tidak mau ta
“Di keluarga Pratama saja dia belum menyadari semuanya, apalagi tentang kematian kedua orang tuanya,” ucap Farel dengan senyum smirknya, sedangkan Ida hanya tersenyum sambil mengangkat kedua bahunya.Tanpa mereka sadari, seseorang telah mendengar apa yang mereka ucapkan.Aku yang baru saja naik tiga tangga menghentikan langkahku, lalu berbalik lagi karena ada makanan kesukaan Siska yang kubelikan di jalan tadi untuknya. aku tidak sengaja mendengar dokter tersebut dan mengatakan tentang keluarga suamiku serta kematian seseorang. dari pada penasaran aku pun bertanya pada mereka berdua. Yah, siapa lagi kalau bukan ibu mertuaku dan Dokter yang ada di sampingnya itu. “Siapa yang belum menyadarinya, Ibu? Dan kematian siapa yang Pak Dokter maksud?” tanyaku pada mereka berdua.Aku melihat mereka langsung menoleh ke arahku dengan cepat, bahkan wajah mereka mendadak pucat. Aku mengernyit, mereka seperti melihat hantu saja, pikirku.“Kapan kamu ada di belakang kami, Areta?” tanya ibu dengan tat
Saat aku memikirkan hal itu, satu notif pesan masuk dalam ponselku. Tanganku terulur membuka pesan tersebut yang entah siapa pengirimnya, mataku langsung terbuka lebar saat melihat sebuah foto yang dikirim padaku.Satu Minggu telah berlalu, aku mencari tau semua tentang orang tuaku, tapi sayang tidak ada informasi yang aku dapatkan tentang kematian orang tua kandungku. Apalagi CCTV di rumah Ayah dan Bunda sama sekali tidak ada.Selama satu Minggu itu juga pintu kamar Siska selalu terkunci, hal itu yang membuat aku semakin tidak tenang.Bahkan, saat aku mengatakan semuanya pada suamiku. Dia hanya merespon biasa saja, tidak ada rasa khawatir ataupun sebagainya. Dia selalu berkata, ‘Bukannya kamu sudah sering melihat Siska sakit dia tidak pernah membuka pintunya.’ Suamiku selalu berkata seperti itu. Aku akui itu memang benar adanya, tetapi Siska tidak pernah sakit selama satu Minggu seperti ini. Biasanya dia sakit hanya satu hari lalu besoknya keluar kamar.Namun ini berbeda, dia sakit
Mereka yang kusayang, mereka yang kubela ternyata menusuk dari belakang.“Akan ku balas rasa sakit ini, Mas. Begitu juga dengan perlakuan manipulatif keluargamu,” ucapku dengan tangan yang mengepal. Aku janji akan membalas semuanya, aku tidak akan menunjukkan kelemahanku di depan dirimu dan keluargamu, Mas. Ibu yang aku anggap tulus menyayangiku, bahkan dia seperti ibu kandungku. Kelembutannya mengobati rinduku pada Bunda yang telah pergi. Namun, aku benar-benar tidak menyangka, di balik semua itu hanyalah kebohongan yang selama ini disembunyikannya.Bahkan lebih menyakitkannya lagi, di balik pernikahan suamiku atas campur tangan ibu mertuaku, pantas saja mereka tidak pernah membahas lagi tentang foto pernikahan Mas Abian saat sarapan pagi satu Minggu yang lalu. Bahkan Ririn saja terlihat cuek dan tidak peduli.Jika mereka memainkan peran yang bagus selama ini, maka aku juga akan memainkan peranku sendiri. Jika mereka berkata hari ini adalah awal kehancuranku, maka hari ini juga awa
Yah, itu yang harus aku lakukan untuk saat ini. Sebelum ibu mertuaku menyadari kalau kuncinya telah aku ambil secara diam-diam. Kalau sampai dia tau, bisa-bisa aku…Ah, aku tidak bisa membayangkan jika ibu mengetahui bahwa aku yang mengambil kunci ini. Syukurlah aku sudah bersih-bersih setelah masak tadi, jadi aku bisa langsung pergi dari rumah secepatnya.Aku menghabiskan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di ruko pembuatan kunci. Yah, aku ingin membuat kunci duplikat kamar Siska, entah kenapa aku selalu memikirkan keadaanya. Aku heran kenapa ibu mertuaku selalu bilang kalau Siska tidak mau diganggu.Tidak mungkin orang sakit tidak membutuhkan bantuan orang lain. Setiap aku membawakan Siska makanan, ibu mertuaku selalu bilang kalau Siska sudah makan. Setelah apa yang aku dengar dan yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, membuatku tidak percaya akan apa yang dikatakan ibu mertuaku tentang keadaan Siska saat ini. Aku harus meminta bantuan pada siapa? Jika orang rumah saja semu
“Semua sudah beres, dia dengan mudah masuk dalam perangkap kita,” ucap Sintia setelah seorang yang dia hubungi di seberang sana sudah mengangkat panggilan miliknya. Sintia pun terus melanjutkan ucapannya. Tanpa mereka berdua sadari,. Sedari tadi, tidak jauh dari mereka ada sebuah keluarga yang mendengar semua percakapan mereka. Tidak lama pun Sintia ikut menyusul Areta keluar dari cefe tersebut. “Apakah Papa mendengar percakapan mereka?” tanya wanita paruh baya itu pada suaminya.Sedangkan suaminya hanya mengangguk lalu berkata, “Iya, Bunda. Papa mendengar semuanya, sepertinya wanita itu memang dalam keadaan bahaya. Tapi dia tidak menyadarinya, bahkan orang yang dia percaya menusuknya dari belakang.”“Kita harus membantunya, Pa. Cari tau tentang wanita tersebut. Bunda kasihan banget sama dia,” ucap wanita paruh baya itu lagi pada suaminya.“Cakra, bagaimana menurutmu? Apakah kamu tidak mau membantunya,” tany Angel pada putranya.Yah, keluarga yang mendengar percakapan Areta dan S
“Kau …,” ucap Adimarta yang baru memasuki sel tahanan tersebut langsung saja membeku, dia menatap Pria paruh baya yang ada di depannya ini dengan nyalang, bahkan tangannya mengepal kuat. Sedangkan Pria paruh baya yang duduk di kursi usang dengan tubuh yang di ikat secara keseluruhan hanya tersenyum smirk ke arah Adimarta. “Hay, Adimarta. Kita bertemu lagi,” ucap Pria Paruh baya tersebut yang seumuran dengan dirinya. Bahkan dia menampilkan. Senyum mengejek pada Adimarta. “Prayoga, ternyata lo masih sama seperti dulu. Masih tetap menjadi lelaki bodoh untuk wanita rendahan seperti Ida Sanjaya,” ucap Adimarta yang mencoba menahan emosi agar tetap terkendali. “Jaga bicara lo, Adimarta!” teriak Prayoga yang sudah mulai tersulut emosi, karena wanita yang dia cintai di hina begitu saja. Sedangkan Adimarta yang melihat reaksi Prayoga masih sama seperti dulu membuat dia membuka kepalan tangannya.Adimarta berjalan mendekat, lalu tangannya terulur mencekram dagu Prayoga dengan sekuat tenaga
Sedangkan Cakra yang baru balik dari rumah sakit langsung menuju kediaman Pradipta, yang mana dia sudah ada janji dengan papanya untuk menemui tawanan yang disekap satu minggu yang lalu.Saat sampai di kediaman Adimarta, seperti biasanya Angel langsung bertanya pada putra tunggalnya itu, “Akhirnya, kamu pulang juga Cakra. Bunda begitu khawatir denganmu.”Cakra mendekat dan mencium tangan serta kedua pipi Angel. sedangkan dengan Adimarta cakra mencium tangan papanya saja.“Putra kita akan tetap baik-baik saja, Bunda,” ucap Adimarta memeluk istrinya dari samping.sedangkan Angel yang mendengar suaminya berkata seperti itu membuatnya sedikit kesal, dia pun berkata, “Ya, tetap sajalah, Pa, Bunda khawatir sama Cakra. Apalagi sekarang wanita licik itu sudah berkeliaran kesana kemari. Bunda takut dia berbuat nekat pada Cakra.”Cakra menghembuskan nafas dengan kasar, lalu berkata pada ibunya, “Aku bukan anak kecil lagi, Bunda.”“Tuh, dengar kata putramu, Sayang.” ucap Adimarta membela Cakra.
Sinar di pagi hari membangunkan seorang Pria dengan wajah tampan yang begitu sempurna. Saat membuka mata dia melihat seorang wanita masa kecilnya tidur dengan begitu nyenyak. Siapa lagi kalau bukan Cakra Adimarta yang terus menatap wajah cantik dan manis milik Areta Permata Sari. Gadis yang begitu tangguh dan baik ini masih tetap saja bisa memikat hati Cakra Adimarta. Tangan Cakra terulur mengelus lembut pipi Areta, dia tersenyum saat mengingat ucapan Areta yang akan menggugat cerai suaminya sendiri. Yah, Cakra mendengar semua apa yang Areta bicarakan dengan Lina. Walaupun Areta menghindar darinya. Namun, masih tetap bisa didengar oleh Cakra sendiri. Cakra bangun dari tidurnya menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya, setelah itu dia keluar membeli sarapan untuk Areta, Keyra dan Siska. Tanpa Cakra sadari, apa yang dia lakukan selalu diperhatikan oleh Siska. Siska tersenyum melihat kakak iparnya ada yang melindungi. Tidak sengaja Siska menoleh ke arah samping tidurnya. Dia terkeju
Aku pun langsung menerima map tersebut dan membacanya. Mataku langsung membola setelah mengetahui isi dari map tersebut. Apa-apaan ini, kenapa aku baru tau semuanya. Kalau…Aku langsung menatap ke arah Mas Cakra, dan berkata, “Apakah informasi ini asli? Dari mana Mas Cakra mendapatkan informasi sepenting ini?” tanyaku tidak sepenuhnya percayaDia hanya menatapku dalam tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku Menarik nafas dalam, lalu aku hembuskan dengan kasar dan berkata, “Yang aku tau Bunda tidak memiliki saudara, Mas. Lalu bagaimana bisa aku percaya akan hal ini?”“Justru itu yang harus kita cari tahu, Areta. Aku rasa, ibu mertuamu terlalu banyak menyimpan rahasia,” ucapnya padaku. “Mas, tadi aku mendengar Ibu mengatakan kalau dia menyekap Bunda hanya karena ingin mendapatkan surat wasiat. Namun, sampai sekarang Ibu belum tahu surat wasiat itu di mana. Mungkin sampai sekarang Bunda masih menyimpan surat wasiat itu,” ucapku dengan penuh semangat menceritakan semuanya.Mas Cakra hany
Malam harinya aku masih berada di rumah sakit tepatnya di ruangan Siska. Yang mana ruangan Siska dan Keyra aku jadikan satu, dengan alasan agar aku bisa merawat mereka sekaligus. Tidak lupa juga Pria yang menarik tanganku di taman kota itu selalu menemaniku. Aku heran, kenapa dia selalu ada di waktu yang tepat, bahkan dia dan sahabatnya yang menyelamatkan putriku sendiri. Sungguh aku sangat berhutang budi padanya. Bukan hanya itu, ternyata sopir taksi yang aku tumpangi itu juga merupakan sahabatnya. Apakah ini memang disengaja atau hanya kebetulan saja.Aku duduk di sofa yang ada di ruangan itu, melihat putriku dan juga Siska yang sudah terlelap menuju alam mimpi. Yang aku syukuri mereka tidak menggunakan benda tajam untuk melukai putriku, sedangkan Siska, aku tidak menyangka mertuaku memberikan beberapa sayatan pada tubuhnya. Bagaimana dia bisa bertahan untuk menahan rasa sakit di tubuhnya, belum lagi ditambah racun yang diberikan ibu mertuaku untuknya. Sungguh mereka tidak bisa d
Sedangkan di kediaman Pratama tepatnya di ruang keluarga, Ida yang gagal mengejar Areta mengamuk di rumah tersebut. Kemarahan yang sejak tadi ditahan dia luapkan sepuasnya di kediaman Pratama. Semua barang habis berserakan, begitupun dengan barang pecah belah yang sudah hancur lebur.“Aaakh, Sialan kamu, Areta!” teriak Ida, “akan ku bunuh kalian semua, sedikit lagi aku akan mendapatkan harta keluarga Sanjaya, kenapa harus sekarang Areta tahu keadaan Siska, Aaakh!”“Aku akan menghabiskan mu tanpa harus menggunakan tanganku sendiri,” ucap Ida lagi.Tangannya terulur mengambil ponsel yang ada di tas bahu miliknya, tidak lama dia mengetik sebuah nama yang bisa membantunya untuk membalas apa yang sudah direncanakan oleh mereka, lalu dia menekan tombol hijau untuk menghubungi orang tersebut.“Areta sudah pergi membawa Siska, jangan sampai anak sialan itu menceritakan semuanya pada Areta. Kalau sampai itu terjadi, gagal sudah rencana kita. Cari tahu di mana Areta membawa Siska, jika sudah ke
“Berhenti, Areta!” teriak seseorang mengejutkanku.Aku langsung menoleh ke arah sumber suara, mataku langsung saja membola.Kenapa ibu mertuaku melihat kami? Aku bergegas masuk ke dalam taksi. “Cepat, Pak, Cepat!” pintaku pada sopir taksi itu, “jangan sampai dia mengejar kami, Pak. Dia ingin membunuh adik saya!”“Baik, Nona,” kata sopir taksi itu. Syukurlah dia mengikuti permintaanku. Aku melihat ke arah belakang, ternyata mobil ibu mertuaku mengejar kami, ada rasa takut dalam hatiku. Jujur saja, dari hasil CCTV yang aku pindahkan ke flashdisk tadi, membuatku merinding melihat kekejaman ibu mertuaku.Dia menyiksa Siska seperti seekor binatang. Walaupun Siska hanya anak sambung, tetapi tidak sepantasnya Ibu memperlakukannya seperti itu. Aku terus melihat ke belakang, mobil ibu mertuaku ternyata masih mengejar taksi yang kami tumpangi.“Kamu tenang, ya, Dek. Jangan khawatir. Apapun yang akan terjadi Kakak akan tetap melindungimu,” ucapku menenangkannya, walaupun sebenarnya aku juga le
Dia hanya menggeleng, dia terus memperhatikan wajahku, tidak lama dia pun berkata, “Kak, cepatlah pergi dari rumah ini, bawa Keyra jauh dari sini. Kalau Kakak tidak pergi. Bisa-bisa …,”Dia menghentikan ucapannya dan melirik ke arah pintu kamar miliknya yang terbuka. Mungkin saja dia takut kalau ibu mertuaku datang secara tiba-tiba. Aku melihat tubuhnya gemetar hebat. Ya Allah, apakah mentalnya baik-baik saja? Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku pada gadis manis yang selalu ceria ini. Aku melihat ada ketakutan pada dirinya, tubuhnya yang lebih kurus, bahkan tulang belulangnya sangat jelas terlihat. Tidak mungkin seseorang hanya sakit biasa selama satu Minggu bisa mengubah perubahan badan begitu drastis seperti Siska saat ini. Apa yang telah dilakukan ibu mertuaku padanya. Apakah Mas Abian mengetahui semua ini? Sepertinya dia tidak mengetahui keadaan adiknya sendiri.“Ceritakan semuanya sama Kakak, Siska. Apa yang Ibu lakukan padamu?” tanyaku padanya, “kenapa badanmu begitu kurus s
Sepulang dari pertemuanku dengan Sintia tadi, aku bergegas menancapkan motor butut itu menuju rumah kediaman suamiku.Disetiap jalan butiran bening itu terus saja mengalir tanpa diminta. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana takutnya putriku saat ini.Yah, Sintia benar aku harus memberitahukan Mas Abian kalau Keyra diculik. Tidak mungkin juga dia yang menculik anak kandungnya sendiri.Sampai di rumah, aku memanggil suamiku. Namun tidak ada jawaban yang aku dapatkan. Mungkin semuanya sudah bubar setelah makan bersama istri baru suamiku itu. Saat aku ingin berlari menuju kamar tiba-tiba langkahku terhenti mendengar suara tawa yang menggelegar. Aku mencoba sembunyi di bawah tangga. Tawa itu semakin jelas kudengar. Bahkan suara kaki yang menuruni tangga sangat jelas aku dengar juga. Tidak lama orang tersebut bicara, itu seperti suara ibu mertuaku. Yah, suara itu memang milik ibu mertuaku.“Sekap saja anak kecil itu, bahkan Abian sebagai ayahnya saja setuju untuk menculik anaknya sendiri,”