Sedangkan aku yang sudah lama menangis di taman tersebut sampai tak ingat waktu, hatiku bagai tertusuk belati nan tajam. Menyembuhkannya begitu perih, hanya ada sakit yang terus mendera. Tanpa Areta sadari sejak tadi ia diperhatikan oleh seorang pria.
Aku yang awalnya ingin menjalankan program hamil pun tak jadi, hatiku sudah benar-benar sakit. Aku tidak ingin memiliki anak dari Mas Abian lagi, apalagi aku melihat dengan jelas dan pakai mata kepalaku sendiri. Aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap wanita yang sedang hamil besar itu. Yah, pria yang membantu wanita hamil itu adalah suamiku sendiri siapa lagi jika bukan Mas Abian Pratama. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap istri keduanya. Bahkan Mas Abian selalu mengatakan cinta pada maduku itu. Aku bangkit dari kursi taman rumah sakit itu, aku tak ingin lemah, aku harus menuntut keadilan untuk diriku sendiri. Sebelum itu aku harus mencari banyak bukti tentang pernikahan siri suamiku. Aku bergegas menuju dokter kandungan yang akan kutemui tadi, aku yakin Mas Abuab pasti sudah pergi dari sana. Namun Areta tidak sadar bahwa pria yang memperhatikannya di taman rumah sakit itu mengikutinya dari jarak jauh. Sampai di sana aku sudah ditunggu oleh Dokter Desi yang merupakan Dokter Spesialis Kandung. “Selamat pagi, Dok,” ucapku setelah membuka pintu ruangan Dokter Desi. “Pagi, dengan Ibu Areta?” tanya Dokter tersebut. “Iya, Dok. Maaf membuat Dokter menunggu lama,” kataku tidak enak hati setelah duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Dokter Desi sendiri. “Tidak apa-apa, apakah ada yang Ibu keluhkan? Sehingga membuat Anda ingin melakukan program hamil?” tanya Dokter itu langsung pada inti permasalahan kami tadi malam. Yah, aku menghubungi Dokter Desi tadi malam untuk membuat perjanjian secara pribadi, tentu saja sebelum suamiku pulang dari kantor. “Saya tidak jadi melakukan program hamil, Dok,” kataku dengan yakin. Dahi Dokter itu mengerut, dia sedikit bingung, mungkin karena seingat dirinya saat obrolan mereka tadi malam aku begitu antusias akan melaksanakan program hamil. Bahkan aku memohon agar Dokter Desi memberiku sedikit waktu untuk berbicara tentang program hamil hari ini. “Maaf, bukan saya ingin ikut campur, mengingat obrolan kita tadi malam Ibu Areta sangat antusias sekali ingin melakukan program hamil. Kalau saya boleh bertanya, apa yang membuat Ibu tidak jadi melakukan program hamil?” ucap Dokter itu. “Dokter benar, tadi malam saya sangat antusias ingin melakukan program hamil, tetapi saya berubah pikiran, Dok,” kataku sembari menatap Dokter Desi, “namun, saya belum ingin memiliki anak, bisakah Dokter membantu saya, agar saya tidak memiliki anak di saat saya selesai berhubungan dengan suami saya sendiri.” Dokter Desi hanya mengangguk dan tidak ingin bertanya lebih dalam jika menyangkut rumah tangga pasiennya sendiri, ia pun berkata, “Ibu ingin menggunakan KB ternyata, boleh saja. Kapan Ibu Areta ingin menggunakannya?” “Hari ini, Dok,” jawabku penuh keyakinan. “Baiklah, KB apa yang ingin Ibu Areta gunakan?” tanya dokter itu lagi. “Saya ingin pakai KB implan saja, Dok. Sepertinya itu lebih aman agar saya tidak hamil,” ucapku “Baiklah, silahkan Ibu berbaring terlebih dahulu,” kata Dokter tersebut. Aku membaringkan diri di tempat yang sudah disiapkan di ruangan tersebut. Untuk menghilangkan rasa sakitnya, Dokter itu mengajakku berbicara tentang hal-hal kecil yang membuatku tidak sadar jika KB yang aku minta untuk dipasangkan sudah terpasang dengan rapi. “Sudah,”ucap Dokter itu sembari tersenyum manis “Ah, sudah, ya. Cepat sekali Bu Dokter, rasanya hanya digigit semut saja,” ucapku heran, aku bangun dan beranjak menuju kursi di mana meja Dokter Desi berada. “KB yang Ibu gunakan tidak boleh kena air selama beberapa hari, setelah satu minggu baru Ibu buka bungkus penutup KB tersebut, ya, Bu,” jelas Dokter Desi “Baik, Dok. Apakah ada pantangan seperti makanan atau sebagainya, Dok?” tanyaku yang memang baru pertama kali menggunakan KB tersebut Dokter Desi tersenyum, “Tida ada, Bu. Hanya saja Ibu jangan terlalu mengangkat beban yang terlalu berat,” “Baiklah, terima kasih untuk waktu yang Dokter luangkan untuk saya. Kalau begitu saya permisi, Dok,” kataku begitu bahagia, entah mengapa aku merasa keputusan yang aku ambil sudah benar. Yah, aku merubah rencana awal, sejak aku melihat kejadian yang aku anggap begitu menjijikkan di mataku. Aku tidak ingin memiliki anak dari suamiku lagi. Setelah banyaknya bukti yang nanti aku dapat, Aku berencana akan menuntut perceraian diriku dan Mas Abian di pengadilan agama nanti. Aku menghembuskan nafas lega saat sudah berada di luar ruangan Dokter Desi. Tanpa Areta sadari, seorang wanita paruh baya mengintai dirinya dari sejak pertama masuk ruangan Dokter Desi hingga dia keluar ruangan tersebut. Dia bertanya pada dirinya sendiri, apakah Areta hamil? Berbagai macam pertanyaan itu muncul di kepalanya. Tanpa wanita paruh baya itu sadari juga, gerak-gerik yang dia lakukan diperhatikan oleh seorang pria. Tidak lama wanita paruh baya itu pun beranjak dari sana. “Huh, berikan kemudahan bagiku, ya Allah,” ucapku dengan lirih. “Apa yang harus aku lakukan setelah ini,” kataku berbicara sendiri. Saat aku berjalan di lorong rumah sakit tersebut, tiba-tiba saja aku menabrak seorang pria. Namun, aku tidak melihat ke arah pria yang ditabraknya olehnya, aku hanya fokus pada ponsel pria tersebut dan tasku yang jatuh. Aku segera mengambil tas dan ponsel pria tersebut yang jatuh di lantai, masih aku syukuri ponsel tersebut tidak rusak sedikitpun, “Maaf, saya tidak sengaja,” ucapku menunduk tanpa melihat siapa pemilik wajah yang kutabrak tadi. Bukan tanpa alasan aku tidak ingin melihat wajah pria tersebut, aku tidak ingin orang lain melihat bahwa diriku baru saja selesai menangis. Aku mengambil kartu nama di tas, lalu menyodorkan kartu nama tersebut beserta ponsel pria itu, “Ini kartu nama Saya, hubungi jika ada yang perlu Saya ganti rugi. Maaf, Saya harus segera pergi,” Aku berlalu begitu saja dari hadapan pria tersebut. Sedangkan pria itu tersenyum simpul sembari membaca kartu nama yang diberikan oleh Areta sendiri, ternyata rencananya berhasil. Bagaimana menurut kalian? Komentar di bawah, ya.“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. “Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil.Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencar
Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Aku diam mematung, tubuhku terasa kaku untuk digerakkan. Entahlah, bahkan bibirku terasa kelu untuk bicara. Ternyata wanita paruh baya itu adalah ibu mertuaku, wajahnya terlalu jelas saat dirinya membalik badan untuk memanggil pelayan cafe ini, sedangkan pelanggan yang baru masuk itu adalah suamiku. Kenapa? Kenapa ibu mertuaku bersama dengan Mas Abian dan Wanita hamil itu? Berbagai macam pertanyaan merajalela dalam pikiranku. Aku mencoba menahan air mata yang sudah mengembun. Pikiranku berkelana disaat Almarhum Ayah dan Bunda tidak merestui hubungan kami. Apakah ini teguran dari Sang Maha Kuasa, karena aku tidak mendengar ucapan orang tua. Aku bingung harus melakukan apa. Apakah ibu mertuaku yang selama ini aku anggap sebagai pengganti Almarhumah Bunda ternyata mengetahui tentang perselingkuhan suamiku? Jika memang benar dia m
Ibu Ida yang tetap memperhatikan cermin di depannya tiba-tiba saja tersenyum smirk saat melihat siapa yang ada di dalam cafe itu juga. “Ini baru permulaan, Areta,” gumam Ibu Ida.Abian yang tidak jelas mendengar gumaman ibunya langsung saja menatap dan bertanya padanya, “Ibu bicara apa?”Ibu Ida hanya menggeleng dan berkata, “Ibu tidak bicara apa-apa,”“Cobalah kamu hubungi Istrimu, apakah dia baik-baik saja di rumah sendiri,” pinta Ibu Ida pada Abian. “Dia sudah besar, Bu. Untuk apa Mas Abian menghubungi istrinya yang pertama,” keluh Diana dengan wajah kesalnya. Dia gak suka melihat Abian terlalu dekat dengan istri pertamanya itu. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Abian melupakan Areta. Diana sudah lama mengejar Abian sejak masa kuliah dulu, tetapi Abian tidak sedikitpun melirik dirinya. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan Abian, Diana tidak menyia-nyiakan semuanya. Bahkan saat ini semua milik Abian menjadi miliknya, bahkan tubuh laki-laki yang dari dulu dia idam-idamkan i
Seperti yang ibunya bilang, lambat laun Areta pasti akan mengetahuinya. Bagaimanapun dia menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Namun disisi lain, ia tidak ingin kehilangan Areta juga. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan tangannya dibalik dinding ruang keluarga tersebut.Dia terus berdiri mendengarkan apa yang Ibu Ida bicarakan bersama Abian. Bahkan rencana yang mereka berdua rencanakan, didengar olehnya..“Sungguh setiap orang di keluarga ini memiliki topeng tersendiri,” gumam seseorang yang ada di balik tembok tersebut. “Kamu tidak ingin menceraikan Areta?” tanya Ibu Ida pada putranya. Abian yang mendengar itu tentu saja terkejut. Bukankah ibunya ini sangat menyayangi Areta istrinya? Lalu kenapa ibunya seperti ini? Abian tidak mungkin melepaskan wanita yang sangat sulit didapatkan dari dulu. Tidak ingin berburuk sangka, Abian langsung saja bertanya pada ibunya, “Kenapa Ibu bicara begitu? Tidak mungkin aku menceraikan Areta, dia adalah istri yang se
Tidak lama Ida mengambil kunci cadangan kamar diujung barat, setelah sampai di depan kamar tersebut, ia membuka gagang pintu kamar itu, dan tampaklah seorang gadis berusia sekitar 23 tahun menatap takut dirinya.“I-Ibu …,” ucap Gadis 23 tahun itu dengan gugup. Ida terus melangkah mendekati gadis itu, kemudian dia berkata dengan tatapan tajamnya, “Apa yang kamu lakukan di balik dinding itu?”Sedangkan gadis yang sedang duduk di kursi belajarnya tiba-tiba saja bangun dan melangkah mundur dengan kaki bergetar saat wanita yang dipanggil Ibu itu mendekatinya.“Jangan takut, Sayang,” ucap Ida pada gadis tersebut, “kemarilah, Aku ini ibumu, Nak.”Gadis itu hanya menggeleng dengan kaki yang tetap melangkah mundur.“Ini Ibu, Sayang. Bukan malaikat mautmu,” ucap Ida dengan senyum smirknya, bahkah dengan suara yang lemah lembut Ida ucapkan pada gadis itu, tetapi tidak bagi gadis tersebut. Bahkan suara lembut ibunya seperti maut yang akan mencabut nyawanya. Kakinya bergetar, dia ingin berlari, t
Ida menerima panggilan tersebut, kemudian dia berbicara pada orang yang ada di seberang sana, “Besok pagi kita akan membuat pertunjukkan baru di rumah ini.” Ida mematikan sambungan telponnya, lalu ia melirik ke arah di mana Siska masih meringis menahan sakit pada pahanya.“Sayang sekali, kamu tidak dapat menonton pertunjukkan yang akan aku buat besok pagi. Tidurlah, besok aku panggilkan dokter pribadiku untukmu. Kurang baik apa ibumu ini, hmm,” ucap Ida mengejek pada Siska. Ida pun melangkah keluar dari kamar anak tirinya itu. Melihat ibu tirinya pergi, Siska berusaha bangun sembari meringis menahan sakit, tidak lama setelah sekian kali mencoba, akhirnya dia bisa bangun dan jalan tertatih menuju laci yang mana selalu dia sediakan obat, karena bukan hanya satu kali ini saja dia disiksa oleh ibu tirinya itu. Semenjak kejadian lima tahun lalu, dia sudah mulai merasakan rasa sakit yang selalu diberi oleh ibunya tanpa sepengetahuan Abian dan Ririn, tetapi ini pertama kali dia diberikan
“Rahasia tentang kematian mama kamu, Abian Pratama,” ucap Ida sedikit keras.Dia sengaja bicara sedikit keras agar didengar oleh seseorang yang mendekat ke arah ruang keluarga tersebut. Benar saja, suara langkah kaki itu langsung saja berhenti. Ida melirik sekilas dengan ekor matanya, di sana ada bayangan yang seperti sedang menguping pembicaraan mereka berdua. Tentu saja itu membuat Ibu Tiri dari Abian Pratama tersenyum tipis, sangat tipis, bahkan saking tipisnya Abian tidak menyadari senyum tipis ibu tirinya itu. Abian diam membisu, masih belum bisa mengeluarkan kata yang akan dia bilang pada Ida. Pikirannya berkecamuk, apakah kematian almarhum mamanya dalam keadaan tidak wajar?“Apakah kamu masih mengingat bagaimana kematian almarhum mamamu?” tanya Ida pada Abian.“Bukankah Almarhum Mama meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, Bu,” ucap Abian.Ida tersenyum pahit sembari menggeleng, dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi, bahkan itu dilakukan berulang-ulang kali. Air
Orang yang ada dibalik tembok itu melangkah mendekati Abian dan Ida, lalu dia berkata, “Aku juga akan membantu untuk membalaskan dendam itu.”“Kamu …,” ucapan Abian dan ibunya secara bersamaan“Ya, ini aku. Kenapa hanya Kak Abian saja yang Ibu beritahu rahasia sebesar ini? Kalau tau begitu, aku sudah lama tidak menyukai keluarga seorang pembunuh itu,” ucapnya, bahkan kepalan tangannya dengan kabut amarah yang membara menguasai dirinya.“Jadi, kamu juga ingin membantu Ibu, Ririn?” tanya Ida pada anak perempuannya itu.“Tentu Ibu, aku pasti membantu Ibu membalaskan dendam ku pada keluarga yang telah membuat kami kehilangan sosok Mama dalam hidup kami semua. Sungguh hanya kebencian yang ada di hatiku untuk Kak Areta,” ucap Ririn.Yah, target yang diincar Ida agar mendengar semuanya adalah Ririn Pratama, merupakan adik pertama dari Abian Pratama bahkan umurnya sudah masuk umur 25 tahun. ‘Kena kamu. Gampang sekali membuat kalian membenci Areta sialan itu,’ batin Ida bersorak senang.Ida