Share

Bab 5

Seperti biasa, aku mengantar Mas Abian sampai teras rumah saat dirinya berangkat bekerja. Sedangkan Keyra sudah berangkat bersama Siska.

Walaupun selama satu tahun ini Siska sikapnya berubah jadi tidak suka padaku, tetapi entah kenapa yang paling dekat sama putriku diantara semua iparku adalah Siska. 

Aku juga tidak tahu kenapa, hatiku lebih nyaman melihat Keyra bersama Siska walaupun dia sangat membenciku. Begitupun juga dengan Keyra, dia lebih nyaman bersama tante Siskanya ketimbang tantenya yang lain. Entahlah, mungkin karena Siska benar-benar tulus menyayangi putriku itu. Bukan tanpa sebab aku berkata seperti ini, saat itu aku pernah bertanya pada putriku, apakah dia benar-benar nyaman sama Tante Siskanya atau tidak. Aku bertanya seperti itu karena melihat Siska benar-benar tidak menyukaiku, dan jawaban yang Keyra berikan adalah dia lebih menyukai saat bersama tante siskanya dari pada tantenya yang lain. 

“Areta …,” panggil ibu mertuaku saat aku masih di teras rumah menatap kepergian Mas Abian.

Aku menoleh ke belakang dan berkata, “Iya, Ibu. Kenapa? Ada yang Ibu butuhkan?”

Ibu mertuaku hanya menggeleng pelan, tak lupa dengan senyum hangat yang selalu ditampilkan padaku, “Ibu tidak butuh apa-apa, Ibu hanya ingin bilang kalau ibu mau berangkat ke Bandung untuk arisan.”

“Ibu mau menginap lagi?” tanyaku padanya.

Ibu mertuaku ini ikut arisan perkumpulan ibu-ibu sosialita, terkadang jika mereka arisan harus menginap beberapa hari di villa yang mereka inginkan. Huh, orang kaya bebas dong. Hihihi

“Iya, Ibu mau menginap beberapa hari, Kamu tidak apa-apa mengurus semuanya sendiri?” kata ibu mertuaku dengan berat hati.

Aku menampilkan senyum manisku, dan berkata, “Tidak apa-apa, Ibu. Masih ada Mas Abian,adik-adik ipar dan Keyra yang menemaniku di rumah ini.”

“Baiklah, Ibu lega mendengarnya. Kalau begitu, Ibu jalan dulu, ya, kamu jaga diri baik-baik di rumah ini,” ucapnya penuh perhatian, “kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi Ibu untuk memberi kabar.”

Dia memang Ibu Mertua paling baik yang pernah aku temui, bahkan teman-temanku selalu mengeluh akan mertua mereka yang ini dan itu. Aku bersyukur sampai saat ini aku tidak memiliki masalah apapun bersama mertuaku sendiri.

Aku tersenyum dan mengangguk saja sebagai jawabannya, lalu aku mencium tangannya dengan takzim.

Aku lambaikan tangan mengiringi kepergiannya, hingga mobil yang dipakai ibu mertuaku menghilang di ujung gerbang rumah ini.

“Rumah sudah mulai sepi, nanti saja aku bereskan semuanya. Toh di rumah juga tidak ada siapa-siapa.” kataku bicara sendiri. 

Aku melangkah ke kamar pribadiku dan Mas Abian untuk bersiap-siap pergi ke rumah sakit. 

Yah, rencana awalku adalah rumah sakit, aku ingin menjalankan program hamil. Siapa tau dengan aku hamil, Mas Abian bisa kembali seperti dulu lagi, aku juga berharap dengan kehadiran anak kedua kami nanti Mas Abian bisa melepaskan selingkuhannya. Anggap saja itu selingkuhannya karena aku belum memiliki bukti akan foto itu.

Aku bergegas menuju pintu gerbang rumah ini, karena taksi online yang aku pesan sudah menunggu. Yah, aku memesan taksi online sebelum aku masuk kamar mandi tadi.

“Mau ke mana, Mbak?” tanya supir taksi itu

“Rumah Sakit Medika Utama, ya, Pak,” kataku dan dijawab anggukan oleh supir taksi itu.

Di dalam taksi aku menyiapkan semuanya, baik dari masker dan penampilan yang berbeda. Bukan tanpa sebab aku melakukannya ini hanya untuk jaga-jaga agar suamiku dan keluarganya tidak mengenalku jika nanti aku bertemu sama mereka di suatu tempat, karena saat ini mereka hanya tahu kalau aku sedang berada di rumah untuk beres-beres.

Jika mengingat semuanya, aku selalu berfikir apa yang kurang dariku? Semua yang dibutuhkan Mas Abian selalu kupenuhi. Apapun itu, baik kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri, tetapi kenapa suamiku malah memberi luka yang tidak ada maaf untuk kesalahan itu.

Yah, seorang wanita sanggup hidup menderita bersama suami dan anak-anaknya, tetapi seorang wanita tidak siap untuk membagi hati pada wanita lain. Sebaik-baik wanita, jika hati sudah dipermainkan, maka semuanya tidak akan pernah sama seperti dulu lagi. 

Aku mengingat semua kenangan indah bersama Mas Abian, kenangan yang sederhana, tetapi begitu bermakna untuk dikenang. Tetesan kristal yang dari tadi coba kutahan akhirnya jatuh juga. Ah, aku sangat tidak menyukai di posisi seperti ini. Kenapa takdir rumah tanggaku begitu menyedihkan? 

Aku mengusap air mataku dengan kasar sebelum supir taksi itu melihatnya, aku tidak suka jika terlihat lemah di depan orang lain.

“Sudah sampai, Mbak,” kata Supir itu membuyarkan lamunanku.

“Ah, Iya,” kataku.

Bergegas aku menuju dokter kandungan yang berada di rumah sakit itu. Tiba-tiba langkahku terhenti melihat pemandangan di depan mata, ku tatap pemandangan itu dengan tubuh yang membeku, seorang pria sedang menuntun wanitanya yang sedang hamil besar dengan penuh perhatian dan hati-hati. Tanpa kusadari air mata ini jatuh begitu saja, bibirku terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata saja. 

Ya Allah,  pemandangan apa yang kau perlihatkan untukku? Kenapa sesakit ini aku melihatnya? Apakah ini caramu membuatku menjadi wanita yang lebih kuat? Batinku menjerit mengadu pada Sang Pemilik Hati. 

Tanpa Areta sadari, seorang wanita paruh baya yang berada di balik tembok rumah sakit itu tersenyum miring melihat dirinya. 

Aku berlalu dari tempat itu menuju taman rumah sakit tersebut, sungguh aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

Aku menangis tersedu-sedu seorang diri. Menangis meratapi nasib rumah tanggaku.

Lanjut, gak? Komentar di bawah, ya. 👇🏻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status