Seperti biasa, aku mengantar Mas Abian sampai teras rumah saat dirinya berangkat bekerja. Sedangkan Keyra sudah berangkat bersama Siska.
Walaupun selama satu tahun ini Siska sikapnya berubah jadi tidak suka padaku, tetapi entah kenapa yang paling dekat sama putriku diantara semua iparku adalah Siska. Aku juga tidak tahu kenapa, hatiku lebih nyaman melihat Keyra bersama Siska walaupun dia sangat membenciku. Begitupun juga dengan Keyra, dia lebih nyaman bersama tante Siskanya ketimbang tantenya yang lain. Entahlah, mungkin karena Siska benar-benar tulus menyayangi putriku itu. Bukan tanpa sebab aku berkata seperti ini, saat itu aku pernah bertanya pada putriku, apakah dia benar-benar nyaman sama Tante Siskanya atau tidak. Aku bertanya seperti itu karena melihat Siska benar-benar tidak menyukaiku, dan jawaban yang Keyra berikan adalah dia lebih menyukai saat bersama tante siskanya dari pada tantenya yang lain. “Areta …,” panggil ibu mertuaku saat aku masih di teras rumah menatap kepergian Mas Abian. Aku menoleh ke belakang dan berkata, “Iya, Ibu. Kenapa? Ada yang Ibu butuhkan?” Ibu mertuaku hanya menggeleng pelan, tak lupa dengan senyum hangat yang selalu ditampilkan padaku, “Ibu tidak butuh apa-apa, Ibu hanya ingin bilang kalau ibu mau berangkat ke Bandung untuk arisan.” “Ibu mau menginap lagi?” tanyaku padanya. Ibu mertuaku ini ikut arisan perkumpulan ibu-ibu sosialita, terkadang jika mereka arisan harus menginap beberapa hari di villa yang mereka inginkan. Huh, orang kaya bebas dong. Hihihi “Iya, Ibu mau menginap beberapa hari, Kamu tidak apa-apa mengurus semuanya sendiri?” kata ibu mertuaku dengan berat hati. Aku menampilkan senyum manisku, dan berkata, “Tidak apa-apa, Ibu. Masih ada Mas Abian,adik-adik ipar dan Keyra yang menemaniku di rumah ini.” “Baiklah, Ibu lega mendengarnya. Kalau begitu, Ibu jalan dulu, ya, kamu jaga diri baik-baik di rumah ini,” ucapnya penuh perhatian, “kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi Ibu untuk memberi kabar.” Dia memang Ibu Mertua paling baik yang pernah aku temui, bahkan teman-temanku selalu mengeluh akan mertua mereka yang ini dan itu. Aku bersyukur sampai saat ini aku tidak memiliki masalah apapun bersama mertuaku sendiri. Aku tersenyum dan mengangguk saja sebagai jawabannya, lalu aku mencium tangannya dengan takzim. Aku lambaikan tangan mengiringi kepergiannya, hingga mobil yang dipakai ibu mertuaku menghilang di ujung gerbang rumah ini. “Rumah sudah mulai sepi, nanti saja aku bereskan semuanya. Toh di rumah juga tidak ada siapa-siapa.” kataku bicara sendiri. Aku melangkah ke kamar pribadiku dan Mas Abian untuk bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Yah, rencana awalku adalah rumah sakit, aku ingin menjalankan program hamil. Siapa tau dengan aku hamil, Mas Abian bisa kembali seperti dulu lagi, aku juga berharap dengan kehadiran anak kedua kami nanti Mas Abian bisa melepaskan selingkuhannya. Anggap saja itu selingkuhannya karena aku belum memiliki bukti akan foto itu. Aku bergegas menuju pintu gerbang rumah ini, karena taksi online yang aku pesan sudah menunggu. Yah, aku memesan taksi online sebelum aku masuk kamar mandi tadi. “Mau ke mana, Mbak?” tanya supir taksi itu “Rumah Sakit Medika Utama, ya, Pak,” kataku dan dijawab anggukan oleh supir taksi itu. Di dalam taksi aku menyiapkan semuanya, baik dari masker dan penampilan yang berbeda. Bukan tanpa sebab aku melakukannya ini hanya untuk jaga-jaga agar suamiku dan keluarganya tidak mengenalku jika nanti aku bertemu sama mereka di suatu tempat, karena saat ini mereka hanya tahu kalau aku sedang berada di rumah untuk beres-beres. Jika mengingat semuanya, aku selalu berfikir apa yang kurang dariku? Semua yang dibutuhkan Mas Abian selalu kupenuhi. Apapun itu, baik kebutuhan dirinya sendiri dan keluarganya, bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri, tetapi kenapa suamiku malah memberi luka yang tidak ada maaf untuk kesalahan itu. Yah, seorang wanita sanggup hidup menderita bersama suami dan anak-anaknya, tetapi seorang wanita tidak siap untuk membagi hati pada wanita lain. Sebaik-baik wanita, jika hati sudah dipermainkan, maka semuanya tidak akan pernah sama seperti dulu lagi. Aku mengingat semua kenangan indah bersama Mas Abian, kenangan yang sederhana, tetapi begitu bermakna untuk dikenang. Tetesan kristal yang dari tadi coba kutahan akhirnya jatuh juga. Ah, aku sangat tidak menyukai di posisi seperti ini. Kenapa takdir rumah tanggaku begitu menyedihkan? Aku mengusap air mataku dengan kasar sebelum supir taksi itu melihatnya, aku tidak suka jika terlihat lemah di depan orang lain. “Sudah sampai, Mbak,” kata Supir itu membuyarkan lamunanku. “Ah, Iya,” kataku. Bergegas aku menuju dokter kandungan yang berada di rumah sakit itu. Tiba-tiba langkahku terhenti melihat pemandangan di depan mata, ku tatap pemandangan itu dengan tubuh yang membeku, seorang pria sedang menuntun wanitanya yang sedang hamil besar dengan penuh perhatian dan hati-hati. Tanpa kusadari air mata ini jatuh begitu saja, bibirku terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata saja. Ya Allah, pemandangan apa yang kau perlihatkan untukku? Kenapa sesakit ini aku melihatnya? Apakah ini caramu membuatku menjadi wanita yang lebih kuat? Batinku menjerit mengadu pada Sang Pemilik Hati. Tanpa Areta sadari, seorang wanita paruh baya yang berada di balik tembok rumah sakit itu tersenyum miring melihat dirinya. Aku berlalu dari tempat itu menuju taman rumah sakit tersebut, sungguh aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menangis tersedu-sedu seorang diri. Menangis meratapi nasib rumah tanggaku. Lanjut, gak? Komentar di bawah, ya. 👇🏻Sedangkan aku yang sudah lama menangis di taman tersebut sampai tak ingat waktu, hatiku bagai tertusuk belati nan tajam. Menyembuhkannya begitu perih, hanya ada sakit yang terus mendera. Tanpa Areta sadari sejak tadi ia diperhatikan oleh seorang pria. Aku yang awalnya ingin menjalankan program hamil pun tak jadi, hatiku sudah benar-benar sakit. Aku tidak ingin memiliki anak dari Mas Abian lagi, apalagi aku melihat dengan jelas dan pakai mata kepalaku sendiri.Aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap wanita yang sedang hamil besar itu. Yah, pria yang membantu wanita hamil itu adalah suamiku sendiri siapa lagi jika bukan Mas Abian Pratama. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap istri keduanya. Bahkan Mas Abian selalu mengatakan cinta pada maduku itu. Aku bangkit dari kursi taman rumah sakit itu, aku tak ingin lemah, aku harus menuntut keadilan untuk diriku sendiri. Sebelum itu aku harus men
“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. “Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil.Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencar
Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Aku diam mematung, tubuhku terasa kaku untuk digerakkan. Entahlah, bahkan bibirku terasa kelu untuk bicara. Ternyata wanita paruh baya itu adalah ibu mertuaku, wajahnya terlalu jelas saat dirinya membalik badan untuk memanggil pelayan cafe ini, sedangkan pelanggan yang baru masuk itu adalah suamiku. Kenapa? Kenapa ibu mertuaku bersama dengan Mas Abian dan Wanita hamil itu? Berbagai macam pertanyaan merajalela dalam pikiranku. Aku mencoba menahan air mata yang sudah mengembun. Pikiranku berkelana disaat Almarhum Ayah dan Bunda tidak merestui hubungan kami. Apakah ini teguran dari Sang Maha Kuasa, karena aku tidak mendengar ucapan orang tua. Aku bingung harus melakukan apa. Apakah ibu mertuaku yang selama ini aku anggap sebagai pengganti Almarhumah Bunda ternyata mengetahui tentang perselingkuhan suamiku? Jika memang benar dia m
Ibu Ida yang tetap memperhatikan cermin di depannya tiba-tiba saja tersenyum smirk saat melihat siapa yang ada di dalam cafe itu juga. “Ini baru permulaan, Areta,” gumam Ibu Ida.Abian yang tidak jelas mendengar gumaman ibunya langsung saja menatap dan bertanya padanya, “Ibu bicara apa?”Ibu Ida hanya menggeleng dan berkata, “Ibu tidak bicara apa-apa,”“Cobalah kamu hubungi Istrimu, apakah dia baik-baik saja di rumah sendiri,” pinta Ibu Ida pada Abian. “Dia sudah besar, Bu. Untuk apa Mas Abian menghubungi istrinya yang pertama,” keluh Diana dengan wajah kesalnya. Dia gak suka melihat Abian terlalu dekat dengan istri pertamanya itu. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Abian melupakan Areta. Diana sudah lama mengejar Abian sejak masa kuliah dulu, tetapi Abian tidak sedikitpun melirik dirinya. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan Abian, Diana tidak menyia-nyiakan semuanya. Bahkan saat ini semua milik Abian menjadi miliknya, bahkan tubuh laki-laki yang dari dulu dia idam-idamkan i
Seperti yang ibunya bilang, lambat laun Areta pasti akan mengetahuinya. Bagaimanapun dia menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Namun disisi lain, ia tidak ingin kehilangan Areta juga. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan tangannya dibalik dinding ruang keluarga tersebut.Dia terus berdiri mendengarkan apa yang Ibu Ida bicarakan bersama Abian. Bahkan rencana yang mereka berdua rencanakan, didengar olehnya..“Sungguh setiap orang di keluarga ini memiliki topeng tersendiri,” gumam seseorang yang ada di balik tembok tersebut. “Kamu tidak ingin menceraikan Areta?” tanya Ibu Ida pada putranya. Abian yang mendengar itu tentu saja terkejut. Bukankah ibunya ini sangat menyayangi Areta istrinya? Lalu kenapa ibunya seperti ini? Abian tidak mungkin melepaskan wanita yang sangat sulit didapatkan dari dulu. Tidak ingin berburuk sangka, Abian langsung saja bertanya pada ibunya, “Kenapa Ibu bicara begitu? Tidak mungkin aku menceraikan Areta, dia adalah istri yang se
Tidak lama Ida mengambil kunci cadangan kamar diujung barat, setelah sampai di depan kamar tersebut, ia membuka gagang pintu kamar itu, dan tampaklah seorang gadis berusia sekitar 23 tahun menatap takut dirinya.“I-Ibu …,” ucap Gadis 23 tahun itu dengan gugup. Ida terus melangkah mendekati gadis itu, kemudian dia berkata dengan tatapan tajamnya, “Apa yang kamu lakukan di balik dinding itu?”Sedangkan gadis yang sedang duduk di kursi belajarnya tiba-tiba saja bangun dan melangkah mundur dengan kaki bergetar saat wanita yang dipanggil Ibu itu mendekatinya.“Jangan takut, Sayang,” ucap Ida pada gadis tersebut, “kemarilah, Aku ini ibumu, Nak.”Gadis itu hanya menggeleng dengan kaki yang tetap melangkah mundur.“Ini Ibu, Sayang. Bukan malaikat mautmu,” ucap Ida dengan senyum smirknya, bahkah dengan suara yang lemah lembut Ida ucapkan pada gadis itu, tetapi tidak bagi gadis tersebut. Bahkan suara lembut ibunya seperti maut yang akan mencabut nyawanya. Kakinya bergetar, dia ingin berlari, t
Ida menerima panggilan tersebut, kemudian dia berbicara pada orang yang ada di seberang sana, “Besok pagi kita akan membuat pertunjukkan baru di rumah ini.” Ida mematikan sambungan telponnya, lalu ia melirik ke arah di mana Siska masih meringis menahan sakit pada pahanya.“Sayang sekali, kamu tidak dapat menonton pertunjukkan yang akan aku buat besok pagi. Tidurlah, besok aku panggilkan dokter pribadiku untukmu. Kurang baik apa ibumu ini, hmm,” ucap Ida mengejek pada Siska. Ida pun melangkah keluar dari kamar anak tirinya itu. Melihat ibu tirinya pergi, Siska berusaha bangun sembari meringis menahan sakit, tidak lama setelah sekian kali mencoba, akhirnya dia bisa bangun dan jalan tertatih menuju laci yang mana selalu dia sediakan obat, karena bukan hanya satu kali ini saja dia disiksa oleh ibu tirinya itu. Semenjak kejadian lima tahun lalu, dia sudah mulai merasakan rasa sakit yang selalu diberi oleh ibunya tanpa sepengetahuan Abian dan Ririn, tetapi ini pertama kali dia diberikan
“Rahasia tentang kematian mama kamu, Abian Pratama,” ucap Ida sedikit keras.Dia sengaja bicara sedikit keras agar didengar oleh seseorang yang mendekat ke arah ruang keluarga tersebut. Benar saja, suara langkah kaki itu langsung saja berhenti. Ida melirik sekilas dengan ekor matanya, di sana ada bayangan yang seperti sedang menguping pembicaraan mereka berdua. Tentu saja itu membuat Ibu Tiri dari Abian Pratama tersenyum tipis, sangat tipis, bahkan saking tipisnya Abian tidak menyadari senyum tipis ibu tirinya itu. Abian diam membisu, masih belum bisa mengeluarkan kata yang akan dia bilang pada Ida. Pikirannya berkecamuk, apakah kematian almarhum mamanya dalam keadaan tidak wajar?“Apakah kamu masih mengingat bagaimana kematian almarhum mamamu?” tanya Ida pada Abian.“Bukankah Almarhum Mama meninggal dunia karena sebuah kecelakaan, Bu,” ucap Abian.Ida tersenyum pahit sembari menggeleng, dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya lagi, bahkan itu dilakukan berulang-ulang kali. Air