Aku mendengkus samar, kenapa pagi ini aku mendengar kalimat yang membuat dadaku terasa sesak dari kedua orang yang aku cinta.
Apakah ini petunjuk awal? Baiklah, sepertinya aku tahu harus memulai dari mana. “Mas …,” panggilku lirih, tetapi masih bisa didengar olehnya. Suamiku memutar badannya menghadapku, tiba-tiba ponsel yang dipegang suamiku yang menyatu dengan telinganya jatuh begitu saja, kulirik ponsel Mas Abian jatuh ke lantai. Dahiku mengernyit. Apakah aku salah lihat atau sebaliknya? Itu bukan ponsel yang biasa Mas Abian pakai, bahkan tadi malam pun saat Mas Abian membalas pesan anak buahnya, dia menggunakan ponsel yang biasa dipakai sejak kami belum menikah. Namun kenapa ponsel yang jatuh ini berbeda? Apakah dia membeli ponsel baru? Ah, aku ingin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan. Baiklah kalau begitu, aku ingin melihat bagaimana ia akan menjawab jika aku bertanya tentang ponsel barunya. Aku berusaha mencoba bersikap biasa saja, walau hati ini tersayat akan selembar foto yang kulihat waktu itu. Kenapa hatiku mengatakan jika foto itu bukan sebuah rekayasa, tetapi sebuah kebenaran yang dimana aku belum memiliki bukti untuk hal itu. “Kamu beli ponsel baru, Mas?” tanyaku padanya, Ah, rasanya aku tak ingin basa-basi lagi, “lagi telponan sama siapa?” Perubahan mimik wajahnya terlihat jelas, sepertinya dia lagi memikirkan apa yang ingin ia katakan. Mas Abian langsung saja mengambil ponsel yang jatuh di lantai tadi, dia buru-buru memasukkan ponsel itu ke sakunya, mungkin takut jika aku sadar kalau itu ponsel barunya. Aku sudah melihat model ponsel tersebut, ponsel keluaran terbaru. Huf, walaupun aku mencoba biasa saja, tetapi hatiku begitu sakit, sesak, rasanya aku sangat sulit bernafas. Namun, Aku tetap menunggu jawaban apa yang ingin dia berikan untukku. “Sejak kapan kamu ada di sini, Areta?” tanya Mas Abian, “kamu tidak menyiapkan sarapan untuk semua keluargaku?” Huh, sepertinya dia ingin mengalihkan jawaban dari pertanyaan yang aku berikan untuknya. “Baru saja, Mas,” kataku, “ada Ibu yang sudah masak, aku disuruh Ibu menyiapkan kebutuhan Keyra dan Mas Abian saja.” “Oh, begitu, kamu gak perlu menyiapkan kebutuhanku, Sayang. Aku bisa sendiri,” kata Mas Abian lembut. Kenapa mendengar perkataan lembutnya tidak membuatku senang seperti biasanya, huh, dasar kau, Mas. “Kenapa kamu tidak jawab pertanyaan ku, Mas,” kataku mulai geram. “Pertanyaan apa, sih, Sayang,” katanya seolah aku tidak bertanya apapun padanya. “Kapan kamu beli ponsel? Kamu telponan sama siapa tadi?” aku mencecarnya dengan pertanyaan yang sama. “Oh, ini ponsel relasi bisnisku yang ketinggalan. Tadi istrinya menelpon, aku disuruh pura-pura untuk menjadi dirinya.” Jawabnya dengan santai, tidak seperti awal aku melihat dirinya yang ketangkap basah. Aku mengernyit, jika itu ponsel relasi bisnisnya, gak mungkin orang itu bisa menghubungi Mas Abian untuk pura-pura menjadi dirinya sendiri. Ah, sangat tidak masuk akal sekali. Aku mengangguk untuk percaya saja padanya, menunggu Mas Abian jujur sendiri mungkin mustahil. “Oh, ya sudah, Mas. Ayok, kita sudah ditunggu sama yang lain di bawah,” kataku “Baiklah, Sayang. Ayo, kita ke bawah, Mas juga sudah sangat lapar,” ucapnya. Aku meliriknya dengan ekor mataku saat mengambil tas kerjanya, Mas Abian menghembuskan nafas dengan lega. Huh, ternyata jelas sekali dia menyembunyikan sesuatu dariku. Buliran bening itu terasa mengembun di pelupuk mataku. Sakit, sakit sekali mengetahui bahwa suamiku dengan mudahnya berpaling kelain hati. Jangan sampai air mata ini jatuh di depannya, aku tidak ingin dikatakan wanita lemah. Ya, aku akan membuktikan bahwa aku adalah wanita kuat yang tidak mudah kamu bohongi dan sakiti sesuka hatimu. Aku memeluk tangannya dengan manja, kusandarkan kepalaku di bahunya, tanganku yang satu membawa tas kerja Mas Abian. Inilah kebiasaan ku setiap pagi saat memanggilnya untuk sarapan. Sampai di meja makan ternyata semuanya sudah berkumpul, semuanya tersenyum padaku kecuali adik iparku yang bernama Siska, awal aku menikah dengan Mas Abian dia yang paling antusias padaku, tetapi entah kenapa, sudah satu tahun ini dia bersikap seperti sangat membenciku. “Ini, Mas.” kataku memberikan satu piring yang sudah berisi lengkap nasi dan lauk-pauk yang dimasak Ibu. “Terima kasih, Sayang,” aku hanya tersenyum membalas ucapannya. “Mas, bolehkah hari ini aku mengajar mengaji lagi? Aku sangat suntuk di rumah,” kataku di sela-sela kami sarapan pagi. “Tidak bisakah kamu bekerja di rumah saja seperti biasanya?” tanya Mas Abian padaku, aku tahu dari dulu suamiku itu tidak mengizinkan aku untuk bekerja. “Aku bosan di rumah terus, rumah selalu sepi dari pagi sampai malam, kalian semua selalu pulang saat jam makan malam. Aku hanya ingin mengisi kekosongan itu saja, palingan aku ngajarnya juga hanya tiga jam, Mas,” ucapku lirih pada Mas Abian, tetapi masih di dengar oleh yang lainnya. “Berikan saja istrimu izin, Abian. Kasian dia, dia pasti benar-benar suntuk.” kata Ibu membelaku, yah, ibu mertuaku selalu membelaku. “Bukan aku gak mau, Bu. Siapa teman Keyra di rumah?” kaya Mas Abian membuang nafasnya dengan kasar. “Sepertinya kamu lupa, Abian. Bukankah Keyra ikut privat dari jam dua siang sampai jam enam malam, pulang Areta mengajar bisa langsung jemput Keyra di tempat les privatnya.” kata mertuaku lagi. “Baiklah, aku izinkan kamu, Areta” akhirnya ucapan itu dilontarkan juga sama Mas Abian. Sebenarnya ini hanya jadi alasanku saja, disisi lain aku memang rindu mengajar bersama teman-temanku. Jam mengajarku hanya butuh waktu satu jam saja dan dua jamnya akan aku gunakan untuk mencari tahu tentang pernikahan suamiku. Aku akan mencari tahu sampai ke akar-akarnya. “Terima kasih, Mas.” kataku sangat bahagia. Aku tidak sengaja melihat ke arah Siska yang ternyata tersenyum padaku, bahkan dia mengangkat kedua jempolnya padaku, sepertinya dia sangat setuju jika aku mengajar ngaji lagi. Senyuman itu adalah senyuman yang pertama kali aku lihat saat menikah dengan Mas Abian. Bagaimana menurut kalian? Jangan lupa dikomentar, ya.Seperti biasa, aku mengantar Mas Abian sampai teras rumah saat dirinya berangkat bekerja. Sedangkan Keyra sudah berangkat bersama Siska.Walaupun selama satu tahun ini Siska sikapnya berubah jadi tidak suka padaku, tetapi entah kenapa yang paling dekat sama putriku diantara semua iparku adalah Siska. Aku juga tidak tahu kenapa, hatiku lebih nyaman melihat Keyra bersama Siska walaupun dia sangat membenciku. Begitupun juga dengan Keyra, dia lebih nyaman bersama tante Siskanya ketimbang tantenya yang lain. Entahlah, mungkin karena Siska benar-benar tulus menyayangi putriku itu. Bukan tanpa sebab aku berkata seperti ini, saat itu aku pernah bertanya pada putriku, apakah dia benar-benar nyaman sama Tante Siskanya atau tidak. Aku bertanya seperti itu karena melihat Siska benar-benar tidak menyukaiku, dan jawaban yang Keyra berikan adalah dia lebih menyukai saat bersama tante siskanya dari pada tantenya yang lain. “Areta …,” panggil ibu mertuaku
Sedangkan aku yang sudah lama menangis di taman tersebut sampai tak ingat waktu, hatiku bagai tertusuk belati nan tajam. Menyembuhkannya begitu perih, hanya ada sakit yang terus mendera. Tanpa Areta sadari sejak tadi ia diperhatikan oleh seorang pria. Aku yang awalnya ingin menjalankan program hamil pun tak jadi, hatiku sudah benar-benar sakit. Aku tidak ingin memiliki anak dari Mas Abian lagi, apalagi aku melihat dengan jelas dan pakai mata kepalaku sendiri.Aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap wanita yang sedang hamil besar itu. Yah, pria yang membantu wanita hamil itu adalah suamiku sendiri siapa lagi jika bukan Mas Abian Pratama. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat suamiku begitu perhatian terhadap istri keduanya. Bahkan Mas Abian selalu mengatakan cinta pada maduku itu. Aku bangkit dari kursi taman rumah sakit itu, aku tak ingin lemah, aku harus menuntut keadilan untuk diriku sendiri. Sebelum itu aku harus men
“Areta Permata Sari,” ucap pria tersebut membaca kartu nama wanita yang dilihat di taman rumah sakit tersebut, “nama yang cantik seperti orangnya.”Bram yang mendengar ucapan sahabatnya merasa heran, ini pertama kali dirinya mendengar Cakra memuji seorang wanita. Ah, apakah sahabatnya itu akan jatuh cinta lagi? Pikir Bram. “Bram, kamu cari tau tentang wanita tadi. Sekaligus dengan wanita paruh baya yang juga mengintai dirinya,” ucap Cakra pada asisten pribadinya, bukan hanya asisten saja, tetapi Bram merupakan sahabat Cakra dari kecil.Cakra Adimarta merupakan pewaris satu-satunya perusahan Adimarta Company. Perusahan mereka sudah berjalan Go Internasional. Bisa dikatakan keluarga Cakra merupakan orang terkaya di Jakarta. Banyak sekali wanita yang mengejar dirinya, tetapi tidak pernah ditanggapi olehnya. Bukan hanya wanita yang mengejar pewaris tunggal itu, bahkan CEO dari masing-masing perusahan di Jakarta banyak yang mencar
Tiba-tiba saja wanita paruh baya itu melambaikan tangan pada pengunjung yang baru saja tiba, aku menatap ke arah mana dia menatap juga. Astaga itu kan? Aku diam mematung, tubuhku terasa kaku untuk digerakkan. Entahlah, bahkan bibirku terasa kelu untuk bicara. Ternyata wanita paruh baya itu adalah ibu mertuaku, wajahnya terlalu jelas saat dirinya membalik badan untuk memanggil pelayan cafe ini, sedangkan pelanggan yang baru masuk itu adalah suamiku. Kenapa? Kenapa ibu mertuaku bersama dengan Mas Abian dan Wanita hamil itu? Berbagai macam pertanyaan merajalela dalam pikiranku. Aku mencoba menahan air mata yang sudah mengembun. Pikiranku berkelana disaat Almarhum Ayah dan Bunda tidak merestui hubungan kami. Apakah ini teguran dari Sang Maha Kuasa, karena aku tidak mendengar ucapan orang tua. Aku bingung harus melakukan apa. Apakah ibu mertuaku yang selama ini aku anggap sebagai pengganti Almarhumah Bunda ternyata mengetahui tentang perselingkuhan suamiku? Jika memang benar dia m
Ibu Ida yang tetap memperhatikan cermin di depannya tiba-tiba saja tersenyum smirk saat melihat siapa yang ada di dalam cafe itu juga. “Ini baru permulaan, Areta,” gumam Ibu Ida.Abian yang tidak jelas mendengar gumaman ibunya langsung saja menatap dan bertanya padanya, “Ibu bicara apa?”Ibu Ida hanya menggeleng dan berkata, “Ibu tidak bicara apa-apa,”“Cobalah kamu hubungi Istrimu, apakah dia baik-baik saja di rumah sendiri,” pinta Ibu Ida pada Abian. “Dia sudah besar, Bu. Untuk apa Mas Abian menghubungi istrinya yang pertama,” keluh Diana dengan wajah kesalnya. Dia gak suka melihat Abian terlalu dekat dengan istri pertamanya itu. Dia akan melakukan apapun untuk membuat Abian melupakan Areta. Diana sudah lama mengejar Abian sejak masa kuliah dulu, tetapi Abian tidak sedikitpun melirik dirinya. Saat ada kesempatan untuk mendapatkan Abian, Diana tidak menyia-nyiakan semuanya. Bahkan saat ini semua milik Abian menjadi miliknya, bahkan tubuh laki-laki yang dari dulu dia idam-idamkan i
Seperti yang ibunya bilang, lambat laun Areta pasti akan mengetahuinya. Bagaimanapun dia menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga. Namun disisi lain, ia tidak ingin kehilangan Areta juga. Tanpa mereka berdua sadari, seseorang mengepalkan tangannya dibalik dinding ruang keluarga tersebut.Dia terus berdiri mendengarkan apa yang Ibu Ida bicarakan bersama Abian. Bahkan rencana yang mereka berdua rencanakan, didengar olehnya..“Sungguh setiap orang di keluarga ini memiliki topeng tersendiri,” gumam seseorang yang ada di balik tembok tersebut. “Kamu tidak ingin menceraikan Areta?” tanya Ibu Ida pada putranya. Abian yang mendengar itu tentu saja terkejut. Bukankah ibunya ini sangat menyayangi Areta istrinya? Lalu kenapa ibunya seperti ini? Abian tidak mungkin melepaskan wanita yang sangat sulit didapatkan dari dulu. Tidak ingin berburuk sangka, Abian langsung saja bertanya pada ibunya, “Kenapa Ibu bicara begitu? Tidak mungkin aku menceraikan Areta, dia adalah istri yang se
Tidak lama Ida mengambil kunci cadangan kamar diujung barat, setelah sampai di depan kamar tersebut, ia membuka gagang pintu kamar itu, dan tampaklah seorang gadis berusia sekitar 23 tahun menatap takut dirinya.“I-Ibu …,” ucap Gadis 23 tahun itu dengan gugup. Ida terus melangkah mendekati gadis itu, kemudian dia berkata dengan tatapan tajamnya, “Apa yang kamu lakukan di balik dinding itu?”Sedangkan gadis yang sedang duduk di kursi belajarnya tiba-tiba saja bangun dan melangkah mundur dengan kaki bergetar saat wanita yang dipanggil Ibu itu mendekatinya.“Jangan takut, Sayang,” ucap Ida pada gadis tersebut, “kemarilah, Aku ini ibumu, Nak.”Gadis itu hanya menggeleng dengan kaki yang tetap melangkah mundur.“Ini Ibu, Sayang. Bukan malaikat mautmu,” ucap Ida dengan senyum smirknya, bahkah dengan suara yang lemah lembut Ida ucapkan pada gadis itu, tetapi tidak bagi gadis tersebut. Bahkan suara lembut ibunya seperti maut yang akan mencabut nyawanya. Kakinya bergetar, dia ingin berlari, t
Ida menerima panggilan tersebut, kemudian dia berbicara pada orang yang ada di seberang sana, “Besok pagi kita akan membuat pertunjukkan baru di rumah ini.” Ida mematikan sambungan telponnya, lalu ia melirik ke arah di mana Siska masih meringis menahan sakit pada pahanya.“Sayang sekali, kamu tidak dapat menonton pertunjukkan yang akan aku buat besok pagi. Tidurlah, besok aku panggilkan dokter pribadiku untukmu. Kurang baik apa ibumu ini, hmm,” ucap Ida mengejek pada Siska. Ida pun melangkah keluar dari kamar anak tirinya itu. Melihat ibu tirinya pergi, Siska berusaha bangun sembari meringis menahan sakit, tidak lama setelah sekian kali mencoba, akhirnya dia bisa bangun dan jalan tertatih menuju laci yang mana selalu dia sediakan obat, karena bukan hanya satu kali ini saja dia disiksa oleh ibu tirinya itu. Semenjak kejadian lima tahun lalu, dia sudah mulai merasakan rasa sakit yang selalu diberi oleh ibunya tanpa sepengetahuan Abian dan Ririn, tetapi ini pertama kali dia diberikan