Share

Bab 4

Aku mendengkus samar, kenapa pagi ini aku mendengar kalimat yang membuat dadaku terasa sesak dari kedua orang yang aku cinta. 

Apakah ini petunjuk awal? Baiklah, sepertinya aku tahu harus memulai dari mana. 

“Mas …,” panggilku lirih, tetapi masih bisa didengar olehnya.

Suamiku memutar badannya menghadapku, tiba-tiba ponsel yang dipegang suamiku yang menyatu dengan telinganya jatuh begitu saja, kulirik ponsel Mas Abian jatuh ke lantai. 

Dahiku mengernyit. Apakah aku salah lihat atau sebaliknya? Itu bukan ponsel yang biasa Mas Abian pakai, bahkan tadi malam pun saat Mas Abian membalas pesan anak buahnya, dia menggunakan ponsel yang biasa dipakai sejak kami belum menikah. Namun kenapa ponsel yang jatuh ini berbeda? Apakah dia membeli ponsel baru? Ah, aku ingin mencecarnya dengan berbagai pertanyaan.

Baiklah kalau begitu, aku ingin melihat bagaimana ia akan menjawab jika aku bertanya tentang ponsel barunya. Aku berusaha mencoba bersikap biasa saja, walau hati ini tersayat akan selembar foto yang kulihat waktu itu. 

Kenapa hatiku mengatakan jika foto itu bukan sebuah rekayasa, tetapi sebuah kebenaran yang dimana aku belum memiliki bukti untuk hal itu. 

“Kamu beli ponsel baru, Mas?” tanyaku padanya, Ah, rasanya aku tak ingin basa-basi lagi, “lagi telponan sama siapa?”

Perubahan mimik wajahnya terlihat jelas, sepertinya dia lagi memikirkan apa yang ingin ia katakan. Mas Abian langsung saja mengambil ponsel yang jatuh di lantai tadi, dia buru-buru memasukkan ponsel itu ke sakunya, mungkin takut jika aku sadar kalau itu ponsel barunya. Aku sudah melihat model ponsel tersebut, ponsel keluaran terbaru. 

Huf, walaupun aku mencoba biasa saja, tetapi hatiku begitu sakit, sesak, rasanya aku sangat sulit bernafas. Namun, Aku tetap menunggu jawaban apa yang ingin dia berikan untukku.

“Sejak kapan kamu ada di sini, Areta?” tanya Mas Abian, “kamu tidak menyiapkan sarapan untuk semua keluargaku?” 

Huh, sepertinya dia ingin mengalihkan jawaban dari pertanyaan yang  aku berikan untuknya. 

“Baru saja, Mas,” kataku, “ada Ibu yang sudah masak, aku disuruh Ibu menyiapkan kebutuhan Keyra dan Mas Abian saja.”

“Oh, begitu, kamu gak perlu menyiapkan kebutuhanku, Sayang. Aku bisa sendiri,” kata Mas Abian lembut.

Kenapa mendengar perkataan lembutnya tidak membuatku senang seperti biasanya, huh, dasar kau, Mas.

“Kenapa kamu tidak jawab pertanyaan ku, Mas,” kataku mulai geram.

“Pertanyaan apa, sih, Sayang,” katanya seolah aku tidak bertanya apapun padanya.

“Kapan kamu beli ponsel? Kamu telponan sama siapa tadi?” aku mencecarnya  dengan pertanyaan yang sama.

“Oh, ini ponsel relasi bisnisku yang ketinggalan. Tadi istrinya menelpon, aku disuruh pura-pura untuk menjadi dirinya.” Jawabnya dengan santai, tidak seperti awal aku melihat dirinya yang ketangkap basah.

Aku mengernyit, jika itu ponsel relasi bisnisnya, gak mungkin orang itu bisa menghubungi Mas Abian untuk pura-pura menjadi dirinya sendiri. Ah, sangat tidak masuk akal sekali.

Aku mengangguk untuk percaya saja padanya, menunggu Mas Abian jujur sendiri mungkin mustahil.

“Oh, ya sudah, Mas. Ayok, kita sudah ditunggu sama yang lain di bawah,” kataku

“Baiklah, Sayang. Ayo, kita ke bawah, Mas juga sudah sangat lapar,” ucapnya.

Aku meliriknya dengan ekor mataku saat mengambil tas kerjanya, Mas Abian menghembuskan nafas dengan lega. 

Huh, ternyata jelas sekali dia menyembunyikan sesuatu dariku.

Buliran bening itu terasa mengembun di pelupuk mataku. Sakit, sakit sekali mengetahui bahwa suamiku dengan mudahnya berpaling kelain hati. Jangan sampai air mata ini jatuh di depannya, aku tidak ingin dikatakan wanita lemah. Ya, aku akan membuktikan bahwa aku adalah wanita kuat yang tidak mudah kamu bohongi dan sakiti sesuka hatimu. 

Aku memeluk tangannya dengan manja, kusandarkan kepalaku di bahunya, tanganku yang satu membawa tas kerja Mas Abian. Inilah kebiasaan ku setiap pagi saat memanggilnya untuk sarapan.

Sampai di meja makan ternyata semuanya sudah berkumpul, semuanya tersenyum padaku kecuali adik iparku yang bernama Siska, awal aku menikah dengan Mas Abian dia yang paling antusias padaku, tetapi entah kenapa, sudah satu tahun ini dia bersikap seperti sangat membenciku. 

“Ini, Mas.” kataku memberikan satu piring yang sudah berisi lengkap nasi dan lauk-pauk yang dimasak Ibu.

“Terima kasih, Sayang,” aku hanya tersenyum membalas ucapannya.

“Mas, bolehkah hari ini aku mengajar mengaji lagi? Aku sangat suntuk di rumah,” kataku di sela-sela kami sarapan pagi.

“Tidak bisakah kamu bekerja di rumah saja seperti biasanya?” tanya Mas Abian padaku, aku tahu dari dulu suamiku itu tidak mengizinkan aku untuk bekerja.

“Aku bosan di rumah terus, rumah selalu sepi dari pagi sampai malam, kalian semua selalu pulang saat jam makan malam. Aku hanya ingin mengisi kekosongan itu saja, palingan aku ngajarnya juga hanya tiga jam, Mas,” ucapku lirih pada Mas Abian, tetapi masih di dengar oleh yang lainnya. 

“Berikan saja istrimu izin, Abian. Kasian dia, dia pasti benar-benar suntuk.” kata Ibu membelaku, yah, ibu mertuaku selalu membelaku.  

“Bukan aku gak mau, Bu. Siapa teman Keyra di rumah?” kaya Mas Abian membuang nafasnya dengan kasar.

“Sepertinya kamu lupa, Abian. Bukankah Keyra ikut privat dari jam dua siang sampai jam enam malam, pulang Areta mengajar bisa langsung jemput Keyra di tempat les privatnya.” kata mertuaku lagi.

“Baiklah, aku izinkan kamu, Areta” akhirnya ucapan itu dilontarkan juga sama Mas Abian. 

Sebenarnya ini hanya jadi alasanku saja, disisi lain aku memang rindu mengajar bersama teman-temanku. Jam mengajarku hanya butuh waktu satu jam saja dan dua jamnya akan aku gunakan untuk mencari tahu tentang pernikahan suamiku. Aku akan mencari tahu sampai ke akar-akarnya.

“Terima kasih, Mas.” kataku sangat bahagia. 

Aku tidak sengaja melihat ke arah Siska yang ternyata tersenyum padaku, bahkan dia mengangkat kedua jempolnya padaku, sepertinya dia sangat setuju jika aku mengajar ngaji lagi. Senyuman itu adalah senyuman yang pertama kali aku lihat saat menikah dengan Mas Abian. 

Bagaimana menurut kalian? Jangan lupa dikomentar, ya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status