Share

Bab 3

Aku melangkah mendekati dirinya, mencoba bersikap seperti biasa saja, walaupun terkadang mulut ini ingin langsung bertanya padanya, apakah ada kaitan dirinya dengan foto pernikahan suamiku itu?

“Pagi, Bu,” sapaku sembari tersenyum

Mertuaku bergegas mematikan sambungan teleponnya, dia kelihatan seperti maling ketangkap basah. Wajah pucatnya pun terlihat jelas kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu.

“Ah, menantu Ibu sudah bangun ternyata. Bagaimana tidurmu, Sayang?” pertanyaan seperti biasa yang setiap pagi selalu dia lontarkan padaku, suara lembut dan menghangatkan itu selalu kudengar. 

“Tidurku nyenyak, Ibu lagi masak?” tanyaku basa-basi dan dijawab anggukan saja, aku bertanya lagi karena penasaran, “lagi telponan sama siapa, Bu?”

“Ah, itu …,” ucapnya terjeda, kelihatan sekali kalau dia sedang memikirkan jawaban apa yang akan dia beri untukku. 

Aku terus memperhatikan perubahan wajahnya, kegelisahan yang dia rasakan begitu nampak di depanku. Namun, tidak lama dari itu ekspresi wajahnya kembali seperti semula, senyum manis dan kasih sayang yang selalu dia berikan untukku membuat diriku begitu merindukan Almarhumah ibuku.

“Teman Ibu, Sayang,” jawabnya, aku hanya mengangguk saja, tidak ingin bertanya lebih dalam lagi. Aku akan mencari tahu semuanya sendiri, tetapi dari mana aku memulai cari tahu tentang foto itu? Ah, sudahlah, nanti saja aku pikirkan, lebih baik aku membantu ibu mertuaku masak saja. 

“Biar aku gantikan ibu masaknya,” kataku yang ingin ambil alih pekerjaannya, “lebih baik Ibu duduk saja sambil minum teh seperti biasanya, biar aku buatkan Ibu teh dulu.”

“Gak usah, Areta,” tolak ibu mertuaku dengan halus, “lebih baik kamu siapkan keperluan Keyra dan Abian saja, biar Ibu saja yang masak, ini juga bentar lagi sudah matang.”

“Beneran, gak apa-apa, Bu?” tanyaku tidak enak hati.

Ibu mertuaku selalu seperti ini, sering membantuku untuk beres-beres rumah, walaupun hanya sekedar saja yang dibantu, tetapi itu cukup untuk meringankan pekerjaanku. Aku juga tidak mempermasalahkan hal itu. Toh aku menikah dengan Mas Abian  juga buat mengurus mertuaku sendiri. 

Jadi, seharusnya  mertuaku itu tidak perlu bekerja. Terkadang tetangga yang lain sering bertanya padaku ‘Betah, ya,  kamu tinggal satu rumah bersama mertua dan ipar-ipar kamu itu?’ Itu adalah pertanyaan yang setiap hari aku dengar.  

Yah, aku tinggal satu rumah bersama mertua dan saudara-saudara suamiku yang lain, di sini Mas Abian yang memimpin perusahaan keluarga mereka, karena hanya Mas Abian  anak laki satu-satunya, semua kebutuhan keluarga ini juga Mas Abian yang urus.

“Iya, Nak. Ibu gak apa-apa, ini juga pekerjaan yang sudah biasa Ibu lakukan,” ucap Ibu mertuaku dengan senyum hangatnya.

Ah, kenapa aku sampai punya pikiran kalau foto pernikahan Mas Abian ada kaitan dengannya. Astagfirullah, gak seharusnya aku berprasangka buruk pada mertua sebaik dirinya. 

“Terima kasih, Bu. Kalau begitu aku ke atas dulu, mau menyiapkan kebutuhan Keyra dan Mas Abian,” ucapku dan dijawab anggukan serta senyuman manisnya yang tidak pernah ketinggalan. 

 Aku pergi ke kamar Keyra terlebih dahulu untuk menata rambutnya, anakku itu memang sangat suka jika rambutnya ditata berbagai macam model.

“Hay, anak Mama yang cantik. sudah siap belum?” tanyaku setelah tiba di kamarnya.

“Rambut Keyra belum dikepang, Ma.” ucapnya sembari memanyunkan bibirnya.

Menggemaskan sekali putriku itu. Walaupun Mas Abian memiliki banyak harta, aku selalu mengajarkan anakku untuk mandiri, seperti mandi dan pakai bajunya sendiri. Sehingga kalau pagi-pagi aku tidak terlalu repot untuk hal itu.

Tanganku terulur untuk menyisir rambutnya lalu mengepang rambut indah itu, “Cantik sekali anak Mama ini. Sudah siap! Yuk, kita sarapan sama Nenek, Tante dan yang lainnya di bawah.”

“Keyra turun dulu, ya. Langsung sarapan saja sama nenek dan Tante. Mama mau panggil Papa dulu,” ucapku setelah kami berada di luar kamar putriku.

“Iya, Ma,” jawabnya, seperti biasa dia tidak pernah membantah.

Aku melangkah menuju kamar pribadiku dan Mas Abian. Aku membuka ganggang pintu kamar kami. 

Aku masuk tanpa menimbulkan suara. Tanpa Mas Abian ketahui, bahwa aku ada berada beberapa langkah darinya.

Mas Abian berdiri menghadap ke balkon, dia tidak sadar aku berada di belakangnya.

Saat aku ingin menyapanya, tiba-tiba saja dia berkata, “Aku juga merindukanmu,”

Aku diam mematung mendengar ucapan suamiku itu. Ternyata dia sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon, Siapa yang dirindukan olehnya? Jika aku sudah mempunyai bukti bahwa benar kamu mengkhianati pernikahan ini, lihat saja, Mas, aku tidak akan tinggal diam.

Yuk, komentar dibawah ini 👇🏻

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status