Hari senin yang cerah menyapaku diawal minggu ini. Perkenalkan namaku Arabella Swastika biasa dipanggil Tika. Aku bekerja di perusahaan penerbitan di bagian editor. Hari-hariku berjalan seperti biasa hingga dihari pimpinan timku harus diganti, karena dia yang naik jabatan. Padahal aku sudah cocok dengan kepemimpinannya yang menurutku fleksibel. Kembali ke acara perpisahan, hanya makan-makan yang lebih non-formal serta kekeluargaan disebuah restoran yang terletak disebrang restoran.
“Kenapa Pak Hari harus pindah cabang si pak?” tanya Elli salah satu temanku.
“Itu sudah ketentuan perusahaan, lagipula posisi Bapak besok sudah terisi dengan bos baru kalian santai saja,” kata Pak Hari santai.
“Bukan masalah itu pak, kami memang sudah cocok dengan sistem kepemimpinan Bapak!” timpal Restu.
“Kalian akan cocok dengan bos yang baru gaesss. Tidak perlu kawatir buat yang ciwi-ciwi juga Bapak dengar bos yang ini masih muda dan single,” Tuturnya menatap kami dengan nada menggoda diakhir kalimat.
Aku hanya menyimak obrolan mereka. Sesekali menimpali karena memang sifatku yang agak pendiam. Sebelum acara makan-makan usai, Pak Hari sempat memberi masukan padaku. Agar tidak perlu risau dengan pergantian pimpinan. Aku mengangguk saja, kuyakin beliau juga paham bagaimana sifatku yang jarang bicara bila tidak diminta.
Pulang dari acara tersebut, aku menunggu bus di halte seperti biasa. Waktu masih menunjukkan pukul 20.00 malam. Biasanya masih tersisa satu bus, untuk sampai kedaerah dekat komplek apartemenku. Setelah hampir setengah jam menunggu. Akhirnya bus yang aku tunggu datang juga. Dijam seperti ini, bus sudah agak sepi. Tidak seperti dijam berangkat dan pulang kantor.
Setelah mendapat tempat duduk, kurasakan hanphoneku bergetar. Langsung aku ambil saja. Takut ada keperluan kantor atau kepentingan lainnya. Setelah aku lihat ternyata, panggilan dari Ibuku. Batinku berkata, tumben Ibu menelpon dijam segini biasanya juga jam sibuknya kantor hemmm.
“Iya Bu,” jawabku pelan.
“Lama sekali terima panggilan dari Ibu Bell,” Jawab ibu setengah menggerutu.
“Iya maaf tadi Bella naik ke bus jadi baru bisa angkat panggilan ibu,” Jawabku pelan meredam kekesalan Ibu.
“Hem baru mau pulang kantor?” tanya Ibu.
“Iya ini diperjalanan Bu,” ucap Bella. “Ada apa Ibu telfon malam-malam biasanya juga dijam kantor telfonnya?”.
“Ini ada hal penting yang mau disampaikan, kemarin ada keluarga tante winda datang kerumah,”
“Lalu?” ujarku menyela.
“Ck jangan menyela dulu ibu belum selesai bicara,” balas Ibu berdecak.
“Iya-iya,” jawabku sambil mengangguk.
“Beliau datang bersama suami dan anak lelakinya. Kamu masih ingat anaknya tante winda kan, yang sering main sama kamu waktu kalian masih SD?” tanya Ibu terdengar antusias.
“Yang mana ya bu,” balasku sambil mencoba mengingat. “Bentar Bu Bella turun dulu ya,” aku beranjak dari dudukku dan menempelkan kartu pas untuk pembayaran bus.
“Namanya Rengga aditama, kamu lupa ya?” kata Ibu terdengar mendesis. Aku bisa membayangkan wajahnya mengernyit lucu. Walau aku tidak dapat melihatnya.
“Entahlah Bu itu sudah lama sekali, memangnya ada apa dengannya?” kataku cuek sambil berjalan melewati lobi ke lift.
“Nanti kamu pasti ingat setelah ketemu sama dia Bel” katanya yakin. Ada jeda setelah Ibu berbicara demikian kemudian beliau berucapa kembali. “Om Gilang dan Tante Winda datang kerumah bermaksud untuk melamar kamu sayang”. Aku sempat terkejut sesaat tapi kemudian kulanjutkan langkahku masuk lift. “Jadi minggu depan ibu harap kamu bisa pulang untuk acara pertunangan kamu.” Kata Ibu membuatku lebih terkejut dari sebelumnya.
“Sebentar Bu, Bella masuk kamar dulu ya ini masih dilift,” sejenak kutahan percakapan ini, untuk berpikir mungkinkan Ibu sudah menerima lamaran itu. Sesampainya dikamar, aku segera melepas sepatu kemudian masuk ke kamarku.
“Bella..,” panggilnya. “Bella apa kamu masih disana?” tanyanya lagi memastikan keberadaanku.
“Iya Bu Bella dengar kok,”
“Nah itu, minggu depan kamu harus bisa menyempatkan waktu untuk pulang ya, awas kalau tidak Ibu cincang kamu,” serunya galak. Aku bergidik membayangkannya.
“Apa Ibu sudah menerima lamaran itu?” tanyaku ingin tahu.
“Iya. Ibu sudah menerimanya, toh Rengga anak yang baik dan sudah lama mengenal kamu Bel,” ujarnya santai membuatku kembali menata kesabaran.
“Tapi itu sudah lama sekali Bu, bahkan Bella sudah tidak ingat,” kataku sengit sarat ketidaksukaan.
“Setelah kalian bertemu, kamu pasti mengingatnya Bell. Sudah ya kamu harus istirahat dan jangan lupa minggu depan oke. Ibu tutup dulu telfonnya,” katanya sepihak.
Sambungan terputus, aku hanya menghela nafas. Seraya merebahkan tubuhku di ranjang. Ini terlalu mendadak, bahkan aku tidak pernah berpikir untuk mengakhiri usia lajangku secepat ini hufft.
Aku bangkit beranjak menuju kamar mandi, aku butuh berendam. Seharian ditempat kerja yang melelahkan. Dan lagi kabar buruk yang datang tiba-tiba. Hampir satu jam aku merendam diri, dengan aroma terapi yang menenangkan. Setidaknya aku masih dapat tidur nyeyak, setelah menghadapi dunia yang kejam.
Pagi hari ditempat kerja kurasakan banyak melamun hingga kurasakan tepukan di pundakku. Aku tersadar karenanya. “Hey Bell, aku sudah memanggilmu dari tadi!,” kata Elly. “Sory Ell, ada apa?” tanyaku sebelum fokus kembali pada layar dihadapanku. “Bos baru akan datang sebentar lagi. Aku rasa memang dia sudah ada dikantor dari pagi tapi tertahan di HRD. Biasalah Mbak Susi kan emang suka ngobrol,” jelas Elly yang aku dengarkan sekilas. “Oh begitu,” balasku cuek. “Dan kuharap saat dia datang kau jangan mela
“Ah akhirnya anak Ibu turun juga. Ini Win yang dulu suka main sama Rengga,” kata ibu menyambutku. Aku melangkah menghampiri Ibu diruang tamu. “Yuk Bell sini duduk sebelah Ibu,” ucapnya menepuk tempat disisinya. Aku dudukan diriku disebelah beliau, masih dengan menundukan kepala. Aku tidak berani manatap tamu Ibu. Karena malu diperhatikan sedemikian rupa. Dari aku berjalan hingga duduk disebelah ibu. “Bagaimana Rengga, kamu sudah mengenalinya kan?” Tanya seorang wanita, yang kuperkirakan Tante Winda. Kemudian aku tak mendengar jawaban dari yang ditanya. “Oke Mbak Rita, sepertinya langsung saja ke inti acara ini,” tukas seorang pria. “Ma tolong cic
POV Rengga “Lihat Win, anak kita sudah cocok kan bersanding dipelaminan,” seru Tante Rita senang. “Benar mbak, bagaimana kalau sekalian kita tentukan tanggal pernikahannya Pa?” “Bagaimana kalau 2 minggu dari sekarang Mbak. Tidak baik terlalu lama menunda niat baik. Lebih baik kita percepat saja bukan begitu Ma,” aku memasang wajah tenang, walau dalam hati aku bersorak. “Iya Mbak, Bagaimana?” aku lirik Tante Rita sekilas. “Kalau aku sih, setuju-setuju saja Win sebagai orang tua. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk anakku,” ujarnya disertai senyum tipis, me
POV Bella Setelah selesai membantu Ibu beres-beres dan mengantar keluarga om gilang sampai depan. Aku langsung kembali ke kamar mengistirahatkan badan dan jantungku, yang sampai sekarang masih berdetak tak beraturan saat didekat Rengga. Hufft padahal kami baru bertemu sekali, tapi kenapa aku selalu gugup didekatnya. Apalagi ketika dia menatapku dalam. Tatapannya itu jujur saja dapat menenggelamkan akan pesonanya. Segera kutepis pikiran-pikiran itu, tak kusangka ternyata diluar ekspektasi. Rengga bahkan dapat meluluhkanku hanya dengan tatapannya. Aku segera beranjak kuruang ganti, berganti baju, cuci muka dan tidur. Tenang Bella besok kamu masih harus bekerja seperti biasa hufft. Aku lihat pan
POV Rengga Setengah jam tak terasa. Disinilah aku menunggu Bella di lobi kantor. Seperti yang sudah aku janjikan tadi. Tak lama dia datang menghampiriku “Mas sudah lama menunggu?” tanyanya. “Belum lama Bell. Ayo,” aku langkahkan kakiku mendahuluinya. Aku masih menghindari gosip yang miring. Walau aku sebenarnya tidak peduli. Tapi yang kupedulikan adalah gadis dibelakangku. Dia harus merasa nyaman disisiku, jangan sampai dia takut dan menjauhiku. Itu mimipi buruk. Aku bukakan pintu untuknya. Dia merasa canggung, meski sudah kubuat sesantai mungkin.
POV Bella Setelah acara selesai, aku kemudian langsung dibawa ke rumah Mas Rengga. Baru aku sadari kalau selama ini. Dia tidak pernah pulang kerumah orang tuanya, melainkan rumahnya sendiri. Sebenarnya aku terkejut, ketika Ibu sudah menyiapkan semua keperluanku. Jadi sekarang, aku akan menghabiskan waktu disini. Dirumah ini. Mas Rengga pamit untuk membersihkan diri di kamar lain. Karena kamar mandi di kamarnya, baru saja aku pakai. Aku yang sudah segar setelah mandi. Ingin segera membereskan baju, untuk kurapihkan diruang ganti. Tapi sebelum itu, pintu terbuka. Tampaklah Mas Rengga dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Rambutnyapun, masih basah khas orang selesai mandi. Dia kemudian segera menghampiriku, yang masih terpekur menatapnya. “Kenapa menatap Mas sep
POV Rengga Aku buka mata perlahan. Ternyata aku tidak bermimpi soal semalam, memang kenyataan. Didepanku adalah bidadari yang sudah dikirimkan tuhan untukku. Lama aku menatapnya. Aku lihat dia menggeliat didalam pelukanku. Bergerak menggesek juniorku, yang entah kapan sudah menegang. Berusaha diam, tapi aku sudah tak tahan. Akhirnya, aku tenggelamkan juniorku didalam vagina Bella hati-hati. Dia berangsur bangun, karena pergerakanku didalamnya. “Mas...” erangnya. “Ah..” “Iya sayang, maaf membuatmu terbangun,” Aku tambah kecepatan hujamanku. “Ah, ah, ah...” desahnya. Suara kecipak benturan tubuh mengiringi pagi kami. Semakin kasar pe
POV Bella. Setelah beberapa hari cuti, aku mulai bekerja seperti biasa. Bedanya hanya, sekarang aku tidak lagi berangkat ke kantor sendirian. Mas Rengga sempat menyinggung soal bulan madu. Tapi kemudian dia berkata, kalau masih terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk. Aku mewajarinya dan tidak memaksa. Karena aku juga tidak begitu tertarik, dengan yang namanya bulan madu. Sekarang sebagai seorang istri. Tugasku bertambah, dari mulai menyiapkan makan, keperluannya, hingga urusan ranjang. Sebenarnya aku tidak merasa terbebani. Hanya saja, menuruti nafsu Mas Rengga. Yang aku pikir, sedang menggebu setelah menikah. Begitu memforsir jam tidurku. Kadang aku berpikir, kenapa dia bisa jadi sekuat
POV Bella Pagi hari sebelum matahari menampakkan cahayanya. Mas Rengga sudah membangunkanku dengan cara kesukaannya. Berjalan pelan ke tepi pantai. Kami bertelanjang kaki menikmati air laut. Yang menjilat kaki kami seiring deburnya yang menepi. Lalu sedikit menjauh, duduk diatas pasir. Tanpa meminta, Mas Rengga sudah mengerti. Dengan menarikku perlahan untuk duduk dengan nyaman. Sweternya sudah membukus setengah badanku. Melindungi dari terpaan hawa dingin dipagi hari. Semalam, dengan telaten dia membereskan pakaian kami, ke dalam lemari yang sudah disediakan. Dan diluar dugaanku, dia bertahan tanpa menyentuhku. Walau setiap kali bersama, dia hampir lepas kendali. Posisiku begitu nyaman,
POV Bella Hari selanjutnya, aku dikejutkan dengan kehadiran Dokter Brian saat makan siang. Mas Rengga juga memilih makan siang dirumah. Padahal jarak antara kantor kerumah ini, lebih jauh. Setelah berbincang santai dengan dokter Brian. Aku mulai paham, alasan kenapa dia datang. Bayangan yang memaksa hadir dalam pikiranku tersebut. Menjadi ketakutan tersendiri untukku. Setiap kali melihat ranjang dari sofa, yang berada bersebrangan. Selalu mengingatkanku, pada pesan Renita. Kemudian ulasan bayangan Rengga dan Renita. Bergumul dibawah selimut yang sama. Dengan tanpa satu helai kain yang menutupi tubuh mereka. Agaknya sering kali mengganggu pikiran dan mempengaruhi moodku. Selama sisa kami berad
POV Rengga Andre datang setelah 15 menit kami menunggu. Aku silahkan dia memeriksa kondisi Bella, yang masih belum sadar. Aku was-was, menunggu hasil pemeriksaan Bella. Melihat raut wajah tenang Andre. Kini terasa tampak lebih mengkawatirkan. Dia sudah merapihkan alatnya, memasukkan kedalam tas. “Apakah Bella pernah punya riwayat gangguan kecemasan?” tanya Andre tenang. Pertanyaan Andre jelas tidak biasa. Mengingat Bella selalu tampak tenang, diam juga ceria. “Dia pernah mengalami sedikit trauma dibangku SMA Dok. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya saat ini?” tanya Ibu cemas. Andre masih terlihat mengamati Bella yang belum sadar. “Sejauh ini. Itu diagnosa yang bisa saya berikan. Mung
71 POV Bella Setelah perjalanan yang cukup lama. Karena dihadang kemacetan jakarta. Akhirnya kami sampai dikedai es krim. Yang biasa aku kunjungi bersama Mas Rengga. Dia membantuku turun dari mobil. Sedangkan kedua anak lelakiku, sudah gesit menarik kedua tanganku. “Hati-hati Aldo, Ares ingat kondisi Mama,” kata Mas Rengga dengan nada tegas. Aku usap kedua puncak kepala mereka. Berusaha mencairkan suasana, dengan senyuman lembut. Sedangkan Amira sudah digendong Mas Rengga, mengikuti dari arah belakang. “Papa hanya kawatir sayang,” ucapku menenangkan. Setelah kami sudah duduk didepan kedai.
POV Rengga Dilorong menuju ruang praktek Andre. Aku lihat, Renita sudah mengirimkan nama ruangan, tempat Mamanya dirawat. Apakah tepat, jika aku mengajak Bella untuk ikut menjenguk Mamanya Renita. Aku baru saja dimaafkan. Aku tidak mau lagi diacuhkan oleh Bella. Batinku cemas. Aku berjalan menghampiri Bella, duduk disebelahnya. “Maaf ya lama,” kataku sebelum mencium keningnya. “Em Mas, jangan menciumku seenaknya seperti itu,” ujarnya. Sambil mengusap bekas ciumanku. Aku abaikan itu, biar saja semua orang melihat. Orang sekitar akan tahu. Jika wanita yang tengah minum air disebelahku ini, adalah istriku. Te
POV Rengga Aku masih menggendong Arlan yang sempat rewel. Karena mulai tumbuh gigi, membuatnya tidak nyaman. Yang berakibat pada terpotongnya jam tidurku. Ayah sempat menengok ke kamar. Kemudian pergi, setelah mengetahui Arlan sudah ada dalam gendonganku. Beliau hanya tersenyum singkat. Lalu berlalu kembali ke kamarnya. Semenjak aku tak lagi menyentuh Bella, alias puasa diatas ranjang. Aku akan tertidur lebih malam dari biasanya, dan jarang sekali bisa nyenyak. Hal tersebut juga dikarenakan anak-anak. Yang mungkin terbangun dimalam hari. Jika ada sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman. Setelah jam lewat tengah malam, Arlan baru terlelap. Aku kembali ke kamar, mendapati Bella yang tengah tertidur. Masih sambil menyusui Arga. Aku lihat putraku satu ini masih men
POV Rengga Pagi ini aku merasa agak lega. Sebelum berangkat ke kantor, Bella ternyata masih memperhatikan penampilanku. Sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menyiapkan setelan kantorku. Tetapi dari semua itu, dia masih peduli padaku. Walau tetap mengunci mulutnya. Hanya dengan berbicara pada orang lain saja. Aku dapat mendengarkan suaranya. Sebagai ganti ciuman, aku hanya puas dengan mengusap kepalanya. Aku sudah memesan rangkaian bunga mawar merah kesukaannya. Yang akan dikirimkan ke rumah. Aku harap dia dapat sedikit terkesan oleh perhatianku ini. Tidak banyak pertemuan hari ini. Jadi aku dapat langsung pulang. Setelah selesai berdiskusi bersama Reno. Mengenai beberapa file kerja sama yang harus aku pelajari.
POV Bella Aku tengah berbaring, sambil menyusui Alex. Ketika Mas Rengga masuk kamar. Setelah beberapa saat lalu, aku dengar suara mobilnya berhenti. Setelah meletakkan tas kerjanya disofa. Dia mendekat, dengan seulas senyum dibibirnya. Selanjutnya mencium Alex, lalu beralih mencium keningku. Kehangatan memenuhi dada, saat dia mencium keningku lama. Seakaan melepas rindu diantara kami. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir seperti itu. Karena seharian ini, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Walau aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku. Dengan lebih sibuk, mengurus anak-anak. Namun tak dapat dipungkiri, pikiranku masih tersita olehnya. Awalnya aku puas membuatnya berharap. Bahwa aku akan tetap mau dicium. Dan memberikan ciumanku, sebelum dia berangkat ke kantor. Aku ta
POV Bella Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Aku tidak sabar untuk berjumpa dengan anak-anak. Aku lihat jam dipergelangan tangan. Mungkin mereka masih disekolah saat ini. Hem, aku ingin memasakkan mereka makanan kesukaannya. Aku lihat Mas Rengga yang tidur di kursi depan. Dengan Arga yang juga lelap bersandar di dadanya. Dia seperti kurang tidur semalam. Karena dia berada diruang kerja, setelah selesai makan malam. Hem biar saja, aku memang sengaja mendiamkannya. Tidak aku hiraukan perkataan maafnya. Kali ini, aku tidak akan semudah itu memaafkannya. Dia harus diberi pelajaran. Supaya bisa mengendalikan keganasan burung besarnya itu. Seenaknya saja memperlakukanku. Dikira aku hamil besar seperti ini, karena perbuatan siapa. Aku akan membuatnya tersiksa lebih dala