POV Bella
Setelah selesai membantu Ibu beres-beres dan mengantar keluarga om gilang sampai depan. Aku langsung kembali ke kamar mengistirahatkan badan dan jantungku, yang sampai sekarang masih berdetak tak beraturan saat didekat Rengga. Hufft padahal kami baru bertemu sekali, tapi kenapa aku selalu gugup didekatnya. Apalagi ketika dia menatapku dalam. Tatapannya itu jujur saja dapat menenggelamkan akan pesonanya.
Segera kutepis pikiran-pikiran itu, tak kusangka ternyata diluar ekspektasi. Rengga bahkan dapat meluluhkanku hanya dengan tatapannya.
Aku segera beranjak kuruang ganti, berganti baju, cuci muka dan tidur. Tenang Bella besok kamu masih harus bekerja seperti biasa hufft.
Aku lihat pantulan wajahku dicermin apakah benar secantik itu aku. Tapi aku rasa biasa saja tidak ada yang spesial pada wajahku. Tapi memang lumayan si wajahku buktinya dulu aku pernah jadi model. Memang keturunan Ibu dan Ayah banget, banggaku terkekeh sendiri di depan meja rias. Setelah selesai pakai krim wajah kurebahkan diriku, berusaha meraih mimpi indah.
.
Keesokan paginya aku berangkat kerja naik mobil. Karena terlalu lama bila aku harus naik kendaraan umum. Walau memang aku biasanya naik kendaraan umum. Tapi tak apa lah sekali-kali pakai mobil pribadi.
Sebelum berangkat kupandangi lagi diriku di cermin apakah sudah cukup. Saat dirasa cukup aku kemudian segera beranjak menemui ibu di meja makan.
“Pagi Bu,” sapaku sambil duduk disebelahnya.
“Pagi Nak, sudah mau berangkat?” tanya Ibu seraya meletakkan susu dihadapanku.
“Iya Bu, takut telat karena pasti lebih lama jika berangkat dari rumah,” keluhku.
“Ya sudah habiskan dulu susunya, Ibu sudah buatkan” aku mengangguk. Kemudian meminum susu yang sudah disiapkan Ibu hingga tandas.
“Makasih Bu, aku berangkat dulu ya,” ucapku lalu mencium pipinya.
“Hati- hati dijalan,” balas Ibu, mengusap kepalaku sekilas.
Segera kusiapkan mobilku dan sedikit melihat apakah baik untuk kubawa kekantor.
“Pak Hadi ini mobilnya sudah di service kan minggu lalu?” tanyaku mendekati mobilku.
“Sudah non, seperti pesan non minggu lalu,” ucapnya lalu membukakan pintu mobil untukku.
“Terimakasihnya ya pak, ini buat rokok bapak,” Kuberikan uang rokok sebagai imbalan sudah membawa mobilku ke bengkel.
“Sama-sama non,” seraya menerima uang dariku.
“Saya berangkat dulu ya pak,” pamitku kemudian menaikkan kaca.
“Hati-hati di jalan non,” aku mengangguk menanggapi Pak Hadi.
Aku jalankan mobilku diatas rata-rata. Karena memang jarak rumah ke kantor bisa mencapai 1 jam perjalanan, itupun bila tidak macet. Tapi meskipun aku sudah berangkat cukup pagi. Namun masih kena macet dan alhasil aku telat masuk 15 menit. Semoga aku tidak kena SP rapalku dalam hati.
Sesampainya dikanor langsung kuparkirkan mobilku ke besmen dan segera mencari lift khusus pegawai. Karena memang sudah jam masuk kantor lift terlihat sepi, uh untunglah. Sesampainya di ruanganku Elli terus saja mengawasiku.
“Tumben Bell telat,” tanya Elli saat aku sudah mencapai meja.
“Iya Ell, ini tadi aku berangkat dari rumah,” jawabku, sambil meletakkan tas dan merapihkan meja.
“Tika, tadi dicari si bos tuh.. nanyain hasil publish minggu lalu,” katanya yang membuatku teringat berkas yang belum sempat aku laporkan.
“Oh iya lupa Ell, makasih ya udah diingatkan,” ucapku dengan senyuman dibibir.
“Buruan gih keburu kelamaan,” Hanya kujawab anggukan sambil melangkah menuju ruang bos.
Aku ketuk pelan pintunya, setelah dipersilahkan aku baru melangkah masuk ke dalam. Aku tundukkan kepalaku seperti biasa, sengaja menghindari kontak mata.
“Ini pak laporan publish minggu lalu, bisa anda cek terlebih dahulu,” ucapku sopan.
“Bisa kamu tatap saya jika berbicara dengan saya,” perintahnya dingin. Aku terkejut dengan nada bicaranya yang dingin tapi tak urung kuturuti. Kudongakan kepalaku, dan aku terkejut untuk yang kedua kali.
“Kenapa, apa kamu terkejut?” tanya brubah santai.
“Maaf pak atas ketidaksopanan saya,” Jawabku dengan suara setengah bergetar.
“Hey Bella, tak apa itu hanya peringatan jangan lagi melakukannya oke,” ucapnya santai.
“Iya pak,”
“Sekarang duduklah, aku akan lihat hasil laporanmu,” Sambil menunggu aku hanya melihat lemari bukunya yang penuh.
“Bella,” panggilnya membuatku mengalihkan perhatian padanya.
“Iya pak.”
“Laporanmu sudah baik, tapi masih butuh sedikit perbaikan. Mungkin bisa kamu berikan setelah jam makan siang,”
“Baik pak,”
“Dan setelah ini, setengah jam dari sekarang meeting sama saya ya keluar,” katanya kembali membuatku heran.
“Tapi pak kenapa saya?” tanyaku bingung.
“Apakah kamu menolak perintah atasan kamu?” ucapnya menatapku dingin.
“Tidak pak, hanya saja saya belum berpengalaman menangani klien,” jawabku sambil menunduk
“Mulai sekarang kamu harus belajar Bell. Dan aku lupa semalam tidak minta nomor ponselmu untuk komunikasi kita kedepannya,”
“Ah ya Mas, maaf biar aku catatkan ya,”
“Ini,” Seraya mengangsurkan ponselnya padaku. aku ketikan sederet nomor di kontaknya sekaligus menamainya dan selesai.
“Sudah Mas,” kataku sambil menyerahkan ponsel tersebut.
“Terimakasih, nanti aku tunggu di lobi ya Bell,”
“Ya Mas,” ujarku kemudian pamit meninggalkan ruangannya.
POV Rengga Setengah jam tak terasa. Disinilah aku menunggu Bella di lobi kantor. Seperti yang sudah aku janjikan tadi. Tak lama dia datang menghampiriku “Mas sudah lama menunggu?” tanyanya. “Belum lama Bell. Ayo,” aku langkahkan kakiku mendahuluinya. Aku masih menghindari gosip yang miring. Walau aku sebenarnya tidak peduli. Tapi yang kupedulikan adalah gadis dibelakangku. Dia harus merasa nyaman disisiku, jangan sampai dia takut dan menjauhiku. Itu mimipi buruk. Aku bukakan pintu untuknya. Dia merasa canggung, meski sudah kubuat sesantai mungkin.
POV Bella Setelah acara selesai, aku kemudian langsung dibawa ke rumah Mas Rengga. Baru aku sadari kalau selama ini. Dia tidak pernah pulang kerumah orang tuanya, melainkan rumahnya sendiri. Sebenarnya aku terkejut, ketika Ibu sudah menyiapkan semua keperluanku. Jadi sekarang, aku akan menghabiskan waktu disini. Dirumah ini. Mas Rengga pamit untuk membersihkan diri di kamar lain. Karena kamar mandi di kamarnya, baru saja aku pakai. Aku yang sudah segar setelah mandi. Ingin segera membereskan baju, untuk kurapihkan diruang ganti. Tapi sebelum itu, pintu terbuka. Tampaklah Mas Rengga dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Rambutnyapun, masih basah khas orang selesai mandi. Dia kemudian segera menghampiriku, yang masih terpekur menatapnya. “Kenapa menatap Mas sep
POV Rengga Aku buka mata perlahan. Ternyata aku tidak bermimpi soal semalam, memang kenyataan. Didepanku adalah bidadari yang sudah dikirimkan tuhan untukku. Lama aku menatapnya. Aku lihat dia menggeliat didalam pelukanku. Bergerak menggesek juniorku, yang entah kapan sudah menegang. Berusaha diam, tapi aku sudah tak tahan. Akhirnya, aku tenggelamkan juniorku didalam vagina Bella hati-hati. Dia berangsur bangun, karena pergerakanku didalamnya. “Mas...” erangnya. “Ah..” “Iya sayang, maaf membuatmu terbangun,” Aku tambah kecepatan hujamanku. “Ah, ah, ah...” desahnya. Suara kecipak benturan tubuh mengiringi pagi kami. Semakin kasar pe
POV Bella. Setelah beberapa hari cuti, aku mulai bekerja seperti biasa. Bedanya hanya, sekarang aku tidak lagi berangkat ke kantor sendirian. Mas Rengga sempat menyinggung soal bulan madu. Tapi kemudian dia berkata, kalau masih terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk. Aku mewajarinya dan tidak memaksa. Karena aku juga tidak begitu tertarik, dengan yang namanya bulan madu. Sekarang sebagai seorang istri. Tugasku bertambah, dari mulai menyiapkan makan, keperluannya, hingga urusan ranjang. Sebenarnya aku tidak merasa terbebani. Hanya saja, menuruti nafsu Mas Rengga. Yang aku pikir, sedang menggebu setelah menikah. Begitu memforsir jam tidurku. Kadang aku berpikir, kenapa dia bisa jadi sekuat
POV Bella Tak terasa kandunganku sudah menginjak usia 20 minggu. Sebulan yang lalu, Dokter Andre berkunjung. Dia tetap memberikan resep yang sama padaku. Sekarang aku rasa kandunganku, seperti berusia 28 minggu sudah besar dan bulat. Setelah diperiksa, ternyata aku mengandung bayi kembar. Tak heran, mengapa ukuran perutku yang besar, tidak seperti kehamilan biasanya. Aku sudah merasakan tendangan-tendangan. Seringnya itu sulit membuatku tertidur nyenyak. Apalagi semenjak bulan ke-empat. Mas Rengga seperti orang kesetanan, yang ingin selalu bercinta. Selagi aku masih mampu. Aku tak akan menolak keinginannya. Namun seringkali sampai membuatku tak sadarkan diri. Dia masih dengan asiknya memasukiku.  
POV Bella Sekitar pukul tiga sore terdengar seseorang mengetuk pintu. Aku yang sedang berbaring miring. Sambil punggungku diusapi Mas Rengga pun beranjak. “Kemana sayang?” tanyanya melihatku beranjak bangun. “Sepertinya ada orang Mas didepan,” kataku. “Biar bibi saja yang buka,” ucapnya ingin menahanku. “Biar aku saja Mas, lagipula banyak bergerak baik untuk ibu hamil,” ucapku menyanggah. “Ya sudah kalau begitu, Mas mau menyelesaikan beberapa pekerjaan diruang kerja dulu. Oh iya mungkin saja itu kiriman krim dari Andre,” beritahunya.
POV Bella Aku sudah merebahkan diriku dengan posisi senyaman mungkin. Setelah minum obat dan menonton TV, aku beranjak ke kamar. Karena sudah bosan dengan program acara, yang hanya itu-itu saja. Sambil berbaring miring, aku berselancar dimedia sosial. Walau aku sudah tidak bekerja. Namun aku tidak pernah lepas kontak dengan rekan-rekanku. Hanya untuk bertukar kabar dan tahu keadaan satu sama lain. Pada semasa kuliah, aku tidak terlalu fokus pada pertemanan. Aku hanya mempunyai beberapa sahabat. Yang sampai kini pun masih suka bertukar kabar lewat media sosial. Saking asiknya, aku sampai tidak sadar kalau Mas Rengga sudah berbaring disampingku. “Mas sudah selesai?” tanyaku. &
POV Rengga Pagi hari aku sudah bangun lebih dulu dan membersihkan diri. Aku sempatkan diri untuk menemui bibi. Agar dia sekalian memasak untuk sarapan. Karena aku yakin, Bella akan bangun sedikit terlambat. Karena pergulatan kami semalam. Setelahnya aku kembali ke kamar utama. Melihatnya yang masih terlelap dalam selimut. Aku lepas kaosku, kemudian ikut bergabung disebelahnya. Aku posisikan lenganku sebagai bantalnya. Seperti mengerti, dia malah semakin merapat dan aku memeluknya. Sesekali kuelus perutnya yang menempel erat dengan perutku. “Maafkan Papa ya sayang, yang kadang terlalu memaksa Mamamu,” Gumamku. Aku kemudian mencium keningnya lama. Dia menggeliat, lalu kuamati dia mulai bangun. Sepertinya dia sudah sadar, deng