POV Bella
Sekitar pukul tiga sore terdengar seseorang mengetuk pintu. Aku yang sedang berbaring miring. Sambil punggungku diusapi Mas Rengga pun beranjak.
“Kemana sayang?” tanyanya melihatku beranjak bangun.
“Sepertinya ada orang Mas didepan,” kataku.
“Biar bibi saja yang buka,” ucapnya ingin menahanku.
“Biar aku saja Mas, lagipula banyak bergerak baik untuk ibu hamil,” ucapku menyanggah.
“Ya sudah kalau begitu, Mas mau menyelesaikan beberapa pekerjaan diruang kerja dulu. Oh iya mungkin saja itu kiriman krim dari Andre,” beritahunya.
POV Bella Aku sudah merebahkan diriku dengan posisi senyaman mungkin. Setelah minum obat dan menonton TV, aku beranjak ke kamar. Karena sudah bosan dengan program acara, yang hanya itu-itu saja. Sambil berbaring miring, aku berselancar dimedia sosial. Walau aku sudah tidak bekerja. Namun aku tidak pernah lepas kontak dengan rekan-rekanku. Hanya untuk bertukar kabar dan tahu keadaan satu sama lain. Pada semasa kuliah, aku tidak terlalu fokus pada pertemanan. Aku hanya mempunyai beberapa sahabat. Yang sampai kini pun masih suka bertukar kabar lewat media sosial. Saking asiknya, aku sampai tidak sadar kalau Mas Rengga sudah berbaring disampingku. “Mas sudah selesai?” tanyaku. &
POV Rengga Pagi hari aku sudah bangun lebih dulu dan membersihkan diri. Aku sempatkan diri untuk menemui bibi. Agar dia sekalian memasak untuk sarapan. Karena aku yakin, Bella akan bangun sedikit terlambat. Karena pergulatan kami semalam. Setelahnya aku kembali ke kamar utama. Melihatnya yang masih terlelap dalam selimut. Aku lepas kaosku, kemudian ikut bergabung disebelahnya. Aku posisikan lenganku sebagai bantalnya. Seperti mengerti, dia malah semakin merapat dan aku memeluknya. Sesekali kuelus perutnya yang menempel erat dengan perutku. “Maafkan Papa ya sayang, yang kadang terlalu memaksa Mamamu,” Gumamku. Aku kemudian mencium keningnya lama. Dia menggeliat, lalu kuamati dia mulai bangun. Sepertinya dia sudah sadar, deng
POV Rengga “Sini deketan biar Mas elusin. Mungkin mereka kangen sama Mas, kan tadi pagi belum dijenguk,” Kataku dengan nada menggoda. Aku membantunya merapat padaku. Lalu segera aku elus perut besarnya, agar bayi-bayiku tenang didalan sana. Saat terasa ada yang mengganjal, segera saja aku singkap gaunnya. Terlihat maternity belt menyangga perutnya dengan sempurna. Walau aku tak melarang. Namun aku tak suka ketika Bella menggunakan penyangga perut itu. Aku rasa adanya benda itu, hanya mempersempit ruang bayi-bayiku untuk bergerak. “Mas aku hanya menggunakannya saat keluar rumah,” katanya menatapku memberikan pengertian. “Iya aku tahu, sekarang dilepas ya biar Mas bantu,” perintahku t
POV Rengga “Sayang... kamu sudah bangun,” ucapku serak. Aku terduduk menatapnya yang masih memunggungiku. Aku lihat dia masih mengelusi perutnya. Membuat rasa bersalahku timbul menguasai pikiran dan hatiku. “Sayang..” aku usap lengannya. Masih berusaha mendapat perhatiannya. Aku lihat dia ingin bangkit. Langsung saja aku tata bantal dipunggungnya, agar dapat bersandar dengan nyaman. Kemudian dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. “Sayang tolong jangan seperti ini,” kataku sendu. Aku usap air matanya yang jatuh. “Tolong jangan menangis, hukumlah aku semaumu,” pintaku sendu. Aku gerakkan tangannya untuk menampar dan
POV Bella Sesampainya di rumah, dia keluar lebih dulu. Kemudian membantuku turun dari mobil. Dia selalu memeluk pinggangku, ketika berjalan berjalan bersama seperti ini. Semenjak kehamilanku menginjak bulan ke-lima. Kami berdua, melangkah menuju kamar untuk membersihkan diri. Setelah aku selesai mandi. Sudah tersaji makan malam dimeja kecil serta dua bangku berhadapan. Walau agak bingung, namun Mas Rengga segera menuntunku. Duduk didepan meja dan mulai makan. Seperti biasa, setelah porsiku sendiri sudah habis. Dia menyuapiku dengan makanan yang ada piringnya. Meski sudah aku tolak, namun dia tetap memaksa. Aku hanya menurut untuk kebaikanku. . Tak terasa, kehamilanku sudah memasuk
POV Bella Mengatur nafasku yang masih tak beraturan. Karena permainan ranjang Mas Rengga. Aku hanya mengangguk. Ketika diingatkan, waktu yang mendekati jam makan siang. Dia sudah memakai celananya. Kemudian memijit punggungku perlahan. Selesai bercinta, dia selalu seperti ini. Mengelus perut, memijat punggung, bahkan kakiku. Dia yang membuatku pegal. Namun, dia juga yang meringankan rasa pegal tersebut. Walau awalnya dia bilang, ingin aku istirahat. Tetapi, aku juga tidak menolak. Saat hal tersebut hanya menjadi alibi, agar dia dapat bercinta denganku. “Aku siapkan dulu ya makan siangnya,” kataku. Aku perlahan bang
POV Bella “Sudah bangun sayang,” ucapnya, seraya memperbaiki letak bra-ku. Selanjutnya dia menata bantal, sebagai sandaran punggungku. Aku masih menatapnya dengan pandangan sayu. Lalu berpaling kearah nakas. Yang sudah tersaji potongan buah dan kudapan lainnya. Seketika perutku jadi lapar. Aku coba meraihnya. Tetapi Mas Rengga lebih dulu mengambilnya untukku. “Kalau ingin bilang, biar Mas yang ambilkan,” ujarnya. Kemudian dia mulai menyuapiku perlahan. Tanpa terasa, kudapan tersebut habis olehku. Mas Rengga memakluminya. Karena memang nafsu makanku yang bertambah, sejak mengandung. Dia memanggil bibi, untuk membereskan bekas kudapan tersebut. Lalu kembali mendekat, mencium pipiku.
POV Rengga Aku rangkul pinggangnya, menjaga agar tetap tegak dan seimbang. Berjalan perlahan menuruni anak tangga, sampai diruang keluarga. Melihat dia diruang kerja tadi. Membuat jantungku sudah berdetak dua kali lebih cepat. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi, selama dia berjalan kemari. Walau raut wajahku biasa saja. Namun tidak dengan pikiranku, yang sudah kemana-mana. Dalam hati aku bersyukur, tidak ada hal buruk yang terjadi. “Ini dia pengantin baru kita Pa.., yang katanya gak mau diganggu waktunya,” ujar Mama meledekku. “Ma...” ucapku memeringati. Lalu terdengar tawa Mama dan Papa, yang berusaha menahan tawa. Aku tuntun dia duduk di sofa, tepat bersebelahan dengan Papa dan Mama.
POV Bella Pagi hari sebelum matahari menampakkan cahayanya. Mas Rengga sudah membangunkanku dengan cara kesukaannya. Berjalan pelan ke tepi pantai. Kami bertelanjang kaki menikmati air laut. Yang menjilat kaki kami seiring deburnya yang menepi. Lalu sedikit menjauh, duduk diatas pasir. Tanpa meminta, Mas Rengga sudah mengerti. Dengan menarikku perlahan untuk duduk dengan nyaman. Sweternya sudah membukus setengah badanku. Melindungi dari terpaan hawa dingin dipagi hari. Semalam, dengan telaten dia membereskan pakaian kami, ke dalam lemari yang sudah disediakan. Dan diluar dugaanku, dia bertahan tanpa menyentuhku. Walau setiap kali bersama, dia hampir lepas kendali. Posisiku begitu nyaman,
POV Bella Hari selanjutnya, aku dikejutkan dengan kehadiran Dokter Brian saat makan siang. Mas Rengga juga memilih makan siang dirumah. Padahal jarak antara kantor kerumah ini, lebih jauh. Setelah berbincang santai dengan dokter Brian. Aku mulai paham, alasan kenapa dia datang. Bayangan yang memaksa hadir dalam pikiranku tersebut. Menjadi ketakutan tersendiri untukku. Setiap kali melihat ranjang dari sofa, yang berada bersebrangan. Selalu mengingatkanku, pada pesan Renita. Kemudian ulasan bayangan Rengga dan Renita. Bergumul dibawah selimut yang sama. Dengan tanpa satu helai kain yang menutupi tubuh mereka. Agaknya sering kali mengganggu pikiran dan mempengaruhi moodku. Selama sisa kami berad
POV Rengga Andre datang setelah 15 menit kami menunggu. Aku silahkan dia memeriksa kondisi Bella, yang masih belum sadar. Aku was-was, menunggu hasil pemeriksaan Bella. Melihat raut wajah tenang Andre. Kini terasa tampak lebih mengkawatirkan. Dia sudah merapihkan alatnya, memasukkan kedalam tas. “Apakah Bella pernah punya riwayat gangguan kecemasan?” tanya Andre tenang. Pertanyaan Andre jelas tidak biasa. Mengingat Bella selalu tampak tenang, diam juga ceria. “Dia pernah mengalami sedikit trauma dibangku SMA Dok. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya saat ini?” tanya Ibu cemas. Andre masih terlihat mengamati Bella yang belum sadar. “Sejauh ini. Itu diagnosa yang bisa saya berikan. Mung
71 POV Bella Setelah perjalanan yang cukup lama. Karena dihadang kemacetan jakarta. Akhirnya kami sampai dikedai es krim. Yang biasa aku kunjungi bersama Mas Rengga. Dia membantuku turun dari mobil. Sedangkan kedua anak lelakiku, sudah gesit menarik kedua tanganku. “Hati-hati Aldo, Ares ingat kondisi Mama,” kata Mas Rengga dengan nada tegas. Aku usap kedua puncak kepala mereka. Berusaha mencairkan suasana, dengan senyuman lembut. Sedangkan Amira sudah digendong Mas Rengga, mengikuti dari arah belakang. “Papa hanya kawatir sayang,” ucapku menenangkan. Setelah kami sudah duduk didepan kedai.
POV Rengga Dilorong menuju ruang praktek Andre. Aku lihat, Renita sudah mengirimkan nama ruangan, tempat Mamanya dirawat. Apakah tepat, jika aku mengajak Bella untuk ikut menjenguk Mamanya Renita. Aku baru saja dimaafkan. Aku tidak mau lagi diacuhkan oleh Bella. Batinku cemas. Aku berjalan menghampiri Bella, duduk disebelahnya. “Maaf ya lama,” kataku sebelum mencium keningnya. “Em Mas, jangan menciumku seenaknya seperti itu,” ujarnya. Sambil mengusap bekas ciumanku. Aku abaikan itu, biar saja semua orang melihat. Orang sekitar akan tahu. Jika wanita yang tengah minum air disebelahku ini, adalah istriku. Te
POV Rengga Aku masih menggendong Arlan yang sempat rewel. Karena mulai tumbuh gigi, membuatnya tidak nyaman. Yang berakibat pada terpotongnya jam tidurku. Ayah sempat menengok ke kamar. Kemudian pergi, setelah mengetahui Arlan sudah ada dalam gendonganku. Beliau hanya tersenyum singkat. Lalu berlalu kembali ke kamarnya. Semenjak aku tak lagi menyentuh Bella, alias puasa diatas ranjang. Aku akan tertidur lebih malam dari biasanya, dan jarang sekali bisa nyenyak. Hal tersebut juga dikarenakan anak-anak. Yang mungkin terbangun dimalam hari. Jika ada sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman. Setelah jam lewat tengah malam, Arlan baru terlelap. Aku kembali ke kamar, mendapati Bella yang tengah tertidur. Masih sambil menyusui Arga. Aku lihat putraku satu ini masih men
POV Rengga Pagi ini aku merasa agak lega. Sebelum berangkat ke kantor, Bella ternyata masih memperhatikan penampilanku. Sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menyiapkan setelan kantorku. Tetapi dari semua itu, dia masih peduli padaku. Walau tetap mengunci mulutnya. Hanya dengan berbicara pada orang lain saja. Aku dapat mendengarkan suaranya. Sebagai ganti ciuman, aku hanya puas dengan mengusap kepalanya. Aku sudah memesan rangkaian bunga mawar merah kesukaannya. Yang akan dikirimkan ke rumah. Aku harap dia dapat sedikit terkesan oleh perhatianku ini. Tidak banyak pertemuan hari ini. Jadi aku dapat langsung pulang. Setelah selesai berdiskusi bersama Reno. Mengenai beberapa file kerja sama yang harus aku pelajari.
POV Bella Aku tengah berbaring, sambil menyusui Alex. Ketika Mas Rengga masuk kamar. Setelah beberapa saat lalu, aku dengar suara mobilnya berhenti. Setelah meletakkan tas kerjanya disofa. Dia mendekat, dengan seulas senyum dibibirnya. Selanjutnya mencium Alex, lalu beralih mencium keningku. Kehangatan memenuhi dada, saat dia mencium keningku lama. Seakaan melepas rindu diantara kami. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir seperti itu. Karena seharian ini, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Walau aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku. Dengan lebih sibuk, mengurus anak-anak. Namun tak dapat dipungkiri, pikiranku masih tersita olehnya. Awalnya aku puas membuatnya berharap. Bahwa aku akan tetap mau dicium. Dan memberikan ciumanku, sebelum dia berangkat ke kantor. Aku ta
POV Bella Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Aku tidak sabar untuk berjumpa dengan anak-anak. Aku lihat jam dipergelangan tangan. Mungkin mereka masih disekolah saat ini. Hem, aku ingin memasakkan mereka makanan kesukaannya. Aku lihat Mas Rengga yang tidur di kursi depan. Dengan Arga yang juga lelap bersandar di dadanya. Dia seperti kurang tidur semalam. Karena dia berada diruang kerja, setelah selesai makan malam. Hem biar saja, aku memang sengaja mendiamkannya. Tidak aku hiraukan perkataan maafnya. Kali ini, aku tidak akan semudah itu memaafkannya. Dia harus diberi pelajaran. Supaya bisa mengendalikan keganasan burung besarnya itu. Seenaknya saja memperlakukanku. Dikira aku hamil besar seperti ini, karena perbuatan siapa. Aku akan membuatnya tersiksa lebih dala