POV Bella
Sesampainya di rumah, dia keluar lebih dulu. Kemudian membantuku turun dari mobil. Dia selalu memeluk pinggangku, ketika berjalan berjalan bersama seperti ini. Semenjak kehamilanku menginjak bulan ke-lima.
Kami berdua, melangkah menuju kamar untuk membersihkan diri. Setelah aku selesai mandi. Sudah tersaji makan malam dimeja kecil serta dua bangku berhadapan. Walau agak bingung, namun Mas Rengga segera menuntunku. Duduk didepan meja dan mulai makan.
Seperti biasa, setelah porsiku sendiri sudah habis. Dia menyuapiku dengan makanan yang ada piringnya. Meski sudah aku tolak, namun dia tetap memaksa. Aku hanya menurut untuk kebaikanku.
.
Tak terasa, kehamilanku sudah memasuk
POV Bella Mengatur nafasku yang masih tak beraturan. Karena permainan ranjang Mas Rengga. Aku hanya mengangguk. Ketika diingatkan, waktu yang mendekati jam makan siang. Dia sudah memakai celananya. Kemudian memijit punggungku perlahan. Selesai bercinta, dia selalu seperti ini. Mengelus perut, memijat punggung, bahkan kakiku. Dia yang membuatku pegal. Namun, dia juga yang meringankan rasa pegal tersebut. Walau awalnya dia bilang, ingin aku istirahat. Tetapi, aku juga tidak menolak. Saat hal tersebut hanya menjadi alibi, agar dia dapat bercinta denganku. “Aku siapkan dulu ya makan siangnya,” kataku. Aku perlahan bang
POV Bella “Sudah bangun sayang,” ucapnya, seraya memperbaiki letak bra-ku. Selanjutnya dia menata bantal, sebagai sandaran punggungku. Aku masih menatapnya dengan pandangan sayu. Lalu berpaling kearah nakas. Yang sudah tersaji potongan buah dan kudapan lainnya. Seketika perutku jadi lapar. Aku coba meraihnya. Tetapi Mas Rengga lebih dulu mengambilnya untukku. “Kalau ingin bilang, biar Mas yang ambilkan,” ujarnya. Kemudian dia mulai menyuapiku perlahan. Tanpa terasa, kudapan tersebut habis olehku. Mas Rengga memakluminya. Karena memang nafsu makanku yang bertambah, sejak mengandung. Dia memanggil bibi, untuk membereskan bekas kudapan tersebut. Lalu kembali mendekat, mencium pipiku.
POV Rengga Aku rangkul pinggangnya, menjaga agar tetap tegak dan seimbang. Berjalan perlahan menuruni anak tangga, sampai diruang keluarga. Melihat dia diruang kerja tadi. Membuat jantungku sudah berdetak dua kali lebih cepat. Takut sesuatu yang buruk akan terjadi, selama dia berjalan kemari. Walau raut wajahku biasa saja. Namun tidak dengan pikiranku, yang sudah kemana-mana. Dalam hati aku bersyukur, tidak ada hal buruk yang terjadi. “Ini dia pengantin baru kita Pa.., yang katanya gak mau diganggu waktunya,” ujar Mama meledekku. “Ma...” ucapku memeringati. Lalu terdengar tawa Mama dan Papa, yang berusaha menahan tawa. Aku tuntun dia duduk di sofa, tepat bersebelahan dengan Papa dan Mama.
POV Rengga Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Sebelum hari kelahiran bayi-bayiku makin dekat. Aku selesaikan pekerjaan yang menumpuk, untuk beberapa hari kedepan. Sehingga aku dapat mengambil waktu libur lebih lama. Agar pekerjaan itu terselesaikan. Hampir satu minggu ini, aku habiskan waktuku diruang kerja. Sering kali Bella menyusul, hanya untuk mengingatkan jam makan. Dia tidak banyak bicara, ketika aku lebih sibuk dari hari biasa. Hanya dia akan tetap menungguku menyelesaikan pekerjaan dikamar. Walau seringkali aku temukan dia sudah tertidur pulas. Meskipun capek dan mengantuk, aku tetap menyempatkan diri. Untuk memijat punggung dan kakinya yang bengkak. Setelah pekerjaan benar-benar selesai, aku renggangkan badanku yang letih. Karena hampir sehar
POV Bella Setelah kunjungan orang tua kami ke rumah. Aku lihat Mas Rengga sibuk bekerja, hingga kadang lupa dengan jam makan. Aku tidak mau banyak bertanya. Yang nanti malah mengganggu fokusnya untuk bekerja. Sesekali aku datangi ruang kerjanya, untuk mengingatkan waktu makan. Walau kadang merasa sepi dan kesusahan. Karena sebelumnya, dia tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Hampir satu minggu ini, aku terlelap tanpanya disisiku, dan bangun tanpanya. Aku pikir dia benar-benar sibuk. Pagi hari ini, aku lihat dia masih tertidur nyenyak di sampingku. Aku ulas senyum, mengusap rambutnya. Beberapa menit aku habiskan dengan memandangi wajahnya. Sebelum aku ketahuan olehnya. Lalu menciumku dengan liar. “Aku rindu padamu sayang,” katanya. Setelah melepas pagutan pan
POV Bella Aku rasakan banyak cairan yang keluar dari selangkanganku. Ketika usai menuntaskan aktivitas panasku dengan Mas rengga. Namun aku tak dapat membedakan, itu sperma yang mengalir atau malah air ketubanku yang pecah. Karena setelahnya kontraksiku datang kian hebat dan panjang. Aku sudah tak dapat fokus. Ketika Mas Rengga mengingatkanku tentang makan siang. Karena sakit yang kian menjadi. Aku merasa kepala bayi yang sudah mendekati liangku, terasah perih dan panas. Ketika Mas Rengga memeriksa, aku hanya dapat mengerang sakit. Lalu dengan mudah dia memindahkanku ke ruang pemeriksaan. “Mas jangan tinggalkan aku,” ujarku pelan. Tak mampu mengeluarkan suara. Dia diam, hanya terus menggenggam tanganku. Dan menatap mataku dalam. Mengusap rambutku yang sudah bera
POV Bella. Aku mendengar suara tangisan, tidak hanya satu namun ada tawa yang lain. Aku hampiri suara itu. Lalu kutemukan dua anak-anak berlarian, berkejaran mengelilingi taman. Aku langkahkan kakiku mendekat, seperti sadar salah satu dari mereka menerjangku. Aku rendahkan badanku, menyamakan dengan tinggi mereka. “Mama Ares nakal,” adunya, dengan mata yang mengerjap lucu, air mata sudah hilang darinya. Kemudian tak lama anak lain datang menghampiriku. Ikut menerjangku dari samping. “Mama Ares enggak nakal kok,” katanya dengan cengirang lebar. Aku pandangi mereka, sangat mirip dengan orang yang kukenal. 
POV Bella Setelah kepergian Dokter Andre. Aldo terpaksa aku berikan pada Kara. Karena suster sudah datang, untuk membantuku mandi. Seusai Mas Rengga pamit menemui Dokter Andre tadi. Dia belum kembali lagi ke ruanganku. Mas Rengga memang agak berubah. Setelah umur kehamilanku memasuki bulan ke-8. Dia tidak lagi menyuruhku untuk memakai dress tipis. Namun intensitas bercinta kami yang seakan tiada habisnya. Ketika itu, aku begitu cemas dengan kondisi kandunganku. Tetapi sepertinya tidak ada yang perlu dicemaskan, sebab tidak sampai berpengaruh pada kandunganku. Karena aku yang sudah tidak bisa banyak bergerak. Maka sisa bercinta kami biasanya, dirapihkan oleh bibi.  
POV Bella Pagi hari sebelum matahari menampakkan cahayanya. Mas Rengga sudah membangunkanku dengan cara kesukaannya. Berjalan pelan ke tepi pantai. Kami bertelanjang kaki menikmati air laut. Yang menjilat kaki kami seiring deburnya yang menepi. Lalu sedikit menjauh, duduk diatas pasir. Tanpa meminta, Mas Rengga sudah mengerti. Dengan menarikku perlahan untuk duduk dengan nyaman. Sweternya sudah membukus setengah badanku. Melindungi dari terpaan hawa dingin dipagi hari. Semalam, dengan telaten dia membereskan pakaian kami, ke dalam lemari yang sudah disediakan. Dan diluar dugaanku, dia bertahan tanpa menyentuhku. Walau setiap kali bersama, dia hampir lepas kendali. Posisiku begitu nyaman,
POV Bella Hari selanjutnya, aku dikejutkan dengan kehadiran Dokter Brian saat makan siang. Mas Rengga juga memilih makan siang dirumah. Padahal jarak antara kantor kerumah ini, lebih jauh. Setelah berbincang santai dengan dokter Brian. Aku mulai paham, alasan kenapa dia datang. Bayangan yang memaksa hadir dalam pikiranku tersebut. Menjadi ketakutan tersendiri untukku. Setiap kali melihat ranjang dari sofa, yang berada bersebrangan. Selalu mengingatkanku, pada pesan Renita. Kemudian ulasan bayangan Rengga dan Renita. Bergumul dibawah selimut yang sama. Dengan tanpa satu helai kain yang menutupi tubuh mereka. Agaknya sering kali mengganggu pikiran dan mempengaruhi moodku. Selama sisa kami berad
POV Rengga Andre datang setelah 15 menit kami menunggu. Aku silahkan dia memeriksa kondisi Bella, yang masih belum sadar. Aku was-was, menunggu hasil pemeriksaan Bella. Melihat raut wajah tenang Andre. Kini terasa tampak lebih mengkawatirkan. Dia sudah merapihkan alatnya, memasukkan kedalam tas. “Apakah Bella pernah punya riwayat gangguan kecemasan?” tanya Andre tenang. Pertanyaan Andre jelas tidak biasa. Mengingat Bella selalu tampak tenang, diam juga ceria. “Dia pernah mengalami sedikit trauma dibangku SMA Dok. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya saat ini?” tanya Ibu cemas. Andre masih terlihat mengamati Bella yang belum sadar. “Sejauh ini. Itu diagnosa yang bisa saya berikan. Mung
71 POV Bella Setelah perjalanan yang cukup lama. Karena dihadang kemacetan jakarta. Akhirnya kami sampai dikedai es krim. Yang biasa aku kunjungi bersama Mas Rengga. Dia membantuku turun dari mobil. Sedangkan kedua anak lelakiku, sudah gesit menarik kedua tanganku. “Hati-hati Aldo, Ares ingat kondisi Mama,” kata Mas Rengga dengan nada tegas. Aku usap kedua puncak kepala mereka. Berusaha mencairkan suasana, dengan senyuman lembut. Sedangkan Amira sudah digendong Mas Rengga, mengikuti dari arah belakang. “Papa hanya kawatir sayang,” ucapku menenangkan. Setelah kami sudah duduk didepan kedai.
POV Rengga Dilorong menuju ruang praktek Andre. Aku lihat, Renita sudah mengirimkan nama ruangan, tempat Mamanya dirawat. Apakah tepat, jika aku mengajak Bella untuk ikut menjenguk Mamanya Renita. Aku baru saja dimaafkan. Aku tidak mau lagi diacuhkan oleh Bella. Batinku cemas. Aku berjalan menghampiri Bella, duduk disebelahnya. “Maaf ya lama,” kataku sebelum mencium keningnya. “Em Mas, jangan menciumku seenaknya seperti itu,” ujarnya. Sambil mengusap bekas ciumanku. Aku abaikan itu, biar saja semua orang melihat. Orang sekitar akan tahu. Jika wanita yang tengah minum air disebelahku ini, adalah istriku. Te
POV Rengga Aku masih menggendong Arlan yang sempat rewel. Karena mulai tumbuh gigi, membuatnya tidak nyaman. Yang berakibat pada terpotongnya jam tidurku. Ayah sempat menengok ke kamar. Kemudian pergi, setelah mengetahui Arlan sudah ada dalam gendonganku. Beliau hanya tersenyum singkat. Lalu berlalu kembali ke kamarnya. Semenjak aku tak lagi menyentuh Bella, alias puasa diatas ranjang. Aku akan tertidur lebih malam dari biasanya, dan jarang sekali bisa nyenyak. Hal tersebut juga dikarenakan anak-anak. Yang mungkin terbangun dimalam hari. Jika ada sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman. Setelah jam lewat tengah malam, Arlan baru terlelap. Aku kembali ke kamar, mendapati Bella yang tengah tertidur. Masih sambil menyusui Arga. Aku lihat putraku satu ini masih men
POV Rengga Pagi ini aku merasa agak lega. Sebelum berangkat ke kantor, Bella ternyata masih memperhatikan penampilanku. Sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menyiapkan setelan kantorku. Tetapi dari semua itu, dia masih peduli padaku. Walau tetap mengunci mulutnya. Hanya dengan berbicara pada orang lain saja. Aku dapat mendengarkan suaranya. Sebagai ganti ciuman, aku hanya puas dengan mengusap kepalanya. Aku sudah memesan rangkaian bunga mawar merah kesukaannya. Yang akan dikirimkan ke rumah. Aku harap dia dapat sedikit terkesan oleh perhatianku ini. Tidak banyak pertemuan hari ini. Jadi aku dapat langsung pulang. Setelah selesai berdiskusi bersama Reno. Mengenai beberapa file kerja sama yang harus aku pelajari.
POV Bella Aku tengah berbaring, sambil menyusui Alex. Ketika Mas Rengga masuk kamar. Setelah beberapa saat lalu, aku dengar suara mobilnya berhenti. Setelah meletakkan tas kerjanya disofa. Dia mendekat, dengan seulas senyum dibibirnya. Selanjutnya mencium Alex, lalu beralih mencium keningku. Kehangatan memenuhi dada, saat dia mencium keningku lama. Seakaan melepas rindu diantara kami. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir seperti itu. Karena seharian ini, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Walau aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku. Dengan lebih sibuk, mengurus anak-anak. Namun tak dapat dipungkiri, pikiranku masih tersita olehnya. Awalnya aku puas membuatnya berharap. Bahwa aku akan tetap mau dicium. Dan memberikan ciumanku, sebelum dia berangkat ke kantor. Aku ta
POV Bella Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Aku tidak sabar untuk berjumpa dengan anak-anak. Aku lihat jam dipergelangan tangan. Mungkin mereka masih disekolah saat ini. Hem, aku ingin memasakkan mereka makanan kesukaannya. Aku lihat Mas Rengga yang tidur di kursi depan. Dengan Arga yang juga lelap bersandar di dadanya. Dia seperti kurang tidur semalam. Karena dia berada diruang kerja, setelah selesai makan malam. Hem biar saja, aku memang sengaja mendiamkannya. Tidak aku hiraukan perkataan maafnya. Kali ini, aku tidak akan semudah itu memaafkannya. Dia harus diberi pelajaran. Supaya bisa mengendalikan keganasan burung besarnya itu. Seenaknya saja memperlakukanku. Dikira aku hamil besar seperti ini, karena perbuatan siapa. Aku akan membuatnya tersiksa lebih dala