POV Rengga
“Lihat Win, anak kita sudah cocok kan bersanding dipelaminan,” seru Tante Rita senang.
“Benar mbak, bagaimana kalau sekalian kita tentukan tanggal pernikahannya Pa?”
“Bagaimana kalau 2 minggu dari sekarang Mbak. Tidak baik terlalu lama menunda niat baik. Lebih baik kita percepat saja bukan begitu Ma,” aku memasang wajah tenang, walau dalam hati aku bersorak.
“Iya Mbak, Bagaimana?” aku lirik Tante Rita sekilas.
“Kalau aku sih, setuju-setuju saja Win sebagai orang tua. Aku hanya menginginkan yang terbaik untuk anakku,” ujarnya disertai senyum tipis, membuatku lega.
“Jadi bagaimana Rengga, Bella?” Tanya Papa memindaiku dan Bella bergantian. Bella yang masih terkejut, aku tenangkan dengan meraih telapak tangannya meremasnya lembut.
“Bagaimana kalau memberikan kami waktu untuk pendekatan dulu Pa, Ma, Bu?” Tanyaku bergantian.
“Rengga sayang, setelah menikah kalian bebas untuk melakukan pendekatan. Bukan begitu Pa,”
“Benar Rengga, jadi sudah diputuskan ya Mbak. Kalau pernikahan anak-anak akan dilangsungkan 2 minggu dari sekarang,” putus Papa.
“Iya Gilang, Ayah Bella juga sudah menyerahkan keputusan ini kepadaku. Jadi menurutku juga lebih baik dipercepat, agar tidak timbul fitnah nantinya.”
“Akhirnya Pa kita dapat mantu juga,” kata Mamaku dengan senyum manis.
Aku tidak dapat membantah banyak. Karena memang aku ingin segera memiliki Bella seutuhnya. Walau aku lihat dia masih nampak terkejut.
“Sudah yuk Rengga dimakan makanannya. Itu tadi sudah diambilkan sama Bella,” ucap Mama disertai senyum. “Lihatkan dia udah cocok banget jadi istri kamu,” kata Mama. Mendengar penuturan Mama, aku alihkan pandanganku padanya. Yang masih setia menunduk dan meremas bagian bawah dressnya. Aku eratkan genggamanku. Aku kaitkan jemariku disela jarinya. Aku tahu dia sedang malu dan gugup.
“Benar itu Bel, kamu yang menyiapkan hidangan dipiringku?” tanyaku. Berusaha memperoleh perhatiannya.
“Iya Mas,” Jawabnya pelan. Begitu menggemaskan. Rasa-rasanya ingin segera aku tarik keranjangku. Sabar Rengga, 2 minggu lagi dan impianmu akan tercapai, batinku.
Makan malam berjalan dengan hangat. Dipenuhi perbincangan antar orang tua. Aku hanya menimpali sesekali. Aku lihat disampingku, Bella masih setia melamun. Aku usap jerimanya ditanganku. Dia menoleh kearahku . Aku tersenyum, walau serasa tidak nyaman dalam genggamanku. Dia tidak berusaha menolak dan aku menyukainya. Itu berarti dia sudah mau beradaptasi denganku.
Selepas makan malam keluargaku langsung pamit. Meskipun aku ingin lebih lama, tapi tak bisa. Aku harus bersabar, sebelum dia resmi menjadi milikku.
Diperjalanan pulang aku terus berpikir. Bagaimana kalau besok membuat janji temu dengan Andre sahabatku, dia seorang dokter kandungan. Aku ingin berkonsultasi mengenai beberapa hal. Karena aku akan segera menikah. Aku juga tidak ingin menunda, untuk memiliki seorang anak. Dan aku sangat bersemangat untuk itu. Membayangkan banyak suara anak-anak dirumah. Mereka saling berlarian bercanda dan tertawa. Rasanya tak sabar untuk merealisasikannya.
Ngomong-ngomong aku memang pulang ke rumahku sendiri. Yang nanti juga akan ku tempati, bersama istri dan anakku. Kalau dipikir, memang aku sudah sejak lama menyiapkannya. Namun karena belum ada wanita yang membuatku tertarik. Akhirnya rumah itu aku tempati sendiri.
Sesampainya dikamar, aku langsung membersihkan diri. Selesai dengan itu badanku terasa lebih segar. Aku ambil hanphone yang terdapat diatas nakas
“Halo Dre, selamat malam!” sapaku setelah sambungan terhubung.
“Iya halo, selamat malam,” balas Andre. “Ada apa malam-malam menelpon?” tanya heran.
“Apakah besok ada waktu kosong?..” tanyaku. “Aku ingin berkonsultasi padamu perihal persiapan kehamilan,” sambungku.
“Apa?” serunya, terdengar keterkejutan dari suaranya. “Memangnya siapa yang akan hamil Ga?” tanyanya lebih tenang.
“Sudahlah nanti kau akan tahu, jadi bisa tidak?” jawabku singkat.
“Tentu saja berkunjunglah kerumah sakit,” seringai muncul disudut bibirku. “Nanti biar kuatur namamu,” seringaiku melebar.
“Kau tahu persis apa yang aku mau kan?” tanyaku memastikan. “Aku bukan hanya ingin berkonsultasi tapi, you know lah,” pungkasku singkat.
“Aku mengerti dirimu Ga, oke besok datanglah pukul 9 pagi oke,” kata Andre. ”Akan kusiapkan obatnya”
“oke aku percaya padamu” ucapku tenang.
Akhirnya aku rebahkan tubuhku, setelah memutus sambungan telpon. Rumah ini dan sisi disebelahku akan segera terisi. Aku tidak sabar untuk itu. Oh iya, ada yang aku lupakan. Aku belum punya nomor telpon Bella. Besok aku akan memintanya ditempat kerja.
Aku pandangi foto Bella di handphone ku, memang sejuk dipandang mata. Dari foto saja aku langsung jatuh cinta. Lama-kelamaan aku tertidur. Dengan ponsel, yang masih memperlihatkan foto Bella gadis pujaanku.
POV Bella Setelah selesai membantu Ibu beres-beres dan mengantar keluarga om gilang sampai depan. Aku langsung kembali ke kamar mengistirahatkan badan dan jantungku, yang sampai sekarang masih berdetak tak beraturan saat didekat Rengga. Hufft padahal kami baru bertemu sekali, tapi kenapa aku selalu gugup didekatnya. Apalagi ketika dia menatapku dalam. Tatapannya itu jujur saja dapat menenggelamkan akan pesonanya. Segera kutepis pikiran-pikiran itu, tak kusangka ternyata diluar ekspektasi. Rengga bahkan dapat meluluhkanku hanya dengan tatapannya. Aku segera beranjak kuruang ganti, berganti baju, cuci muka dan tidur. Tenang Bella besok kamu masih harus bekerja seperti biasa hufft. Aku lihat pan
POV Rengga Setengah jam tak terasa. Disinilah aku menunggu Bella di lobi kantor. Seperti yang sudah aku janjikan tadi. Tak lama dia datang menghampiriku “Mas sudah lama menunggu?” tanyanya. “Belum lama Bell. Ayo,” aku langkahkan kakiku mendahuluinya. Aku masih menghindari gosip yang miring. Walau aku sebenarnya tidak peduli. Tapi yang kupedulikan adalah gadis dibelakangku. Dia harus merasa nyaman disisiku, jangan sampai dia takut dan menjauhiku. Itu mimipi buruk. Aku bukakan pintu untuknya. Dia merasa canggung, meski sudah kubuat sesantai mungkin.
POV Bella Setelah acara selesai, aku kemudian langsung dibawa ke rumah Mas Rengga. Baru aku sadari kalau selama ini. Dia tidak pernah pulang kerumah orang tuanya, melainkan rumahnya sendiri. Sebenarnya aku terkejut, ketika Ibu sudah menyiapkan semua keperluanku. Jadi sekarang, aku akan menghabiskan waktu disini. Dirumah ini. Mas Rengga pamit untuk membersihkan diri di kamar lain. Karena kamar mandi di kamarnya, baru saja aku pakai. Aku yang sudah segar setelah mandi. Ingin segera membereskan baju, untuk kurapihkan diruang ganti. Tapi sebelum itu, pintu terbuka. Tampaklah Mas Rengga dengan kaos oblong dan celana pendeknya. Rambutnyapun, masih basah khas orang selesai mandi. Dia kemudian segera menghampiriku, yang masih terpekur menatapnya. “Kenapa menatap Mas sep
POV Rengga Aku buka mata perlahan. Ternyata aku tidak bermimpi soal semalam, memang kenyataan. Didepanku adalah bidadari yang sudah dikirimkan tuhan untukku. Lama aku menatapnya. Aku lihat dia menggeliat didalam pelukanku. Bergerak menggesek juniorku, yang entah kapan sudah menegang. Berusaha diam, tapi aku sudah tak tahan. Akhirnya, aku tenggelamkan juniorku didalam vagina Bella hati-hati. Dia berangsur bangun, karena pergerakanku didalamnya. “Mas...” erangnya. “Ah..” “Iya sayang, maaf membuatmu terbangun,” Aku tambah kecepatan hujamanku. “Ah, ah, ah...” desahnya. Suara kecipak benturan tubuh mengiringi pagi kami. Semakin kasar pe
POV Bella. Setelah beberapa hari cuti, aku mulai bekerja seperti biasa. Bedanya hanya, sekarang aku tidak lagi berangkat ke kantor sendirian. Mas Rengga sempat menyinggung soal bulan madu. Tapi kemudian dia berkata, kalau masih terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk. Aku mewajarinya dan tidak memaksa. Karena aku juga tidak begitu tertarik, dengan yang namanya bulan madu. Sekarang sebagai seorang istri. Tugasku bertambah, dari mulai menyiapkan makan, keperluannya, hingga urusan ranjang. Sebenarnya aku tidak merasa terbebani. Hanya saja, menuruti nafsu Mas Rengga. Yang aku pikir, sedang menggebu setelah menikah. Begitu memforsir jam tidurku. Kadang aku berpikir, kenapa dia bisa jadi sekuat
POV Bella Tak terasa kandunganku sudah menginjak usia 20 minggu. Sebulan yang lalu, Dokter Andre berkunjung. Dia tetap memberikan resep yang sama padaku. Sekarang aku rasa kandunganku, seperti berusia 28 minggu sudah besar dan bulat. Setelah diperiksa, ternyata aku mengandung bayi kembar. Tak heran, mengapa ukuran perutku yang besar, tidak seperti kehamilan biasanya. Aku sudah merasakan tendangan-tendangan. Seringnya itu sulit membuatku tertidur nyenyak. Apalagi semenjak bulan ke-empat. Mas Rengga seperti orang kesetanan, yang ingin selalu bercinta. Selagi aku masih mampu. Aku tak akan menolak keinginannya. Namun seringkali sampai membuatku tak sadarkan diri. Dia masih dengan asiknya memasukiku.  
POV Bella Sekitar pukul tiga sore terdengar seseorang mengetuk pintu. Aku yang sedang berbaring miring. Sambil punggungku diusapi Mas Rengga pun beranjak. “Kemana sayang?” tanyanya melihatku beranjak bangun. “Sepertinya ada orang Mas didepan,” kataku. “Biar bibi saja yang buka,” ucapnya ingin menahanku. “Biar aku saja Mas, lagipula banyak bergerak baik untuk ibu hamil,” ucapku menyanggah. “Ya sudah kalau begitu, Mas mau menyelesaikan beberapa pekerjaan diruang kerja dulu. Oh iya mungkin saja itu kiriman krim dari Andre,” beritahunya.
POV Bella Aku sudah merebahkan diriku dengan posisi senyaman mungkin. Setelah minum obat dan menonton TV, aku beranjak ke kamar. Karena sudah bosan dengan program acara, yang hanya itu-itu saja. Sambil berbaring miring, aku berselancar dimedia sosial. Walau aku sudah tidak bekerja. Namun aku tidak pernah lepas kontak dengan rekan-rekanku. Hanya untuk bertukar kabar dan tahu keadaan satu sama lain. Pada semasa kuliah, aku tidak terlalu fokus pada pertemanan. Aku hanya mempunyai beberapa sahabat. Yang sampai kini pun masih suka bertukar kabar lewat media sosial. Saking asiknya, aku sampai tidak sadar kalau Mas Rengga sudah berbaring disampingku. “Mas sudah selesai?” tanyaku. &
POV Bella Pagi hari sebelum matahari menampakkan cahayanya. Mas Rengga sudah membangunkanku dengan cara kesukaannya. Berjalan pelan ke tepi pantai. Kami bertelanjang kaki menikmati air laut. Yang menjilat kaki kami seiring deburnya yang menepi. Lalu sedikit menjauh, duduk diatas pasir. Tanpa meminta, Mas Rengga sudah mengerti. Dengan menarikku perlahan untuk duduk dengan nyaman. Sweternya sudah membukus setengah badanku. Melindungi dari terpaan hawa dingin dipagi hari. Semalam, dengan telaten dia membereskan pakaian kami, ke dalam lemari yang sudah disediakan. Dan diluar dugaanku, dia bertahan tanpa menyentuhku. Walau setiap kali bersama, dia hampir lepas kendali. Posisiku begitu nyaman,
POV Bella Hari selanjutnya, aku dikejutkan dengan kehadiran Dokter Brian saat makan siang. Mas Rengga juga memilih makan siang dirumah. Padahal jarak antara kantor kerumah ini, lebih jauh. Setelah berbincang santai dengan dokter Brian. Aku mulai paham, alasan kenapa dia datang. Bayangan yang memaksa hadir dalam pikiranku tersebut. Menjadi ketakutan tersendiri untukku. Setiap kali melihat ranjang dari sofa, yang berada bersebrangan. Selalu mengingatkanku, pada pesan Renita. Kemudian ulasan bayangan Rengga dan Renita. Bergumul dibawah selimut yang sama. Dengan tanpa satu helai kain yang menutupi tubuh mereka. Agaknya sering kali mengganggu pikiran dan mempengaruhi moodku. Selama sisa kami berad
POV Rengga Andre datang setelah 15 menit kami menunggu. Aku silahkan dia memeriksa kondisi Bella, yang masih belum sadar. Aku was-was, menunggu hasil pemeriksaan Bella. Melihat raut wajah tenang Andre. Kini terasa tampak lebih mengkawatirkan. Dia sudah merapihkan alatnya, memasukkan kedalam tas. “Apakah Bella pernah punya riwayat gangguan kecemasan?” tanya Andre tenang. Pertanyaan Andre jelas tidak biasa. Mengingat Bella selalu tampak tenang, diam juga ceria. “Dia pernah mengalami sedikit trauma dibangku SMA Dok. Apakah ada hubungannya dengan keadaannya saat ini?” tanya Ibu cemas. Andre masih terlihat mengamati Bella yang belum sadar. “Sejauh ini. Itu diagnosa yang bisa saya berikan. Mung
71 POV Bella Setelah perjalanan yang cukup lama. Karena dihadang kemacetan jakarta. Akhirnya kami sampai dikedai es krim. Yang biasa aku kunjungi bersama Mas Rengga. Dia membantuku turun dari mobil. Sedangkan kedua anak lelakiku, sudah gesit menarik kedua tanganku. “Hati-hati Aldo, Ares ingat kondisi Mama,” kata Mas Rengga dengan nada tegas. Aku usap kedua puncak kepala mereka. Berusaha mencairkan suasana, dengan senyuman lembut. Sedangkan Amira sudah digendong Mas Rengga, mengikuti dari arah belakang. “Papa hanya kawatir sayang,” ucapku menenangkan. Setelah kami sudah duduk didepan kedai.
POV Rengga Dilorong menuju ruang praktek Andre. Aku lihat, Renita sudah mengirimkan nama ruangan, tempat Mamanya dirawat. Apakah tepat, jika aku mengajak Bella untuk ikut menjenguk Mamanya Renita. Aku baru saja dimaafkan. Aku tidak mau lagi diacuhkan oleh Bella. Batinku cemas. Aku berjalan menghampiri Bella, duduk disebelahnya. “Maaf ya lama,” kataku sebelum mencium keningnya. “Em Mas, jangan menciumku seenaknya seperti itu,” ujarnya. Sambil mengusap bekas ciumanku. Aku abaikan itu, biar saja semua orang melihat. Orang sekitar akan tahu. Jika wanita yang tengah minum air disebelahku ini, adalah istriku. Te
POV Rengga Aku masih menggendong Arlan yang sempat rewel. Karena mulai tumbuh gigi, membuatnya tidak nyaman. Yang berakibat pada terpotongnya jam tidurku. Ayah sempat menengok ke kamar. Kemudian pergi, setelah mengetahui Arlan sudah ada dalam gendonganku. Beliau hanya tersenyum singkat. Lalu berlalu kembali ke kamarnya. Semenjak aku tak lagi menyentuh Bella, alias puasa diatas ranjang. Aku akan tertidur lebih malam dari biasanya, dan jarang sekali bisa nyenyak. Hal tersebut juga dikarenakan anak-anak. Yang mungkin terbangun dimalam hari. Jika ada sesuatu yang membuat mereka tidak nyaman. Setelah jam lewat tengah malam, Arlan baru terlelap. Aku kembali ke kamar, mendapati Bella yang tengah tertidur. Masih sambil menyusui Arga. Aku lihat putraku satu ini masih men
POV Rengga Pagi ini aku merasa agak lega. Sebelum berangkat ke kantor, Bella ternyata masih memperhatikan penampilanku. Sudah beberapa hari ini, dia tak lagi menyiapkan setelan kantorku. Tetapi dari semua itu, dia masih peduli padaku. Walau tetap mengunci mulutnya. Hanya dengan berbicara pada orang lain saja. Aku dapat mendengarkan suaranya. Sebagai ganti ciuman, aku hanya puas dengan mengusap kepalanya. Aku sudah memesan rangkaian bunga mawar merah kesukaannya. Yang akan dikirimkan ke rumah. Aku harap dia dapat sedikit terkesan oleh perhatianku ini. Tidak banyak pertemuan hari ini. Jadi aku dapat langsung pulang. Setelah selesai berdiskusi bersama Reno. Mengenai beberapa file kerja sama yang harus aku pelajari.
POV Bella Aku tengah berbaring, sambil menyusui Alex. Ketika Mas Rengga masuk kamar. Setelah beberapa saat lalu, aku dengar suara mobilnya berhenti. Setelah meletakkan tas kerjanya disofa. Dia mendekat, dengan seulas senyum dibibirnya. Selanjutnya mencium Alex, lalu beralih mencium keningku. Kehangatan memenuhi dada, saat dia mencium keningku lama. Seakaan melepas rindu diantara kami. Atau mungkin, hanya aku yang berpikir seperti itu. Karena seharian ini, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Walau aku sudah berusaha mengalihkan pikiranku. Dengan lebih sibuk, mengurus anak-anak. Namun tak dapat dipungkiri, pikiranku masih tersita olehnya. Awalnya aku puas membuatnya berharap. Bahwa aku akan tetap mau dicium. Dan memberikan ciumanku, sebelum dia berangkat ke kantor. Aku ta
POV Bella Akhirnya kami kembali ke Jakarta. Aku tidak sabar untuk berjumpa dengan anak-anak. Aku lihat jam dipergelangan tangan. Mungkin mereka masih disekolah saat ini. Hem, aku ingin memasakkan mereka makanan kesukaannya. Aku lihat Mas Rengga yang tidur di kursi depan. Dengan Arga yang juga lelap bersandar di dadanya. Dia seperti kurang tidur semalam. Karena dia berada diruang kerja, setelah selesai makan malam. Hem biar saja, aku memang sengaja mendiamkannya. Tidak aku hiraukan perkataan maafnya. Kali ini, aku tidak akan semudah itu memaafkannya. Dia harus diberi pelajaran. Supaya bisa mengendalikan keganasan burung besarnya itu. Seenaknya saja memperlakukanku. Dikira aku hamil besar seperti ini, karena perbuatan siapa. Aku akan membuatnya tersiksa lebih dala