Hari ini adalah jadwal peminjaman buku di perpustakaan untuk kelas X_A IPS, yakni kelasku. Pada jam istirahat, aku berkeliling ke seluruh pojok dan rak perpustakaan, lalu akhirnya memutuskan untuk meminjam buku berjudulkan 'Flower Travel' yang memiliki sampul bergambar mawar hitam.
Ketika hendak meminta stempel pada pengawas perpustakaan, secara tidak sengaja aku menyenggol lengan seorang laki-laki hingga dia terjatuh dan kacamata dikenakannya menjadi sedikit retak. Serta merta mulut ini mengucapkan permintaan maaf, sekaligus membantunya bangkit. Semoga saja dia tidak meminta ganti rugi padaku perihal kacamatanya.
"I-iya, nggak pa-pa," ucapnya terbata-bata sembari menolak bantuanku. Dia pun menoleh ke arahku, lalu memalingkan wajahnya buru-buru.
Seketika aku tersenyum keki karena dia adalah Felix, ketua kelasku. Si laki-laki culun yang sering kali menghindar dariku tanpa memberikan alasan. Sebelum aku mengajaknya bicara, dia begitu sigap meminta stempel pada pengawas perpustakaan dan pergi ke luar secepat mungkin. Sikapnya seperti telah melihat setan yang akan membunuhnya. Tapi, sepertinya tampangku tidaklah seburuk atau semenyeramkan itu.
"Dia lari lagi tuh," ujar Sherly yang muncul secara mendadak di sebelahku. Sekadar pemberitahuan, dia adalah teman sebangkuku.
Napas berat terembuskan. "Seharusnya ketua kelas itu sering-sering berkomunikasi dengan teman sekelasnya. Tapi, dia malah kalang kabut setiap lihat wajah gue. Memangnya gue jelek, ya?"
Wajahnya memasang tampak jelek akibat kesal dengan perkataanku. "Udah aku bilangin. Dia itu takut sama kamu, gara-gara kamu sabuk hitam di judo!"
Lagi-lagi aku mendengar omong kosong itu. Tak mungkin ada laki-laki yang takut pada perempuan.
"Tapi, gue kan sudah keluar dari dojo! Gue nggak akan lanjut judo lagi," sergahku seraya melangkah menuju pengawas perpustakaan dan akhirnya mendapatkan stampel.
Kami melangkah ke luar bersamaan dan kepalaku mulai celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Felix, yang mungkin saja masih berada di dekat perpustakaan. Aku harus tahu mengapa dia terus menerus lari dariku.
"Nggak ada bedanya, Megan." Sherly memutar kedua bola matanya dan melanjutkan, "Nggak hanya felix aja yang takut sama kamu. Banyak lho anak-anak yang menghindari kamu karena takut kalau mereka ngelakuin kesalahan, bisa-bisa dibanting oleh kamu!"
Reflek tanganku mengibas pelan dan menjawab, "Pemikiran macam apa itu? Gue nggak begitu kali."
"Mereka semua memang ada-ada saja. Padahal, kamu ramah, lucu, asik, nggak pilih-pilih temen," puji Sherly membuatku salah tingkah. "Dan nggak pilih-pilih cowok yang disukai juga."
Aku menoleh dan menaikan sebelah alis. "Dih, lo kira gue suka sama si Culun itu?"
"Omongannya dijaga," tegur Sherly sembari meninju pelan bahuku. "Entar mendadak naksir, kan gawat."
Mana mungkin aku menyukai laki-laki semacam Felix. Ada-ada saja ucapannya.
Setelah berjalan sekian lamanya, kami sampai di taman belakang sekolah yang dipenuhi berbagai bunga dan anak-anak. Tempat ini benar-benar sesuai untuk membaca buku dengan udara segar.
"Lumayan sejuk rupanya, padahal gue pakai jaket begini." Kupegang ujung jaket jeans keren yang kukenakan akibat seragam sekolah sedikit tipis.
"Ngapain baca buku dongeng? Kita lagi ujian! Harusnya baca buku yang menambah wawasan." Sherly melirik bukuku dan tanganku langsung menutup wajahnya secara keseluruhan.
"Suka-suka gue. Nilai nggak penting sama sekali," kataku sok bijak.
Mengejar nilai dengan belajar mati-matian adalah hal yang melelahkan jiwa dan raga. Aku menolak cara tersebut apabila ingin meraih kehidupan idealis. Daripada melakukan hal tak mengalirkan motivasi ataupun passion, lebih baik balik saja ke realita.
"Hei, Sherly!"
Serentak kami berdua menoleh dan mendapati River telah memanggil Sherly. Si laki-laki berparas tampan dan berkedudukan sebagai kapten di klub voli. Sejujurnya, aku lumayan naksir kepadanya.
"Dipanggil Eva. Katanya, catatan bersama kemarin perlu dia koreksi dengan bantuan lo."
River adalah laki-laki tipekal humoris yang ramah pada semua orang, termasuk ke seluruh gadis. Meskipun tidak terlalu populer di sekolah, setidaknya pasti ada beberapa gadis yang menyukainya. Aku tidak terlalu berharap lebih atau berusaha untuk mendapatkannya.
"Hai, Megan!" sapa River dengan gaya jari two sign yang keren dan aku membalasnya menggunakan lambaian. "Mau gue temenin?"
Tanganku melambai kecil sebelum menjawab, "Nggak perlu. Temenin Sherly aja untuk ke Eva."
Satu kata sudah cukup untuk mendefinisikan Eva, yakni menyebalkan.
Asal tahu saja, sebenarnya kami bersaudara kandung dan karena dia memiliki otak encer, dia akhirnya berhasil menyetarakan kelas bersamaku. Dari perkataan ini, sudah jelas bahwa aku adalah kakaknya, meski hanya beda dua tahun. Secuil informasi, Eva tidak sebaik yang orang-orang kira. Cukup aku saja yang mengetahui sikap buruknya dan tidak mungkin kuumbar ke publik.
"Beneran?" River memastikan keputusaanku dan kepalaku langsung mengangguk. "Okelah. Gue cabut dulu."
"Aku pergi dulu, ya! Soalnya, dipanggil oleh Eva. Ada kerja kelompok yang harus diselesaikan," pamit Sherly dan langsung melangkah pergi meninggalkanku.
Kuusir pikiraan mengenai Eva dan mulai memfokuskan diri untuk membaca buku yang aku pinjam dari perpustakaan tadi.
Judul bukunya menarik. Ketika kubuka, debu mulai berterbangan yang menandakan bahwa sudah lama tidak dibaca. Aku kibaskan polusi udara tersebut dan mengusap halaman pertama yang hanya bertuliskan 'Apakah kamu percaya mawar hitam?' menggunakan tinta hitam bergaya lettering.
Halaman selanjutnya bertuliskan, 'Mawar hitam itu bukan mitos. Kalau tidak percaya, coba saja cari!' dan terdapat sebuah gambar vektor mawar merah.
Aku merasa aneh pada buku ini, dan seketika jempolku melibas di seluruh lembaran buku hingga semua halaman terbuka dengan cepat. Rupanya, setiap halaman hanya memiliki satu kalimat seperti buku quotes pasaran. Membacanya pasti hanya sebentar dan kucoba untuk membuka setiap halaman yang ada.
'Belum pernah mengitari dunia paralel, bukan? Mawar hitam bisa menjadi tiket perjalanannya!'
'Berwisata di pantai, kebun binatang, taman, semua itu membosankan. Cobalah wisata ke semesta lain.'
'Jangan merengek agar dapat kembali pulang! Seluruh dunia adalah rumahmu, tempatmu pulang."
'Mungkin, kematian seseorang bisa kamu lihat di sana dan tidak di sini. Jadi, jangan sedih, ya!'
'Jangan lari dari masalah, maka masalah itu akan terulang lagi. Tahu pengulangan masa, bukan?'
'Mawar hitam sangatlah sulit dalam memilih siapa yang ingin dipersilakan menuju alam semesta lain. Mungkin kamu bisa mendapatkan keberuntungan sebagai terpilih!'
'Oh, ya. Setelah ini, mawar hitam bisa saja mengindahkan hari-harimu.'
'Semoga bahagia bersama mawar hitam!'
Halaman sudah habis dan aku masih bingung terhadap isi buku ini. Tulisan-tulisannya seperti si penulis sedang memberi pesan kepada pembaca untuk mempercayai khayalannya terhadap mawar berwarna hitam. Padahal, mawar hanya berjenis merah dan putih.
Kepalaku mendongak ke depan dan langsung mendapati seorang nenek-nenek pengurus taman sekolah yang sedang menyirami sekitaran menggunakan selang panjang. Kemudian, Felix mendatangi beliau dan membicarakan sesuatu yang tak bisa kudengar dari posisiku ini. Setelah selesai berbincang, dia tak sengaja melihatku dan buru-buru dia menunduk seraya melangkah pergi hingga sirna.
Aku jadi ingin tahu, hal penting apa yang dibicarakan oleh mereka berdua.
Serta merta aku mendekati Nenek pengurus taman itu dan menyapa, "Permisi, Nek."
Awalnya, kulihat Nenek ini tersenyum. Namun, setelah melihatku, wajah beliau menjadi sendu dan kehilangan senyumnya.
"Ada apa, Nak?" tanya Nenek tersebut.
"Cowok tadi, ngomongin apa ke Nenek?" Aku berbisik agar tidak ada yang mendengar perkataanku.
Senyuman Nenek kembali terukir di bibir dan menjawab, "Dia mengingatkan Nenek untuk menyirami tanaman yang di pojokan juga."
Bisa-bisanya dia perhatian terhadap tanaman sekolah. Rupanya, gelar ketua kelas atasnya sangatlah pantas didapatkan.
"Kamu ingin melihat tanaman itu, Nak?" Nenek kembali bertanya dan nyaris saja aku menolak. Jika dipikir-pikir, tanaman apa yang dapat menarik perhatian Felix hingga kebutuhan airnya perlu diingatkan ke Nenek.
Aku mengangguk dan Nenek pun mengantarkan ke sudut taman di dekat pagar pembatas sekolah. Seketika aku tersentak kaget ketika mendapati sebuah pot kecil berisikan mawar hitam yang menjulang tinggi dan bertanda kesuburannya telah terjaga.
"Mungkin karena tanaman itu kurang air, makanya menghitam," kata Nenek dengan prihatin.
Sontak aku berjongkok di dekat bunga tersebut dan memegangi kelopaknya yang terlihat begitu segar, bukan seperti tanaman sakit.
TLAK!
"Ups." Kepalaku menoleh pada Nenek saat tak sengaja mematahkan tangkai mawar hitam itu ketika aku memeriksa secara keseluruhan.
"Tak apa. Mawar masih bisa dicangkok," kata Nenek yang membuatku lega.
Seketika pandanganku perlahan menjadi kabur dan mendadak nafasku sulit dikontrol. Bahkan, tubuhku tak mau menerima perintah dari otakku untuk bergerak ataupun mengeluarkan suara. Tiba-tiba saja aku merasakan tubuhku dihempas ke bidang datar, dan tetap saja tak ada cahaya yang mengelilingku. Aku menjadi merinding dan berpikir bahwa jangan-jangan aku telah kehilangan kemampuan melihat.
Hening sejenak, dan bau yang familiar menyeruak ke dalam hidungku. Bukan aroma parfum, bunga ataupun makanan lezat. Melainkan pengharum ruang kelasku.
Rasa pegal menjalar di tengkukku dan perlahan mataku berhasil terbuka yang masih terasa lengket seperti baru terbangun dari tidur.
"Megan, ayo bangun."
Seketika aku duduk dengan tegap dan melonjak kaget. Kepalaku reflek ke segala arah akibat panik. Aku tidak berada di taman bersama dengan Nenek, melainkan di kelas sembari duduk di bangku biasaku.
"Hei, kamu kenapa?"
Reflek kepalaku menoleh dan mataku membelalak saat melihat Felix berbicara padaku. Kucubit pipi tirus ini dan memastikan jika semua yang terlihat adalah mimpi. Saat rasa sakit telah menjalar, rahangku terjatuh dan tak bisa mempercayai apa yang kualami sekarang.
"Masih ngantuk si Megan, Fel," sahut Sherly yang berada di sebelahku. Seharusnya dia kerja kelompok bersama Eva, bukan duduk di sebelahku!
Untuk kesekian kalinya, aku tersentak akibat mendadak Felix melakukan hal yang tak lumrah. Dia mengusap pipiku menggunakan tisu seraya menggeleng pelan. Aku tidak percaya jika dia sudah mendapatkan keberanian untuk mendekatiku.
"L-lo ngapain?" sergahku bersamaan dengan mengibaskan tangan Felix dari wajahku. Kini giliranku yang tergagap saat kami bertatapan satu sama lain.
Kedua alis Felix terangkat akibat merasa bingung. "Kenapa, Megan? Bukannya apa yang kulakukan sudah wajar?"
"Wajar apanya?" tanyaku buru-buru.
"Ya, wajar," Felix mendekatkan wajahnya padaku, "Karena ini sikap seorang pacar yang baik, 'kan?"
Rahangku tidak bisa terkatup, mataku masih membulat dan tubuhku membeku setelah mendengar ucapan Felix yang tak bisa membuatku percaya sepenuhnya.
- ♧ -
Berkali-kali mata ini dikerjapkan, menahan dan mengembuskan napas, lalu berusaha memastikan bahwasannya apa yang kulihat bukanlah mimpi.Aku tidak bisa mengatakan ini semua adalah nyata apabila Felix mendadak menjadi pacarku. Begitu sulit untuk dipercaya! Pasti dia sedang mengigau dan ketika sepenuhnya sadar, dia langsung berlari kalang kabut dariku."Ayo, Megan. Sekarang kan jadwal kita ke perpustakaan," ujar Sherly yang membuatku spontan melesat menuju perpustakaan secepat kilat.Tidak peduli pada Felix yang sedari tadi berdiri untuk menunggu responsku. Terpenting untuk sekarang adalah mencari tahu kepelikkan semua ini. Pasti gara-gara buku 'Flower Travel' yang mungkin mengandung sihir, sampai-sampai menjadikanku sebagai target kutukannya.Buru-buru aku berlari dari koridor ke koridor yang untungnya begitu sepi hingga tidak ada siapa pun hendak menghalangiku. Tentunya, tujuanku adalah menuju ke bunga aneh tersebut.Terlihat taman yang masih sepi karena jam istirahat masih di menit a
Sore hari kusibukan dengan berlatih judo di dojo. Hanya segelintir perempuan yang mendaftarkan diri pada martial art ini, dan salah satunya adalah aku. Padahal, sebelum ini jelas-jelas aku sudah mengundurkan diri dari tempat ini. Akan tetapi, setelah kuperiksa rec-up di meja administrasi, namaku tidak tercoret dan bertanda aku masih terdaftar. Seandainya ada yang bertanya mengapa aku tertarik dengan judo, jawabanku adalah agar tidak terkekang seperti Eva. Hanya orang sinting yang rela ditimpa banyak beban pikiran dan batin demi pujian belaka. Ada-ada saja. Lebih baik mengejar apa yang diminati tanpa menguras pikiran hingga dapat bersantai tanpa terbebani. Pada malam hari, aku habiskan di dalam kamarku dengan bermain video game sembari menyamil kripik kentang. Di sisi lain, Eva masih melaksanakan les private matematika di luaran dan pastinya belum bisa balik ke rumah. Itulah aktifitas biasa kami yang sangat berkebalikan. Berkali-kali ponselku mendapatkan pesan dari Felix yang menan
Aku dan Felix pergi ke lapangan futsal yang terletak di antara himpitan dua gedung sekolah. Sesekali aku tersandung oleh batu besar di pinggir lapangan disebabkan tak bisa melewati area tengah yang sedang ada pemain bersama bolanya. Kami pun sampai di bangku panjang karena sebenarnya aku menolak untuk pergi ke kantin. Hanya karena tersoraki kemarin, rasa gelinya masih menjalar di sekujur tubuhku. "Udah enakan?" Felix menyerahkan jus apel yang dia bawa padaku. "Atau memang maksain diri untuk ujian? Aku bisa menemanimu nanti saat ulangan susulan di kantor, jika kamu mau." Selain pintar, dia juga sangat peduli. Siapa pun beruntung bila menjadi pacarnya, tapi tidak denganku. Kuambil pemberian Felix dan menusuk lobang kotak menggunakan sedotan yang tersedia, lalu kukembalikan padanya. "Ini, minum." "Itu untukmu, Megan." "Minum saja. Gue akan minum setelah lo." Setelah memberi alasan itu, Bibir Felix membentuk senyum tipis dan menerima jus itu. Ada-ada saja. Mana mungkin aku serius me
Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River."Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu."Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika
Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah."Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."Kepalaku menggeleng untuk menolak."Kalau ke kantin, gimana?"Lagi-lagi aku
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu