Home / Romansa / Flower Travel / Bab 03. Ada Apa Dengan River?

Share

Bab 03. Ada Apa Dengan River?

Author: Raim Cha
last update Last Updated: 2023-04-16 14:28:38

Sore hari kusibukan dengan berlatih judo di dojo. Hanya segelintir perempuan yang mendaftarkan diri pada martial art ini, dan salah satunya adalah aku. Padahal, sebelum ini jelas-jelas aku sudah mengundurkan diri dari tempat ini. Akan tetapi, setelah kuperiksa rec-up di meja administrasi, namaku tidak tercoret dan bertanda aku masih terdaftar.

Seandainya ada yang bertanya mengapa aku tertarik dengan judo, jawabanku adalah agar tidak terkekang seperti Eva.

Hanya orang sinting yang rela ditimpa banyak beban pikiran dan batin demi pujian belaka. Ada-ada saja. Lebih baik mengejar apa yang diminati tanpa menguras pikiran hingga dapat bersantai tanpa terbebani.

Pada malam hari, aku habiskan di dalam kamarku dengan bermain video game sembari menyamil kripik kentang. Di sisi lain, Eva masih melaksanakan les private matematika di luaran dan pastinya belum bisa balik ke rumah. Itulah aktifitas biasa kami yang sangat berkebalikan.

Berkali-kali ponselku mendapatkan pesan dari Felix yang menanyakan hal-hal umumnya sebagai pacar. Aku melihat keseluruhan pesan obrolan kami sampai nyaris membuatku muntah akibat ketikan romantis yang memualkan. Asal tahu saja, aku tidak pernah mengetik pesan secara panjang dan lebar, ataupun alay seperti yang terlihat ini. Terlebih lagi, tertera daftar panggilan telepon bersama Felix yang membuatku tercengang akibat lamanya durasi. Bukan satu atau dua jam, melainkan dua belas jam! Eww, aku tidak mau mengakui bahwa semua ini adalah ulahku. Bahkan aku tidak ingat jika pernah melakukan ini.

Keesokan harinya, aku bersekolah dalam keadaan merinding akibat semalam telah memimpikan kemesraanku bersama Felix. Sudah pasti ini gara-gara memeriksa ponselku dengan begitu mendetail.

"Hei, lesu amat muka lo."

Secara mendadak, River muncul dan merangkulku seakan-akan kami sudah begitu akrab. Ah, padahal aku jarang sekali berbicara bersamanya.

Meskipun sedikit menyukainya, aku masih menjaga diri dari pandangan publik dikarenakan Felix masih menjadi pacarku. Mungkin aku dapat memutuskan hubungan kami secepatnya.

Kutepiskan lengan River sebelum berkata, "Gue agak nggak enak badan."

"Serius?" Mata River membulat setelah mendengar kebohonganku. "Ya sudah, ayo ke UKS!"

Tanpa izin lebih dahulu, dia langsung menarikku pergi. Pada akhirnya kami sampai di UKS, lalu River memintaku duduk di atas ranjang dan memerika suhu tubuhku menggunakan punggung tangannya.

Aneh sekali dia tiba-tiba peduli padaku.

"Gue nggak pa-pa dan nggak perlu begini juga, Riv," kataku canggung.

Di saat aku hendak bangkit untuk pergi ke luar, River langsung memegangi kedua bahuku hingga menahanku untuk duduk.

"Nggak pa-pa apanya? Lo lesu begitu. Istirahat aja, gue bakal ..." Ucapan River terpotong ketika pintu UKS terbuka dan hadirlah Felix yang sedang memandangiku. "Izinin lo," lanjutnya.

"Lo bakal izinin gue?" tanyaku seraya kembali menatap River yang melepaskan tangannya dariku, lalu menyambut kedatangan Felix.

"Pas banget lo di sini, Fel." River menepuk-nepuk pundak Felix. "Megan izin istirahat. Nggak enak badan katanya."

Perbedaan ukuran tubuh mereka sangat terlihat ketika berdampingan seperti itu. Di saat seperti ini, bisa-bisanya aku menilai tubuh orang lain.

"Tadi aku lihat kalian ke sini, jadinya aku susul cepat-cepat." Felix mendekat, kemudian memegangi dahi dan area bawah daguku. Tentu saja tak ada suhu panas yang akan dia rasakan, karena aku berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan jika sedang frustasi setelah merasa geli pada kebucinan kami yang berada di dalam ponsel. "Tunggu, aku ambilkan paracetamol."

Dia langsung melangkah ke lemari kaca dan mencari-cari obat yang dimaksud hingga suara-suara antar gesekan bungkus plastik terdengar jelas.

"Dan gue izin nemenin Megan di sini."

Seketika suara-suara pencarian obat terhenti ketika River mengucapkan kalimat izinnya.

"Kalau lo nggak mungkin nemenin Megan. Secara, lo itu ketua kelas dan punya tanggung jawab untuk me-handle kelas."

Felix melirik tajam ke arah River sebentar, dan tiba-tiba tersenyum tipis.

"Baik," jawab Felix pada River sambil berjalan dan memberikan satu bungkus obat pil padaku. "Tolong jaga Megan. Aku balik ke kelas dulu."

Aku tidak menyangka jika Felix mengizinkan pacarnya bersama laki-laki lain. Mungkin dia belum benar-benar menyukaiku hingga tak ada perasaan cemburu. Tapi baguslah, karena aku dapat bolos dari kelas.

Secara bersamaan, Felix pergi ke luar, dan kuletakan obat tadi di atas meja nakas. Aku meletakkan ransel di lantai dan menarik selimut setelah membaringkan tubuh di ranjang secara miring. Lumayan, aku mendapatkan waktu tidur lebih hari ini.

"Lo balik aja, Riv. Gue nggak pa-pa sendiran," ucapku ketika River menduduki kursi di sebelahku.

"Ah, nggak apa-apa. Lagi pula gue di sini mau bolos dari kelas."

Sontak aku terkekeh setelah mendengar alasan tersebut.

"Gue kira lo begini karena care ke gue," ujarku sambil menatapnya sayu.

Melihat wajahnya dalam berbaring seperti ini begitu menyejukan mataku. Andai saja selalu seperti ini sebelum tidur, aku pasti akan bermimpi indah.

River memalingkan wajah ke jendela luar dan menggaruk pelipisnya. "Sebenarnya, gue memang nyari kesempatan buat bareng lo."

Terdiam. Benar-benar di luar dugaan jika aku dapat mendengar kalimat itu dari River. Seharusnya aku tak boleh merasa pede, karena dia pasti memberi perlakuan seperti ini ke semua orang, bukan khusus untukku.

"Jujur, deh. Gue agak kaget lo bisa jadian dengan Felix yang orangnya biasa aja," ungkap River. "Apa yang membuat lo tertarik dari dia?"

Aku mengubah posisi tidur menjadi terlentang dan menatap langit-langit. "Entah. Gue juga nggak tau."

"Oh, jadi memang bener. Cinta itu nggak perlu alasan ..."

"Gue nggak cinta sama Felix." Buru-buru aku menyela.

"Serius?" Dari ekor mataku, River tampak tercengang. "Lo sebucin itu sama Felix, tapi nggak ada rasa cinta?"

Grrr, aku tidak pernah berbucin-bucin ria bersama laki-laki itu. Meskipun pernah, tentu saja itu bukan aku atau mungkin jelmaanku.

"Gue juga nggak tahu kenapa bisa jadian sama tuh anak," ujarku setelah menghela napas ringan. "Mungkin kami bakal putus secepatnya."

River manggut-manggut tanda mengerti dan seketika menjadi hening. Daripada memunculkan suasana canggung akibat kehabisan topik, lebih baik kupejamkan mata dan menikmati ranjang keras ini sampai tertidur. Aku merasakan bahwa kesadaranku masih setengah. Akan tetapi, justru otakku mengingatkan bahwa sekarang adalah hari ke enam ujian semester awal yang berjadwalkan matematika wajib dan minat. Oh ya, aku harus ujian!

"Megan."

BUG!

Ketika membuka mata akibat terkejut dan baru teringat mengenai ujian, sebuah wajah dengan jarak satu jengkal telah menutupi seluruh pandanganku. Akibat terkejut, tanganku reflek melontarkan satu pukulan.

Seketika suara rintihan terdengar hingga aku bangkit dan dahiku langsung menyundul wajah yang sudah kutonjok tadi. Suara erangan mulai menjadi-jadi, lalu aku memandangi sekitaran dengan panik. Terlihat River yang menutupi setengah wajahnya dan aku buru-buru meminta maaf karena sudah tahu jika itu adalah ulahku. Dia membuka tangannya dari bekapan dan darah mulai mengalir sedikit dari lobang hidungnya.

Sesegera mungkin aku mengambil kapas dari laci meja nakas dan membersihkan darah River perlahan-lahan.

"Sakit banget, ya?" tanyaku canggung. Selain mengalirkan darah, hidungnya juga menjadi lebam.

River tertawa kecil. "Nggak, nggak apa-apa. Gue cuma kaget aja mendadak dibogem begini."

Mendengar ucapan itu, aku jadi makin merasa bersalah.

"Beneran nggak pa-pa?" Aku ragu jika dia mengatakan hal tadi. "Kalau gitu, gue ke kelas dulu. Lo mau ikut, 'kan?"

"Ngapain ke kelas?" River mendongak dan kebingungan atas ucapanku. "Ini sudah jam istirahat."

Gawat, aku melewatkan ujian semester yang penting. Melaksanakan program susulan sangatlah tidak enak, karena akan mengerjakan ulangan di kantor guru. Agh, menyebalkan!

"Kok muka lo kayak shock begitu?" Suara tawa dari mulutnya terdengar dan disela oleh rintihan akibat nyeri di hidungnya yang muncul kembali.

"Sakit banget, ya? Apa perlu dikompres es batu?"

Lama-lama, aku juga ikutan nyeri jika melihat wajah River.

Menurutku, es batu lumayan bisa meredakan sakit. Aku selalu melakukan hal itu ketika terdapat luka memar di tubuh setelah melakukan praktik di dojo. Entah efektif atau tidak, bisa saja dicoba.

"Es batu dari mana?" Lagi-lagi River berbicara dengan kekehan kecil. Sedari tadi aku tidak melawak, namun dia terus-terusan tertawa.

"Dari kantin, Riv," jawabku sembari meraih tanganya untuk bangkit. "Ayo ke luar. Siapa tahu bisa meredakan bengkaknya."

Kami akhirnya pergi ke luar bersama-sama dan berharap jika siapa pun yang melihat River tidak akan berpikir bahwa akulah pelaku dari meminuskan wajah tampannya.

"Gila, perih banget," rintih River yang membuatku sedikit panik.

"Duh, Riv. Lo jangan ribut gitu dong. Entar pada mikir kalau gue jahatin lo." Sembari berjalan, aku memegangi wajah River dan mengelus-elus pinggiran hidungnya agar merelaksasi rasa nyerinya.

Bukan mengurangi racauannya, justru dia semakin menjadi-jadi dengan menaikan volume suara.

"Lakukan kayak tadi, sakitnya berkurang," ucap River setelah aku menarik tangan dan kembali mengelus wajahnya. "Nah, begini enakan."

Hening dalam seketika membuatku merasa ada kesalahan. Di sela-sela memegangi wajah River, mataku melirik ke sudut mata dan mendapatkan pemandangan yang tak diduga-duga.

Felix mematung dalam menonton kami, begitu pula dengan Eva yang berada di sebelahnya. Di waktu yang sama, suara River tak terdengar lagi. Namun, kurasakan gerakan pada wajahnya di tanganku, yakni sedang menyunggingkan senyum.

Kulihat Eva yang berawal bersikap normal, sontak dia menggenggam sebelah tangan Felix. "Kayaknya kita ganggu mereka, deh. Cabut aja yuk, Fel."

Felix melirik sinis ke Eva dan terbungkam ketika tangannya disentakan perlahan untuk menolak pergi. Spontan aku menarik tangan dan baru sadar bahwa perilakuku sangatlah buruk di hadapannya.

"Buset, lo bawain gue jus?" River angkat bicara dan mulai melangkah mendekati Felix untuk meraih satu kotak jus dan bungkusan lain yang tak kuketahui dalam satu tangannya. "Thanks, banget. Lo perhatian amat."

"Bukan untukmu," balas Felix sambil berjalan melewati River dengan cuek dan menghampiriku. "Kenapa ke luar dari UKS? Aku baru mau ke sana. Ini semua kubelikan buat kamu."

Dia memberikan semua yang ada di tangannya padaku. Aku tidak enak hati untuk menolak. Tapi di sisi lain, aku merasa malu jika diberikan terang-terangan seperti ini.

"Gue udah enakan. Makanya mau balik ke kelas dan ..." Kupegang lengan Felix seraya menariknya pelan untuk berjalan bersama. "Kita makan di kantin aja. Gue baru inget kalau hari ini ujian, dan seharusnya masuk kelas."

Sembari berjalan, Felix menjawab, "Kamu bisa ulangan susulan, Megan. Aku akan bantu."

"Nggak perlu. Gue udah enakan, serius!" tegasku.

Aku tidak boleh mengatakan kejujuran bahwa sebenarnya tidak dalam keadaan sakit. Felix adalah ketua kelas, dan mungkin saja dia bisa menindaklanjutiku.

"Eits ..." Tiba-tiba River menahan bahu Felix dan serentak kami berdua berhenti. Setelah Felix menoleh, River menunjuk-nunjuk hidungnya. "Cewek lo habis nonjok gue. Dia mau tanggung jawab, dan lo jangan mendadak bawa dia."

Felix memerhatikan luka memar itu sejenak. "Oh, tunggu saja di UKS. Aku akan kembali untuk ngobatin kamu."

"Gue butuhnya es batu."

"Akan kuantarkan."

"Gue maunya dengan Megan," desak River. "Lo tadi jalan-jalan sama Eva, 'kan? Ya sudah sana, lanjutin kegiatan kalian, para anak pintar."

Aku tahu niat dari kedatangan Eva dan Felix adalah untuk menjengukku di UKS. River sudah mengetahui ketidakcintaanku pada Felix. Akan tetapi jika dia bersikap seperti ini, sangatlah tidak pantas dan terdengar mengesalkan.

Akibat merasa kasihan pada Felix yang dipaksa oleh River, aku langsung membelanya dengan menyela. "Lo bisa sama Eva, Riv. Gue cabut dulu sama Felix."

Kutarik kembali tangan Felix secara perlahan dan kami melanjutkan perjalanan menuju kelas. Tadi aku merasa tidak enak hati padanya, sekarang justru terasa tidak enak hati pada River. Spontan aku menoleh ke belakang dan melihat River yang terdiam dalam menatap kepergianku.

- ♧ -

Related chapters

  • Flower Travel   Bab 04. Putus

    Aku dan Felix pergi ke lapangan futsal yang terletak di antara himpitan dua gedung sekolah. Sesekali aku tersandung oleh batu besar di pinggir lapangan disebabkan tak bisa melewati area tengah yang sedang ada pemain bersama bolanya. Kami pun sampai di bangku panjang karena sebenarnya aku menolak untuk pergi ke kantin. Hanya karena tersoraki kemarin, rasa gelinya masih menjalar di sekujur tubuhku. "Udah enakan?" Felix menyerahkan jus apel yang dia bawa padaku. "Atau memang maksain diri untuk ujian? Aku bisa menemanimu nanti saat ulangan susulan di kantor, jika kamu mau." Selain pintar, dia juga sangat peduli. Siapa pun beruntung bila menjadi pacarnya, tapi tidak denganku. Kuambil pemberian Felix dan menusuk lobang kotak menggunakan sedotan yang tersedia, lalu kukembalikan padanya. "Ini, minum." "Itu untukmu, Megan." "Minum saja. Gue akan minum setelah lo." Setelah memberi alasan itu, Bibir Felix membentuk senyum tipis dan menerima jus itu. Ada-ada saja. Mana mungkin aku serius me

    Last Updated : 2023-04-16
  • Flower Travel   Bab 05. Hari yang Menyebalkan

    Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River."Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu."Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika

    Last Updated : 2023-04-16
  • Flower Travel   Bab 06. Kematian Felix

    Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah."Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."Kepalaku menggeleng untuk menolak."Kalau ke kantin, gimana?"Lagi-lagi aku

    Last Updated : 2023-04-16
  • Flower Travel   Bab 07. Dunia Paralel Lain

    Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu

    Last Updated : 2023-05-03
  • Flower Travel   Bab 08. Perundungan

    Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke

    Last Updated : 2023-05-03
  • Flower Travel   Bab 09. Keluarga Baru

    Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva

    Last Updated : 2023-05-04
  • Flower Travel   Bab 10. Pertukaran Hidup

    Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"

    Last Updated : 2023-05-05
  • Flower Travel   Bab 11. Kemarahan Eva

    "Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain

    Last Updated : 2023-05-07

Latest chapter

  • Flower Travel   Bab 15. Solusi

    Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk

  • Flower Travel   Bab 14. Kehidupan Baru Lagi

    Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H

  • Flower Travel   Bab 13. Mencoba Kembali

    Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila

  • Flower Travel   Bab 12. Akhir yang Mengerikan

    Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama

  • Flower Travel   Bab 11. Kemarahan Eva

    "Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain

  • Flower Travel   Bab 10. Pertukaran Hidup

    Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"

  • Flower Travel   Bab 09. Keluarga Baru

    Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva

  • Flower Travel   Bab 08. Perundungan

    Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke

  • Flower Travel   Bab 07. Dunia Paralel Lain

    Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status