Home / Romansa / Flower Travel / Bab 04. Putus

Share

Bab 04. Putus

Author: Raim Cha
last update Last Updated: 2023-04-16 14:43:33

Aku dan Felix pergi ke lapangan futsal yang terletak di antara himpitan dua gedung sekolah. Sesekali aku tersandung oleh batu besar di pinggir lapangan disebabkan tak bisa melewati area tengah yang sedang ada pemain bersama bolanya.

Kami pun sampai di bangku panjang karena sebenarnya aku menolak untuk pergi ke kantin. Hanya karena tersoraki kemarin, rasa gelinya masih menjalar di sekujur tubuhku.

"Udah enakan?" Felix menyerahkan jus apel yang dia bawa padaku. "Atau memang maksain diri untuk ujian? Aku bisa menemanimu nanti saat ulangan susulan di kantor, jika kamu mau."

Selain pintar, dia juga sangat peduli. Siapa pun beruntung bila menjadi pacarnya, tapi tidak denganku.

Kuambil pemberian Felix dan menusuk lobang kotak menggunakan sedotan yang tersedia, lalu kukembalikan padanya. "Ini, minum."

"Itu untukmu, Megan."

"Minum saja. Gue akan minum setelah lo." Setelah memberi alasan itu, Bibir Felix membentuk senyum tipis dan menerima jus itu.

Ada-ada saja. Mana mungkin aku serius mengatakan itu. Jika mau tahu, sebenarnya aku tidak mau menerima sesuatu dari orang yang membuatku sedikit tidak nyaman.

"Tadi ngapain jalan bareng bersama Eva?" Aku bertanya agar menghindar dari meminum jus yang diberikan oleh Felix. Lagi pula, aku juga sudah menduga apa yang akan dijawab olehnya.

"Hanya ingin menjengukmu, itu saja," jawab Felix cepat-cepat. "Sungguhan, aku nggak bohong ..."

"Iya-iya, nggak perlu panik begitu."

Reaksi Felix kembali lega. Aneh, untuk apa dia begitu menekankan ucapannya, padahal dia sudah pasti tahu bahwa watakku tidak mungkin cemburuan.

"Sebenarnya, kami juga bersama-sama ke mading kantor untuk melihat nilai kami." Felix mengalihkan pandangannya dariku dengan wajah murung.

"Buat apa?" timpalku. "Toh, nilai lo pasti tertinggi di angkatan, apalagi di kelas."

Kepalanya menggeleng. "Aku turun dari sepuluh besar."

Mulutku terperangah akibat sulit mempercayai ucapannya. "Serius lo, Fel? Nggak bercanda, 'kan?"

"Memangnya wajahku terlihat seperti sedang bercanda?"

Wajahnya selalu datar-datar saja sejak dulu. Reflek aku menggigit bibir dan memandang langit dengan risau. Sebelum ini, dia pasti memotong waktu belajarnya untuk bersenda gurau bersamaku. Memang benar kata orang, jika berpacaran sangatlah tak berfaedah dan menurunkan nilai. Pantas saja banyak yang menggunakan alasan fokus belajar untuk memutuskan pacarnya.

Sontak aku berdiri beserta menatap Felix lekat-lekat. "Pasti gara-gara gue, ya?"

Kepala Felix menggeleng cepat, lalu kupegang bahunya hingga wajah kami mulai berdekatan. "Pacaran tuh nggak ada gunanya, Fel. Nilai lo jadi anjlok karena gue!"

"Tapi ..."

"Gue bisa paham bagaimana tuntutan menjadi yang terunggul. Lo pasti kesulitan jika ada dua beban yang lo pikul."

"Tapi Megan ..."

"Nggak bisa begini, Felix! Nggak ada tapi-tapian juga." Kusela kosakata 'tapi' darinya dan aku tegakkan cara berdiriku. "Mending kita putus aja."

Akhirnya aku menemukan alasan untuk ini. Ucapanku pasti berhasil meyakinkannya.

"Nggak bisa gitu." Felix menatap nyalang ke arahku hingga bangkit dari duduknya, "Tapi Megan ..."

"Sudahlah, ini demi kebaikan lo sendiri." Aku manggut-manggut karena merasa bijak. "Fokus dulu sama ujian ini. Anggap aja gue hilang untuk sementara waktu, oke?"

"Megan, nggak begini juga kamu dalam mengambil keputusan," racau Felix. "Aku beneran nggak masalah perihal nilai."

Aku menelengkan kepala akibat pasrah dengan alasan Felix yang benar-benar menolak permintaanku. Aneh juga anak berambisi sepertinya lebih mementingkan berpacaran daripada nilai.

"Beneran?" Aku menatapnya malas dan dia mengangguk dengan yakin. "Dua hari lagi ujian bakal berakhir. Gue mau lo dapetin rank tertinggi lagi."

Sebelum Felix membuka mulut, aku membungkamnya menggunakan tangan. "Untuk sementara aja. Kita break dulu, karena gue merasa bersalah sudah nyita keberuntungan lo. Apa lo nggak malu posisi teratas diambil orang?"

Bagus, dia tidak menjawabku.

"Untuk dua hari aja, Fel. Yakin, deh sama gue." Aku menepuk-nepuk pipinya pelan sampai ujung bibirnya menyunggingkan senyum. "Sekarang, ayo balik ke kelas. Mapel selanjutnya apa?"

"Sejarah," balas Felix dengan lirih.

Meskipun dia terlihat kecewa, keputusanku adalah yang terbaik bagi masing-masing. Lihat saja, Felix pasti tidak akan menyesal karena kuminta untuk mengseriuskan nilainya.

"Nih, jangan murung gitu." Kuberikan jus apel tadi padanya dan langsung melangkah pergi ke kelas secara bersamaan.

Bel masuk berbunyi di saat kami sampai di depan kelas. Dari kejauhan, terlhat River sedang berbincang-bincang bersama Sherly, lalu menoleh ke arahku seraya melambai pelan.

Ranselku sudah berada di bangkuku, yang sepertinya River lah membawakannya untukku.

"Mau belajar sejarah bareng?" Felix bertanya dan aku mengibaskan tanganku tanda menolak.

"Gue mah nggak mentingin nilai, ikut serta ujian aja udah cukup," kataku, kemudian langsung melenggang pergi ke bangkuku.

River langsung bangkit dan mempersilahkan aku untuk duduk.

"Hidung lo nggak pa-pa?" Aku mendongak ke arah River yang belum kembali ke bangku pojoknya.

Dia memegangi hidungnya dan menjawab, "Masih sakitlah. Lo harus tanggung jawab untuk ngerawat hidung gue."

Sudah banyak korban banting di dojo atau orang-orang perguruan beladiri lain yang mencari masalah karena mulai menantangku dan lebih memiliki luka parah daripada River. Tapi, dia justru berlebihan dalam mendapatkan secuil memar. Bukankah dia juga atlet yang sering mendapatkan luka melebihi itu?

"Gue kasih duit aja, gimana?" Tanganku langsung merogoh-rogoh saku celana, namun dia memegangi tanganku hingga aku terdiam.

"Ada-ada aja. Gue minta lo ngerawat, bukan bayar begini," timpal River tak senang.

"Oh, gitu. Minta dirawat aja sama Sherly." Kutunjuk Sherly yang terkejut saat menjadi korban penyerahan.

Cewek imut itu mendengus kesal dan mencoba menyenggol tanpa bisa membuatku bergoyang sedikit pun. Tenaganya seperti belum makan selama seminggu.

"Aku udah ada pacar untuk kuurusin. Jangan sodorin aku ke cowok lain!" bentak Sherly seraya memutar kedua bola mata.

Aku terkesiap dan menggoyang-goyangkan bahunya hingga terguncang-guncang. Melihat wajahnya yang mual karenaku, tawaku hampir menyembur.

"Serius lo? Siapa pacar lo, huh?" desakku tak sabaran.

"Dih, kepo!" Sherly menyentakan tanganku dan menegakkan cara duduknya. "Kamu nggak mau ngurusin River karena punya cowok, 'kan? Nah, aku juga sama."

Perkataannya membuatku sontak menoleh ke arah River yang sedang menyimak obrolan kami dengan keki.

"Peraturannya memang begitu? Jadi, kalau Megan nggak sama Felix, dia berhak ngurusin ulah dia di wajah gue dong?" River menyahuti dan aku mengerutkan dahi.

Aku menoleh ke arah bangku paling depan pada barisan horizontal. Itu adalah bangku Felix. Akan tetapi, laki-laki itu tidak ada. Serentak kami bertiga menoleh ketika orang yang kucari muncul di depan bangkuku sembari menyodorkan sebuah buku di mejaku.

"Ini buku apa?" Aku menerima buku itu dan membuka-buka lembarannya. "Oh, catatan sejarah."

"Masih ada sepuluh menit sebelum pengawas datang. Kamu bisa belajar sementara waktu," ujar Felix lembut.

Meskipun sudah memutuskan hubungan, perbuatannya berkesan tulus dan mau tidak mau, aku harus menerima niat baiknya.

River merampas buku itu dari tanganku dan membuka-bukanya seraya berkata, "Fel, lo kapan mau putus sama Megan?"

"Lo ngomong apaan, sih?" kilahku tak senang padanya. Aku tak suka jika dia mengurusi hubunganku seperti ini. Terlebih lagi berbicara secara frontal.

"Udah kok," balas Felix ketus. Dari balik kacamatanya, dia melirik sinis ke arah River. "Ngincar Megan, 'kan? Silahkan."

Dia melenggang pergi dan kembali ke bangkunya, bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Aku yang memandanginya hanya bisa terdiam dalam menyembunyikan rasa canggung.

"Gue balik dulu." River ikut pergi dan kuembuskan napas berat setelah keluar dari suasana tak menyenangkan ini.

Sherly mencolek lenganku. "Sejak kapan kamu putus sama Felix?"

Kusenderkan tubuh di punggung kursi, sekaligus menatap Sherly dengan malas.

"Kalian tuh pasangan paling banyak dibicarakan di angkatan lho," sambungnya serius, "Cowok terpintar dengan cewek peraih sabuk hitam judo yang banyak dijauhi anak-anak. Apa nggak mengecewakan kalian putus secepat ini?"

Mendengar ucapannya telah membuatku kepikiran berat. Aku adalah tipekal melakukan sesuatu yang mengutamakan sebab dan akibat. Pasti ada niat tertentu apabila aku berpacaran bersama Felix. Sudahlah, sebaiknya aku kembali fokus untuk mengisi ujian karena guru penjaga sudah hadir dan langsung membagikan lembar soal.

Tidak perlu membahas bagaimana aku mengisi kertas jawaban yang membuat kepala pusing. Untuk hari ini, akhirnya aku berhasil mengerjakan sisa dua mata pelajaran yang rasanya lebih melelahkan dari berlari dua kilometer.

Pulang sekolah telah tiba dan pastinya kertas pengumuman nilai ujian kemarin sudah terpajang jelas pada mading di depan kantor guru yang kini terbanjiri oleh oleh anak-anak kepo stadium akhir.

Aku jadi malas untuk memeriksa nilaiku dan lebih baik pergi pulang agar Pak Sopir pribadiku tak menunggu lama di depan gerbang. Akan tetapi, terlihat penampakkan Eva yang terjepit di kala hendak ke luar dari lautan manusia tersebut. Tentu saja tidak kubantu, melainkan aku tertawai begitu cablak.

"Bantuin, kek!" bentak Eva yang membuatku seketika bete.

Kutarik bawah mataku dan mengeluarkan lidah untuk meledeknya. "Huh, keluar aja sendiri."

Setelah berbalik badan dengan tak acuh, aku pergi untuk pulang tanpa keadaan kusut, pegal ataupun lelah akibat karna tidak mau terdesak-desak. Di saat yang sama, mataku membulat kaget setelah melihat pemandangan Felix yang berjalan dalam keadaan basah kuyup.

Kudekati dia karena khawatir dan bertanya, "Lo kenapa, Fel?"

Felix terkejut, tetapi reaksinya lebih mengarah ke takut. Secepatnya dia memaksakan senyum padaku. "Nggak apa-apa. Tadi, kesembur air keran yang rusak dekat lapangan futsal."

Dari atas ke bawah, tingkat basahnya cukup drastis. Dia berbohong pada orang yang salah.

"Ngaco," tukasku. "Lo tuh kayak nyebur di air, tau nggak? Atau mungkin kesirem satu ember!"

"Emm, entahlah. Aku pulang dulu. Takutnya masuk angin."

Felix meninggalkanku buru-buru seperti menolak untuk berdekatan denganku. Ada apa dengannya?

Kubuyarkan kebingungan tadi dan berlari untuk melesat masuk menuju mobil. Dalam semenit, Eva menyusulku dengan riang gembira yang berlebihan. Dia memang aneh, tapi selalu kumaklumi.

"Kenapa lo? Udah kayak menang togel," tanyaku berserta ledekan.

Eva bergerak-gerak dari menggelengkan kepalanya, menggoyangkan pinggang atau menari-nari meskipun dalam keadaan duduk di kursi.

"Hari ini ibu pasti bangga karena nilaiku yang kemarin sangat sempurna dan menginjak urutan kedua," ucapnya sombong dan aku terkekeh.

"Yang pertama pasti Felix, 'kan?"

Kepalanya menoleh dan mengerutkan dahi. "Aku dong! Enak aja. Pokoknya Felix ada di bawahku, masih sepuluh besar sih, kayaknya."

Baguslah, Felix ada kemajuan dalam menaikan nilainya. Jika terus tanpaku mulai sekarang, dia pasti akan menginjak peringkat yang selalu dia dapatkan hingga tak berpikir lagi untuk berpacaran bersamaku.

Entah kenapa, atau bagaimana, hidupku mulai menjadi seperti drama di telenovela.

- ♧ -

Related chapters

  • Flower Travel   Bab 05. Hari yang Menyebalkan

    Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River."Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu."Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika

    Last Updated : 2023-04-16
  • Flower Travel   Bab 06. Kematian Felix

    Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah."Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."Kepalaku menggeleng untuk menolak."Kalau ke kantin, gimana?"Lagi-lagi aku

    Last Updated : 2023-04-16
  • Flower Travel   Bab 07. Dunia Paralel Lain

    Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu

    Last Updated : 2023-05-03
  • Flower Travel   Bab 08. Perundungan

    Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke

    Last Updated : 2023-05-03
  • Flower Travel   Bab 09. Keluarga Baru

    Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva

    Last Updated : 2023-05-04
  • Flower Travel   Bab 10. Pertukaran Hidup

    Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"

    Last Updated : 2023-05-05
  • Flower Travel   Bab 11. Kemarahan Eva

    "Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain

    Last Updated : 2023-05-07
  • Flower Travel   Bab 12. Akhir yang Mengerikan

    Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama

    Last Updated : 2023-05-07

Latest chapter

  • Flower Travel   Bab 15. Solusi

    Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk

  • Flower Travel   Bab 14. Kehidupan Baru Lagi

    Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H

  • Flower Travel   Bab 13. Mencoba Kembali

    Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila

  • Flower Travel   Bab 12. Akhir yang Mengerikan

    Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama

  • Flower Travel   Bab 11. Kemarahan Eva

    "Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain

  • Flower Travel   Bab 10. Pertukaran Hidup

    Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"

  • Flower Travel   Bab 09. Keluarga Baru

    Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva

  • Flower Travel   Bab 08. Perundungan

    Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke

  • Flower Travel   Bab 07. Dunia Paralel Lain

    Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status