Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Hari ini adalah jadwal peminjaman buku di perpustakaan untuk kelas X_A IPS, yakni kelasku. Pada jam istirahat, aku berkeliling ke seluruh pojok dan rak perpustakaan, lalu akhirnya memutuskan untuk meminjam buku berjudulkan 'Flower Travel' yang memiliki sampul bergambar mawar hitam. Ketika hendak meminta stempel pada pengawas perpustakaan, secara tidak sengaja aku menyenggol lengan seorang laki-laki hingga dia terjatuh dan kacamata dikenakannya menjadi sedikit retak. Serta merta mulut ini mengucapkan permintaan maaf, sekaligus membantunya bangkit. Semoga saja dia tidak meminta ganti rugi padaku perihal kacamatanya. "I-iya, nggak pa-pa," ucapnya terbata-bata sembari menolak bantuanku. Dia pun menoleh ke arahku, lalu memalingkan wajahnya buru-buru. Seketika aku tersenyum keki karena dia adalah Felix, ketua kelasku. Si laki-laki culun yang sering kali menghindar dariku tanpa memberikan alasan. Sebelum aku mengajaknya bicara, dia begitu sigap meminta stempel pada pengawas perpustakaan da
Berkali-kali mata ini dikerjapkan, menahan dan mengembuskan napas, lalu berusaha memastikan bahwasannya apa yang kulihat bukanlah mimpi.Aku tidak bisa mengatakan ini semua adalah nyata apabila Felix mendadak menjadi pacarku. Begitu sulit untuk dipercaya! Pasti dia sedang mengigau dan ketika sepenuhnya sadar, dia langsung berlari kalang kabut dariku."Ayo, Megan. Sekarang kan jadwal kita ke perpustakaan," ujar Sherly yang membuatku spontan melesat menuju perpustakaan secepat kilat.Tidak peduli pada Felix yang sedari tadi berdiri untuk menunggu responsku. Terpenting untuk sekarang adalah mencari tahu kepelikkan semua ini. Pasti gara-gara buku 'Flower Travel' yang mungkin mengandung sihir, sampai-sampai menjadikanku sebagai target kutukannya.Buru-buru aku berlari dari koridor ke koridor yang untungnya begitu sepi hingga tidak ada siapa pun hendak menghalangiku. Tentunya, tujuanku adalah menuju ke bunga aneh tersebut.Terlihat taman yang masih sepi karena jam istirahat masih di menit a
Sore hari kusibukan dengan berlatih judo di dojo. Hanya segelintir perempuan yang mendaftarkan diri pada martial art ini, dan salah satunya adalah aku. Padahal, sebelum ini jelas-jelas aku sudah mengundurkan diri dari tempat ini. Akan tetapi, setelah kuperiksa rec-up di meja administrasi, namaku tidak tercoret dan bertanda aku masih terdaftar. Seandainya ada yang bertanya mengapa aku tertarik dengan judo, jawabanku adalah agar tidak terkekang seperti Eva. Hanya orang sinting yang rela ditimpa banyak beban pikiran dan batin demi pujian belaka. Ada-ada saja. Lebih baik mengejar apa yang diminati tanpa menguras pikiran hingga dapat bersantai tanpa terbebani. Pada malam hari, aku habiskan di dalam kamarku dengan bermain video game sembari menyamil kripik kentang. Di sisi lain, Eva masih melaksanakan les private matematika di luaran dan pastinya belum bisa balik ke rumah. Itulah aktifitas biasa kami yang sangat berkebalikan. Berkali-kali ponselku mendapatkan pesan dari Felix yang menan
Aku dan Felix pergi ke lapangan futsal yang terletak di antara himpitan dua gedung sekolah. Sesekali aku tersandung oleh batu besar di pinggir lapangan disebabkan tak bisa melewati area tengah yang sedang ada pemain bersama bolanya. Kami pun sampai di bangku panjang karena sebenarnya aku menolak untuk pergi ke kantin. Hanya karena tersoraki kemarin, rasa gelinya masih menjalar di sekujur tubuhku. "Udah enakan?" Felix menyerahkan jus apel yang dia bawa padaku. "Atau memang maksain diri untuk ujian? Aku bisa menemanimu nanti saat ulangan susulan di kantor, jika kamu mau." Selain pintar, dia juga sangat peduli. Siapa pun beruntung bila menjadi pacarnya, tapi tidak denganku. Kuambil pemberian Felix dan menusuk lobang kotak menggunakan sedotan yang tersedia, lalu kukembalikan padanya. "Ini, minum." "Itu untukmu, Megan." "Minum saja. Gue akan minum setelah lo." Setelah memberi alasan itu, Bibir Felix membentuk senyum tipis dan menerima jus itu. Ada-ada saja. Mana mungkin aku serius me
Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River."Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu."Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika
Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah."Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."Kepalaku menggeleng untuk menolak."Kalau ke kantin, gimana?"Lagi-lagi aku
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu
Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu