Ujian tengah semester hari ke tujuh, maka esok adalah yang terakhir. Aku harap Felix tidak mencoba mengajakku mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala.
Saat memasuki kelas, kulihat di depan papan putih adanya River merangkul Felix yang memasang raut canggung. Sepertinya bukan, tapi lebih ke rasa takut. Kepalanya menunduk, sedangkan River justru tertawa lepas bersama teman-teman lainnya. Bodoh, sudah tahu dia tidak cocok dalam pertemanan anak-anak gaul, tetapi masih saja menetap di ketiak River.
"Hai, Megan!" River melambai kecil ke arahku dan aku membalasnya menggunakan gerakan alis.
Sampai aku terduduk di bangku, mataku belum bisa lepas dari memandangi Felix yang begitu tertekan. Seharusnya dia pergi, bukan diam seperti itu.
"Fel!" teriakku secara terpaksa karena terlalu kesal dalam melihat pemandangan tersebut. Dia pun menoleh dan wajahnya kembali cerah saat melihatku. "Ke sini dong, ajarin gue bahasa inggris!"
Tiba-tiba Sherly mencolek bahuku. Tunggu dulu, aku tidak tahu jika dia sudah duduk di bangkunya dari tadi.
"Sekarang geografi. Kenapa malah belajar bahasa inggris?" tanyanya terheran-heran.
Tidak kuindahkan tanggapan Sherly dan menunggu Felix yang sedang berjalan ke arahku. Percayalah, laki-laki ini seperti merasakan kelegaan.
"River!" River menoleh saat kupanggil. "Lo masih lama kan berdiri untuk ngobrol di sana?"
Dia mengangguk. "Iya, kenapa?"
Spontan aku bangkit dan melewati Felix yang sudah sampai ke bangkuku. "Pinjem bangku lo, ya?"
"Boleh, dong! Apa sih yang enggak untuk lo," jawabnya dengan riang. Namun, raut mukanya berubah ketika kuseret kursi dari bangkunya dan meletakkan di samping bangkuku. "Lah, katanya lo mau pinjem bangku gue?"
Aku menoleh padanya kembali dan mengatakan, "Memang." Kemudian kembali menatap ke arah Felix. "Ayo duduk, ngapain lo main-main. Kan gue suruh lo untuk perbaiki nilai."
Tidak sengaja aku melirik River. Dia sedikit terkejut, tetapi mulutnya tidak bergerak seakan-akan diamnya adalah menolak untuk berkata-kata.
"Ayo, ajarin gue," pintaku pada Felix.
Kurampas buku tulis Sherly hingga dia mengomel, kemudian mengeluarkan bolpoin untuk Felix. Dengan senang hati, cowok super baik ini menjelaskan mata pelajaran bahasa inggris tanpa kusimak sedikit pun. Mataku hanya tertuju pada meja mengkilap ini dan berpikir bahwa hidupku terasa sedikit tidak tenang.
Waktu terasa begitu cepat sampai akhirnya ujian datang. Kuminta Felix untuk mengembalikkan kursi River dan dia pun menurut. Dia benar-benar lugu sampai aku merasa kasihan padanya.
Selama ujian, sesekali aku menyenggol Sherly untuk meminta jawaban, meskipun tahu dia tak akan memberikannya padaku. Posisi duduk kami berada di dekat tembok dan barisan ke dua dari depan. Jadi, aku bisa melihat ke seluruh ruangan hanya dengan melirik.
Felix tampak serius dalam mencorat-coret lembaran di hadapannya. Sementara itu, River ikut melirikku disertai senyuman jahil. Alih-alih salah tingkah, justru membuat tubuhku merinding. Aku benar-benar tidak cocok untuk dunia perbucinan, terlebih lagi seperti digoda.
Singkatnya, jam istirahat hadir dan seperti biasa, aku bersama Sherly pergi ke kafetaria tanpa membahas secuil pun ujian tadi. Hanya orang sok berambisi yang membicarakan hal seperti itu.
"Lo tahu nggak, sih? Gue ngelihat Felix kemarin basah kuyup," kataku yang memulai pergibahan ke Sherly. "Kenapa, ya kira-kira?"
Cewek di sebelahku menghentikan mulutnya dalam mengunyah nasi dan udang tumis asam. "Bukannya kamu udah tahu jawabannya?"
Aku menggedik bahu tanda tak tahu dan tidak peduli. Di tempo yang sama, mata ini melihat Felix menduduki bangku di sudut kafetaria. Sendirian dan pasti berhawa masygul. Manusia itu benar-benar menyedihkan.
Kuangkat baki beserta tubuh, kemudian mendatanginya dengan duduk berseberangan. Dalam seketika, mataku membelalak kaget saat merasakan ada yang melempar punggungku dengan sesuatu yang keras, lalu terasa cairan dingin menembus seragam polosku.
Kurang ajar. Ada yang melempariku menggunakan susu kotak. Eww, ini menjijikkan!
Sontak aku berdiri dan berbalik sambil mengedarkan pandangan hingga mendapati tiga orang yang saling menyenggol satu sama lain.
Tanpa berpikir lagi, aku memungut kotak yang masih berisikan susu tadi, lalu berjalan ke tiga laki-laki itu dan melemparkan susu ini di tanganku ke arah mereka. Karena merasa kurang, kurampas susu milik orang lain, kemudian melemparkan lagi ke dua objek tersisa.
"Kalau nggak suka sama gue, sini maju!" bentakku sampai membuat ketiga pelaku tersebut lari pontang panting.
Mendadak, Felix menarik tanganku pelan-pelan dan aku hanya menurut karena memang badanku sangat butuh dibersihkan.
"Ayo, aku temani untuk bersihkan tubuhmu."
"Oke."
Saat kami sampai di depan toilet khusus perempuan, dia pergi langsung untuk mengambil seragam ganti di gudang OSIS.
Selama beberapa saat, kulepas seragam yang sudah terasa lengket dan membilasnya dengan kesal. Mulutku tak henti-hentinya menggerutu sampai pintu toilet utama terketuk yang mengartikan atas kehadiran Felix.
Pintu terbuka kecil, tanganku menjulur ke luar dan menerima paper bag berisikan seragam berbau debu. Mau tak mau, aku mengenakannya, lalu memasukkan seragam yang sudah kuperas dan lembab tadi.
Setelah ke luar dari toilet, muncul aroma yang lebih tak sedar daripada susu tumpah ataupun apak di seragam pinjaman ini. Seperti bau amisnya telur mentah. Tidak hanya itu, mataku mendapati rambut Felix yang basah seperti kemarin.
"Lo kenapa sih basah-basahan mulu dari kemarin?" Aku bersungut-sungut dalam menatapnya. "Jangan bilang lo maniak air."
Felix menjadi bingung dalam menjawab. Matanya melirk ke kiri sembari berkata, "Aku memang suka basah-basahan begini. Maaf kalau nggak nyaman saat dipandang."
Selanjutnya, Felix berbalik untuk pergi dan tanganku sontak menarik kertas bertuliskan 'Dumb' yang tertempel di punggungnya. Sebelum aku melemparkan pertanyaan, dia sudah meninggalkanku lumayan jauh.
Tempelan tadi hanya sebuah candaan belaka dan sepertinya aku tak perlu berpikir berlebihan.
Selama seharian penuh, wajahku terukir jelek karena bete. Terlebih lagi saat ujian, aku menjadi asal menconteng jawaban. Andai saja aku mengenal tiga orang tadi, akan kuberi pelajaran pada mereka hingga tak berani menampilkan wajah di depanku lagi.
Tambahan pula Eva yang menyadari suasana buruk hatiku hingga membanjiriku dengan beribu pertanyaan saat pulang sekolah. Dasar anak sok perhatian. Dia kira, aku akan memuji sandiwaranya tersebut? Tentu tidak sama sekali.
"Hei, Megan. Lo nggak mau lihat ranking harian ujian kemarin?" Eva menunjukkan kertas pengumuman nilai dan peringkat harian kepadaku. Matanya mulai berbinar dan menunggu reaksiku saat kulihat nama Eva berada di nomor satu. "Gimana? Nama lo di ranking mana?"
Tidak kugubris cicitannya dan fokus ke arah nomor 51 yang bertuliskan nama Felix, sedangkan namaku berada di atasnya tepat. Laporan nilai ini pasti salah sampai-sampai menuliskan peringkat acak-kadul begini.
"Lo nyolong kertas pengumuman ini dari mading kantor, 'kan?" tanyaku menggunakan air muka serius.
"Iya dong. Perjuangan bangget gue mendapatkan ini demi nunjukkin ke lo sama Ibu," jawab Eva pongah.
Jelas-jelas dia tahu bahwa aku tidak pernah tertarik dengan keberhasilannya.
Di kala mobil kami ke luar dari parkiran sekolah, secara tak sengaja terlihat pemandangan Felix sedang berjalan sembari membawa sepeda hibrid lusuh yang tidak dinaikinya.
- ♧ -
Sesuai yang aku katakan, esok adalah hari terakhir ujian. Tunggu dulu, maksudku hari ini. Ah, otakku mulai kurang mendapatkan koneksi. Ini pasti gara-gara hal menyebalkan kemarin.Selama di sekolah, aku baru tahu jika River dan Felix berteman dekat hingga berjalan bersama terus menerus. Walaupun mereka tampilannya sangat terbanting jauh, seperti Felix yang berkerut-kerut seperti kanebo kering dan River seperti biasa yakni selalu ceria. Namun, aku merasa lega karena si kacamata itu mau bergaul akrab dengan anak-anak tergolong asyik tersebut.Karena masih merasa jengkel perihal susu kemarin, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kantin ataupun kafetaria hanya hari ini. Yeah, aku tahu bahwasannya atlet harus menaikkan berat badan dengan makan tertatur, tapi ya sudahlah."Megan!" River menghampiri bangkuku tanpa bersama Felix di kelas. "Nggak mau ke kafetaria? Lauknya enak, ada tumis cumi dan sup rumput laut."Kepalaku menggeleng untuk menolak."Kalau ke kantin, gimana?"Lagi-lagi aku
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu