Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah.
"Eh, maaf."
Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi.
"Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut.
Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini."
Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini.
Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki.
Sherly bersamaku, tengah duduk pada bangku panjang di pinggir koridor. Terlihat anak-anak berlalu-lalang yang berpenampilan kurang heboh seperti menggunakan aksesoris atau bergaya pongah. Paling menonjol dari segalanya ialah nuansa sekolah lebih sepi dan tidak begitu ribut seperti biasanya.
"Ayo ke kelas. Jam pelajaran sudah mau dimulai." Sherly menarik tanganku pergi dan aku masih merasa bingung dengan keadaan sekitar yang berubah.
Di kala memasuki kelas, justru aku lebih terkejut. Lihatlah papan kapur beserta remah-remahan putih di bawahnya, bangku guru tanpa alas meja dan terlebih lagi kursi-kursi murid yang tidak memiliki busa agar nyaman diduduki.
Ini bukanlah kelasku!
Kami berdua duduk di bangku formasi yang sama. Namun, meja yang biasa kugunakan justru banyak coretan dan ukiran jelek. Bahkan saat mencoba merogoh-rogoh saku rok, tidak ada satu pun lembaran uang yang kudapatkan.
PLAK!
Kepala belakangku terpukul oleh LKS dan kulihat pelakunya adalah Pearly atau biasa dipanggil Pretty. Dia sekelas denganku, tapi biasanya dia selalu kalem dan tidak pernah berbincang kepadaku. Kini dia berubah dengan berwajah bengis dan menyebalkan dalam menatapku.
"Eh, sowwy!" ucapnya berunsur meledek.
BRUK!
Akibat emosi, aku bangkit dan menghampirinya. Lalu, menarik tangannya dan memberikan cengkraman kuat. Suara rintihan terdengar dari mulut Pretty dan semua pandangan tertuju padaku. Balasan terberikan dengan tamparan mendarat di wajahku.
Karena sudah terlanjur kesal, spontan aku membantingnya ke belakang dalam waktu sekejap.
"Lo kira bakal selamat setelah begitu, Prett?" bentakku murka seraya menendang-nendang kecil pahanya. "Bangun! Masih ada tiga bantingan yang harus lo tuntaskan."
Mendadak rambutku terjambak dan berbagai cercaan menyeruak telinga. Tanpa jeda, kutarik tangan-tangan penjambak itu dan membantingnya ke depan. Tidak hanya sampai di situ, beberapa gadis mulai mendekatiku dengan wajah gahar dan kulayani mereka menggunakan tendangan ganda sampai semua jatuh serentak.
Gila, sepertinya mereka mau mencari musibah dariku.
"Lo semua cari mati sama gue?" ancamku sembari mengacungkan tinju ke arah mereka semua.
"Ampun!" rintih Pretty, lalu berlari pontang panting ke luar kelas.
"G-gue nggak akan ulangi!" sesal lainnya yang tak bisa kukenali wajahnya akibat sedang terlungkup.
Kurang ajar. Aku tak mengenali tempat dan orang-orang yang berada di sekeliling. Asing dan aneh. Perasaan, hidupku damai-damai saja sebelum ... ah ya, sebelum Felix pergi dariku.
Pintu kelas terdobrak keras dan aku mengibaskan pikiran tadi sembari menoleh ke asal suara. Di saat itu juga, senyumku merekah, kemudian kakiku reflek melangkah.
Felix berada di depan pintu! Itu benar-benar dia!
"Diam di sana!" perintahnya berintonasi tinggi. Aku menjadi tertegun saat melihat Felix bisa bersikap tegas begini. "Megan, kamu nyakitin mereka? Jangan buat reputasi kelas kita rusak sama ulahmu."
Ingin sekali mulut ini bermisuh-misuh, sampai-sampai aku menggertakkan gigi karena dilontarkan perkataan seperti itu. Serta merta aku berbalik dan memungut LKS yang telah digunakan untuk memukul kepalaku tadi.
"Hei, Ketua kelas belagu!" cibirku sambil mengacungkan pungutan tadi. "Gue dipukul dengan ini. Dikira gue bakal diem dan cupu kayak lo?"
"Siapa yang kamu bilang cupu, Cupu?" cerca Felix bersamaan alis yang terangkat sebelah.
Dia bukan Felix yang kukenal! Maka karena itu, aku menderap ke arahnya bak banteng yang akan menyeruduk kain merah. Akan tetapi, tubuhku tiba-tiba tertahan oleh sebuah tangan yang di mana milik River.
Kepalanya menggeleng, memberi isyarat agar berhenti bertingkah.
"Felix, tolongin kami!" rengek Pretty sembari memeluk tangan kanan Felix, tetapi laki-laki itu langsung menyentakkannya tanpa bicara dan menatapku tajam. "Megan, ikut aku ke ruang guru."
Setelah mendengar celotehan Pretty, aku menyahuti, "Lo mau gue jadikan perkedel, huh?"
"Sudah, cukup!" Dia membentakku beserta mata melotot di balik kacamata mulusnya. "Megan, balik ke tempat dudukmu. Yang lainnya juga, karena dua menit lagi bel masuk."
Masih dua menit, maka karena itu aku menghamburkan diri ke luar kelas dan tidak mempedulikan teriakan perintah dari mulut si tukang ngatur tersebut.
Aku harus melihat secara keseluruhan dari perbedaan ilusi mawar hitam ini. Ah, tidak bisa kusebut ilusi juga, semua tampak nyata, senyata-nyatanya.
Area sekolah kukelilingi yang di mana koridor begitu sedikit, hanya ada satu gedung dan itu pun hanya dua tingkat. Lalu, lapangan futsal yang seluas kebun rumahku dan tidak ada kafetaria sama sekali.
Kuputuskan untuk pergi ke luar gerbang dan akhirnya melihat papan nama sekolah bertuliskan 'SMA NEGRI 26' yang membuat detak jantungku berhenti sedetik. Sial, ini bukanlah sekolah Internasional yang kumasuki!
"Dek, ayo masuk," tegur sang satpam, tetapi bukanlah Pak Asep yang sebelumnya mengejarku.
"Megan!"
Kepalaku menoleh dan melihat River tengah menyusul dan melambai-lambai untuk memintaku mendekatinya. Namun, Selang beberapa detik, Felix muncul disertai wajah bengisnya. Cih, padahal laki-laki itu bertampang tolol dan aku jadi teringat bagaimana ekspresi mengenaskannya terakhir kali saat bunuh diri.
Aku pun mendekati mereka berdua dengan berpura-pura lemas dan mengatakan, "Gue mau UKS. Nggak enak badan."
Tatkala melewati mereka, tanganku ditahan oleh Felix. "Nggak usah bohong. Kamu sebelum ini baik-baik saja. Hari ini juga ujian, kamu wajib ..."
"Apaan sih, Fel?" Mata ini tak sanggup menatapnya karena masih ada penyesalan di benakku.
River menengahi. "Udah, Fel. Biarkan Megan ke UKS, gue bakal nganterin dia ..."
"Gue bisa sendiri," selaku sembari melepaskan genggaman Felix dan pergi ke dalam sekolah yang sebenarnya tidak tahu arah menuju UKS.
Berlari-lari kecil bagaikan musafir nyasar, kepalaku menoleh ke sana kemari dan membaca papan nama di masing-masing ruang. Seharusnya aku mengajak River agar dia menuntunku ke lokasi yang kutuju.
Alih-alih UKS, yang kutemukan hanyalah toilet. Ketika aku membuka pintu, sekejap siraman air membasahi tubuhku dan diiringi suara kekehan puas. Terdapat dua gadis tidak kukenali sedang memegang ember, kemudian mereka mendorongku agar bisa lewat untuk pergi, bahkan aku sampai terjatuh akibat terpeleset di genangan air.
Seceptnya, aku sengkat kaki mereka ketika hendak melangkahiku. Alhasil, terjatuhlah secara serentak sampai mulut mereka mencium lantai. Aku bangkit dan berdiri di antara mereka, kemudian menjambak kedua rambut tersebut hingga melilitnya untuk menambah rasa sakit. Mereka berteriak histeris dan memakiku berkali-kali tanpa merasa dosa.
"Kalian kira, bisa pergi cuma-cuma?" bentakku seraya memperkuat tarikan dalam menjambak rambut mereka. "Kenapa? Mau lapor guru?"
Karena tangan ini sudah mulai memerah, kulepaskan mereka secara kasar sampai tersundul ke lantai. Seumur hidup, aku tidak pernah mendapatkan perlakukan seperti ini, ataupun menghardik seseorang layaknya tadi.
Apakah ilusi ini memintaku untuk merasakan hidup perundungan?
"Kamu ..."
Suara lirih dari area belakang dan sontak kepalaku menoleh sampai melihat kehadiran Felix.
"Kamu bukan Megan yang kukenal."
Mulutku berdecih keras. "Lo kira gue seperti apa? Megan yang mutusin lo, hingga lo bundir?"
"Putus?" Alisnya terangkat sebelah. Aku tidak pernah tahu bahwa Felix berlagak seperti ini. "Memangnya, kita pernah pacaran?"
Mulutku membisu dan tidak bisa menggerakkan badan sedikit pun. Felix tidak mengenal kepribadian asliku yang biasa dia lihat dan begitu pula aku kepadanya. Kami berbeda, kehidupan yang kulihat juga berbanding kebalik.
Ini ... seperti dunia lain.
Seketika terbesit di otakku mengenai mawar hitam. Bukan, tapi buku mawar hitam. Kalimatnya yang mengutip 'Belum pernah mengitari dunia paralel, bukan? Mawar hitam bisa menjadi tiket perjalanannya!'.
Dunia paralel. Ya, itu jawabannya. Aku menjadi korban pelemparan buku sialan itu! Gawat, jika begini tentunya aku harus kembali ke dunia asalku!
"Megan," panggil Felix yang menghancurkan lamunanku.
Tidak kuhiraukan apa pun dan tanpa ba-bi-bu lagi, aku melesat pergi menuju taman belakang sekolah untuk menemukan mawar hitam yang menjadi titik masalahku. Akan kukutuk tanaman busuk itu, jika aku bisa.
Berkali-kali aku melewati berbagai kelokan, tetapi tidak menemukan jalan kosong menuju belakang sekolah. Jangankan jalan, lahan kecil untuk nongkrong saja tidak ada!
Namun, akhirnya aku tahu bahwa sekolah ini tidak ada bagian belakang yang bisa dijadikan taman. Lantas, ke mana tanaman itu?
Menyebalkan, apakah aku tidak bisa kembali ke kehidupan normalku lagi?
- ♧ -
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H
Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Sepenuhnya malam hari, aku tidak bisa tertidur dan hanya menatap langit-langit. Memikirkan keanehan semesta seperti mimpi, sulit sekali bagiku untuk percaya. Sampai di pagi hari, aku baru tertidur dan tidak peduli mengenai kuliah. Yang benar saja, aku masih SMA dan mustahil mengikuti pembelajaran di universitas. Ibu tidak mungkin memeriksa keadaanku dan mengomel, sedangkan Eva sibuk akan dirinya sendiri saja. Tidak kuhiraukan deringan ponsel, mungkin saja itu panggilan teman-temanku yang menungguku berangkat. Beberapa jam berlalu dan aku terbangun dengan suasana hati gelap. Ponsel yang terbanjiri notifikasi telah kutekan bagian panggilan untuk menelepon Sherly. "Halo, Sher," sapaku setelah menguap. "Nggak usah nanya ini-itu. Sekarang, gue ada sesuatu yang dibicarakan. Lo ke rumah gue, ya!" Permasalahan pelikku, harus didiskusikan dan meminta solusi pada seseorang. "Eh, kamu nggak ngampus hari ini ..." Kututup panggilan itu sebelum dia selesai berbicara. Setelahnya, aku membersihk
Hawa dingin disertai rasa pegal di bagian punggung. Mata yang begitu lelah ini mulai perlahan terbuka dan mengumpulkan kesadaran seutuhnya. Cahaya remang-remang dalam ruangan, sofa dan meja yang menjadi bantal tidurku. "Bisa-bisanya kamu tidur di saat pelanggan banyak begini." Suara omelan yang semakin mendekat telah membuatku menoleh dan terlihatlah Sherly. "Nanti manajer marah, tau? Ayo bangun." Dalam seperkian detik, aku terperangah dalam memandangi sekitaran. Bahkan, saat menatap wajah Sherly dengan dihiasi riasan telah menambah keterkejutanku. Beberapa orang tengah mengenakan pakaian yang sama sepertinya dan aku baru sadar bahwa sama dengan mereka semua. Sebuah name-tag bertuliskan 'Megan - Waitress' terpasang di bagian dadaku dan aku juga melihat milik Sherly yang tidak ada bedanya. "Bangun dong, Megan," sahut laki-laki yang membuatku tambah terkejut. River yang tengah meminum dari gelas kertas dan memandangiku. "Masa lo mau tidur saat kerja? Kecapekan setelah ngampus, ya?" H
Keributan, desas-desus dengan berasumsi sendiri, panik dan rasa takut mulai hadir mengelilingiku dari anak-anak yang baru saja terpancing dengan terlambat oleh teriakan meminta tolongku tadi. Sementara itu, mataku hanya bisa membelalak hebat dalam menatap wajah tidak bernyawa di hadapanku ini. Rasanya, seperti baru saja kami mengenal seseorang yang berbeda, tapi tiba-tiba berlalu begitu cepat dan semuanya telah berakhir."Panggil guru-guru! Gawat banget, Felix tertusuk dan harus dibawa ke rumah sakit!""Lihat, pisaunya di dekat Megan. Apa jangan-jangan dia yang sesuai aku pikirkan, ya?""Yang takut darah, menyingkir! Jangan kepo.""Apa-apaan ini? Apa kasus pembunuhan?"Mulutku reflek menjerit kaget karena mendadak banyak anak yang mengangkat Felix hingga aliran darah keras mulai membanjiri. Aku yang terduduk dalam keadaan shock baru menyadari bahwa semua pandangan mengintimidasi menuju ke arahku. Rasa tidak nyaman ini, sulit untuk kusangkal."Megan!"Aku menoleh karena sebuah panggila
Ketika mulai tersadar, kejutan muncul dengan mendapatkan aku berada di rooftop sekolah. Mataku melirik ke segala arah dan melihat Eva yang duduk di depan pintu agar menghalangi jalan ke luar dari sini. Kedua tangan ke belakang dan kakiku terikat dengan lakban tebal sekaligus duduk di pinggir pagar.Mustahil jika dia menyeretku sendirian ke sini dalam waktu singkat dan melewati tangga. Pasti ada yang membantunya, tapi siapa?"Aku mau kamu lompat," ucap Eva seraya berdiri dengan kedua tangan di belakang punggung. "Cepat.""Lo kira gue sudah hilang akal?" Aku berdecak dan melanjutkan, "Lo dendam apaan, sih, sama gue? Seandainya gue punya salah, gue minta ma ..."Sebuah pisau muncul dari balik punggung dengan tangan yang bersarung hitam. Mataku menatao nyalang dan merasa tidak yakin jika anak selugu dia mampu menyakiti orang."Ayo pilih. Mati karena gue, atau mati karena loncat?""Sialan," umpatku seraya berusaha melepaskan diri. "Gara-gara gue pacaran sama Felix, lo begini? Lo suka sama
"Memangnya kenapa kalau ketahuan dia?" tanyaku sambil berjalan ke arah Eva yang berapi-api, lalu merangkulnya kuat-kuat. "Apa yang perlu gue takutin, Fel?" Sontak, Eva menyentakkan diri dan berlari pergi dariku. Felix menatap kepergiannya dengan gelisah, sedangkan aku yang tidak tahu apa-apa hanya menggedik bahu sekali. Ternyata, alasan dia membawaku ke sini, hanya secuil masalah tidak berfaedah. Jika begini, seharusnya mengumbar hubungan kami bukanlah masalah. "Di koridor sepi-sepi begini, nggak boleh berduaan. Lo kan anak alim, ayo balik ke kelas," kataku seraya memegangi tangan Felix dan berjalan pergi. Bukan aku yang akan bunuh diri, tapi dia. Meskipun posisi kami seperti bertukar 180°, aku yakin jika dia tetap sama-sama sangat tertekan di sini. Mengejar nilai, ikut atletik, sedikit dipandang remeh oleh anak-anak lain karena menanggung beban dalam melindungi gadis yang disukainya. Felix tetaplah Felix, dari raut wajahnya saja bisa kumaknai bahwa mentalnya sehalus yupi. Seandain
Hari kedua di kehidupan aneh. Tidak ada jam weker untuk membangunkan, melainkan Ibu dengan menggoyang-goyangkan tubuhku dengan sedikit brutal. Lalu, mandi dengan super dingin tanpa shower atau busa sabun.Sebenarnya, aku tidak ingin pergi ke sekolah. Namun, rasanya sedikit memprihatinkan saat melihat Ibuku yang super lembut ini.Usai segalanya dalam persiapan, kami ke luar dan aku terkejut ketika Eva menaiki bemo yang ramai. Dari pada dia mengusirku secara memalukan demi menutupi identitas hubungan darah kami, aku pun lebih memilih untuk berjalan kaki. Semoga saja, aku masih mengingat rute menuju sekolah negri itu."Hei, Megan."Dari gang kecil yang akan kulewati, River muncul dengan menyapaku. Dari dulu, dia selalu ramah dan mataku terasa sejuk setiap kali melihatnya."Muka lo murung banget, ada apa? Eva ngamuk-ngamuk lagi, ya?" tanyanya sembari memerhatikan wajahku yang sebenarnya sedang menggigil.Sontak, aku memeluk diri sendiri dan berkata, "Oh, lo percaya kalau gue saudari dia?"
Sekolah ini tidak memiliki seragam lebih untuk persediaan murid dalam keadaan darurat. Walaupun akhirnya yang kupakai adalah seragam olahraga berwarna jingga. Setidaknya lebih baik seperti narapidana dari pada menjadi gembel saat ujian. Mengherankan, kesialanku begitu banyak di sini. Ketika waktu pulang tiba, aku begitu lama berdiri di depan gerbang seraya menyibukkan diri dengan menggerak-gerakan kecil pergelangan kakiku dalam menginjak-nginjak tanah. Pasti Pak sopir sudah lupa jika sekarang aku dan Eva sudah pulang sehingga tidak kunjung menjemput. "Hei, Megan," sapa Sherly setelah mencolek bahuku. "Kok kamu belum pulang?" "Nunggu supir." Serta merta mulutnya menganga lebar. "Sejak kapan kamu jadi kaya?" Pertanyaan yang begitu panas di telingaku. Ada-ada saja, yang memiliki sopir pribadi tidak harus menjadi kaya dahulu! Seandainya aku menginjak SMA sudah diizinkan memiliki SIM, maka aku tidak perlu diantar atau jemput oleh sopir lagi. "Jangan halu!" Sherly mencibirku. "Itu Eva
Bel memasuki kelas yang terdengar aneh telah berbunyi. Terpaksa aku melangkah kembali ke kelas dalam keadaan frustrasi.Kacau, aku terdampar di dunia yang entah sungguhan atau mungkin hologram buatan untuk mengerjai seseorang dan korbannya adalah aku. Imajinasiku mulai merambat ke mana-mana, sepertinya karena efek terlalu banyak menonton film barat.Aku adalah murid yang biasa-biasa saja, hidup tidak manis atau pun pahit, anti bertingkah aneh dan patut diberi penghargaan sebagai murid ternormal. Namun, sekarang justru aku menjadi pusat perhatian satu kelas.Selama ini, aku tidak pernah diganggu oleh siapa pun, maka dari itu emosiku menjadi sulit dikendalikan saat membalas perilaku anak-anak kurang ajar itu.Sudahlah, lebih baik aku memfokuskan diri pada kertas ulangan di depanku.Di pertengahan mengerjakan ujian, berkali-kali sebuah buntalan kertas terlempar ke kepalaku. Untuk kali ini aku harus bersabar karena ada pengawas yang bisa jadi menendangku ke luar bila terjadi keributan.Ke
Muncul aroma makanan berminyak yang sangat menganggu ketenanganku. Berakhir aku melonjak kaget ketika ada sesuatu yang menyodok ke hidungku. Mataku melotot hebat dan reflek melirik ke segala arah. "Eh, maaf." Aku mendengus kasar dan hilanglah sumpalan benda tadi. Kepalaku sontak terangkat dari bahu seseorang, lalu menoleh dan mendapati Sherly yang sedang menyengir seperti kuda. Di tangannya, terdapat ayam krispi setengah dibungkus yang membuatku mulai emosi. "Lo nusuk hidung gue pakai itu?" Jariku menunjuk ke arah ayam tersebut. Sherly mengangguk kaku dan tertawa kecil. "Biar kamu bangun pas mencium aroma ayam ini." Aku menoyor dahinya menggunakan telunjuk dan berdecak kesal. Sudah jelas jika aku bukanlah hewan dan mana mungkin akan terbangun karena mencium aroma lemak. Menjijikkan, aku menjadi harus membersihkan saluran pernapasan ini. Dalam seperkian detik, aku tertegun. Kepalaku menoleh ke segala arah dan berpikir keras tempat apa yang kupijaki. Sherly bersamaku, tengah dudu